A. Definisi
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri (Timby, 2016).
Suction merupakan suatu cara untuk mengeluarkan secret dari saluran nafas
dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui hidung atau rongga
mulut ke dalam pharyng atau trachea (Nizar dan Haryati, 2015).
Suctioning adalah tindakan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas
dengan mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya
sendiri dengan memasukkan catheter suction ke endotracheal tube atau
saluran pernapasan sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas
yang adekuat (Yuliani, 2018).
B. Indikasi
Menurut (Smeltzer & Bare, 2017 dalam Yuliani, 2018), indikasi penghisapan
lendir lewat endotrakeal adalah untuk :
1. Menjaga jalan nafas tetap bersih (airway maintenance), apabila :
a. Pasien tidak mampu batuk efektif
b. Diduga aspirasi
2. Membersihkan jalan nafas (bronchial toilet), apabila ditemukan ;
a. Pada auskultasi terdengar suara napas yang kasar atau ada suara napas
tambahan
b. Diduga ada sekresi mucus pada saluran pernapasan
c. Apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan beban kerja sistem
pernafasan
3. Pengambilan speismen intuk pemeriksaan laboratorium
4. Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi
5. Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal
C. Komplikasi jika Salah Prosedur Suctioning (Hudak & Gallo, 2010 dalam
Lesmana, Murni, & Anna, 2015) :
1. Penurunan saturasi oksigen
2. Disritmia jantung
3. Hipotensi
4. Peningkatan tekanan intracranial
Menurut (Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani, & Irawati, 2019) pada saat
akan melakukan tindakan suction pada ETT, sangatlah perlu adanya
pemantauan saturasi oksigen, karena saat tindakan suction bukan hanya sekret
yang terhisap, tetapi oksigen juga terhisap. Selain itu saturasi oksigen pada
tindakan suction dipengaruhi oleh banyaknya hiperoksigenasi yang diberikan,
tekanan suction yang sesuai usia, dan besar diameter kanule. Bila hal tersebut
tidak atau kurang diperhatikan maka akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dari suction pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik adalah
terjadinya hipoksia yang ditandai dengan penurunan saturasi oksigen atau
desaturasi (Kozier & Erb, 2012 dalam Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani, &
Irawati, 2019). Menurut (Wiyoto, 2010 dalam Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani,
& Irawati, 2019) apabila suplai oksigen dalam waktu 4 menit tidak terpenuhi
untuk suplai ke otak maka terjadi kerusakan yang permanen, karena itu perlu
dilakukan hiperoksigenasi sebelum dilakukan suction. Upaya untuk
mempertahankan saturasi oksigen setelah dilakukan suction adalah dengan
melakukan hiperoksigenasi pada setiap tindakan suction.
Penelitian yang dilakukan (Moraveji, dkk, 2012 dalam Hayati, Nur,
Rayasari, Sofiani, & Irawati, 2019) di ICU in Zanjan Vali-e-Asr hospital
lyang berjudul “Effect of hyperoxygenation for one minute on ABG during
endotracheal suctioning”, menyimpulkan hiperoksigenasi yang dilakukan satu
menit selama suction menyebabkan perbaikan dan pencegahan hipoksia yang
disebabkan prosedur suction. Menurut Hudak & Gallo, (2013 dalam Hayati,
Nur, Rayasari, Sofiani, & Irawati, 2019) mengatakan komplikasi dari
pemberian oksigen adalah : membrane mukosa menjadi kering, epistaksis,
atau infeksi pada lubang hidung. Bila dalam waktu lama dapat menyebabkan
toksisitas yang tinggi (dapat dilihat pada kasus cedera paru akut atau sindrom
pada gawat nafas akut), atelectasis absorbtif.
D. Kanul Suction
1. Jenis
Jenis kanul suction yang ada dipasaran dapat dibedakan menjadi open
suction dan close suction. Open suction merupakan kanul konvensional,
dalam penggunaannya harus membuka sambungan antara ventilator
dengan ETT pada pasien, sedangkan close suction merupakan kanul
dengan sistem tertutup yang selalu tersamung dnegan sirkuit ventilator dan
penggunaannya tidak perlu membuka konektor sehingga aliran udara yang
masuk tidak terinterupsi.
2. Ukuran suction catheter kit/ selang kateter
Berikut ini adalah ukuran suction catheter kit/ selang kateter :
Dewasa : 12-18 Fr
Anak usia sekolah 6-12 tahun : 8-10 Fr
Anak usia balita : 6-8 Fr
3. Ukuran tekanan suction catheter kit/ selang kateter
Ukuran tekanan suction yang direkomendasikan (Kozier 2012 dalam
Yuliani, 2018) :
Usia suction
Dewasa 80-120 mmHg
Anak-anak 80.100Hg
Hayati, Teti., Nur, Busjra.M., Rayasari Fitrian., Sofiana Yani., & Irawati Dina.
2019. Perbandingan Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit dan Dua
Menit pada Proses Suction terhadap Saturasi Oksigen Pasien
Terpasang Ventilator. Journal of Telenursing (JOTING). Vol 1(1). E-
ISSN : 2684-8988).
Nizar, Alif Muhammad dan Haryati, Dwi Susi. 2015. Pengaruh Suction Terhadap
Kadar Saturasi Oksigen pada Pasien Koma di Ruang ICU RSUD Dr.
Moewardi Surakarta Tahuun 2015. (62-69)
Lesmana, Hendy., Murni, Tri Wahyu., dan Anna Anastasia. 2015. Analisis
Dampak Penggunaan Varian Tekanan Suction terhadap Paien
Cedera Kepala Berat. Vol 3(3).
Yuliani. 2018. EVALUASI KOMPETENSI PERAWAT DALAM MELAKUKAN
SUCTION PADA PASIEN CEDERA KEPALA DI RUANG IGD
BEDAH RSUP D. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR.
Skripsi. Fakultas Keperawtaan Universitas Hasanuddin Makassar.
MELAKUKAN EVALUASI TINGKAT KESADARAN
D. Kualitas Kesadaran
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu) memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya)
(Ruhyanudin, 2011 dalam Ansar, 2014).
Rudini, Dini. 2018. Efektifitas Antara Alat Ukur Coma Recovery Scale-Revised
(CRS-R), Full Outline Unresponsiveness (FOUR) Score, dan
Glasgow Coma Scale (GCS) dalam Menilai Tingkat Kesadaran
Pasien di Unit Perawatan Intensif Rsud Raden Mattaher Jambi.
Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi. Vol I(1), tahun
2018, (68-74).
Ansar, Ardhy Anzah. 2014. Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat terhadap
Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Trauma
Capitis di Ruang Instalasi Rawat Darurat RSUD Labuang Baji
Makassar. Fakultas Ilmu Kesehatan UIN ALaudiin Makassar.
Kesrawan, Ramz. 2010. Pemeriksaan Kesadaran/Mengukur GCS. Glasgow Coma
Scale (GCS).
https://www.academia.edu/31708040/PEMERIKSAAN_KESAD
ARAN_MENGUKUR_GCS
MENGUKUR TEKANAN DARAH
Alat 1. Tensimeter
2. Stetoskop
Dilakukan
No Aktivitas Skor
Ya Tidak
1. Siapkan tensimeter dan stetoskop
2. Pemeriksa meminta izin kepada pasien /
keluarga pasien
3. Memberikan penjelasan sehubungan dengan
pemeriksaan yang akan dilakukan
4. Berikan pasien posisi duduk atau berbaring
5. Lengan dalam keadaann bebas dan relaks,
bebaskan karena tekanan pakaian (baju
digulung)
6. Pasang manset sedemikian rupa sehingga
melingkari lengan atas secara rapid an tidak
terlalu ketat, kira-kira 2,5-5 cm di atas siku
7. Carilah arteri brachialis, biasanya terleta di
sebelah medial tendo bisep
8. Dengan tiga jari meraba arteri brachialis,
pompa manset dengan cepat sampai kita-kita
30 mmHg di atas ketika pulsasi arteri brachialis
menghilang
9. Turunkan tekanan manset perlahan-lahan
sampai denyutan arteri brachialis teraba
kembali. Inilah tekanan sistolik palpatoir
10. Sekarang ambil stetoskop, pasang corong bel
stetoskop pada arteri brachialis
11. Pompa manset kembali, sampaia kurang lebih
30 mmHg di atas arteri brachialis palpatoi
12. Secara perlahan turunkan manset dengan
kecepatan kira-kira 2-3mmHg per detik.
Perhatikan saat dimana denyutan arteri
brachialis terdengar. Inilah tekanan sistolik.
Lanjutkanlah penurunan tekanan manset
sampai suara denyutan melemah dan kemuian
menghilang. Tekanan pada saat itulah tekanan
diastolic
13. Apabila menggunakan tensimeter air raksa,
usahakan agar posisi manometer selalu vertical,
dan pada waktu membaca hasilnya, mata harus
berada segaris horizontal dengan level air raksa
14. Catat hasil systole dan diastole hasil
pengukuran
15. Lepaskan manset dan stetoskop
Sumber : Bakri dan Bachtiar, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Angga, Feby Haendra Dwi. Dan Prayitno, Nanang. 2012. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telag aMurni,
Cikarang Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan 5(1), 20-25.
Arwani. 2007. Analisis Perbedaan Hasil Pengukuran Tekanan Darah antara
Lengan Kanan dengan Lenhan Kiri pada Penderita Hipertensi di
RSUD DR H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Medis Ners, Vol 1(2),
49-57.
Bakri, Syakib dan Bachtiar, Rini Rachmawarni. 2014. Buku Pnaduan Pendidikan
Keterampikan Klinik 1. Fakultas KedokteranUniversitas Hasanuddin
Makassar.
Izuddin, Mohd Khairu. 2017. Gambaran Elektrokardiogram Berdasarkan
Klarifikasi Tekanan Darah. Fakultas Kedokteran Universitas
Hsanuddin Makassar.
Nurwijayanti, Andriyani Mustika, Indrayati, Novi., dan Ariqoh, Miska Nur. 2019.
Perbedaan Hasil Pengukuran Tekanan Darah Posisi Berbaring dan
Berdiri pada Penderita Hipertensi. Jurnal Keperawatan vol 11(1), 27-
32. ISSN, 2549-8118.
MELAKUAKAN PEREKAMAN EKG
A. Pengertian EKG
1. Elektrokardiogram (EKG) adalah rekaman potensial listrik yang timbul
akibat aktivitas jantung. Yang dapat direkam adalah potensial-potensial
listrik yang timbul pada waktu otot-otot jantung berkontraksi. Meskipun
potensial listrik yang timbul akibat depolarisasi satu sel otot jantung
sangat kecil, tetapi depolarisasi sejumlah besar otot jantung yang
memiliki posisi sejajar secara bersamaan dapat menimbulkan potensial
listrik yang dapat terukur dari luar tubuh dalam ukuran miliVolt (Buku
Panduan Kursus BCLS, 2014).
2. EKG adalah suatu gambaran dari potensial listrik yang dihasilkan oleh
aktivitas listrik otot jantung yang diambil dengan elektrokardiograf yang
ditampilkan melalui monitor atau dicetak pada kertas dalam bentuk
gelombang EKG atau gelombang PQRST (Putri, Miranda, dan
Suryaningsih. 2017)
3. EKG adalah instrumen medis yang digunakan untuk memonitor kondisi
jantung pasien. (Surtono, Junaidi, & Pauzi, 2016)
Lead - lead ini belum cukup sempurna untuk mengamati adanya kelainan
di seluruh permukaan jantung. Oleh karena itu, sudut pandang akan
dilengkapi dengan lead prekordial (lead dada).
3. Lead Precordial ( Lead Dada )
Lead prekordial V1, V2, V3, V4, V5, dan V6 ditempatkan secara
langsung di dada. Karena terletak dekat jantung, 6 lead itu tidak
memerlukan augmentasi. Terminal sentral Wilson digunakan untuk
elektrode negatif, dan lead-lead tersebut dianggap unipolar. Lead
prekordial memandang aktivitas jantung di bidang horizontal. Sumbu
kelistrikan jantung di bidang horizontal disebut sebagai sumbu Z.
Penempatan prekordial lead ditunjukkan pada gambar di bawah ini
Lead V1, V2, dan V3 disebut sebagai lead prekordial kanan sedangkan
V4, V5, dan V6 disebut sebagai lead prekordial kiri.
D. Sensor EKG
Sensor yang digunakan untuk mendeteksi denyut jantung adalah sensor
elektroda seperti tampak pada gambar di bawah ini. Elektroda adalah
sensor/tranduser yang mengubah energi ionis dari sinyal jantung menjadi
enegi elektris untuk akuisisi dan pengolahan datanya. Elektroda ini
ditempelkan pada permukaan kulit pasien pada lokasi yang sudah ditentukan
yang disebut sandapan atau leads. Elektroda yang dipakai adalah jenis tempel
dengan bahan dari perak klorida (AgCl).
F. Gelombang EKG
Elektrokardiogram atau sinyal EKG merupakan sinyal AC dengan bandwith
antara 0.05 Hz sampai 100 Hz (Najeb, 2005 dalam Rosyandi, 2016).
Parameter isyarat EKG seperti tampak pada gambar 2.11 di bagian
sebelumnya, terdiri atas sebuah gelombang P, gelombang QRS dan
gelombang T.
1. Gelombang P
Gelombang P terjadi selama depolarisasi atrium normal ketika vektor
listrik utama diarahkan dari nodus SA (sinoatrial) ke nodus AV
(atrioventrikular), dan menyebar dari atrium kanan ke atrium kiri. Vektor
akan membentuk gelombang P di EKG, yang tegak pada sadapan II, III,
dan aVF karena aktivitas kelistrikan umum sedang menuju elektrode
positif di sadapan-sadapan itu, dan membalik disadapan aVR karena
vektor ini sedang berlalu dari elektrode positif untuk sadapan itu.
Hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS membantu
membedakan sejumlah aritmia jantung. Bentuk dan durasi gelombang P
dapat menandakan pembesaran atrium (Nazmah,2011).
2. Interval PR
Interval PR diukur dari awal gelombang P ke awal kompleks QRS.
Interval PR merupakan gambaran dari gelombang EKG yang menyatakan
lamanya waktu perjalanan yang diperlukan sebelum mendepolarisasi otot
vertikal. Pada pencatatan EKG, ini berhubungan dengan 3-5 kotak kecil
atau 3 mm-5 mm atau 0,12 detik-0,20 detik. Jika interval PR kurang dari
3mm (<3mm) menandakan adanya peningkatan perjalanan atau bypass
untuk mendepolarisasi ventrikal. Dan jika Interval PR lebih dari 5mm
(>5mm) menandakan adanya AV blok atau Heart blok ( Nazmah,2011).
3. Segmen PR
Segmen PR mulai dari akhir gelombang P sampai awal komplek QRS
atau awal gelombang Q. Segmen PR adalah bagian dari Interval PR yang
menyatakan erapa lama waktu yang diperlukan AV Node untuk menunda
implus yang diterimanya sebelum mendepolirisasi otot vertical
( Nazmah,2011).
4. Gelombang Q
Gelombang Q adalah gelombang pada EKG yang menggambarkan
adanya aktivitas listrik jantung yang sedang terjadi di septal ventrikel,
dengan depolarisasi otot ventrikel. Gelombang Q merupakan gelombang
yang terdefleksi negatif pertama setelah gelombang P. Pada keadaan
normal gelombang Q tidak boleh melebihi 1/3 atau 25 % dari gelombang
R. Jika gelombang Q melebihinya, maka dinamakan dengan gelombang Q
patologis ( Nazmah,2011).
5. Gelombang R
Gelombang R adalah gelombang positif pertama setelah gelombang Q.
Gelombang R merupakan bagian gambaran gelombang EKG yang terjadi
pada saat otot ventrikel mengalami depolarisasi. Pada keadaan normal
gelombang EKG memiliki gelombang R kecil di V1 sampai V6
( Nazmah,2011).
6. Gelombang S
Gelombang S adalah gelombang negatif kedua setelah gelombang R.
Gelombang S merupakan bagian dari gambaran gelombang EKG yang
terjadi pada saat otot ventrikel mengalami depolarisasi ( Nazmah,2011).
7. Kompleks QRS
Kompleks QRS adalah gambaran EKG yang menyatakan adanya proses
depolarisasi di kedua ventrikal sehingga kedua ventrikal bisa
berkontraksi. Kompleks QRS diukur mulai dari awal kompleks QRS atau
awal gelombang Q sampai dengan akhir kompleks QRS atau gelombang
S. Pada prakteknya akan ditemukan morfologi kompleks QRS yang
bermacam-macam. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semua gelombang
menyatakan gambaran depolarisasi dari kedua otot ventrikal yang
menyebabkan otot kedua ventrikal berkontraksi (Nazmah,2011).
8. Segmant ST
Segmen ST menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T. Memiliki
durasi 0,08-0,12 s (80-120 ms). Segmen ini bermula di titik persimpangan
antara kompleks QRS dan segmen ST dan berakhir di awal gelombang T.
Namun, karena biasanya sulit menentukan dengan pasti di mana segmen
ST berakhir dan gelombang T berawal, hubungan antara segmen ST dan
gelombang T harus ditentukan bersama ( Nazmah,2011).
9. Gelombang T
Gelombang T menggambarkan repolarisasi atau kembalinya ventrikel.
Interval dari awal kompleks QRS ke puncak gelombang T disebut sebagai
periode refraksi absolut. Separuh terakhir gelombang T disebut sebagai
periode refraksi relatif. Pada sebagian besar sadapan, gelombang T
bernilai positif. Namun, gelombang T negatif biasanya berada di sadapan
aVR. Sadapan V1 bisa memiliki gelombang T yang positif, negatif, atau
bifase.
10. Interval QT
Interval QT merupakan gambaran EKG yang menyatakan waktu yang
diperlukan untuk mendepolarisasi otot vertrikel sampai otot ventrikal
mengalami repolarisasi.
Interval QT diukur dari awal kompleks QRS ke akhir gelombang T.
Interval QT yang normal biasanya sekitar 0,40 s (Nazmah,2011). Besar
amplitudo sinyal EKGtergantung pada pemasangan elektroda dan pada
kondisi fisik pasien. Variabel-variabel klinis yang penting dari sinyal
EKG antara lain magnitudo, polaritas dan durasi waktu. Variasi dari
tanda-tanda tersebut dapat mengindikasikan sebuah penyakit.
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D4 KEPERAWATAN
SOP PEREKAMAN EKG
DAFTAR PUSTAKA