Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KMB II

(ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELITUS)

Disusun Oleh :

Ilun Chairunisyah N PO.71.20.4.16.014

Dosen Pembimbing : Ns.Rumentalia S, S.Kep.,M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
D-IV KEPERAWATAN TINGKAT 2
2018
KONSEP DIABETES MELITUS

1. Identifikasikan pengertian Diabestes Melitus


Jabawan :
1) Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja insulin atau kedua-
duanya (ADA, 2010).
2) Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya
kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).
3) Berdasarkan Perkeni tahun 2011 Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan
metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristik hiperglikemia. Berbagai
komplikasi dapat timbul akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol, misalnya
neuropati, hipertensi, jantung koroner, retinopati, nefropati, dan gangren.

2. Idebtifikasi etiologi penyakit Diabetes Melitus


Jawaban:
Kombinasi antara faktor genetik, faktor lingkungan, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin merupakan penyebab DM tipe 2. Faktor lingkungan yang berpengaruh seperti
obesitas, kurangnya aktivitas fisik, stres, dan pertambahan umur (KAKU, 2010). Faktor
risiko juga berpengaruh terhadap terjadinya DM tipe 2. Beberapa faktor risiko diabetes
melitus tipe 2 antara lain berusia ≥ 40 tahun, memiliki riwayat prediabetes ( A1C 6,0 % -
6,4 % ), memiliki riwayat diabetes melitus gestasional, memiliki riwayat penyakit vaskuler,
timbulnya kerusakan organ karena adanya komplikasi, penggunaan obat seperti
glukokortikoid, dan dipicu oleh penyakit seperti HIV serta populasi yang berisiko tinggi
terkena diabetes melitus seperti penduduk Aborigin, Afrika, dan Asia (Ekoe et al., 2013).
Klasifikasi etiologi diabetes melitus adalah sebagai berikut (Perkeni, 2011):
a. Tipe 1 (destruksi sel β)
b. Tipe 2 (dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif, dan disertai resistensi
insulin)
c. Diabetes tipe lain,yaitu:
 Defek genetik fungsi sel β
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Pengaruh obat
 Infeksi
 Imunologi
 Sindrom genetik lain seperti sindrom down
d. Diabetes melitus gestasional
Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Pola Makan
Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh
tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan jumlah atau kadar insulin oleh
sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan.
b. Obesitas Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan orang yang tidak
gemuk.
c. Faktor genetik
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM dari orang tua. Biasanya, seseorang
yang menderita DM mempunyai anggota keluarg yang terkena juga.
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Bahan kimiawi tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang
pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas tidak berfungsi
secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk metabolisme
dalam tubuh, termasuk hormon insulin.
e. Penyakit dan infeksi pada pankreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga
menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada pankreas tidak bekerja
secara optimal dalam mensekresi insulin

3. Identifikasi klasifikasi Diabetes Melitus


Jawaban:
Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes Association, 2010 adalah
sebagai berikut:
1) Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
a. Autoimun
b. Idiopatik
Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering ternyata pada usia
remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang memproduksi insulin mengalami
kerusakan secara permanen. Oleh karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak
langsung dapat diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes melitus
menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun. Para ilmuwan
percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi dapat menyebabkan
penghancuran sel penghasil insulin di pankreas (Merck, 2008). Secara singkatnya
diabetes melitus tipe 1 biasanya disebabkan karena defisiensi insulin absolut yang
disebabkan oleh kerusakan pada sel β pankreas.
2) Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin). Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada kerusakan pada
pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang-kadang insulin pada
tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin,
sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe
ini sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum
dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe 2.
Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas
dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang obesitas
memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula darah
normal (Merck, 2008). Secara singkatnya penyebab dari diabetes melitus tipe 2 adalah
resistensi insulin yang menyebabkan kerusakan progresif pada sekresi hormon insulin.
3) Diabetes tipe lain.
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. DNA mitokondria
c. Defek genetik kerja insulin
d. Penyakit eksokrin pankreas :
 Pankreatitis.
 Tumor/ pankreatektomi.
 Pankreatopati fibrokalkulus
e. Endokrinopati
 Akromegali
 Sindroma Cushing
 Feokromositoma
 Hipertiroidisme
f. Karena obat/ zat kimia
g. Pentamidin, asam nikotinat
h. Glukokortikoid, hormon tiroid
4) Diabetes mellitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional terdiagnosa pada kehamilan trimester kedua atau ketiga dan
biasanya tidak permanen. Setelah melahirkan akan kembali dalam keadaan normal.

4. Identifikasi manifestasi klinis penyakit Diabetes Melitus


Jawaban:
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit
DM diantaranya :
1) Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat melebihi
batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula dalam tubuh
relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk
mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada
malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa (PERKENI, 2011).
2) Timbul rasa haus (Polidipsia)
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa oleh
urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan (Subekti, 2009).
3) Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena glukosa
dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup tinggi
(PERKENI, 2011).
4) Peyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil
dan membakar lemak sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).
Menurut (Tjokroprawiro, 2007 ), Gejala klinis DM yang klasik : mula-mula polifagi,
poliuri, dan polidipsi.Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala
Dekompensasi Pankreas, yang disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan
polifagi. Ketiga gejala klasik tersebut diatas disebut pula “TRIAS SINDROM DIABETES
AKUT” bahkan apabila tidak segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan
ketoasidosis diabetik. Gejala kronis DM yang sering muncul adalah lemah badan,
kesemutan, kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering
berubah, sakit sendi dan lain-lain.
Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas walaupun nekrosis,
daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan dan biasanya teraba
pulsasi arteri dibagian distal . Proses mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh
darah, sedangkan secara akut emboli memberikan gejala klinis 5 P yaitu :
a. Pain (nyeri).
b. Paleness (kepucatan).
c. Paresthesia (kesemutan).
d. Pulselessness (denyut nadi hilang)
e. Paralysis (lumpuh).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari fontaine:
a. Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan).
b. Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten
c Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat.
d. Stadium IV : terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus). Smeltzer dan Bare
(2001: 1220).
Klasifikasi Wagner (1983). membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan, yaitu:
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai kelainan
bentuk kaki seperti “ claw,callus “.
Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai

5. Mengidentifikasi patoflow Diabetes Melitus


Jawaban :
1) Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang memproduksi
insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi tersebut merupakan penyakit autoimun yang
ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi sel antiislet dalam darah (WHO,
2014). National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun
2014 menyatakan bahwa autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran
islet pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan dapat
terjadi selama beberapa hari sampai minggu. Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh
tidak dapat terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi
memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin, dan
tidak akan merespon insulin yang menggunakan obat oral.
2) Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak. Ini berarti bahwa
tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang
ditandai dengan kurangnya sel beta atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer (ADA,
2014). Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada reseptor-reseptor insulin
sehingga menyebabkan insulin menjadi kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia
menuju sel-sel (CDA, 2013). Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat
oral gagal untuk merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat
melalui suntikan dapat menjadi alternatif.
3) Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang berlebihan saat
kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi insulin dan glukosa tinggi pada ibu
yang terkait dengan kemungkinan adanya reseptor insulin yang rusak (NIDDK, 2014 dan
ADA, 2014
Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak di belakang lambung. Di
dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau dalam peta, sehingga disebut
dengan pulau-pulau Langerhans pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpha yang
menghasilkan hormon glukagon dan sel beta yang menghasilkan hormon insulin. Kedua
hormon ini bekerja secara berlawanan, glukagon meningkatkan glukosa darah sedangkan
insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah (Schteingart, 2006).
Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel. Dengan bantuan GLUT 4 yang
ada pada membran sel maka insulin dapat menghantarkan glukosa masuk ke dalam sel.
Kemudian di dalam sel tersebut glukosa di metabolisasikan menjadi ATP atau tenaga. Jika
insulin tidak ada atau berjumlah sedikit, maka glukosa tidak akan masuk ke dalam sel dan
akan terus berada di aliran darah yang akan mengakibatkan keadaan hiperglikemia
(Sugondo, 2009).
Pada DM tipe 2 jumlah insulin berkurang atau dapat normal, namun reseptor di
permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan lubang kunci masuk pintu
ke dalam sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) cukup banyak, namun karena jumlah
lubangnya (reseptornya) berkurang maka jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel akan
berkurang juga (resistensi insulin). Sementara produksi glukosa oleh hati terus meningkat,
kondisi ini menyebabkan kadar glukosa meningkat (Schteingart, 2006).
Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 pilar pengelolaan diabetes
mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (ADA,
2010). Latihan jasmani secara teratur dapat menurunkan kadar gula darah. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah (Vitahealth, 2006).

6. Mengidentifikasi pemeriksaan diagnostik


Jawaban :
Jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium DM
adalah urin dan darah. Mekipun dengan menggunakan urin dapat dilakukan, namun hasil
yang didapat kurang efektif. Darah vena adalah spesimen pilihan yang tepat dianjurkan
untuk pemeriksaan gula darah. Apabila sampel yang digunakan adalah darah vena maka
yang diperiksa adalah plasma atau serum, sedangkan bila yang digunakan darah kapiler
maka yang diperiksa adalah darah utuh. Pada pengambilan darah kapiler, insisi yang
dilakukan tidak boleh lebih dari 2,5 mm karena dapat mengenai tulang. Pada pengambilan
darah kapiler juga tidak boleh memeras jari dan tetesan pertama sebaiknya dibuang.
Jenis-jenis pemeriksaan laboratorium untuk Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :
1) Gula darah puasa
Pada pemeriksaan ini pasien harus berpuasa 8-10 jam sebelum pemeriksaan dilakukan.
Spesimen darah yang digunakan dapat berupa serum atau plasma vena atau juga darah
kapiler. Pemeriksaan gula darah puasa dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaringan,
memastikan diagnostik atau memantau pengendalian DM. Nilai normal 70-110 mg/dl.
2) Gula darah sewaktu
Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada pasien tanpa perlu diperhatikan waktu
terakhir pasien pasien. Spesimen darah dapat berupa serum atau plasma yang berasal dari
darah vena. Pemeriksaan gula darah sewaktu plasma vena dapat digunakan untuk
pemeriksaan penyaringan dan memastikan diagnosa Diabetes Melitus. Nilai normal <200
mg/dl.
3) Gula darah 2 jam PP (Post Prandial)
Pemeriksaan ini sukar di standarisasi, karena makanan yang dimakan baik jenis maupun
jumlah yang sukar disamakan dan juga sukar diawasi pasien selama 2 jam untuk tidak
makan dan minum lagi, juga selama menunggu pasien perlu duduk, istirahat yang tenang,
dan tidak melakukan kegiatan jasmani yang berat serta tidak merokok. Untuk pasien yang
sama, pemeriksaan ini bermanfaat untuk memantau DM. Nilai normal <140 mg/dl.
4) Glukosa jam ke-2 TTGO
TTGO tidak diperlukan lagi bagi pasien yang menunjukan gejala klinis khas DM dengan
kadar gula darah atau glukosa sewaktu yang tinggi melampaui nilai batas sehinggasudah
memenuhi kriteria diagnosa DM. (Gandasoebrata, 2007 : 90-92).
Nilai normal :
Puasa : 70 – 110 mg/dl
½ jam : 110 – 170 mg/dl
1 jam : 120 – 170 mg/dl
1½ jam : 100 – 140 mg/dl
2 jam : 70 – 120 mg/dl
5) Pemeriksaan HbA1c
HbA1c atau A1c merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan antar glukosa
dan hemoglobin (glycohemoglobin). Jumlah HbA1c yang terbentuk, tergantung pada
kadar gula darah. Ikatan A1c stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan
usai sel darah merah), kadar HbA1c mencerminkan kadar gula darah rata-rata 1 sampai
3 bulan. Uji digunakan terutama sebagai alat ukur keefektifan terapi diabetik. Kadar gula
darah puasa mencerminkan kadar gula darah saat pertama puasa, sedangkn
glikohemoglobin atau HbA1c merupakan indikator yang lebih baik untuk pengendalian
Diabetes Melitus. Nilai normal HbA1c 4-6%, Peningkatan kadar HbA1c > 8 %
mengindikasi hemoglobin A (HbA) terdiri dari 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin
total.
Molekul glukosa berikatan dengan HbA yang merupakan bagian dari
hemoglobin A. Pembentukan HbA1c terjadi dengan lambat yaitu 120 hari yang
merupakan rentang hidup eritrosit, HbA1c terdiri atas tiga molekul hemoglobin HbA1c,
HbA1b dan HbA1c. Sebesar 70 % HbA1c dalam bentuk 70 % terglikosilasi pada jumlah
gula darah yang tersedia. Jika kadar gula darah meningkat selama waktu yang lama, sel
darah merah akan tersaturasi dengan glukosa dan menghasilkan glikohemoglobin.
Menurut Widman (1992:470), bila hemoglobin bercampur dengan larutan
glukosa dengan kadar yang tinggi, rantai beta hemoglobin mengikat glukosa secara
reversible. Pada orang normal 3 sampai 6 persen hemoglobin merupakan hemoglobin
glikosilat yang dinamakan kadar HbA1c. Pada hiperglikemia kronik kadar HbA1c dapat
meningkat 18-20 % . glikolisasi tidak mempengaruhi kapasitas hemoglobin untuk
mengikat dan melepaskan oksigen, tetapi kadar HbA1c yang tinggi mencerminkan
adanya diabetes yang tidak terkontrol selama 3-5 minggu sebelumnya. Setelah keadaan
normoglikemia dicapai, kadar HbA1c menjadi normal kembali dalam waktu kira-kira 3
minggu.
Berdasarkan nilai normal kadar HbA1c pengendalian Diabetes Melitus dapt
dikelompokan menjadi 3 kriteria yaitu :
DM terkontrol baik / kriteria baik : <6,5%
DM cukup terkontrol / kriteria sedang :6,5 % - 8,0 %
DM tidak terkontrol / kriteria buruk : > 8,0 %
Pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan kadar gula darah pada saat
diabetes diperiksa, tetapi tidak menggambarkan pengendalian diabetes jangka panjang (±
3 bulan). Meski demikian, pemeriksaan gula darah tetap diperlukan dalam pengelolaan
diabetes, terutama untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul akibat perubahan
kadar gula darah yang timbul secara mendadak. Jadi, pemeriksaan HbA1c tidak dapat
menggantikan maupun digantikan oleh pemeriksaan gula darah, tetapi pemeriksaan ini
saling menunjang untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai kualitas
pengendalian diabetes seseorang.
7. Mengidentifikasi penattalaksanaan
Jawaban :
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar
mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi
agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan
pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu:
1) Edukasi
Edukasi Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan
secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya,
mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.Edukasi pada penyandang
diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan
obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan
kalori dan diet tinggi lemak.
2) Terapi Gizi Medis Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan
yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein
10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
3) Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti
berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
4) Intervensi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri
dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
a) Pemicu sekresi insulin:
- Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal serta malnutrisi
- Glinid
 Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
 Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin
fase pertama.
b) Penambah Sensitivitas terhadap insulin
- Golongan biguanid
Menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
selular, distal, dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi
glukosa hati. Contoh obat golongan ini adalah Methformin.
- Thiazolindion / glitazon
Thiazolindion berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma
(PPAR γ) suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Obat golongan ini
memperbaiki sensitivitas terhadap insulin dengan memperbaiki transpor glukosa
kedalam sel. Contoh obat golongan ini adalah : Pioglitazon (Actoz) dan Rosiglitazon
(Avandia).
c) Penghambat alfa glukosidase / Acarbose
Acarbose merupakan suatu pengahambat enzim alfa glukosidase yang tetletak pada
dinding usus halus. Enzim alfa glukosidase adalah maltase, isomaltase, glikomaltase,
dan sukrose berfungsi untuk hidrilisis oligosakarida, trisakarida, dan disakarida pada
dinding usus halus (brush border).
d) Golongan Inkretin
- Inkretin Mimetik
Exenatid (Byetta) suatu GLP-1 analog adalah satu obat golongan ini dalam bentuk
suntikan, belum masuk pasaran Indonesia walaupun dibeberapa negara barat sudah
mulai sering dipakai karena terbukti cukup efektif menurrunkan glukosa darah
dengan cara merangsang dan menghambat sekresi glukagon.
- Penghambat DPP IV
Obat glukagon baru ini mempunyai cara kerja menghambat suatu enzim yang
mendegradasi hormon inkretin endogen, hormon GLP-1 dan GIP yang berasal dari
usus, sehingga dapat meningkatkan kadarnya setelah makan, yang kemudian akan
meningkatkan sekresi insulin yang dirangsang glukosa, mengurangi sekresi
glukagon dan memperlambat pengosongan lambung.contohnya Sitagliptin (Januvia)
dan Vildagliptin (Galvus).
Insulin
4 Tipe Insulin yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan puncak dan jangka waktu
efeknya :
a) Insulin Kerja Singkat (short acting) ; insulin regular merupakan satu-satunya insulin
jernih ataularutan insulin, sementara lainnya adalah suspense. Insulin regular adalah
satu-satunya prodak insulin yang cocok untuk pemberian intra vena. Contoh : Actrapid,
Humulin R.
b) Insulin kerja cepat (rapid acting) , cepat diabsorbsi, adalah insulin analog seperti :
Novorapid, Humalog, Apidra.
c) Insuli kerja sedang yaitu NPH termasuk Monotard, Insulatard, Humulin.
d) Insulin kerja panjang, mempunyai kadar zing yang tinggi untuk memperpanjang waktu
kerjanya. Contoh:Ultra lent ( suyono, 2009 )

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELITUS

1. Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien diabetes melitus. Apakah yang merupakan data
fokus pada pasien dengan diabetes melitus?
Jawaban:
Menurut Doenges (2000: 726), data pengkajian pada pasien dengan Diabetes Mellitus
bergantung pada berat dan lamanya ketidakseimbangan metabolik dan pengaruh fungsi pada
organ, data yang perlu dikaji meliputi :
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada kulit yang disertai
bisul/lalu tidak sembuh-sembuh, kesemutan/rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh.
Disamping itu klien juga mengeluh poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB
menurun, diare kadang-kadang disertai nyeri perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat,
haus-haus, pusing-pusing/sakit kepala, kesulitan orgasme pada wanita dan masalah
impoten pada pria.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
 Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional
 Riwayat ISK berulang
 Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin dan penoborbital.
 Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat anggota keluarga yang menderita DM.
d. Pemeriksaan Fisik
 Neuro sensori
Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan mental, reflek
tendon menurun, aktifitas kejang.
 Kardiovaskuler
Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural, hipertensi
dysritmia, krekel, DVJ (GJK)
 Pernafasan
Takipnoe pada keadaan istirahat/dengan aktifitas, sesak nafas, batuk dengan tanpa
sputum purulent dan tergantung ada/tidaknya infeksi, panastesia/paralise otot
pernafasan (jika kadar kalium menurun tajam), RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton.
 Gastro intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah meringis pada
palpitasi, bising usus lemah/menurun.
 Eliminasi
Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare (bising usus
hiper aktif).
 Reproduksi/sexualitas
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan sulit orgasme
pada wanita
 Muskulo skeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek tendon
menurun kesemuatan/rasa berat pada tungkai.
 Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek, pembesaran tiroid,
demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak, lesi/ulserasi/ulkus.
e. Aspek psikososial
 Stress, anxientas, depresi
 Peka rangsangan
 Tergantung pada orang lain
f. Pemeriksaan diagnostik
 Gula darah meningkat > 200 mg/dl
 Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok
 Osmolaritas serum : meningkat tapi < 330 m osm/lt
 Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik)
 Alkalosis respiratorik
 Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi,
menunjukkan respon terhadap stress/infeksi.
 Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan fungsi ginjal.
 Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut.
 Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I), normal sampai
meningkat pada tipe II yang mengindikasikan insufisiensi insulin.
 Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan
glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
 Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin meningkat.
 Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pada
luka

2. Diagnosa keperawatan/ masalah keperawatan, faktor resiko, NOC, dan NIC


Jawaban :
Diagnosa keperawatan Diabetes Millitus secara teori menurut (Carpenito, Lyna juall. 2000).
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran darah
ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
2) Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
3) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iskemik jaringan.
4) Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka.
5) Ganguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
6) Potensial terjadinya penyebaran infeksi (sepsis) berhubungan dengan tingginya kadar
gula darah.
7) Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
8) Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Intervensi
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik, kehilangan gastrik
berlebihan, masukan yang terbatas.
Data yang mungkin muncul : Peningkatan haluaran urin, urine encer, haus, lemah, BB ,
kulit kering, turgor buruk.
Hasil yang diharapkan : Tanda vital stabil, turgor kulit baik, haluaran urin normal, kadar
elektrolit dalam batas normal.
a) Pantau tanda vital.
R/ Hipovolemia dapat ditandai dengan hipotensi dan takikardi.
b) Kaij suhu, warna kulit dan kelembaban.
R/ Demam, kulit kemerahan, kering sebagai cerminan dari dehidrasi.
c) Pantau masukan dan pengeluaran, catat bj urin
R/ Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairanpengganti, fungsi ginjal dan
keefektifan terapi.
d) Ukur BB setiap hari.
R/ Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dan status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
e) Pertahankan cairan 2500 cc/hari jika pemasukan secara oral sudah dapat diberikan.
R/ Mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi
f) Tingkatkan lingkungan yang nyaman selimuti dengan selimut tipis.
R/ Menghindari pemanasan yang berlebihan pada pasien yang akan menimbulkan
kehilangan cairan.
g) Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah, distensi
lambung.
R/ Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, yang sering
menimbulkan muntah sehingga terjadi kekurangan cairan atau elektrolit.
h) Berikan terapi cairan sesuai indikasi
R/ Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons
pasien secara individual
i) Pasang selang NGT dan lakukan penghisapan sesuai dengan indikasi.
R/ Mendekompresi lambung dan dapat menghilangkan muntah.
2) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak cukupan
insulin, penurunan masukan oral, hipermetabolisme
Data : Masukan makanan tidak adekuat, anorexia, BB , kelemahan, kelelahan, tonus
otot buruk, diare.
Kriteria Hasil : Mencerna jumlah nutrien yang tepat, menunjukkan tingkat energi
biasanya, BB stabil.
a) Timbang BB setiap hari.
R/ Mengkaji pemasukan makananyang adekuat (termasuk absorpsi).
b) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang
dihabiskan pasien.
R/ Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan.
c) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri, abdomen, mual, muntah.
R/ Hiperglikemi dapat menurunkan motilitas/ fungsi lambung (distensi atau ileus
paralitik) yang akan mempengaruhi pilihan intervensi.
d) Identifikasi makanan yang disukai
R/ Jika makanan yang disukai dapat dimasukkan dalam pencernaan makanan,
kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
e) Libatkan keluarga pada perencanaan makan sesuai indikasi
R/ Memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.
f) Kolaborasi dengan ahli diet.
R/ Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi
kebutuhan pasien.
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi
lekosit/perubahan sirkulasi.
Data : –
Kriteria hasil : Infeksi tidak terjadi
a) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
R/ Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan
ketuasidosis atau infeksi nasokomial.
b) Tingkatkan upaya pencegahan dengan mencuci tangan bagi semua orang yang
berhubungan dengan pasien, meskipun pasien itu sendiri.
R/ Mencegah timbulnya infeksi nasokomial.
c) Pertahankan teknik aseptik prosedur invasif
R/ Kadar glukosa tinggi akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
d) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sugguh, massage daerah yang
tertekan. Jaga kulit tetap kering, linen tetap kering dan kencang.
R/ Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan
resiko terjadinya iritasi kulit dan infeksi.
e) Bantu pasien melakukan oral higiene
R/ Menurunkan resiko terjadinya penyakit mulut.
f) Anjurkan untuk makan dan minum adekuat
R/ Menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi.
g) Kolaborasi tentang pemberian antibiotik yang sesuai
R/ Penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.
4) Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi dan mengenali dan mengkompensasi
adanya kerusakan sensori.
Intervensi :
a) Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
Rasional : Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal
b) Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
Rasional : Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan
kontak dengan realitas.
c) Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan
kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
Rasional : Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan
mempertahankan orientasi pada lingkungannya.
d) Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.
Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat,
kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap
kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan.
5) Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
Tujuan :
Mengungkapkan peningkatan tingkat energi dan menunjukkan perbaikan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi :
a) Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat
aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
b) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
Rasional : Mencegah kelelahan yang berlebihan.
c) Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan
aktivitas.
Rasional : Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara
fisiologis.
d) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
toleransi.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat
aktivitas yang dapat ditoleransi.
6) Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi
informasi.
Tujuan :
Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit dan mengidentifikasi hubungan
tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor
penyebab.
Intervensi :
a) )Ciptakan lingkungan saling percayaR
asional : Menanggapai dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien
bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.
b) Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat
pertimbangan dalam memilih gaya hidup.
c) Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
Rasional : Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien
dalam merencanakan makan/mentaati program.
d) Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab
pertanyaan pasien/orang terdekat.
Rasional : Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat.
Faktor Risiko Diabetes Melitus
Kemenkes dalam bulletin Infodatin tahun 2014 dalam rangka Hari Diabetes
Sedunia menyatakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Diabetes Melitus
dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (ras
dan etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan DM, dan riwayat lahir dengan
BBLR atau kurang dari 2500 gram), dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Berat
Badan berlebih, Obesitas abdominal/sentral, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,
dislipidemia, diet tidak sehat/tidak seimbang, dan merokok).
Suyono (2011) menyebut faktor risiko atau penyebab DM tipe 2 dapat
disebabkan oleh: Faktor turunan, obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel),
diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, atau pola makan yang salah, kurang gerak
badan, minum obat-obatan yang dapat menaikkan kadar gula darah, usia (faktor menua),
stress, dan lain-lain.
Sementara itu, faktor risiko DM tipe 2 menurut American Diabetes
Association (ADA) adalah sebagai berikut: Usia ≥ 45 tahun, overweight atau IMT > 25
kg/m2, riwayat penyakit diabetes pada keluarga, gaya hidup kurang bergerak, ras/etnis,
level Gangguan Toleransi Glukosa, Riwayat DM Gestasional atau pernah melahirkan
bayi dengan berat > 9 lbs, hipertensi (> 140/90 mmHg), level HDL Kolesterol < 35
mg/dL, Polycystic Ovarian Syndrome (PCO), dan riwayat penyakit kardiovaskular.
Berikut adalah faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
1) Ras dan etnik
Ras atau etnik adalah sekelompok orang atau negara yang menganggap
memliki keturunan yang sama dan biasanya dipersatukan dengan bahasa, agama,
kultur dan sejarah yang sama (Bruce & Yearly, 2006). Dalam perspektif kesehatan
masyarakat, ras merupakan konsep yang penting karena beberapa penyakit
berhubungan erat dengan aspek biologis dari suatu ras tertentu. Ras berhubungan
dengan interaksi antara gen dan lingkungan (Last, 2001). Ras juga berhubungan
dengan status ekonomi sosial seseorang yang berdampak pada akses terhadap
layanan kesehatan, perilaku sehat, diskriminasi, dan dukungan sosial dalam rangka
peningkatan kesehatan dan penyembuhan penyakit (Codario, 2011).
Konsep ras sering digunakan dalam penelitian kesehatan untuk mengetahui
faktor risiko suatu penyakit. Ras dan etnik berhubungan erat dengan kejadian DM.
Ras Asia lebih berisiko mengalami DM dibanding Eropa. Hal ini disebabkan karena
orang Asia kurang sering melakukan aktivitas dibanding orang Eropa. Kelompok
etnis tertentu seperti India, Cina, dan Melayu lebih berisiko terkena DM. Pengaruh
ras dan etnis terhadap kejadian DM tipe 2 sangat kuat pada masa usia muda. Pada
berbagai studi, kasus DM tipe 2 pada pediatrik kebanyakan terjadi pada ras
noneropa (Nadeau & Dabelea, 2008).
Ras dan etnis minoritas menurut Cordario (2011) memiliki kecenderungan
lebih jarang (bahkan tidak pernah) melakukan pengontrolan kadar gula darah.
Kecenderungan tersebut disebabkan oleh tiga faktor yaitu:
a. Faktor pasien (kepatuhan yang rendah, biologis dan genetik, selera, penolakan
pengobatan, hambatan ekonomi, dan kurangnya akses terhadap jaminan dan
pelayanan kesehatan);
b. Faktor dokter (steretotipe dan bias, managed care, dan hambatan peresepan
obat); dan
c. Faktor sistem kesehatan (bahasa dan budaya, pembiayaan, dan lingkup jaminan
pemeriksaan laboratorium dan pengobatan).
2) Umur
Konsep umur/usia menurut WHO adalah sejumlah waktu yang telah dilalui
seseorang hingga saat ini dengan menghitung hari/tanggal lahir sebagai angka nol
(Last, 2001). Fungsi sel beta pada organ pankreas akan menurun seiring dengan
penambahan/peningkatan usia (Holth & Kumar, 2003). Pada usia 40 tahun
umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis lebih cepat. DM lebih sering
muncul pada usia setelah 40 tahun (Yuliasih & Wirawanni, 2009), terutama pada
usia di atas 45 tahun yang disertai dengan overweight dan obeistas. Penderita DM
di Indonesia sebagian besar pada usia 38-47 tahun dengan proporsi sebesar 25,3%.
Risiko DM makin meningkat sesuai dengan perkembangan usia (Soewondo
& Pramono, 2011). Nainggolan dkk (2013) dalam studinya menunjukan semakin
tua kecenderungan menderita diabetes semakin tinggi. Kelompok umur yang paling
berisiko adalah pada usia 55-64 tahun. Studi Zahtamal dkk (2007) menunjukkan
84% kasus DM dapat dicegah dengan memperhatikan faktor risiko umur, serta
probabilitas terjadinya DM pada usia < 45 tahun dan 45 tahun adalah sekitar 1
berbanding 6.
Sementara Trisnawati dan Setyorogo (2012) menunjukkan terdapat
hubungan antara umur dengan kejadian DM tipe 2 dengan risiko pada kelompok
usia < 45 tahun 72 persen lebih rendah dibanding kelompok usia ≥ 45 tahun.
Sementara menurut Nainggolan dkk (2013) kelompok umur 55-64 tahun memiliki
risiko 14 kali menderita diabetes dibanding kelompok usia 25-34 tahun.
3) Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah penentuan kesadaran, sikap, dan kepercayaan terhadap
gender laki-laki atau perempuan secara kultural (Last, 2001). Baik pria maupun
wanita memiliki risiko yang sama besar mengalami DM. Risiko lebih tinggi dialami
wanita dengan usia di atas 30 tahun dibandingkan pria. Sebuah studi yang dilakukan
oleh Soewondo & Pramono (2011) menunjukkan kejadian DM di Indonesia lebih
banyak menyerang perempuan (61,6%) dengan jenis pekerjaan terbanyak adalah
ibu rumah tangga (27,3%). Demikian pula studi yang dilakukan Nainggolan dkk
(2013) perempuan lebih banyak mengalami diabetes, namun tidak ada perbedaan
risiko antara perempuan maupun laki-laki.
4) Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian dari karakteristik status sosial ekonomi (SES)
seseorang. Menurut Cordario (2011) status ekonomi sosial meliputi pekerjaan,
pendapatan, pendidikan, dan keadilan sosial-ekonomi. Kondisi status ekonomi
seseorang berdampak pada akses terhadap layanan kesehatan, perilaku sehat,
diskriminasi, dan dukungan sosial dalam rangka peningkatan kesehatan dan
penyembuhan penyakit. Pendidikan menjadi modal yang baik bagi seseorang untuk
meningkatkan pola pikir dan perilaku sehat, karena itu pendidikan dapat membantu
seseorang untuk memahami penyakit dan gejalagejalanya (Anderson, 2004).
Berbagai studi menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
tingkat pendidikan dengan kejadian DM tipe 2. Studi yang dilakukan Soewondo
dan Pramono (2011) dan Mongisidi (2014) menunjukkan proporsi populasi yang
mengalami DM di Indonesia sebagian besar ada pada orang dengan pendidikan
sekolah menengah (26%).
5) Pekerjaan
Pekerjaan menggambarkan secara langsung keadaan kesehatan seseorang
melalui lingkungan pekerjaan baik secara fisik dan psikologis (Oakes & Kaufman,
2006 dalam Rothman dkk, 2008). Seperti halnya pendidikan, pekerjaan
menggambarkan status sosial ekonomi seseorang yang berdampak pada bagaimana
orang tersebut mendapat akses pelayanan kesehatan dalam rangka upaya promosi,
preventif dan kuratif. Disamping itu pekerjaan ada kaitannya dengan tingkat stress
dan tekanan serta gaya hidup yang menyebabkan kejadian DM tipe 2.
Studi tentang hubungan pendidikan dengan kejadian diabetes telah banyak
dijalankan, diantaranya yang dilakukan oleh Soewondo dan Pramono (2011) yang
menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian besar risiko DM ada pada ibu rumah
tangga (27,3%) dan pengusaha atau penyedia jasa (20%). Studi Mongisidi (2014)
menunjukkan kejadian diabetes lebih sering dialami pasien yang tidak bekerja.
6) Status Sosial Ekonomi
Status ekonomi dan sosial berdampak pada akses terhadap layanan
kesehatan, perilaku sehat, diskriminasi, dan dukungan sosial dalam rangka
peningkatan kesehatan dan penyembuhan penyakit. Beberapa studi dilakukan
untuk membuktikan Social Economic Statue (SES) berhubungan secara positif
dengan kejadian DM. Makin tinggi status sosial ekonomi, risiko terkena DM
semakin tinggi.
7) Riwayat Polycystic Ovarian Syndrome (PCO)
Polycystic Ovarian Syndrome adalah gangguan sistem endokrin yang
umumnya menyerang wanita yang mempengaruhi usia reproduksi. Berbagai studi
menunjukkan hubungan yang kuat antara PCO dengan kejadian diabetes pada
wanita. Risiko diabetes tipe 2 meningkat pada hampir ¾ wanita dengan PCO. Studi
lain menunjukkan dari seluruh populasi, 4% penderita DM tipe 2 mengalami
obesitas dan PCO. Onset gangguan gula darah pada wanita dengan PCO terjadi
pada usia 30-40 tahun. Meskipun wanita dengan PCO memiliki kadar gula darah
yang normal, namun dengan pengujian yang detail memperlihatkan adanya
gangguan metabolik yang berkontribusi terhadap kejadian DM tipe 2 (Kousta &
Frank, 2006).
Berikut faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1) Overweight
Overweight adalah kondisi tubuh dengan Indeks Massa Tubuh lebih dari 25 kg/m2
(Ahrens & Pigeot, 2005). Risiko DM tipe 2 meningkat bersamaan dengan
peningkatan berat badan (Nadeau & Dabelea, 2008). Menurut Infodatin Kemenkes
(2014) yang bersumber dari Riskesdas tahun 2013, proporsi faktor risiko
kegemukan atau berat badan berlebih (overweight) pada kelompok usia di atas 16-
18 tahun adalah 5,7%, dan 11,5% pada kelompok usia di atas 18 tahun. Data
tersebut juga menunjukkan proporsi faktor risiko kegemukan pada penderita DM
pada usia di bawah 15 tahun cukup tinggi yakni sebesar 20,6%.
2) Obesitas
Obesitas adalah kondisi tubuh dengan Indeks Massa Tubuh lebih dari 30
kg/m2 (Ahrens & Pigeot, 2005). Obesitas merupakan komponen utama dari sindom
metabolik dan secara signifikan beehubungan dengan resistensi insulin.
3) Kurangnya aktivitas
Gaya hidup kurang aktivitas fisik (sedentary life style) turut mempengaruhi
patogenesis kegagalan dalam toleransi glukosa dan merupakan faktor risiko utama
diabetes (Laakso, 2008). Latihan aerobik dapat menunda bahkan mencegah
perkembangan diabetes tipe 2, dengan meningkatkan sensitivitas insulin secara
langsung (Cordario, 2011). Dengan demikian, kurang aktifitas fisik dapat
menyebabkan risiko DM makin tinggi. Faktor risiko DM akibat kurang aktifitas
fisik pada populasi usia 10 tahun ke atas mencapai 26,1% (Kemenkes, 2014). Studi
Soewondo & Pramono (2011) menunjukkan proporsi penderita DM yang kurang
melakukan aktivitas fisik di Indonesia sebesar 72,7%. Menurut Laakso (2008)
risiko wanita yang kurang melakukan aktifitas fisik lebih tinggi menderita diabetes
dibanding yang aktif berolahraga.
4) Hipertensi
Ketidaktepatan penyimpanan garam dan air serta meningkatnya tekanan dari dalam
tubuh pada sirkulasi darah perifer merupakan penyebab tekanan darah berkaitan
erat dengan resistensi insulin sebagai pencetus kejadian diabetes (Fatimah, 2015).
Hipertensi sangat berhubungan dengan risiko perkembangan diabetes melitus tipe
2, serta sebagai prediktor penting terhadap kejadian nefropati, retinopati, dan
kardiovaskuler yang menyertai DM.
5) Diet tidak sehat/tidak seimbang
Tidak dapat dipungkiri bahwa diet merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
seseorang untuk meningkatkan kesehatan. Diet yang sehat dapat melindungi
seseorang dari serangan penyakit kronis, salah satunya adalah diabetes. Bukti-buk
ti epidemiologis menunjukkan seseorang yang secara rutin makan buah-buahan dan
sayuran memiliki risiko yang rendah terkena diabetes tipe 2 (AIHW, 2012).
MODUL C
Aisah, usia 40 tahun, merasa tidak nyaman karena sudah dua minggu ini sering buang air
kecil terutama pada malam hari, Aisah juga mengeluh sering minum, rasanya haus terus.
Sehingga Aisah merasa terganggu tidurnya karena harus sering terbangun. Berat badan
Aisah turun 2 kilo satu bulan ini. Padahal Aisah sehari makan 3 kali dan senang mengemil
makanan, Aisah berpikir kenapa saya banyak makan tetapi kok tidak naik berat badan malah
turun, Aisah ingin sekali kedokter untuk menanyakan sakit apa yang dialaminya?

Kompetensi 1
Pengkajian:
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. A
Umur : 40 tahun
JK :P
2. Anamnesis
a. Keluhan utama
Klien merasa tidak nyaman karena sudah dua minggu ini sering buang air kecil
terutama pada malam hari dan mengalami penurunan berat badan 2 kg dalam 1 bulan
ini
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien merasa tidak nyaman karena sudah dua minggu ini sering buang air kecil
terutama pada malam hari, klien juga mengeluh sering minum, rasanya haus terus.
Klien merasa terganggu tidurnya karena harus sering terbangun. Berat badan klien
dalam satu bulan ini turun 2 kg.
c. Riwayat penyakit dahulu
-
d. Pola Eliminasi
Klien mengeluh sering buang air kecil terutama pada malam hari
e. Pola Istirahat dan Tidur
Klien mengatakan tidurnya terganggu karena seing terbangun pada malam hari
ANALISA DATA 1

No. Tgl/Jam Data Fokus Pathway Etiologi Problem


1. 10 Maret DS: Pasien Kegelisahan, dan Kegelisahan dan Gangguan pola
2018, jam mengatakan kalau sering bangun saat sering bangun saat tidur
07.00 WIB dirinya terganggu malam. malam.
tidur malamnya
karena sering
terbangun untuk
minum dan BAK.
Ansietas
DO: Pasien terlihat
lemas, gelisah, wajah
pucat, konjungtiva
anemis.
TD = ... mmHg
Perubahan sistem
N = .... menit
saraf dan hormonal
R =.... menit
S = ...C
HB = ....g/dL.
GDS = .... mg%.
Ketidaknyamanan
gangguan pola tidur

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan pola tidur b.d sering terbangun di malam hari karena BAK
INTERVENSI KEPERAWATAN

Tgl/jam Dx. Tujuan/Kriteria Intervensi Rasional Paraf


Keperawatan Hasil
10 Gangguan Setelah dilakukan 1) Pantau keadaan 1) Mengetahui
Maret pola tidur b.d tindakan umum pasien dan TTV kesadaran, dan
2018, keperawatan kondisi tubuh
jam selama 2 x 24 jam dalam keadaan
07.00 diharapkan normal atau
WIB pasiendapat istirahat tidak.
tidur malam 2) Kaji Pola Tidur. 2) Untuk mengetahui
optimal denganKH= kemudahan dalam
tidur.
1. Melaporkan istirahat 3) Kaji fungsi 3)Untuk mengetahui
tidur malam yang pernapasan: bunyi tingkat kegelisahan.
optimal. napas, kecepatan,
2. Tidak menunjukan irama.
perilaku gelisah. 4) Kaji faktor yang 4)Untuk
3. Wajah tidak pucat menyebabkan gangguan mengidentifikasi
dan konjungtiva mata tidur (nyeri, takut, penyebab aktual
tidak anemis karena stress, ansietas, dari gangguan
kurang tidur. malam. imobilitas,gangguan tidur.
4. mempertahankan eliminasi seperti sering
(atau membentuk) berkemih,gangguan
pola tidur yang metabolisme, gangguan
memberikan energi transportasi,lingkungan
yang cukup untuk yang asing,
menjalani aktivitas temperature,aktivitas
sehari-hari. yang tidak adekuat).
5) Catat tindakan 5) Untuk memantau
kemampuan untuk seberapa jauh dapat
mengurangikegelisahan bersikap tenang dan
rilex.
6) Ciptakan 6) Untuk membantu
suasananyaman, Kuran relaksasi saat tidur.
gi atau hilangkan
distraksi
lingkungan dan
gangguan tidur.
7) .Batasi pengunjung 7) Tidur akan sulit
selama periode istirahat dilakukan tanpa
yang optimal (mis; relaksasi,
setelah makan).
8) Minta klien untuk 8) Berkemih malam
membatasi asupan hari dapat
cairan pada malam hari mengganggu
dan berkemih tidur.
sebelum tidur.
9) Anjurkan atau 9) Kenyaman dalam
berikan perawatan pada tubuh pasien
petang hari (mis; terkait kebersihan
hygienepersonal, linen diri dan pakai.
dan baju tidur yang
bersih).
10) Memudahkan
10) Gunakan alat
dalam
bantu tidur(misal; air
mendapatkan
hangat untuk kompres
tidur yang
rilaksasi otot, bahan
optimal.
bacaan,pijatan di
punggung, music yang
lembut, dll).
11)Untuk
11) Ajarkan relaksasi
menenangkan
distraksi.
pikiran dari
kegelisahan dan
mengurangi
ketegangan otot
12) Beri obat dengan
12) Pemberian obat
kolaborasi dokter.
sesuai jadwalnya.

ANALISA DATA 2
Tanggal Data Etiologi Masalah
10 Maret Ds : klien mengeluh Bbnya ketidak cukupan insulin, Ketidakseimbangan
2018 turun 2Kg dalam 1 bulan ini, nutrisi kurang dari
penurunan masukan
tetapi ia sering makan 3x kebutuhan
sehari dan sering ngemil oral, hipermetabolisme
Do :
-ku lemah
-bising usus ...x/mnt
- BB dahulu....Kg
- BB sekarang .... Kg
-TTV
T : .....mmHg
S : .....C
N : ....x/mnt RR : ....x/mnt

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak cukupan insulin,
penurunan masukan oral, hipermetabolisme
INTERVENSI KEPERAWATAN

No Hari/ tgl Dx kep Tujuan/KH Intervensi Rasional


1 Minggu, Perubahan nutrisi Setelah diberikan 1. mulai dengan 1.kandungan
10-3- asuhan kep makanan kecil dan makanan dapat
: kurang dari
2018 selama 1x24 jam tingkatkan sesuai mengakibatakan
kebutuhan tubuh pasien akan dengan toleransi. ketidak toleransi
mempertahankan GI,sehingga
berhubungan
kebutuhan nutrisi memerlukan
dengan ketidak yang adekuat,KH perubahan pada
: kecepatan/tipe
cukupan insulin,
-ku baik formula.
penurunan -nafsu makan 2.berikan diet nutrisi 2.macam’’ jenis
meningkat seimbang makanan dapat
masukan oral,
-mukosa lembab dibuat untuk
hipermetabolisme -TTv dalam batas tambahan atau
normal batasan factor
-tidak nyeri tekan tertentu
-bising usus 3.fasilitasi pasien diet 3.konsumsi
normal sesuai dengan indikasi, minuman yang
-tonus otot dan anjurkan mengandung
meningkat menghindari paparan kafein perlu
dari agen iritan. dihindari karena
dapat menstruasi
system saraf
pusat
4.diet yang sesuai
4.kolaborasi dengan
dapat
ahli gizi dalam
mempercepat
pemberian diet
penyembuhan

Manifestasi klinis penyakit diabetes melitus


Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit
DM diantaranya :
5) Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat melebihi
batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula dalam tubuh
relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk
mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada
malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa (PERKENI, 2011).
6) Timbul rasa haus (Polidipsia)
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa oleh
urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan (Subekti, 2009).
7) Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena glukosa
dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup tinggi
(PERKENI, 2011).
8) Peyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil
dan membakar lemak sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).
Menurut (Tjokroprawiro, 2007 ), Gejala klinis DM yang klasik : mula-mula polifagi,
poliuri, dan polidipsi.Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala
Dekompensasi Pankreas, yang disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan
polifagi. Ketiga gejala klasik tersebut diatas disebut pula “TRIAS SINDROM DIABETES
AKUT” bahkan apabila tidak segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan
ketoasidosis diabetik. Gejala kronis DM yang sering muncul adalah lemah badan,
kesemutan, kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering
berubah, sakit sendi dan lain-lain.
Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas walaupun nekrosis,
daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan dan biasanya teraba
pulsasi arteri dibagian distal . Proses mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh
darah, sedangkan secara akut emboli memberikan gejala klinis 5 P yaitu :
a. Pain (nyeri).
b. Paleness (kepucatan).
c. Paresthesia (kesemutan).
d. Pulselessness (denyut nadi hilang)
e. Paralysis (lumpuh).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari fontaine:
a. Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan).
b. Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten
c Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat.
d. Stadium IV : terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus). Smeltzer dan Bare
(2001: 1220).
Klasifikasi Wagner (1983). membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan, yaitu:
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai kelainan
bentuk kaki seperti “ claw,callus “.
Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai
DAFTAR PUSTAKA
Putra, Wayan Ardana dan Khairun Nisa Berawi. 2015. Empat Pilar Penatalaksanaan
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Lampung:Majirity. Vol.4, No.9:8-12.
Elvaretta, Najwa Karya. 2010. Diabetes Melitus dan Askep Diabetes Melitus (DM).
https://nurkayat.wordpress.com/ratna/diabetes-melitus-dan-askep-diabet-militus-
dm/. Diakses tanggal 10 Maret 2018.
Faradila, Dhita. 2015. Askep Teori Dm Penanggulangan Dm Patofisiologi DM.
http://askepteoridm.blogspot.co.id/2015/12/askep-teori-dm-penanggulangan-
dm.html. Diakses tanggal 10 Maret 2018.
Lepsan, Lanai. 2016. Askep Gangguan Pola Tidur.
http://siyulopecri.blogspot.co.id/2011/09/askep-pola-tidur.html. Diakses tanggal
10 Maret 2018

Anda mungkin juga menyukai