Anda di halaman 1dari 37

SUCTIONING

A. Definisi
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri (Timby, 2016).
Suction merupakan suatu cara untuk mengeluarkan secret dari saluran nafas
dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui hidung atau rongga
mulut ke dalam pharyng atau trachea (Nizar dan Haryati, 2015).
Suctioning adalah tindakan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas
dengan mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya
sendiri dengan memasukkan catheter suction ke endotracheal tube atau
saluran pernapasan sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas
yang adekuat (Yuliani, 2018).

B. Indikasi
Menurut (Smeltzer & Bare, 2017 dalam Yuliani, 2018), indikasi penghisapan
lendir lewat endotrakeal adalah untuk :
1. Menjaga jalan nafas tetap bersih (airway maintenance), apabila :
a. Pasien tidak mampu batuk efektif
b. Diduga aspirasi
2. Membersihkan jalan nafas (bronchial toilet), apabila ditemukan ;
a. Pada auskultasi terdengar suara napas yang kasar atau ada suara napas
tambahan
b. Diduga ada sekresi mucus pada saluran pernapasan
c. Apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan beban kerja sistem
pernafasan
3. Pengambilan speismen intuk pemeriksaan laboratorium
4. Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi
5. Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal
C. Komplikasi jika Salah Prosedur Suctioning (Hudak & Gallo, 2010 dalam
Lesmana, Murni, & Anna, 2015) :
1. Penurunan saturasi oksigen
2. Disritmia jantung
3. Hipotensi
4. Peningkatan tekanan intracranial
Menurut (Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani, & Irawati, 2019) pada saat
akan melakukan tindakan suction pada ETT, sangatlah perlu adanya
pemantauan saturasi oksigen, karena saat tindakan suction bukan hanya sekret
yang terhisap, tetapi oksigen juga terhisap. Selain itu saturasi oksigen pada
tindakan suction dipengaruhi oleh banyaknya hiperoksigenasi yang diberikan,
tekanan suction yang sesuai usia, dan besar diameter kanule. Bila hal tersebut
tidak atau kurang diperhatikan maka akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dari suction pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik adalah
terjadinya hipoksia yang ditandai dengan penurunan saturasi oksigen atau
desaturasi (Kozier & Erb, 2012 dalam Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani, &
Irawati, 2019). Menurut (Wiyoto, 2010 dalam Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani,
& Irawati, 2019) apabila suplai oksigen dalam waktu 4 menit tidak terpenuhi
untuk suplai ke otak maka terjadi kerusakan yang permanen, karena itu perlu
dilakukan hiperoksigenasi sebelum dilakukan suction. Upaya untuk
mempertahankan saturasi oksigen setelah dilakukan suction adalah dengan
melakukan hiperoksigenasi pada setiap tindakan suction.
Penelitian yang dilakukan (Moraveji, dkk, 2012 dalam Hayati, Nur,
Rayasari, Sofiani, & Irawati, 2019) di ICU in Zanjan Vali-e-Asr hospital
lyang berjudul “Effect of hyperoxygenation for one minute on ABG during
endotracheal suctioning”, menyimpulkan hiperoksigenasi yang dilakukan satu
menit selama suction menyebabkan perbaikan dan pencegahan hipoksia yang
disebabkan prosedur suction. Menurut Hudak & Gallo, (2013 dalam Hayati,
Nur, Rayasari, Sofiani, & Irawati, 2019) mengatakan komplikasi dari
pemberian oksigen adalah : membrane mukosa menjadi kering, epistaksis,
atau infeksi pada lubang hidung. Bila dalam waktu lama dapat menyebabkan
toksisitas yang tinggi (dapat dilihat pada kasus cedera paru akut atau sindrom
pada gawat nafas akut), atelectasis absorbtif.

D. Kanul Suction
1. Jenis
Jenis kanul suction yang ada dipasaran dapat dibedakan menjadi open
suction dan close suction. Open suction merupakan kanul konvensional,
dalam penggunaannya harus membuka sambungan antara ventilator
dengan ETT pada pasien, sedangkan close suction merupakan kanul
dengan sistem tertutup yang selalu tersamung dnegan sirkuit ventilator dan
penggunaannya tidak perlu membuka konektor sehingga aliran udara yang
masuk tidak terinterupsi.
2. Ukuran suction catheter kit/ selang kateter
Berikut ini adalah ukuran suction catheter kit/ selang kateter :
Dewasa : 12-18 Fr
Anak usia sekolah 6-12 tahun : 8-10 Fr
Anak usia balita : 6-8 Fr
3. Ukuran tekanan suction catheter kit/ selang kateter
Ukuran tekanan suction yang direkomendasikan (Kozier 2012 dalam
Yuliani, 2018) :
Usia suction
Dewasa 80-120 mmHg
Anak-anak 80.100Hg

Ukuran tekanan suction ada yang menggunakan kolopascal (KPa)


dan menggunakan cmHg. Rumus konversi dari satuan mmHg ke satuan
kpa adalah sebagai berikut : 1 mmHg = 0,133 KPa, dan rumus konversi
satuan mmHg ke cmHg adalah 1 mmHg = 0,1 cmHg.
Dalam penelian (Lesmana, Murni, & Anna, 2015) dijelaskan
bahwa “terdapat variasi dalam penggunaan tekanan negatif pada
suctioning baik pada beberapa literatur atau pun beberapa penelitian. Glass
& Grap (1995), merekomendasikan penggunaan tekanan negatif suctioning
pada pasien dewasa sebesar 80 mmHg – 120 mmHg. Kozier, Berman, dan
Snyder (2011) merekomendasikan penggunaan tekanan suction pada
pasien dewasa antara 100 mmHg–120 mmHg. Berman et al., (2009),
merekomendasikan tekanan negatif suction pada pasien dewasa sebesar
100 mmHg–120 mmHg. Hahn (2010), menganjurkan penggunaan tekanan
suction pada pasien dewasa sebesar 70 mmHg–150 mmHg. Mestecky dan
Woodward (2011), menganjurkan tekanan suction antara 100–150 mmHg,
jika sekret kental jangan mencoba meningkatkan tekanan suction tetapi
sekret yang kental dapat dimobilisasi dengan menggunakan humidifikasi
dan tindakan nebulezer. Tekanan 100 mmHg merupakan tekanan negatif
minimal yang dianjurkan untuk melakukan suction tetapi tekanan suction
dapat diatur berdasarkan jumlah dan karakteristik dari sekret yang terdapat
pada jalan nafas, bila tekanan 100 mmHg belum dapat memobilisasi sekret
maka tekanan dapat ditingkatkan menjadi 120 mmHg, tekanan dapat
maksimal hingga 150 mmHg karena bila lebih dari tekanan tersebut dapat
menyebabkan trauma jalan nafas dan hipoksia (Potter & Perry, 2010;
Hahn, 2010; Day et al. 2002)”.
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D4 KEPERAWATAN
SOP SUCTIOINING
Pengertian Suatu tindakan untuk mempertahankan jalan nafas sehingga
memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat
dnegan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu
mengeluaraknnya sendir
Tujuan 1. Menjaga jalan napas tetap bersih
2. Mengambil speismen untuk pemeriksaan lab
3. Mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal
Alat 1. Handscoon
2. Masker
3. Meisn suction
4. Kateter penghisap
5. Larutan garam steril (NACl)
6. Stetoskop
7. O2/Ambubag
8. Spatel lidah
9. Tisu
Dilakukan
No Aktivitas Skor
Ya Tidak
Persiapan pasien dan lingkungan
1. Memberikan salam kepada pasien dan
memperkenalkan diri
2. Identifikasi pasien dengan benar dan
validasi kondisi pasien
3. Kontrak waktu
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur yang
akan dilakukan pada pasien dan keluarga
Pelaksanaan
1. Mencuci tangan
2. Membawa semua peralatan ke
dekat pasien
3. Memberi salam dan memberitahu pasien
bahwa tindakan akan segera dimulai
4. Mengukur kedalaman dan frekuensi
pernapasan serta auskultasi bunyi napas
5. Memastikan fungsi mesin penghisap
dapat berfungsi dnegan baik
6. Mengatur tekanan mesin suction
7. Memberikan O2 sebelum memulai
prosedur
8. Memakai sarung tangan
9. Memasukkan kateter perlahan-lahan
10. Dengan kateter menghisap, katetr
dikeluarkan secraa memutar (0-15 detik),
11. Bersihkan katetr ke dalam NaCl
12. Lakukan langkah ke 10 sampai lender
tidak ada
13. Memberikan oksigen setelah melakukan
penghisapan
14. Melepas sarung tangan
15. Mencuci tangan
16. Mencatat hasil tindakan dan respon klien
dnegan nama/ paraf yang jelas
17. Mencatat waktu tindakan
DAFTAR PUSTAKA

Hayati, Teti., Nur, Busjra.M., Rayasari Fitrian., Sofiana Yani., & Irawati Dina.
2019. Perbandingan Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit dan Dua
Menit pada Proses Suction terhadap Saturasi Oksigen Pasien
Terpasang Ventilator. Journal of Telenursing (JOTING). Vol 1(1). E-
ISSN : 2684-8988).
Nizar, Alif Muhammad dan Haryati, Dwi Susi. 2015. Pengaruh Suction Terhadap
Kadar Saturasi Oksigen pada Pasien Koma di Ruang ICU RSUD Dr.
Moewardi Surakarta Tahuun 2015. (62-69)
Lesmana, Hendy., Murni, Tri Wahyu., dan Anna Anastasia. 2015. Analisis
Dampak Penggunaan Varian Tekanan Suction terhadap Paien
Cedera Kepala Berat. Vol 3(3).
Yuliani. 2018. EVALUASI KOMPETENSI PERAWAT DALAM MELAKUKAN
SUCTION PADA PASIEN CEDERA KEPALA DI RUANG IGD
BEDAH RSUP D. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR.
Skripsi. Fakultas Keperawtaan Universitas Hasanuddin Makassar.
MELAKUKAN EVALUASI TINGKAT KESADARAN

A. Definisi Tingkat Kesadaran


Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan (Kesrawan, 2010).

B. Tujuan Melakukan Evaluasi Tingkat Kesadaran


Memperkirakan prognosis pada seseorang pasien. Penentuan prognosis pasien
di unit perawatan intensive merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Jika
terjadi kesalahan dalam menentukan prognosis maka dapat mengakibatkan
kesalahan dalam pemberian terapi, khususnya yang berkaitan dengan
pengobatan penyakit. Dengan mengetahui prediksi dari suatu prognosis maka
penanganan pada pasien akan menjadi lebih optimal dan dapat memotivasi
tenaga kesehatan untuk memberikan penanganan yang lebih baik. Selain itu
ketika seseorang mengalami penurunan kesadaran dan tidak dilakukan
pemantauan serta penanganan segera maka hal ini akan berdampak buruk
pada pasien, pasien dapat tiba-tiba jatuh pada keadaan koma, dan keadaan
koma yang tidak mengalami perbiakan dapat berlanjut pada keadaan mati
batang otak. Oleh karena itu, diperlukan observasi dan alat ukur observasi
yang teapt untuk dipakai di ruang ICU (Schnakers et. al, 2009 dalam Rudini,
2018).

C. Penyebab Menurunnya Kesadaran


Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan disfungsi otak. Tingkat
kesadaran dapat menurun ketika otak mengalammi kekurnagan oksigen
(hipoksia), kekurangan aliran darah (seperti syok), penyakit metabolic
(seperti DM, Ketoasidosis), peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial), stroke,
infeksi (encephalitis), dan epilepsy (Kesrawan, 2010).

D. Kualitas Kesadaran
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu) memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya)
(Ruhyanudin, 2011 dalam Ansar, 2014).

E. Alat Ukur Tingkat Kesadaran


Saat ini banyak alat ukur yang paling umum digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran yang ditemukan maupun direvisi kembali oleh penemunya. Dari
alat ukur tersebut, berdasarkan studi meta-analysis terdapat tigas alat ukut
yang paling baik dianatra alat-alat ukur lainnya yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), The Full Outilne
Unresponsivess (FOUR) Score, Coma Recovery Scale-Revised (CRS-R).
Ketiga alat ukur ini telah tervalidasi dan telah digunakan di bebrapa rumah
sakit oleh tenaga kesehatan (Fischer, 2010 dalam Rudini, 2018).
1. GCS (Glasgow Coma Scale)
a. Pengertian GCS (Glasgow Coma Scale)
Salah satu alat ukut yang paling umum digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pada pasien di ruang ICU adalah Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang
digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien
dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan. Respon pasien yang perlu
diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan
motorik (Nursingbegin.com, 2009 dalam Ansar, 2014).
b. Kelebihan dan kekurangan GCS
GCS dapat melakukan pengukuran dalam wkatu yangrelatif singkat
dan mudah digunakan. Akan tetapi GCS memiliki beberapa
keterbatasan salah satunya adalah GCS kurang efektif dalam
mengukur respon verbal pada pasien dnegan keadaan koma dan
terpasang alat bantu napas seperti pasien terintubasi ataupun pada
pasien yang terpasang ventilator yang biasa terpasang pada pasien di
ruang rawat ICU (Edwards, 2001 dalam Rudini, 2018).
c. Poin GCS Sumber : (Healthyenthusiast.com, 2014 dalam Ansar,
2014).
1) Membuka mata, nilai total 4
- Buka mata tidak ada meskipun dirangsang : nilai 1
- Buka mata jika ada nyeri : nilai 2
- Buka mata jika diajak bicara/ disuruh : nilai 3
- Buka mata spontan : nilai 4
2) Respon motorik Nilai total : 6
- Respon motor tidak ada : nilai 1
- Respon motor ektensi : nilai
- Respon motor fleksi abnormal : nilai 3
- Respon motor menghindari nyeri : nilai 4
- Respon motor tunjuk/lokalisir nyeri : nilai 5
- Respon motor menurut perintah : nilai 6
3) Respon verbal Nilai total : 5
- Respon verbal tidak ada : nilai 1
- Respon verbal tanpa arti : nilai 2
- Respon verbal tak benar : nilai 3
- Respon verbal bicara ngacau : nilai 4
- Respon verbal orientasi baik : nilai 5
Nilai terendah adalah 3 (respon paling sedikit), nilai tertinggi adalah
15 (paling berespon). Semakin rendah nilai GCS, semakin banyak
defisit dan semakin tinggi tingkat mortalitasnya. Nilai GCS terbukti
konsisten pada regio-regio berbeda dengan mekanisme dan
pengobatan yang berbeda. Penilaian ini juga dapat dilakukan di
lapangan sebelum dibawa ke rumah sakit (Greenberg, 2008 dalam
Ansar, 2014).
d. Cara Penulisan
Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.
Penderita yang sadar = compos mentis GCSnya 15 (4-5-6), sedang
penderita koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak
bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal,
penulisannya X-5-6. Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal,
penulisannya 4-X-6. Atau bila tetra parese sedang E dan V normal,
penulisannya 4-5-X.
Jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
1) Skor 14-15 : compos mentis
2) Skor 12-13 : apatis
3) Skor 11-12 : somnolent
4) Skor 8-10 : stupor 36
5) Skor < 5 : koma (Lenterabiru.com, 2010 dalam Ansar, 2014).
2. The Full Outline of Unresponsiveness (FOUR score)
The Full Outline of Unresponsiveness (FOUR score) merupakan alat
ukur lain yang dapat menilai tingkat kesadaran pasien di ICU. FOUR
score memiliki empat komponen penilaian yaitu: penilaian refleks batang
otak, penilaian mata, respon motorik, serta ada penilaian pola napas yang
abnormal dan usaha napas, dengan skala penilaian pada tiap komponen
1-4. FOUR Score memiliki beberapa keunggulan yaitu terdapat penilaian
refleks batang otak dengan penilaian refleks pupil dan kornea, ketika
refleks tersebut tidak dapat digunakan maka dapat menggunakan refleks
batuk. Selain itu FOUR score juga memiliki komponen penilaian pola
napas abnormal dan usaha napas (respirasi), pada komponen ini untuk
pasien yang tidak terpasang intubasi dapat dinilai pola napas spontan dari
pasien, untuk pasien yang terpasang ventilator mekanik dapat dinilai
gelombang tekanan dari pola pernapasan spontan yang ada pada monitor
ventilator. FOUR score menunjukan validitas dan realibilitas yang baik
dalam menilai tingkat kesadaran. Akan tetapi berdasarkan penelitian
yang berjudul a French validation study of the CRS-R menunjukan
bahwa FOUR Score memiliki keterbatasan dalam menilai tingkat
kesadaran. Keterbatasan tersebut meliputi kegagalan dalam
mengidentifikasi secara akurat pada pasien dengan minimally
consciousness state (MCS) atau adanya perubahan minimal pada status
kesadaran pasienkarena komponen-komponen FOUR score belum
sepenuhnya memenuhi kriteria untuk mendeteksi pasien dengan MCS
dan juga FOUR score tidak memiliki penilai fungsi visual sehingga tidak
mampu untuk menilai fiksasi visual (pusat fokus mata) (Fischer et al.,
2010 dalam Rudini, 2018).
3. Coma Rrecovery Scale- Revised (CRS-R)
Coma Rrecovery Scale- Revised (CRS-R) merupakan alat ukur yang juga
dapat digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien di ICU. CRS-R
terdiri dari enam komponen yaitu: skala fungsi pendengaran yang
memiliki skala penilaian 0-4, skala fungsi visual yang memiliki skala
penilaian 0-5, skala fungsi motorik yang memiliki skala penilaian 0-6,
skala fungsi oromotor/verbal yang memiliki skala penilaian 0-3, skala
komunikasi yang memiliki skala penilaian 0-3, dan skala arousal yang
memiliki skala penilaian 0-35. Total skor dihasilkan dari menjumlahkan
setiap komponen penilaian dari CRS-R. CRS-R memiliki beberapa
keunggulan dalam menilai kesadaran pasien. CRS-R dapat menilai
tingkat kesadaran pasien pada tahap akut maupun kronis serta dapat
digunakan oleh semua tenaga profesional (dengan dan tanpa keahlian
tinggi) untuk menentukan diagnosa yang akurat. Selain itu, CRS-R juga
dapat mengindetifikasi lebih tinggi pasien dengan MCS (minimally
consciousness state) dibandingkan dengan skala lain, karena CRS-R
didasarkan pada ketepatan kiteria diagnostik yang dikembangkan oleh
aspen workgroup serta menggunakan metode administrasi yang efektif
untuk menilai kriteria tersebut. Oleh karena itu CRS-R dapat digunakan
untuk membedakan pasien tersebut dalam keadaan vegetatif atau pasien
tersebut memiliki kesadaran yang minimal (MCS). CRS-R . Dapat
diyakini dapat secara akurat meningkatkan diagnosis diferensial antara
individu dengan gangguan kesadaran, sehingga hal ini berkontribusi pada
pengurangan misdiagnosis (hingga 37%). Uji validitas terhadap CRS-R
menunjukkan adanya korelasi yang bermakna dan uji reliabilitas
menunjukkan hasil yang baik unuk digunakan oleh semua petugas
profesional. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fabio la porta dkk
CRS-R memiliki keterbatasan yaitu CRS-R belum sepenuhnya efektif
dalam menilai locked-in syndrome (LOC) karena penilaian LOC
membutuhkan pengkajian yang berulang, dan juga belum semua rumah
sakit menggunakan CRS-R sebagai alat untuk mengukur tingkat
kesadaran karena kurangnya sosialisasi tentang alat ukur tersebut,
langkah-langkah penggunaan CRS-R ataupun karena hal lainnya
(Giacino, Kalmar, & Whyte, 2004 dalam Rudini, 2018).
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D4 KEPERAWATAN
SOP MENGHITUNG TINGKAT KESADARAN DENGAN
GCS (GLASGOW COMA SCALE)
Dilakukan
No Aktivitas Skor
Ya Tidak
1. Pasien dibaringkan di atas tempat tidur.
2. Nilai status pasien, adakah kelainan gawat yang
harus ditangani terlebih dahulu/tidak.
EYE/MATA
1. Saat mendatangi pasien, pasien spontan
membuka mata dan memandang : skor 4.
2. Pasien membuka mata saat namanya dipanggil
atau diperintahkan untuk membuka mata: skor
3
3. Pasien membuka mata saat dirangsang nyeri
(cubitan) : skor 2
4. Pasien tidak membuka mata dengan pemberian
rangsang apapun: skor 1.
VERBAL
5. Pasien berbicara secara normal dan dapat
menjawab pertanyaan dengan benar (pasien
menyadari bahwa ia ada di rumah sakit,
menyebutkan namanya, alamatnya, dll) : skor 5
6. Pasien dapat berbicara normal tapi tampak
bingung, pasien tidak tahu secara pasti apa
yang telah terjadi pada dirinya, dan
memberikan jawaban yang salah saat ditanya:
skor 4
7. Pasien mengucapkan kata “jangan/stop” saat
diberi rangsang nyeri, tapi tidak bisa
menyelesaikan seluruh kalimat, dan tidak bisa
menjawab seluruh pertanyaan (hanya hanya
kata-kata tidak ada arti) dari : skor 3.
8. Pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama
sekali, dan hanya mengeluarkan suara yang
tidak membentuk kata (bergumam) : skor 2.
9. Pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi
rangsang nyeri (cubitan) : skor 1.
MOTORIK
11. Pasien dapat mengikuti perintah misalkan
“Tunjukkan pada saya 2 jari!” : skor 6.
12. Pasien tidak dapat menuruti perintah, tapi saat
diberi rangsang nyeri (penekanan ujung
jari/penekanan strenum dengan jari-jari tangan
terkepal) pasien dapat melokalisir nyeri : skor
5.
13. pasien berusaha menolak rangsang nyeri
(menghindari nyeri) : skor 4.
saat diberi rangsang nyeri, kedua tangan pasien
menggenggam dan di kedua sisi tubuh di
bagian atas sternum (posisi dekortikasi) atau
fleksi : skor 3.
14. Saat diberi rangsang nyeri, pasien meletakkan
kedua tangannya secara lurus dan kaku di
kedua sisi tubuh (posisi deserebrasi) atau
ekstensi : skor 2
15. pasien tidak bergerak walaupun diberi rangsang
nyeri : skor 1
DAFTAR PUSTAKA

Rudini, Dini. 2018. Efektifitas Antara Alat Ukur Coma Recovery Scale-Revised
(CRS-R), Full Outline Unresponsiveness (FOUR) Score, dan
Glasgow Coma Scale (GCS) dalam Menilai Tingkat Kesadaran
Pasien di Unit Perawatan Intensif Rsud Raden Mattaher Jambi.
Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi. Vol I(1), tahun
2018, (68-74).
Ansar, Ardhy Anzah. 2014. Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat terhadap
Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Trauma
Capitis di Ruang Instalasi Rawat Darurat RSUD Labuang Baji
Makassar. Fakultas Ilmu Kesehatan UIN ALaudiin Makassar.
Kesrawan, Ramz. 2010. Pemeriksaan Kesadaran/Mengukur GCS. Glasgow Coma
Scale (GCS).
https://www.academia.edu/31708040/PEMERIKSAAN_KESAD
ARAN_MENGUKUR_GCS
MENGUKUR TEKANAN DARAH

A. Definisi Tekanan Darah


Tekanan darah adalah suatu gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap
dinding pembuluh darah yang bergantung pada volume darah di dalam
pembuluh darah dan daya regang dari dinding pembuluh darah itu sendiri
(Izzuddin, 2017)

B. Klasifikasi Tekanan Darah


Kategori Tekanan Sistole Tekanan Diastole
(mmHg) (mmHg)
Hipotensi <90 <60
Normal 90-119 60-79
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Tk.1 140-159 90-99
Hipertensi Tk.2 160-179 100-109
Hipertensi Tk. darurat >=180 >= 110
Sumber : (Wiliam Wilkins, 2007)

C. Faktor yang Berhubungan dengan Tekanan Darah


1. Usia
Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang – orang berusia diatas 40
tahun, namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang usia
muda. Sebagian besar hipertensi primer terjadi pada usia 25-45 tahun dan
hanya pada 20% terjadi dibawah usia 20 tahun dan diatas 50 tahun. Hal ini
disebabkan karena orang pada usia produktif jarang memperhatikan
kesehatan, seperti pola makan dan pola hidup yang kurang sehat seperti
merokok (Dhianningtyas & Hendrati, 2006 dalam Anggara dan Prayitno,
2013). Ditemukan kecenderungan peningkatan prevalensi menurut
peningkatan usia dan biasanya pada usia ≥ 40 tahun (Bustan, 1997 dalam
Anggara dan Prayitno, 2013). Hal ini disebabkan karena tekanan arterial
yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, terjadinya regurgitasi
aorta, serta adanya proses degeneratife, yang lebih sering pada usia tua.
Seperti yang dikemukakan oleh (Muniroh, Wirjatmadi & Kuntoro , 2007),
pada saat terjadi penambahan usia sampai mencapai tua, terjadi pula risiko
peningkatan penyakit yang meliputi kelainan syaraf/ kejiwaan, kelainan
jantung dan pembuluh darah serta berkurangnya fungsi panca indera dan
kelainan metabolism pada tubuh.
2. Pendidikan
Penelitian oleh (Anggara dan Prayitno, 2013) menyatakan bahwa “terdapat
hubungan antara pendidikan dengan tekanan darah. Hal ini juga sejalan
dengan hasil Riskesdas (2007) yang menyatakan bahwa penyakit
hipertensi cenderung tinggi pada pendidikan rendah dan menurun sesuai
dengan peningkatan pendidikan. Hubungan ini tidak semata-mata
diakibatkan perbedaan tingkat pendidikan, tetapi tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap gaya hidup sehat dengan tidak merokok, tidak
minum alkohol, dan lebih sering berolahraga (Kivimaki,2004 dalam
Yuliarti,2007). Tingginya risiko terkena hipertensi pada pendidikan yang
rendah, kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan pada
pasien yang berpendidikan rendah terhadap kesehatan dan sulit atau
lambat menerima informasi (penyuluhan) yang diberikan oleh petugas
sehingga berdampak pada prilaku/pola hidup sehat”.
3. Pekerjaan
Penelitian oleh (Anggara dan Prayitno, 2013) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara pekerjaan dengan tekanan darah, karena pekerjaan
berpengaruh kepada aktifitas fisik seseorang. Orang yang tidak bekerja
aktifitasnya tidak banyak sehingga dapat meningkatkan kejadian
hipertensi.
4. IMT
Di dalam penelitian oleh (Anggara dan Prayitno, 2013) menyatakan bahwa
“ada hubungan yang bermakna antara IMT dengan hipertensi (p < 0,05).
Salah satu faktor risiko hipertensi yang dapat dikontrol adalah obesitas.
Risiko hipertensi pada seseorang yang mengalami obesitas adalah 2
hingga 6 kali lebih tinggi dibanding seseorang dengan berat badan normal
(Muniroh, Wirjatmadi, 2007 ). Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa ada 76,9% responden hipertensi yang memiliki IMT yang
menunjukan gizi lebih (obesitas) dan 6,1% yang memiliki IMT yang
menunjukan gizi tidak lebih atau normal. Penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara berat badan dengan hipertensi. Bila berat badan
meningkat diatas berat badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat
(Hull,1996). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Framingham yang
menunjukan bahwa orang yang obesitas akan mengalami peluang
hipertensi 10 kali lebih besar (Dhianningtyas & Hendrati, 2006)”.
5. Merokok
Di dalam penelitian oleh (Anggara dan Prayitno, 2013) menyatakan bahwa
“hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan tekanan
darah. Hubungan merokok dengan hipertensi memang belum jelas.
Menurut literatur, nikotin dan karbondioksida yang terkandung dalam
rokok akan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, elastisitas
pembuluh darah berkurang sehingga menyebabkan tekanan darah
meningkat (Depkes,2007). Mekanisme ini menjelaskan mengapa
responden yang merokok setiap hari memiliki risiko untuk menderita
hipertensi”.
6. Olahraga
Di dalam penelitian oleh (Anggara dan Prayitno, 2013) menyatakan bahwa
“tidak teratur olah raga terbukti adanya hubungan yang bermakna dengan
hipertensi, dengan (p=0,000) ; OR = 44,1; 95% CI = 8,85 – 219,74).
Artinya, orang yang tidak teratur berolah raga memiliki risiko
terkenahipertensi sebesar 44,1 kali dibandingkan dengan orang
yangmemiliki kebiasaan olah raga teratur Olahraga banyak dihubungkan
dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang
melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas
dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya
hipertensi.(suyono, 2001) Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko
menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat
badan.Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus
memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Sheps,
2005, dalam Aris 2007)”.
7. Konsumsi Natrium
Hasil analisis oleh (Anggara dan Prayitno, 2013) menunjukan bahwa
kejadian hipertensi lebih banyak diderita oleh responden yang asupan
natriumnya sering daripada responden yang asupan natriumnya tidak
sering. Menurut Kurniawan, 2002 dalam Anggara dan Prayitno, 2013),
beberapa penelitian menunjukan bahwa rata-rata penurunan asupan
natrium sebesar ± 1,8 gram/ hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik
4mmHg dan diastolik 2mmHg pada penderita hipertensi. Teori lain yang
mendukung yaitu diet tinggi garam dapat memompa lebih keras untuk
mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang makin
sempit yang pada akhirnya menyebabkan tekanan darah semakin
meningkat (Hull, 1996 dalam Anggara dan Prayitno, 2013).
8. Konsumsi Kalium
Hasil analisis oleh (Anggara dan Prayitno, 2013) menunjukan bahwa
kejadian hipertensi lebih banyak diderita oleh responden yang asupan
kaliumnya tidak sering daripada responden yang asupan kaliumnya sering.
Sejalan dengan penelitian (Istiqomah, 2010 dalam Anggara dan
Prayitno, 2013) dimana kejadian hipertensi lebih banyak diderita oleh
responden yang jarang mengkonsumsi kalium dibandingkan yang sering
mengkonsumsi kalium sebanyak. Meningkatnya jumlah penderita
hipertensi ternyata berhubungan dengan berubahnya rasio natrium: kalium
dalam makanan yang dikonsumsi. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa
penderita hipertensi setelah sering mengkonsumsi makanan yang
mengandung kalium ternyata tekanan darahnya kembali normal. Berbeda
dengan natrium, kalium merupakan ion utama didalam cairan intraseluler.
Cara kerja kalium kebalikan dari natrium. Banyak mengkonsumsi kalium
akan meningkatkan konsentrasi di dalam cairan intraseluler sehingga
cenderung menaikkan cairan dibagian ekstraseluler dan menurunkan
tekanan darah (Puspitorini, 2008 dalam Istiqomah, 2010) Kalium
merupakan mineral penting yang membantu ginjal berfungsi fisiologis dan
merupakan elektrolit yang berperan sebagai listrik tubuh bersama dengan
natrium, klorida dan magnesium. Bagi responden lansia terjaddi
penurunan kemampuan fungsi berbagai organ dan sistem yang terdapat
didalam tubuhnya sehingga konsumsi kalium sangat dibutuhkan karena
berperan penting menjaga fungsi jantung, otot rangka dan kontraksi otot
polos untuk fungsi pencernaan dan geraknya.

D. Perbedaan Posisi saat Pengukuran Tekanan Darah


1. Menurut Arwani, 2007 perbedaan hasil pengukuran tekanan darah anatara
lengan kiri dan kanan menunjukkan selisih rata-rata tekanan sistolik antara
lengan kanan dan lengan kiri sebesar 4,0716 mmHg dan selisih rata-rata
tekanan diastolik sebesar 3,4194 mmHg. Sedangkan penghitungan secara
terpisah pada masing-masing individu menunjukkan ratarata selisih
tekanan darah antara lengan kanan dan lengan kiri sebesar 15,2581 mmHg.
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara hasil pengukuran tekanan darah yang dilakukan di lengan
kanan dan hasil pengukuran tekanan darah yang dilakukan di lengan kiri.
2. Menurut penelitian (Nurwijayani, Indrayati, dan Ariqoh, 2019)
menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara hasil pengukuran
tekanan darah sistol pada posisi berbaring ddan posisi berdiri pada pasien
hipertensi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tekanan darah sistolik
pada posisi berbaring lebih rendah dibanding dengan posisi berbaring,
sedangkan untuk diastolic tidak ada perbedaan yang bermakna antara hasil
pengukuran tekanan darah diastolik pada posisi berbaring dan posisi
berdiri pada pasien hipertensi.
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D4 KEPERAWATAN
SOP MELAKUKAN PENGUKURNA TEKANAN DARAH

Alat 1. Tensimeter
2. Stetoskop
Dilakukan
No Aktivitas Skor
Ya Tidak
1. Siapkan tensimeter dan stetoskop
2. Pemeriksa meminta izin kepada pasien /
keluarga pasien
3. Memberikan penjelasan sehubungan dengan
pemeriksaan yang akan dilakukan
4. Berikan pasien posisi duduk atau berbaring
5. Lengan dalam keadaann bebas dan relaks,
bebaskan karena tekanan pakaian (baju
digulung)
6. Pasang manset sedemikian rupa sehingga
melingkari lengan atas secara rapid an tidak
terlalu ketat, kira-kira 2,5-5 cm di atas siku
7. Carilah arteri brachialis, biasanya terleta di
sebelah medial tendo bisep
8. Dengan tiga jari meraba arteri brachialis,
pompa manset dengan cepat sampai kita-kita
30 mmHg di atas ketika pulsasi arteri brachialis
menghilang
9. Turunkan tekanan manset perlahan-lahan
sampai denyutan arteri brachialis teraba
kembali. Inilah tekanan sistolik palpatoir
10. Sekarang ambil stetoskop, pasang corong bel
stetoskop pada arteri brachialis
11. Pompa manset kembali, sampaia kurang lebih
30 mmHg di atas arteri brachialis palpatoi
12. Secara perlahan turunkan manset dengan
kecepatan kira-kira 2-3mmHg per detik.
Perhatikan saat dimana denyutan arteri
brachialis terdengar. Inilah tekanan sistolik.
Lanjutkanlah penurunan tekanan manset
sampai suara denyutan melemah dan kemuian
menghilang. Tekanan pada saat itulah tekanan
diastolic
13. Apabila menggunakan tensimeter air raksa,
usahakan agar posisi manometer selalu vertical,
dan pada waktu membaca hasilnya, mata harus
berada segaris horizontal dengan level air raksa
14. Catat hasil systole dan diastole hasil
pengukuran
15. Lepaskan manset dan stetoskop
Sumber : Bakri dan Bachtiar, 2014
DAFTAR PUSTAKA

Angga, Feby Haendra Dwi. Dan Prayitno, Nanang. 2012. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telag aMurni,
Cikarang Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan 5(1), 20-25.
Arwani. 2007. Analisis Perbedaan Hasil Pengukuran Tekanan Darah antara
Lengan Kanan dengan Lenhan Kiri pada Penderita Hipertensi di
RSUD DR H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Medis Ners, Vol 1(2),
49-57.
Bakri, Syakib dan Bachtiar, Rini Rachmawarni. 2014. Buku Pnaduan Pendidikan
Keterampikan Klinik 1. Fakultas KedokteranUniversitas Hasanuddin
Makassar.
Izuddin, Mohd Khairu. 2017. Gambaran Elektrokardiogram Berdasarkan
Klarifikasi Tekanan Darah. Fakultas Kedokteran Universitas
Hsanuddin Makassar.
Nurwijayanti, Andriyani Mustika, Indrayati, Novi., dan Ariqoh, Miska Nur. 2019.
Perbedaan Hasil Pengukuran Tekanan Darah Posisi Berbaring dan
Berdiri pada Penderita Hipertensi. Jurnal Keperawatan vol 11(1), 27-
32. ISSN, 2549-8118.
MELAKUAKAN PEREKAMAN EKG

A. Pengertian EKG
1. Elektrokardiogram (EKG) adalah rekaman potensial listrik yang timbul
akibat aktivitas jantung. Yang dapat direkam adalah potensial-potensial
listrik yang timbul pada waktu otot-otot jantung berkontraksi. Meskipun
potensial listrik yang timbul akibat depolarisasi satu sel otot jantung
sangat kecil, tetapi depolarisasi sejumlah besar otot jantung yang
memiliki posisi sejajar secara bersamaan dapat menimbulkan potensial
listrik yang dapat terukur dari luar tubuh dalam ukuran miliVolt (Buku
Panduan Kursus BCLS, 2014).
2. EKG adalah suatu gambaran dari potensial listrik yang dihasilkan oleh
aktivitas listrik otot jantung yang diambil dengan elektrokardiograf yang
ditampilkan melalui monitor atau dicetak pada kertas dalam bentuk
gelombang EKG atau gelombang PQRST (Putri, Miranda, dan
Suryaningsih. 2017)
3. EKG adalah instrumen medis yang digunakan untuk memonitor kondisi
jantung pasien. (Surtono, Junaidi, & Pauzi, 2016)

B. Tujuan Pemasangan EKG


1. Merekam aktivitas elektrik jantung
2. Menegtahui kelainan-kelainan irama jantung (airtmia)
3. Mengetahui kelainan miokardium
4. Mengetahui adanya pengaruh efek obat terhadap jantung
5. Mengetahui adanya gangguan pericarditis
6. Mengetahui adanya gangguan elektrolit

C. Prinsip Dasar Pengukuran Elektrokardiografi


Untuk mendapatkan sinyal jantung manusia dilakukan dengan cara
menempelkan elektroda di tubuh manusia. Istilah “lead” didefinisikan sebagai
susunan spasial sepasang elektroda atau suatu pasangan elektroda yang
merupakan kombinasi beberapa elektroda melalui jaringan resistif (resistive
network). Satu lead ditandai “+” dan yang lain ditandai “-“. Penempatan
elektroda menentukan arah rekaman lead yang disebut sumbu lead atau sudut
lead. Sumbu ditentukan oleh arah dari elektroda negatif ke elektroda positif.
Alat EKG menghitung besarnya beda potensial listrik antara elektroda positif
dan elektroda negatif (Bao, 2003 dalam Rosyandi, 2016). Dalam lead 12 lead
dikelompokkan menjadi 3, yaitu sebagai berikut :
a) Lead Standar Bipolar atau dikenal dengan lead Einthoven, yaitu lead I,
lead II , dan lead III.
b) Lead standar unipolar (Augmented Extremity Leads), yaitu lead aVR,aVL
dan aVF.
a) Lead Precordial(Lead Dada) atau lead Wilson, yaitu V1,V2,V3,V4,V5
dan V6.
1. Lead Standar Bipolar
Lead standar bipolar merekam perbedaan potensial dari 2 elektrode. Lead
ini terlihat seperti gambar di bawah ini
Gambar Lead Standar Bipolar
a. Lead I = merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan
tangan kiri (LA). Tangan kanan pada potensial (-) dan tangan kiri
pada potensial (+).
b. Lead II : merekam beda potensial antara tangan kanan (RA)
dengan kaki kiri (LF). Tangan kanan pada potensial (-) dan kaki
kiri pada potensial (+).
c. Lead III : merekam beda potensial antara tangan kiri (LA) dengan
kaki kiri (LF). Tangan kiri pada potensial (-) dan kaki kiri pada
potensial (+)

2. Lead Standar Unipolar (Augmented Extremity Leads)


Lead ini mengukur tegangan suatu titik ukur terhadap tegangan rerata dua
titik lainnya, menggabungkan kombinasi dua polar sehingga menghasilkan
aVR, aVL dan aVF seperti gambar di bawah ini
Gambar. Lead Ekstremitas unipolar ditingkatkan

a. Lead aVL dihasilkan dari perbedaan antara muatan LA yang dibuat


bermuatan positif dengan RA dan LF yang dibuat indifferent sehingga
listrik bergerak ke arah -30 derajat (sudutnya ke arah lateral kiri).
Dengan demikian, bagian lateral jantung dapat dilihat juga oleh Lead
aVL.

b. LeadaVF dihasilkan dari perbedaan antara muatan LF yang dibuat


bermuatan positif dengan RA dan LA dibuat indifferent sehingga
listrik bergerak ke arah positif 90 derajat (tepat ke arah inferior).
Dengan demikian, bagian inferior jantung selain lead II dan III dapat
juga dilihat oleh Lead aVF.

c. Lead aVR dihasilkan dari perbedaan antara muatan RA yang dibuat


bermuatan positif dengan LA dan LF dibuat indifferent sehingga
listrik bergerak ke arah berlawanan dengan arah listrik jantung -150
derajat (ke arah ekstrem).

Lead - lead ini belum cukup sempurna untuk mengamati adanya kelainan
di seluruh permukaan jantung. Oleh karena itu, sudut pandang akan
dilengkapi dengan lead prekordial (lead dada).
3. Lead Precordial ( Lead Dada )
Lead prekordial V1, V2, V3, V4, V5, dan V6 ditempatkan secara
langsung di dada. Karena terletak dekat jantung, 6 lead itu tidak
memerlukan augmentasi. Terminal sentral Wilson digunakan untuk
elektrode negatif, dan lead-lead tersebut dianggap unipolar. Lead
prekordial memandang aktivitas jantung di bidang horizontal. Sumbu
kelistrikan jantung di bidang horizontal disebut sebagai sumbu Z.
Penempatan prekordial lead ditunjukkan pada gambar di bawah ini

Lead V1, V2, dan V3 disebut sebagai lead prekordial kanan sedangkan
V4, V5, dan V6 disebut sebagai lead prekordial kiri.

D. Sensor EKG
Sensor yang digunakan untuk mendeteksi denyut jantung adalah sensor
elektroda seperti tampak pada gambar di bawah ini. Elektroda adalah
sensor/tranduser yang mengubah energi ionis dari sinyal jantung menjadi
enegi elektris untuk akuisisi dan pengolahan datanya. Elektroda ini
ditempelkan pada permukaan kulit pasien pada lokasi yang sudah ditentukan
yang disebut sandapan atau leads. Elektroda yang dipakai adalah jenis tempel
dengan bahan dari perak klorida (AgCl).

Gambar. A. bagian-bagian elektroda. B. Elektroda


E. Karakteristik EKG
Komite elektrokardiografi perkumpulan jantung Amerika (Committee on
Electrocardiography of American Heart Association, AHA) dan banyak
organisasi lainnya telah membuat rekomendasi untuk standarisasi EKG.
Beberapa rekomendasi untuk desain instrumentasi EKG antara lain adalah:
a. Instrumen mempunyai kemampuan mendeteksi sinyal lemah dalam
rentang 0,05 – 10 mV, sedangkan sinyal EKG normal adalah 2 mV.
b. Impedans masukan antara elektroda dan latar (ground) hendaknya kurang
dari 5 MΩ pada frekuensi 10 Hz, sementara sinyal EKG mempunyai
impedans sumber tinggi.
c. Respon frekuensi instrumen hendaknya dalam rentang 0,05 Hz – 150 Hz.
d. Instrumen tidak mengijinkan arus bocor lebih dari 10 μA mengalir
melewati pasien.
Dibuat isolasi agar pasien terpisah dari rangkaian AC. 6) Instrumen
hendaknya memiliki CMRR tinggi pada bagian penguat
Awal (Bao, 2003 dalam Rosyandi, 2016).
Untuk memenuhi rekomendasi tersebut maka desain sistem instrumen EKG
umumnya terdiri atas lima pokok tahapan/bagian, yaitu (Chen, et.all, 2008
dalam Rosyandi, 2016):
a. Tahap pertama adalah suatu elektrode (transduser), misalnya Ag-AgCl,
yang mengubah sinyal EKG ke dalam tegangan elektris (dalam orde mV)
b. Tahap kedua adalah suatu penguat yang berfungsi untuk memperkuat
sinyal yang lemah dari elektrode. Biasanya digunakan penguat
instrumentasi dan dalam instrumentasi medik disebut penguat bioelektrik
(biopotensial). Penguat bioelektrik dibutuhkan memiliki nilai CMRR
yang tinggi, minimal 90 dB, agar dapat memperkecil derau tegangan
bersama (common mode noise).
c. Tahap ketiga adalah isolasi, yang berfungsi mengamankan pasien dari
bahaya kejutan listrik.
d. Tahap keempat adalah penapis (tapis), berfungsi untuk menapis berbagai
derau yang mengganggu sinyal EKG murni. Penapis yang digunakan
adalah tapis pelewat bidang agar melewatkan sinyal pada jangkauan
frekuensi sinyal EKG, 0,05 Hz – 150 Hz.
e. Tahap kelima adalah penampil sinyal EKG, dapat berupa osiloskop atau
display monitor lainnya.

F. Gelombang EKG
Elektrokardiogram atau sinyal EKG merupakan sinyal AC dengan bandwith
antara 0.05 Hz sampai 100 Hz (Najeb, 2005 dalam Rosyandi, 2016).
Parameter isyarat EKG seperti tampak pada gambar 2.11 di bagian
sebelumnya, terdiri atas sebuah gelombang P, gelombang QRS dan
gelombang T.
1. Gelombang P
Gelombang P terjadi selama depolarisasi atrium normal ketika vektor
listrik utama diarahkan dari nodus SA (sinoatrial) ke nodus AV
(atrioventrikular), dan menyebar dari atrium kanan ke atrium kiri. Vektor
akan membentuk gelombang P di EKG, yang tegak pada sadapan II, III,
dan aVF karena aktivitas kelistrikan umum sedang menuju elektrode
positif di sadapan-sadapan itu, dan membalik disadapan aVR karena
vektor ini sedang berlalu dari elektrode positif untuk sadapan itu.
Hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS membantu
membedakan sejumlah aritmia jantung. Bentuk dan durasi gelombang P
dapat menandakan pembesaran atrium (Nazmah,2011).

2. Interval PR
Interval PR diukur dari awal gelombang P ke awal kompleks QRS.
Interval PR merupakan gambaran dari gelombang EKG yang menyatakan
lamanya waktu perjalanan yang diperlukan sebelum mendepolarisasi otot
vertikal. Pada pencatatan EKG, ini berhubungan dengan 3-5 kotak kecil
atau 3 mm-5 mm atau 0,12 detik-0,20 detik. Jika interval PR kurang dari
3mm (<3mm) menandakan adanya peningkatan perjalanan atau bypass
untuk mendepolarisasi ventrikal. Dan jika Interval PR lebih dari 5mm
(>5mm) menandakan adanya AV blok atau Heart blok ( Nazmah,2011).
3. Segmen PR
Segmen PR mulai dari akhir gelombang P sampai awal komplek QRS
atau awal gelombang Q. Segmen PR adalah bagian dari Interval PR yang
menyatakan erapa lama waktu yang diperlukan AV Node untuk menunda
implus yang diterimanya sebelum mendepolirisasi otot vertical
( Nazmah,2011).
4. Gelombang Q
Gelombang Q adalah gelombang pada EKG yang menggambarkan
adanya aktivitas listrik jantung yang sedang terjadi di septal ventrikel,
dengan depolarisasi otot ventrikel. Gelombang Q merupakan gelombang
yang terdefleksi negatif pertama setelah gelombang P. Pada keadaan
normal gelombang Q tidak boleh melebihi 1/3 atau 25 % dari gelombang
R. Jika gelombang Q melebihinya, maka dinamakan dengan gelombang Q
patologis ( Nazmah,2011).

5. Gelombang R
Gelombang R adalah gelombang positif pertama setelah gelombang Q.
Gelombang R merupakan bagian gambaran gelombang EKG yang terjadi
pada saat otot ventrikel mengalami depolarisasi. Pada keadaan normal
gelombang EKG memiliki gelombang R kecil di V1 sampai V6
( Nazmah,2011).

6. Gelombang S
Gelombang S adalah gelombang negatif kedua setelah gelombang R.
Gelombang S merupakan bagian dari gambaran gelombang EKG yang
terjadi pada saat otot ventrikel mengalami depolarisasi ( Nazmah,2011).
7. Kompleks QRS
Kompleks QRS adalah gambaran EKG yang menyatakan adanya proses
depolarisasi di kedua ventrikal sehingga kedua ventrikal bisa
berkontraksi. Kompleks QRS diukur mulai dari awal kompleks QRS atau
awal gelombang Q sampai dengan akhir kompleks QRS atau gelombang
S. Pada prakteknya akan ditemukan morfologi kompleks QRS yang
bermacam-macam. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semua gelombang
menyatakan gambaran depolarisasi dari kedua otot ventrikal yang
menyebabkan otot kedua ventrikal berkontraksi (Nazmah,2011).

8. Segmant ST
Segmen ST menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T. Memiliki
durasi 0,08-0,12 s (80-120 ms). Segmen ini bermula di titik persimpangan
antara kompleks QRS dan segmen ST dan berakhir di awal gelombang T.
Namun, karena biasanya sulit menentukan dengan pasti di mana segmen
ST berakhir dan gelombang T berawal, hubungan antara segmen ST dan
gelombang T harus ditentukan bersama ( Nazmah,2011).

9. Gelombang T
Gelombang T menggambarkan repolarisasi atau kembalinya ventrikel.
Interval dari awal kompleks QRS ke puncak gelombang T disebut sebagai
periode refraksi absolut. Separuh terakhir gelombang T disebut sebagai
periode refraksi relatif. Pada sebagian besar sadapan, gelombang T
bernilai positif. Namun, gelombang T negatif biasanya berada di sadapan
aVR. Sadapan V1 bisa memiliki gelombang T yang positif, negatif, atau
bifase.

10. Interval QT
Interval QT merupakan gambaran EKG yang menyatakan waktu yang
diperlukan untuk mendepolarisasi otot vertrikel sampai otot ventrikal
mengalami repolarisasi.
Interval QT diukur dari awal kompleks QRS ke akhir gelombang T.
Interval QT yang normal biasanya sekitar 0,40 s (Nazmah,2011). Besar
amplitudo sinyal EKGtergantung pada pemasangan elektroda dan pada
kondisi fisik pasien. Variabel-variabel klinis yang penting dari sinyal
EKG antara lain magnitudo, polaritas dan durasi waktu. Variasi dari
tanda-tanda tersebut dapat mengindikasikan sebuah penyakit.

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D4 KEPERAWATAN
SOP PEREKAMAN EKG

Pengertian EKG adalah instrumen medis yang digunakan untuk memonitor


kondisi jantung pasien
Tujuan 1. Merekam aktivitas elektrik jantung
2. Menegtahui kelainan-kelainan irama jantung (airmia)
3. Mengetahui kelainan miokardium
4. Mengetahui adanya pengaruh efek obat terhadap jantung
5. Mengetahui adanya gangguan pericarditis
6. Mengetahui adanya gangguan elektrolit
Alat 1. Mesin EKG
2. Jelly electrode
3. Kertas EKG
4. Tissue
5. Buku Dokumentasi
6. Kapas Alkohol
Dilakukan
No Aktivitas Skor
Ya Tidak
1. Petugas menyiapkan alat
2. Menjelaskan kepada pasien tentang tujuan
tindakan pemeriksaan EKG
3. Melepaskan alat logam yang digunakan pasien
termasuk gigi palsu
4. Menganjurkan pasien untuk berbaring dengan
badan tidak bergerak selama prosedur
berlangsung
5. Menjelaskan kepada pasien untuk tidak
memegang pagar tempat tidur
6. Mencuci tangan
7. Menutup sampiran
8. Membuka pakaian atas pasien
9. Membersihkan area ekstremitas dan dada pada
elektroda
10. Memberikan jelly pada area pemasangan dan
pada elektroda
11. Memasang elektroda ekstremitas atas pada
pergelangan tangan searah dengan telapak
tangan dan ekstremitas bawah pada
pergelangan kaki kanan dan kiri sebelah dalam
dengan posisi pemasangan sebagai berikut :
1. Merah di lengan kanan (RA)
2. Kuning di lengan kiri (LA)
3. Hijau di tungkai kiri (LL)
4. Hitam di tungkai kanan (RL)
12. Memasang electrode dada dengan posisi
sebagai berikut :
1. V1 : pada intercostal ke 4 kanan
2. V2 : pada intercostal ke 4 kiri
3. V3 : pada intercostal ke 4-5 antara V2 dan
V4
4. V4 : pada intercostal ke 5 linea
midclavicularis kiri
5. V5 : horizontal terhadap V4, dilinea
aksilaris interior
6. V6 : horizontal terhadap V5, pada linea
mid-axilaris
13. Menyalakan power on mesin EKG
14. Melakukan rekaman 12 lead
15. Setelah selesai, matikan power mesin EKG dan
lepaskan kabel / elektroda dan tubuh pasien
kemudian bersihkan sisa jelly yang menempel
dengan tissue
16. Membersihkan alat
17. Mencuci tangan
Sumber : SOP Puskesmas Sleman 1

DAFTAR PUSTAKA

Namzah, A. 2011. Cara Praktis dan Sistematis Belajar Membaca


Elektrokardiograf (EKG). Jakarta : Gramedia.
Subagjo, Agus, dkk. 2014. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar.
Putri, Rara Amita., Miranda, Jajat YUdha., dan Suryaningsih Sri. 2017. Rancang
Bangun Wireless Elektrokardiogram (EKG). Jurnal Ilmu dan Indovasi
Fisika. Vol 1(1), 58-64.
Surtono, Arif, Junaidi, dan Pauzi, Gurun Ahmad. 2016. Deteksi Miokard Infark
Jnatung pada Rekaman Elektrokardiogram Menggunakan Elevasi
Segmen ST. Jurnal Teori dan Aplikasi Fisika. Vol 4(1), 119-124.
Rosyanda, Alvionita. 2016. Pemanfaatan Sound Card Komputer untuk Simulator
Elektrokardiogram (EKG). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai