Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori tentang Lanjut Usia

2.1.1 Definisi Lansia.

Lansia merupakan tahap lanjut dari proses kehidupan yang ditandai

dengan perubahan-perubahan pada struktur dan fisiologis dari berbagai sel,

jaringan, organ dan sistem yang ada pada tubuh manusia sehingga

menyebabkan sebagian besar lansia mengalami kemunduran atau perubahan

pada fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak et. al, 2009). Lanjut usia menurut

pasal 1 ayat (2), (3), (4) undang-undang RI nomor 13 tahun 1998, adalah

seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik

secara fisik masih berkemampuan maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu

berperan aktif dalam pembangunan (Maryam, 2008).

2.1.2 Teori – Teori Menua

Ada 2 jenis teori penuaan yaitu, teori biologi, teori psikososial. Teori biologis

meliputi teori genetik dan mutasi, teori imunologis, teori stres, teori radikal bebas,

teori rantai silang, teori menua akibat metabolisme. Teori social meliputi

pelepasan, teori aktivitas, teori interaksi sosial, teori kepribadian berlanjut, teori

perkembangan.

2.1.2.1 Teori Biologis


1. Teori Genetik dan Mutasi

Teori genetik menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara

genetik untuk spesies tertentu. Teori ini menunjukkan bahwa menua terjadi

karena peru bahan molekul dalam sel tubuh sebagai hasil dari mutasi

spontan yang tidak dapat dan yang terakumulasi seiring dengan usia.
Sebagai contoh mutasi sel kelamin sehingga terjadi penurunan kemampuan

fungsional sel (Constantinides,1994).

2. Teori Imunologis

Teori imunologis menua merupakan suatu alternative yang diajukan oleh

Walford 1965. Teori ini menyatakan bahwa respon imun yang tidak

terdiferensiasi meningkat seiring dengan usia. Mutasi yang berulang dapat

menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali

dirinya sendiri. Jika mutasi merusak membran sel akan menyebabkan sistem

imun tidak mengenal dirinya sendiri sehingga merusaknya. Hal inilah yang

mendasari peningkatan penyakit auto-imun pada lanjut usia (Goldstein,1989).

3. Teori Stres

Teori stres menyatakan bahwa menua terjadi akibat hilangnya sel-sel

yang biasanya digunakan oleh tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat

mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress

yang menyebabkan sel-sel tubuh lemah.

4. Teori Radikal Bebas


Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh karena

adanya proses metabolisme. Radikal bebas merupakan suatu atom atau

molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak

berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul lain yang

menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam oksidasi bahan

organik, misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas menyebabkan sel

tidak dapat beregenerasi (Halliwel,1994). Radikal bebas dianggap sebagai

penyebab penting terjadinya kerusakan fungsi sel. Teori ini menyatakan

bahwa penuaan disebabkan oleh akumulasi kerusakan ireversibel.

5. Teori Rantai Silang


Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein,

kerbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia

dan radiasi, yang mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan

pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku,

kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.

6. Teori Menua Akibat Metabolisme

Telah dibuktikan dalam percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori

ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur,

sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat

memperpendek umur (Bahri dan Alem, 1989; Boedhi Darmojo,1999).

2.1.2.2 Teori Psikososial


1. Teori Penarikan Diri / Pelepasan

Teori ini merupakan teori social tentang penuaan yang paling awal dan

pertama kali diperkenalkan oleh Gumming dan Henry (1961). Teori ini

menyatakan bahwa mayarakat dan individu selalu berusaha untuk

mempertahankan diri mereka dalam keseimbangan dan berusaha untuk

menghindari gangguan. Oleh karena itu lansia mempersiapkan pelepasan

terakhir yaitu kematian dengan pelepasan mutual dan pelepasan yang dapat

diterima masyarakat. Pelepasan ini meliputi pelepasan peran sosial dan

aktivitas sosial. Menurut teori ini seorang lansia dinyatakan mengalami

proses penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu

dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan diri

dalam menghadapi kematian.

2. Teori Interaksi Sosial

Teori ini menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi

tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Simmons (1945),

mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi


sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar

kemampuannya bersosialisasi. Mauss (1954), Homans (1961), dan Blau

(1964) mengemukakan bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan atas

hokum pertukaran barang dan jasa.

3. Teori Kepribadian Berlanjut


Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut

usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini

mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia.

Pengalaman seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak

pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku,

dan harapan seseorang ternyata tidak berubah walaupun ia telah lanjut usia.
4. Teori Aktivitas

Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon et al.

(1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari

bagaimana seseorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan

aktivitas dan memepertahankan aktivitas tersebut. Teori ini menyatakan

bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut

serta dalam kegiatan sosial.

5. Teori perkembangan

Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua

merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap

bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat

bernilai positif maupun negatif. Akan tetapi teori ini tidak menggariskan

bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya

diterapkan oleh lansia tersebut.

2.1.3 Klasifikasi Lansia


Menurut kesepakatan Departemen Sosial (Depsos) yang dirujuk dari

berbagai lintas sektor, penduduk lanjut usia adalah sekelompok penduduk yang

berusia lebih dari 60 tahun, sedangkan menurut Departemen Kesehatan

(Depkes) penduduk usia lanjut dikelompokkan menjadi usia prasenilis 45-59

tahun, usia lanjut 60 tahun ke atas. Kelompok usia risiko tinggi 70 tahun ke atas

atau usia 60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2009).

Berikut ini merupakan pengelompokan usia lansia:

a Menurut Departemen Kesehatan:


1. Kelompok Pertengahan Umur

Kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut

yang menampakan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-59 tahun).

2. Kelompok Usia Lanjut Dini

Kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki

usia lanjut (60-65).

3. Kelompok Usia Lanjut

Kelompok dalam masa senium (65 tahun keatas).

4. Kelompok Usia Lanjut dengan Risiko Tinggi

Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut

yang hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.

b Klasifikasi lansia menurut World Health Organization (WHO) adalah sebagai

berikut :
1. Usia pertengahan (middle age)
Seseorang yang berusia 45-59 tahun
2. Lanjut usia (elderly)
Seseorang yang berusia 60-74 tahun
3. Lanjut usia tua (old)
Seseorang yang berusia 75-90 tahun
4. Lanjut usia sangan tua (very old)
Seseorang yang berusia diatas 90 tahun (WHO, 2010)
c Menurut Maryam, (2008) lansia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pra lansia
Seseorang yang berusia antara 45 – 59 tahun.
2. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau berusia 60 tahun

atau lebih tapi dengan masalah kesehatan.


4. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang/ jasa.


5. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya

bergantung pada bantuan orang lain (Maryam, 2008).


2.1.4 Perubahan Fungsional Akibat Menua

Perubahan fungsional akibat penuaan terjadi pada fungsi fisiologis dan

psikologis diantaranya adalah perubahan pada fungsi muskuloskeletal,

neurologis, sensori, dan kognitif (Mauk, 2010).

2.1.4.1 Perubahan Sistem Muskuloskeletal

Perubahan yang terjadi pada sistem muskuloskeletal adalah

berkurangnya massa dan kekuatan otot, berkurangnya massa dan kekuatan

tulang (Mauk, 2010). Lansia mengalami penurunan kekuatan dan kelenturan

otot seperti kekuatan genggaman tangan, kekuatan kaki berkurang pada pria,

genggaman tangan dan kekuatan kaki pada wanita (Lord, et al, 2007). Sistem

muskuloskeletal berhubungan dengan mobilitas dan keamanan yang dapat

mempengaruhi seluruh aktivitas sehari-hari. Mobilitas yang aman dan

keseimbangan juga dipengaruhi oleh sistem sensori seperti penglihatan dan

pendengaran, hipotensi postural, dan sistem saraf pusat. Lansia wanita lebih

memiliki control muscular yang kurang sehingga mempengaruhi ekstremitas

bawah (Mauk, 2010).

Ketidakseimbangan pada posisi tegak dipengaruhi oleh perubahan akibat

penuaan seperti berkurangnya reflek, kerusakan fungsi propioseptif,

berkurangnya sensasi vibrasi dan posisi tulang sendipada ekstremitas bawah.

Faktor resiko dari mobilitas yang tidak aman adalah lingkungan yang tidak

aman, medikasi, dan kerusakan kognitif. Konsekuensi fungsional negatif yang


diakibatkan dari perubahan system muskuloskeletal dan faktor risikonya ialah

berkurangnya kekuatan otot, kelenturan dan koordinasi, terbatasnya rentang

gerak sendi, meningkatnya risiko jatuh dari fraktur (Mauk, 2010).

2.1.4.2 Perubahan Sistem Neurologis

Perubahan pada sistem neurologis diantaranya adalah penurunan berat

otak, aliran darah ke otak dan berkurangnya neuron. Perubahan anatomis

tersebut menyebabkan lansia kehilangan memori, menjadi lambat dalam

bereaksi, masalah keseimbangan dan gangguan tidur. Perubahan sistem saraf

pada lansia mempengaruhi sistem organ lainnya. Perubahan sistem saraf di otak

berpengaruh pada stabilitas tubuh (Mauk, 2010). Perubahan pada saraf motorik

mengakibatkan perubahan dalam reflek, kerusakan kognitif dan emosi, serta

penurunan jumlah sel otot yang dapat mengakibatkan kelemahan otot.

Perubahan pada sistem saraf pusat mempengaruhi proses komunikasi dan

sistem organ lain seperti sistem penglihatan, vestibuler dan propiosepsi (Mauk,

2010). Gangguan pada pengiriman pesan tersebut dapat mempengaruhi

keseimbangan yang terjadi melalui 3 tahap yaitu transduksi, transmisi, dan

modulasi. Tahap tranduksi adalah penerimaan rangsangan dari luar oleh reseptor

visual, propioseptif dan vestibuler. Rangsangan tersebut dapat berupa cahaya,

sentuhan, gerakan, tekanan dan lingkungan. Pada tahap transmisi, rangsangan

dikirim ke pusat keseimbangan di otak. Informasi yang diterima di otak akan

diolah untuk dilakukan proses modulasi dan diterima neuromuskuloskeletal

sebagai efektor untuk beradaptasi dalam mempertahankan keseimbangan

(Bintoro, 2010).

2.1.4.3 Perubahan Sistem Sensori

Perubahan sistem sensori terdiri dari sentuhan, pembauan, perasa,

penglihatan, dan pendengaran (Mauk, 2010). Perubahan pada indera pembauan

dan pengecapan dapat mempengaruhi lansia dalam mempertahankan nutrisi


yang adekuat (Wallace, 2008). Penurunan sensitivitas sentuhan terjadi pada

lansia seperti berkurangnya kemampuan neuron sensori yang secara efisien

memberikan sinyal deteksi, lokasi dan identifikasi sentuhan atau tekanan pada

kulit (Mauk, 2010). Lansia juga terjadi kehilangan sensasi dan propiosepsi serta

resepsi informasi yang mengatur pergerakan tubuh dan posisi (Mauk, 2010).

Kehilangan pendengaran pada lansia terjadi sebagai hasil perubahan dari

telinga bagian dalam. Telinga bagian dalam terdiri dari kokhlea dan organ-organ

keseimbangan. Sistem vestibular bersama-sama dengan mata dan propioseptor

membantu dalam mempertahankan keseimbangan fisik tubuh atau ekuilibrium.

Gangguan pada system vestibular dapat mengarah pada pusing dan vertigo

yang dapat mengganggu keseimbangan. Faktor resiko dari perubahan

pendengaran pada lansia adalah proses penyakit, medikasi ototoksik, dan

pengaruh lingkungan. Konsekuensi fungsionalnya adalah berpengaruh terhadap

pemahaman dalam berbicara, gangguan komunikasi, kebosanan, apatis, isolasi

sosial, rendah diri, serta ketakutan dan kecemasan yang berhubungan dengan

bahaya keamanan lingkungan (Mauk, 2010).

2.1.4.4 Perubahan Fungsi Kognitif

Perubahan psikososial berhubungan dengan perubahan kognitif dan

afektif. Kemampuan kognitif lansia juga dipengaruhi oleh faktor personal dan

lingkungan seperti tingkat pendidikan, persepsi diri dan pengharapan, serta

status kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Perubahan psikososial

juga berdampak pada kepuasan hidup dan perubahan arti hidup (Mauk, 2010).

2.2 Jatuh pada Lansia


2.2.1 Pengertian Jatuh

Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi

mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau

terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka (Darmojo, 2009). Jatuh menyebabkan subyek yang sadar

menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja dan tidak termasuk jatuh

akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Jatuh dapat

mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik, dan psikologis. Kerusakan

fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis

fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan,

lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis yang

dapat terjadi yaitu syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat

memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri,

pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, dan falafobia atau fobia jatuh (Stanley,

2006).

2.2.2 Distribusi Kejadian Jatuh pada Lansia

Sebagian besar kejadian jatuh pada lansia terjadi saat lansia melakukan

aktivitas biasa seperti bejalan, naik atau turun tangga, mengganti

posisi. Hanya sekitar 5% jatuh pada lansia yang terjadi saat lansia

melakukan aktivitas berat seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Di

rumah-rumah perawatan berkisar 50% penghuninya mengalami jatuh dan

memerlukan perawatan di rumah sakit sekitar 10-25% (Darmojo, 2009).

2.2.3 Faktor Intrinsik Penyebab Jatuh pada Lansia


2.2.4.1 Gangguan Jantung

Merupakan gangguan berupa kehilangan oksigen dan makanan ke

jantung karena aliran darah ke jantung melalui arteri koroner berkurang. Tanda

dan gejala penyakit jantung pada lansia adalah sering kali merasakan nyeri pada
daerah prekordial dan sesak nafas yang mengakibatkan rasa cepat lelah dan

biasanya terjadi ditengah malam. Gejala lainnya adalah kebingungan, muntah-

muntah, dan nyeri pada perut karena pengaruh dari bendungan hepar atau

keluhan imsomnia (Darmojo, 2009).

Sinkop dan hipotensi postural merupakan kondisi yang sering

menyebabkan jatuh pada lansia. Sinkop adalah suatu kondisi kehilangan

kesadaran yang terjadi secara mendadak dan dalam waktu yang singkat.

Kelainan jantung dapat menyebabkan sinkop karena tidak cukupnya aliran darah

menuju ke otak yang bersifat sementara. Gangguan aliran darah ini biasanya

disebabkan saat tekanan darah yang rendah (hipotensi). Organ jantung yang

berfungsi untuk memompa darah, tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen

otak. Gangguan kerja jantung dapat disebabkan karena adanya penyempitan

atau sumbatan pada aliran darah, gangguan otot jantung, atau gangguan irama

jantung (Darmojo, 2009).

2.2.4.2 Gangguan Gerak

Gangguan gerak atau sering disebut dengan gangguan ekstrapiramidal

merupakan kelainan regulasi terhadap gerakan volunter. Gangguan ini

merupakan bagian sindroma neurologik berupa gerakan berlebihan atau gerakan

yang berkurang namun tidak berkaitan dengan kelemahan (paresis). Gangguan

gerak pada lansia disebabkan karena proses penuaan yang mengakibatkan

kelainan pada ganglia basal dibagi menjadi 2 yaitu hipokinetik dan hiperkinetik.

Gangguan hipokinetik diartikan sebagai adanya hipokinesa (berkurangnya

amplitude gerakan), bradikinesia (melambatnya gerakan), akinesia (hilangnya

gerakan), seperti pada penyakit Parkinson. Sedangkan gangguan hiperkinetik

terjadinya gerakan berlebih, abnormal dan involunter seperti pada tremor,

atheosis, dystonia, hemibalismus, chorea, myoclomus dan tie. Dengan adanya


gangguan gerak pada lansia akan menyebabkan pergerakan pada system

motorik menjadi terganggu dan ketidakseimbangan postural yang keduanya akan

menyebabkan lansia dengan mudah mengalami jatuh (Darmojo, 2009).

2.2.4.3 Gangguan Penglihatan

Mata adalah organ sensori yang menstransmisikan rangsangan ke lobus

oksipitalis dimana rangsangan penglihatan ini diterima. Dengan proses penuaan,

terjadi beberapa perubahan diantaranya alis berubah kelabu, dapat menjadi

kasar pada pria, dan menjadi tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun

wanita. Konjungtiva menipis dan berwarna kekuningan, produksi air mata oleh

kelenjar lakrimalis yang berfungsi untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva

akan menurun dan cenderung cepat menguap sehingga mengakibatkan

konjungtiva lebih kering (Cieayundacitra, 2010).

Gangguan penglihatan adalah perubahan yang terjadi pada ukuran pupil

menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi,

lensa menguning dan berangsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak,

sehingga mempengaruhi kemampuan untuk melihat menerima dan membedakan

warna-warna. Gangguan penglihatan dapat menyebabkan jatuh pada lansia

karena kemampuan dalam mengontrol pergerakan mata dan persepsi terhadap

warna berkurang sehingga meningkatkan resiko untuk menabrak benda

disekitarnya atau salah mempersepsikan sesuatu yang terlihat (Cieayundacitra,

2010).

2.2.4.4 Gangguan Pendengaran

Kehilangan pendengaran pada lansia terjadi sebagai hasil perubahan dari

telinga bagian dalam (Mauk, 2010). Telinga bagian dalam terdiri dari kokhlea dan

organ-organ keseimbangan. Sistem vestibular bersama-sama dengan mata dan

propioseptor membantu dalam mempertahankan keseimbangan fisik tubuh atau

ekuilibrium. Gangguan pada sistem vestibular dapat mengarah pada pusing dan
vertigo yang dapat mengganggu keseimbangan (Mauk, 2010). Faktor risiko dari

perubahan pendengaran pada lansia adalah proses penyakit, medikasi ototoksik,

dan pengaruh lingkungan. Konsekuensi fungsionalnya adalah berpengaruh

terhadap pemahaman dalam berbicara, gangguan komunikasi, kebosanan,

apatis isolasi sosial, rendah diri, seta ketakutan dan kecemasan yang

berhubungan dengan bahaya keamanan lingkungan dan jatuh (Miler, 2006).

2.2.5 Faktor Ekstrinsik Penyebab Jatuh pada Lansia


2.2.5.1 Alat Bantu Jalan

Penggunaan alat bantu jalan dalam jangka waktu lama dapat

mempengaruhi keseimbangan sehingga dapat menyebabkan jatuh. Ukuran, tipe

dan cara menggunakan alat bantu seperti walker, tongkat, kursi roda, dan kruk

berkontribusi menyebabkan gangguan keseimbangan dan jatuh pada lansia

(Mauk, 2010).

2.2.5.2 Lingkungan

Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik bersifat

mendukung atau bahaya yang dapat mempengaruhi jatuh pada lansia

(Prabuseso, 2006). Kejadian jatuh di dalam ruangan lebih sering terjadi di kamar

mandi, kamar tidur, dan dapur. Sekitar 10% kejadian jatuh terjadi di tangga

terutama saat turun karena lebih berbahaya daripada naik tangga (Mauk, 2010).

Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia antara lain alat-

alat bantu atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di

bawah, tempat tidur tidak atau kamar mandi yang rendah dan licin, tempat

berpegangan yang tidak kuat atau sulit dijangkau, lantai tidak datar, licin atau

menurun, karpet yang tidak digelar dengan baik, penerangan yang tidak baik

(kurang terang atau menyilaukan), alat kaki yang tidak tepat ukuran, berat
maupun cara penggunaannya yang salah. Keseimbangan berkurang seiring

bertambahnya usia karena perubahan yang terjadi pada lansia (APS Health

Care, 2010).

2.2.5 Dampak Kejadian Jatuh pada Lansia

Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan

psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah

tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur

pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak.

Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh

dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk

ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari,

falafobia atau fobia jatuh (Stanley, 2006).

2.2.5.1 Perlukaan

Perlukaan (injuri) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa

sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena,

patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah

dan tungkai atas. Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan

fisik dan psikologis. (Darmojo, 2009). Dari hasil penelitian oleh Ariawan et al

(2010), perlukaan akibat jatuh beragam dari berat sampai ringan, cedera

kepala, cedera jaringan lunak, dan fraktur, kebanyakan mengalami fraktur

kolum femur (Ariawan et al, 2010).

2.2.5.2 Disability

Disability mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan

perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan

kepercayaan diri dan pembatasan gerak (Darmojo, 2009).

2.2.5.3 Dampak Psikologis


Dampak psikologis yang dapat terkjadi pada lansia setelah mengalami

jatuh adalah ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam

aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Stanley, 2006).

2.2.5.4 Meninggal

Kematian merupakan resiko paling fatal yang dapat terjadi di tempat

kejadian atau setelah sempat mendapat penanganan di rumah sakit. Kematian

umumnya disebabkan oleh komplikasi akibat patah tulang. Komplikasi tersebut

adalah timbulnya perdarahan, trombosis vena dalam, emboli paru, sampai infeksi

saluran kemih akibat tirah baring yang lama (Ariawan, et al. 2010).

2.2.6 Pencegahan Jatuh


2.2.6.1 Identifikasi Faktor Resiko

Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari

adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan penilaian keadaan sensorik,

neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan

jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan

jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak

menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang

susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat

bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan

sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia.

Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya,

pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi

pegangan di dinding (Darmojo, 2009).

2.2.6.2 Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan

Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya

dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan badan

pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh
rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat,

apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita

mengangkat kakidengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot

ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Semuanya itu

harus dikoreksi bila terdapat kelainan/ penurunan (Darmojo, 2009).

2.3 Faktor Lingkungan dengan Kejadian Jatuh pada Lansia

Sebuah studi tentang penilaian risiko kecelakaan pada lansia di

lingkungan domestik Karnataka India (2012) oleh Aras et al, menyatakan bahwa

modifikasi lingkungan dapat mempromosikan mobilitas dan mengurangi risiko

jatuh pada lansia. Salah satu bidang kajian yang paling berharga, yang

berhubungan dengan lingkungan rumah adalah pengkajian terhadap kondisi

keamanan dan bahaya-bahaya potensial dan aktual, baik di dalam maupun di

luar rumah. Khususnya yang ada di dalam rumah, kecelakaan merupakan satu

ancaman utama terhadap status kesehatan keluarga. Setiap anggota

keluarga terbuka terhadap ancaman kecelakaan yang berhubungan dengan

tahap perkembangannya. Meningkatnya kesadaran keluarga akan masalah

masalah kecelakaan utama, dimana hal ini memberikan informasi faktual, dan

cara-cara keluarga memperbaiki tingkat-tingkat keamanan yang sehat adalah

tujuan bagi perawat (Darmojo, 2009).

Faktor eksternal seperti lingkungan sebagian besar selalu turut berperan

terhadap jatuh. Beberapa contoh lingkungan yang beresiko untuk terjadinya

jatuh tangga yang tidak memiliki pegangan, alat-alat atau perlengkapan rumah

tangga yang sudah tua dibiarkan tergeletak, tempat tidur yang tinggi, lantai licin

dan kadang tidak rata, penerangan yang tidak baik, alat bantu berjalan yang

tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya (Darmojo, 2009).


Af’idah, Dewi, Hadhisuyatmana (2011) memaparkan bahwa lingkungan

yang beresiko adalah kondisi interior rumah meliputi bagaimana ruangan-

ruangan tersebut dilengkapi oleh perabot , kelayakan perabot, penerangan yang

tidak memadai dan eksterior rumah meliputi lantai, tangga, jeruji dalam

keadaan buruk, tempat obat-obatan tidak terjangkau dan pintu masuk dan

pintu keluar ke rumah tidak terdapat penerangan dan ruang gerak yang cukup

untuk keluar dari rumah, kabel listrik telanjang di lantai, kolam renang yang

tidak di pagari secara memadai (Af’idah et al, 2011).

Anda mungkin juga menyukai