Anda di halaman 1dari 78

DESAIN INOVATIF KEPERAWATAN KRITIS

STUDI KASUS : PENERAPAN 10 DETIK LAMA WAKTU SUCTION


DAN HIPEROKSIGENASI 1 MENIT
DI RSUD Dr. R. SOEPRAPTO CEPU

NAMA : HERI SULISTIYONO


NIM : P1337420920074

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan suatu ruangan yang dilengkapi
dengan perlengkapan khusus yang ditujukkan untuk mengelola pasien yang
terancam jiwanya dan mengalami penurunan kesadaran dan dalam fase kritis
(Musliha, 2010). Perlengkapan peralatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
mempunyai standar meliputi alat untuk membantu usaha bernafas melalui selang
Mayo yang tersambung dengan ventilasi mekanik. Indikasi dari pemasangan alat
ventilasi mekanik salah satunya adalah gagal nafas (Musliha, 2010). Dikatakan
gagal napas bilamana pertukaran oksigen atau O2 terhadap karbondioksida atau
CO2 didalam organ paru-paru tidak dapat memelihara laju O2 dan CO2 didalam
sel-sel tubuh manusia. Sehingga peningkatan tekanan CO2 lebih besar dari 45
mmHg atau hiperkapnia dan tekanan O2 arteri kurang dari 50 mmHg atau
hipoksemia.
Selang Mayo merupakan jalan nafas buatan yang dimasukan melalui mulut
sampai trakea. Tindakan ini digunakan untuk memasukan oksigen dari ventilator
mekanik. Mayo merupakan konektor yang digunakan untuk ventilasi mekanik.
Mayo yang telah terpasang memerlukan perhatian khusus dalam menjaga
kebersihan dari akumulasi sekret, sehingga patensi jalan nafas menjadi tetap
terjaga. Pemasangan selang Mayo akan menyebabkan gangguan kebersihan jalan
nafas. Ganguan kebersihan jalan nafas disebabkan oleh penumpukan sekret
dikarenakan Selang Mayo akan mencegah menutupnya glotis. Akibatnya pasien
tidak dapat batuk efektif sebagai pembersihan normal dari sekret. Selang Mayo
oleh tubuh dianggap sebagai benda asing sehingga tubuh akan meningkatkan
produksi sekret sebagai kompensasi fisiologis tubuh. Oleh karena itu, tindakan
suction dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret dan mengkondisikan jalan nafas
agar tetap paten (Morton, 2011).
Untuk menjaga kepatenan jalan nafas akibat penumpukan sekresi tersebut,
tindakan yang dilakukan adalah penghisapan lendir (suctioning). Melakukan
tindakan suction yaitu dengan cara selang kateter suction dimasukkan melalui
mulut pada selang Mayo. Tindakan suction dilakukan untuk membersihkan jalan
nafas dari sekret atau sputum dan juga untuk menghindari dari infeksi jalan nafas
(Price & Wilson, 2011)
Suction merupakan suatu tindakan keperawatan yang sering dilakukan
di ruangan perawatan intensif, terlebih pada pasien yang terpasang Selang Mayo.
Suction dilakukan dengan cara menghisap sekret yang ada pada saluran
pernafasan yang bertujuan untuk membersihkan sekret tersebut karena
ketidakmampuan klien untuk melakukannya secara mandiri (Hudak & Gallo,
2010). Jika klien mengeluarkan sekret yang banyak, tindakan suction dapat
diberikan 3 kali sehari. Selain untuk mengatasi masalah bersihan jalan nafas,
tindakan suction sangat diperlukan, karena pada pasien terpasang ventilasi mekanik
terjadi kontaminasi mikroba dijalan nafas dan berkembangnya Ventilator
Assosiated Pnemonia (VAP) (Kozier & Erb, 2012). Terjadinya VAP dikarenakan
secara umum pasien yang terpasang ETT mempunyai respon tubuh yang sangat
lemah untuk batuk, dengan demikian tindakan suction sangat diperlukan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kitong (2014) dan
Muhaji (2017), didapatkan kesimpulan bahwa tindakan suction dapat meningkatkan
saturasi oksigen pasien. Apabila suction tidak dilakukan pada pasien dengan
gangguan kebersihan jalan nafas, maka pasien tersebut akan mengalami
kekurangan suplai oksigen dan apabila oksigen tidak terpenuhi dalam 4-6
menit akan menyebabkan kerusakan sel-sel otak. Dalam pemberian tindakan
suction, waktu yang dianjurkan adalah selama 10-15 detik. Apabila waktu yang
digunakan lebih dari 15 detik akan meningkatkan hipoksia karena oksigen di jalan
nafas ikut terhisap (Morton, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Muhaji (2017) tekanan yang efektif untuk suction adalah 140 mmHg pada pasien
dewasa.
Komplikasi dari suction pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik
adalah terjadinya hipoksia yang ditandai dengan penurunan saturasi oksigen atau
desaturasi (Kozier & Erb, 2012). Apabila suplai oksigen dalam waktu 4 menit tidak
terpenuhi untuk suplai ke otak maka otak terjadi kerusakan yang permanen, karena
itu perlu dilakukan hiperoksigenasi sebelum dilakukan suction. Upaya untuk
mempertahankan saturasi oksigen setelah dilakukan suction adalah dengan
melakukan hiperoksigenasi pada setiap tindakan suction.
Hiperoksigenasi adalah pemberian oksigen konsentrasi tinggi (100%) yang
bertujuan untuk menghindari hipoksemi akibat suction (Kozier &Erb, 2012).
Teknik yang terbaik didalam menghindari hipoksemia yang diakibatkan tindakan
suction adalah dengan hiperoksigenasi. Dengan demikian pada semua prosedur
suction, tindakan hiperoksigenasi harus dilaksanakan (Kozier & Erb, 2012).
Upaya dalam meminimalkan berkurangnya suplai oksigen akibat tindakan
suction adalah dengan cara pemilihan tekanan, lama waktu, ukuran kateter suction
dan hiperoksigenasi usai suction yang tepat. Prosedur suction harus dilakukan
dalam waktu yang singkat untuk meminimalkan resiko hipoksemia, lama waktu
suction 10 detik lebih efektif dalam meningkatkan saturasi oksigen dibandingkan
lama waktu 15 detik maka dapat menjadi rujukan dalam melakukan tindakan
suction untuk meminimalkan resiko hipoksemia.
Tindakan hiperoksigenasi efektif pada proses suctioning terhadap saturasi
oksigen pasien dengan ventilator mekanik, dengan P< 0,005. Hiperoksigenasi yang
dilakukan satu menit selama suction menyebabkan perbaikan dan pencegahan
hipoksia yang disebabkan prosedur suction. Menurut Hudak & Gallo, (2013)
mengatakan komplikasi dari pemberian oksigen adalah : membrane mukosa
menjadi kering, epistaksis, atau infeksi pada lubang hidung. Bila dalam waktu lama
dapat menyebabkan toksisitas yang tinggi (dapat dilihat pada kasus cedera paru
akut atau sindrom pada gawat nafas akut), atelectasis absorbtif.
Pemberian hiperoksigenasi pre suction sebanyak 2 menit dan
hiperoksigenasi diberikan lagi 2 menit bila saturasi oksigen post suction <95%.
Untuk tindakan suction dilakukan selama 15 detik. Hal ini tidak tepat karena
pemberian hiperoksigenasi maksimal diberikan 2 menit pada prosedur suction.
Untuk tindakan suction harusnya dilakukan maksimal 10 detik, karena bila lebih
dari 10 detik beresiko terjadi hipoksia (Kozier & Erb, 2012). Pemberian
hiperoksigenasi diberikan 30 detik pre suction, suction 10 detik hiperoksigenasi 30
detik.
B. Tujuan
1. Umum
Tujuan umum adalah untuk mengidentifikasi respon klien dengan
pemberian suction pada klien gangguan airway selama diberikan intervensi
berdasar Evidence Based Practice di Ruang IGD RSUD Dr. R. Soeprapto
Cepu..
2. Khusus
a. Mengidentifikasi gambaran respon klien sebelum diberikan suction 10 detik
dan hiperoksigenasi 1 menit
b. Mengidentifikasi gambaran respon klien setelah diberikan suction 10 detik
dan hiperoksigenasi 1 menit
c. Mengidentifikasi respon klien selama pemberian suction 10 detik dan
hiperoksigenasi pre post 1 menit
C. Manfaat
1. Bagi klien
Pemberian suction dengan hiperoksigenasi 100% dan dilakukan secara cepat
maka akan mengurangi rasa sakit selama dilakukan suction serta tidak
mengalami sesak napas akan kurangnya pasokan oksigen.
2. Pelayanan keperawatan
Sebagai bahan kajian untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di IGD dan
dapat dijadikan standar operasional prosedur dalam pemberian suction.
3. Institusi pendidikan
Sebagai salah satu bacaan ilmiah penerapan evidence based nursing pada
keperawatan kritis di IGD mengenai prosedur suction.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep masalah keperawatan
A. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
1. Pengertian
Bersihan jalan napas tidak efektif merupakan suatu keaadaan dimana
individu mengalami ancaman yang nyata atau potensial berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk batuk secara efektif. Pengertian lain juga
menyebutkan bahwa bersihan jalan napas tidak efektif merupakan
ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten. Pneumonia merupakan peradangan
pada parenkim paru, yang biasanya berhubungan dengan terisinya alveoli
oleh cairan. Jadi, bersihan jalan napas tidak efektif pada pneumonia
merupakan suatu masalah keperawatan yang ditandai dengan
ketidakmampuan batuk secara efektif atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten pada pasien yang mengalami
peradangan parenkim paru (Carpenito, 2013).
2. Penyebab
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), penyebab dari bersihan
jalan napas tidak efektif antara lain :
1) Spasme jalan napas
2) Hipersekresi jalan napas
3) Disfungsi neuromuscular
4) Benda asing dalam jalan napas
5) Adanya jalan napas buatan
6) Sekresi yang tertahan
7) Hyperplasia dinding jalan napas
8) Proses infeksi dan respon alergi
9) Efek agen farmakologis
Terdapat beberapa penyebab bersihan jalan napas yang telah
disebutkan, namun penyebab yang mungkin pada terjadinya masalah
bersihan jalan napas tidak efektif pada pneumonia yaitu proses infeksi,
respon alergi, dan sekresi yang tertahan.
Penyebab terjadinya pneumonia yaitu
1) Bakteri : Streptococus pneumonia, Staphylococus aerus.
2) Virus : Influenza, parainfluenza, adenovirus, virus sinsisial pernapasan,
hantaravirus, rhinovirus, virus herpes simpleks, cytomegalovirus,
micoplasma, pneumococcus, streptococcus, staphylococcus.
3) Jamur : candidiasis, histoplasma, aspergifosis, coccidiodo mycosis,
cryptococosis, pneumocytis carinii
4) Aspirasi : makanan, cairan lambung
5) Inhalasi : racun atau bahan kimia, rokok, debu dan gas.
3. Patofisiologi
Pneumonia terjadi akibat inhalasi mikroba yang ada diudara, aspirasi
organisme dari nasofaring, atau penyebaran hematogen dari focus infeksi
yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran pernapasan, masuk
ke bronkiolus dan alveoli lalu menimbulkan reaksi peradangan hebat dan
menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan
interstitial. Bakteri pneumokokus dapat meluas melalui porus kohn dari
alveoli ke alveoli diseluruh segmen lobus. Timbulnya hepatisasi merah
adalah akibat perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru.
Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit
dan fibrin serta relatif sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi
melebar sehingga mengurangi luas permukaan alveoli untuk pertukaran
oksigen dengan karbondioksida. Peradangan yang terjadi dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sputum. Jika pasien tidak
dapat batuk secara efektif, berkurangnya luas permukaan alveoli serta
peningkatan produksi sputum akan menyebabkan terjadinya obstruksi jalan
napas sehingga akan menimbulkan bersihan jalan napas tidak efektif
(Bararah & Jauhar, 2013).
4. Manifestasi klinis
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului infeksi saluran
pernapasan atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 400 C, sesak napas, nyeri
dada, dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning
hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri
perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala. Retraksi (penarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam saat bernapas bersama dengan peningkatan
frekuensi napas). Perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah,
dan ronki (Bararah & Jauhar, 2013).
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), gejala dan tanda pada
masalah bersihan jalan napas tidak efektif antara lain
a. Batuk tidak efektif
b. Tidak mampu batuk
c. Sputum berlebih
d. Mengi atau wheezing, dan/ ronki kering
e. Mekonium dijalan napas (neonates)
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia pada anak antara lain
a. Oksigen 1-2 L/menit.
b. IVFD dekstrose 10 % : NaCl 0,9% = 3 : 1, + KCl 10 mEq/500 ml
cairan. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status
hidrasi.
c. Jika sesak tidak terlalu berat, dapat dimulai makanan enteral bertahap
melalui selang nasogastrik dengan feeding drip.
d. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.
e. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
f. Antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :
Untuk kasus pneumonia community base
 Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian.
 Kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
Untuk kasus pneumonia hospital base
 Sefatoksim 100 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian.
 Amikasin 10-15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
(Bararah & Jauhar, 2013)
6. Komplikasi
Menurut Bararah & Jauhar (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada
bersihan jalan napas tidak efektif jika tidak ditangani antara lain
a. Hipoksemia
Merupakan keadaan di mana terjadi penurunan konsentrasi
oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi oksigen arteri (SaO2) di
bawah normal (normal PaO2 85-100 mmHg, SaO2 95%). Pada neonatus,
PaO2 < 50 mmHg atau SaO2 < 88%. Pada dewasa, anak, dan bayi, PaO2
< 60 mmHg atau SaO2 < 90%. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan
ventilasi, perfusi, difusi, pirau (shunt), atau berada pada tempat yang
kurang oksigen. Pada keadaan hipoksemia, tubuh akan melakukan
kompensasi dengan cara meningkatkan pernapasan, meningkatkan stroke
volume, vasodilatasi pembuluh darah, dan peningkatan nadi. Tanda dan
gejala hipoksemia di antaranya sesak napas, frekuensi napas dapat
mencapai 35 kali per menit, nadi cepat dan dangkal serta sianosis.
b. Hipoksia
Merupakan keadaan kekurangan oksigen di jaringan atau tidak
adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen seluler akibat defisiensi
oksigen yang diinspirasi atau meningkatnya penggunaan oksigen pada
tingkat seluler. Hipoksia dapat terjadi setelah 4-6 menit ventilasi berhenti
spontan. Penyebab lain hipoksia yaitu
1) Menurunnya hemoglobin
2) Berkurangnya konsentrasi oksigen.
3) Ketidakmampuan jaringan mengikat oksigen
4) Menurunnya difusi oksigen dari alveoli kedalam darah seperti pada
pneumonia
5) Menurunnya perfusi jaringan seperti pada syok
6) Kerusakan atau gangguan ventilasi
c. Perubahan pola napas
Frekuensi pernapasan normal pada anak berbeda pada masing –
masing usia
 Bayi baru lahir 35-40x/menit
 Bayi 6 bulan 30-50x/menit
 Toddler 2 tahun 25-32x/menit
 Anak-anak 20-30x/menit
 Dewasa 16-24x/menit
Perubahan pola napas dapat berupa hal – hal sebagai berikut.
 Dispneu, yaitu kesulitan bernapas
 Apneu, yaitu tidak bernapas atau berhenti bernapas
 Takipneu, pernapasan yang lebih cepat dari normal
 Bradipneu, pernapasan lebih lambat dari normal
 Kussmaul, pernapasan dengan panjang ekspirasi dan inspirasi
sama, sehingga pernapasan menjadi lambat dan dalam.
 Cheyney-stokes, merupakan pernapasan cepat dan dalam kemudian
berangsur – angsur dangkal dan diikuti periode apneu yang
berulang secara teratur.
 Biot, adalah pernapasan dalam dan dangkal disertai masa apneu
dengan periode yang tidak teratur.
2.2 Konsep intervensi keperawatan
A. Suction
1. Definisi
Suction Mayo yaitu membersihkan sekret dari saluran selang mayo
disamping membersihkan sekret, suction juga merangsang reflek batuk.
Prosedur ini memberikan patensi jalan nafas sehingga mengoptimalkan
kembali pertukaran oksigen dan karbondioksida dan juga mencegah pneumonia
karena penumpukan sekret. Dilakukan berulang-ulang sesuai dengan tanda-
tanda penumpukan sekret dijalan nafas pasien, prosedur suction menggunakan
prinsip steril (Kozier & Erb, 2012). Suction adalah suatu tindakan untuk
membersihkan jalan nafas dengan memakai kateter penghisap melalui
nasotrakeal tube (NTT), orotraceal tube (OTT), traceostomy tube (TT) pada
saluran pernafasan bagian atas.
2. Indikasi
Menurut Kozier & Erb (2012) indikasi dilakukannya suction selang
Mayo pada pasien adalah bila terjadi gurgling (suara nafas berisik seperti
berkumur), cemas, susah/kurang tidur, snoring (mengorok), penurunan tingkat
kesadaran, perubahan warna kulit, penurunan saturasi oksigen, penurunan
pulse rate (nadi), irama nadi tidak teratur, respiration rate menurun dan
gangguan patensi jalan nafas.
Menurut Smeltzer (2013), indikasi penghisapan lendir lewat endotrakeal
adalah untuk:
1) Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance), apabila
a. Pasien tidak mampu batuk efektif.
b. Diduga aspirasi
2) Membersihkan jalan napas (bronchial toilet), apabila ditemukan:
a. Pada auskultasi terdengar suara napas yang kasar atauu ada suara
napas tambahan
b. Diduga ada sekresi mucus pada saluran pernapasan.
c. Apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan beban kerja
sistem pernafasan
3) Pengambilan specimen untuk pemeriksaan laboratorium
4) Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi
5) Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal
Prosedur ini dikontraindikasikan pada klien yang mengalami
kelainan yang dapat menimbulkan spasme laring terutama sebagai akibat
penghisapan melalui trakea gangguan perdarahan, edema laring, varises
esophagus, perdarahan gaster, infark miokard.
3. Tujuan
Tujuan dilakukannya suction yaitu untuk menghilangkan sekret yang
menyumbat jalan nafas, untuk mempertahankan patensi jalan nafas, mengambil
sekret untuk pemeriksaan laboratorium, untuk mencegah infeksi dari akumulasi
cairan sekret (Kozier & Erb, 2012). Tujuan dilakukan suction diantaranya
untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum, merangsang
batuk, mencegah terjadinya infeksi paru.
4. Efek suction
Menurut efek yang dapat terjadi dari suction yaitu hipoksemia, dispnea,
kecemasan, aritmia jantung, trauma trakhea, trauma bronkus, hipertensi,
hipotensi, perdarahan, peningkatan intra kranial.
Efek samping suction :
a. Penurunan saturasi oksigen: berkurang hingga 5%
b. Cairan perdarahan: terdapat darah dalam sekret suction
c. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik hingga 200 mmHg
d. Dapat terjadi hipotensi: penururnan tekanan darah sdiastolik hingga 80
mmHg
e. Takikardia: meningkatkan detak jantung hingga 150 detak/menit
f. Bradikardia: detak jantung hingga 50 detak/menit
g. Arrhythmia: irama denyut jantung tidak teratur
Komplikasi yang mungkin muncul dari tindakan penghisapan lendir
salah satunya adalah hipoksemia/hipoksia.
5. Prosedur
Prosedur hisap lender ini dalam pelaksanaannya diharapkan sesuai
dengan standar prosedur yang telah ditetapkan agar pasien terhindar dari
komplikasi dengan selalu menjaga kesterilan dan kebersihan. Prosedur hisap
lender menurut Kozier & Erb, (2012) adalah:
1) Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan, mengapa perlu, dan
bagaimana pasien dapat menerima dan bekerjasama karena biasanya
tindakan ini menyebabkan batuk dan hal ini diperlukan untuk membantu
dalam mengeluarkan sekret.
2) Cuci tangan sebelum melakukan tindakan
3) Menjaga privasi pasien
4) Atur posisi pasien sesuai kebutuhan
Jika tidak ada kontra indikasi posisikan pasien semiflower agar pasien
dapat bernapas dalam, paru dapat berkembang dengan baik sehingga
mencegah desaturasi dan dapat mengeluarkan sekret saat batuk. Jika perlu,
berikan analgesia sebelum penghisapan, karena penghisapan akan
merangsang refleks batuk, hal ini dapat menyebabkan rasa sakit terutama
pada pasien yang telah menjalani operasi toraks atau perut atau yang
memiliki pengalaman traumatis sehingga dapat meningkatkan kenyamanan
pasien selama prosedur penghisapan
5) Siapkan peralatan
a. Pasang alat resusitasi ke oksigen dengan aliran oksigen 100 %
b. Catheter suction steril sesuai ukuran
c. Pasang pengalas bila perlu.
d. Atur tekanan sesuai penghisap dengan tekanan sekitar 100-120 mm hg
untuk orang dewasa, dan 50-95 untuk bayi dan anak
e. Pakai alat pelindung diri, kaca mata, masker, dan gaun bila perlu.
f. Memakai sarung tangan steril pada tangan dominan dan sarung tangan
tidak steril di tangan nondominan untuk melindungi perawat
g. Pegang suction catether di tangan dominan, pasang catether ke pipa
penghisap
6) Suction catether tersebut diberi pelumas
a. Menggunakan tangan dominan, basahi ujung catether dengan larutan
garam steril
b. Menggunakan ibu jari dari tangan yang tidak dominan, tutup suction
catheter untuk menghisap sejumlah kecil larutan steril melalui
catether.Hal ini untuk mengecekbahwa peralatan hisap bekerja dengan
benar dan sekaligus melumasi lumen catetheruntuk memudahkan
penghisapan dan mengurangi trauma jaringan selama penghisapan,
selain itu juga membantu mencegah sekret menempel ke bagian dalam
suction catether
7) Jika klien memiliki sekret yang berlebihan, lakukan pemompaan dengan
ambu bag sebelum penyedotan
a. Panggil asisten untuk prosedur ini
b. Menggunakan tangan nondominan, nyalakan oksigen ke 12-15 l / min
c. Jika pasien terpasang trakeostomi atau ett, sambungkan ambubag ke
tracheascanul atau ETT
d. Pompa dengan Ambubag 3 - 5 kali, sebagai inhalasi, hal ini sebaiknya
dilakukan oleh orang kedua yang bisa menggunakan kedua tangan
untuk memompa, dengan demikian volume udara yang masuk lebih
maksimal.
e. Amati respon pasien untuk mengetahui kecukupan ventilasi pasien.
f. Bereskan alat dan cuci tangan.
B. Kanul Suction
1. Jenis
Jenis kanul suction yang ada dipasaran dapat dibedakan menjadi open
suction dan close suction. Open suction merupakan kanul konvensional, dalam
penggunaannya harus membuka sambungan antara ventilator dengan ETT pada
pasien, sedangkan close suction: merupakan kanul dengan sistem tertutup yang
selalu terhubung dengan sirkuit ventilator dan penggunannya tidak perlu
membuka konektor sehingga aliran udara yang masuk tidak terinterupsi
2. Ukuran Suction catheterkit/selang kateter
Berikut ini adalah ukuran suction catheter kit (Kozier & Erb, 2012):
a. Dewasa : 12-18 Fr
b. Anak usia sekolah 6-12 tahun : 8-10 Fr
c. Anak usia balita : 6-8 Fr
d. Ukuran Tekanan Suction
3. Ukuran tekanan suction yang direkomendasikan Kozier (2012)
Dewasa : 80-120mmhg
Anak : 80-100mmhg
Ukuran tekanan suction ada yang menggunakan kilopascal (Kpa) dan
menggunakan cmHg. Rumus konversi dari satuan mmHg ke satuan Kpa adalah
sebagai berikut: 1 mmHg = 0,133 Kpa, dan rumus konversi satuan mmHg ke
cmHg: 1mmHg = 0,1 cmHg. Tekanan suction yang paling tepat adalah antara
80-100 mmhg, tekanan tersebut aman untuk melakukan suctioning karena
penurunan saturasi oksigen yeng terjadi tidak terlalu besar.
C. Saturasi Oksigen
1. Definisi
Saturasi oksigen yaitu presentase oksigen yang dibawa oleh hemoglobin
yang ditetapkan dengan simbol SpO2. Dapat diukur menggunakan oksimeter
nadi, oksimeter nadi adalah alat yang relatif mudah dalam pengunaannya untuk
mengukur saturasi oksigen dan merupakan prosedur non invasive (Stilwell,
2011).
Saturasi oksigen adalah rasio antara jumlah oksigen yang terikat oleh
hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin darah mengikat oksigen.
Saturasi oksigen dapat diukur dengan metode invansif maupun non invasif.
Pengukuran dengan metode invasif menggunakan analisa gas darah. Adapun
pengukuran dengan metode non invasif menggunakan oksimeter nadi.
2. Nilai Normal Saturasi Oksigen
Nilai normal saturasi oksigen adalah 95% samapai 100%. Apabila
dibawahnya dapat diindikasikan sebagai hipoksemia dan perlu penanganan
lebih lanjut misalnya dengan meningkatkan terapi oksigen. Apabila saturasi
oksigen menurun drastis secara tiba-tiba maka perlu dilakukan tindakan
resusitasi, nilai saturasi oksigen diinterpretasikan sebagai berikut :
a. SpO2 > 95%, berarti normal dan tidak membutuhkan tindakan.
b. SpO2 91%-94%, berarti masih dapat diterima tapi perlu dipertimbangkan,
kaji tempat pemeriksaan dan lakukan penyesuaian jika perlu dan lanjutkan
monitor pasien.
c. SpO2 85% - 90%, berarti pasien harus ditinggikan kepala dari tempat tidur
dan stimulasi pasien bernafas dengan kaji jalan nafas dan dorong untuk
batuk, berikan oksigen sampai dengan saturasi oksigen > 90% dan
informasikan kepada dokter.
d. SpO2 < 85%, berarti memberikan oksigen 100% oksigen, posisi pasien
memfasilitasi untuk bernafas, suction jika dibutuhkan dan beritahu dokter
segera, cek catatan pengobatan yang dapat mendepresi pernafasan dan
siapkan manual ventilasi atau pertolongan intubasi jika kondisi memburuk.
Apabila SpO2 dibawah 70% keselamatan pasien terancam. Karena
oksimetri nadi hanya mengukur oksigen yang tercampur dalam darah,
sehingga kemungkinan hemoglobin mengandung substansi lain seperti
karbon monoksida yang berbahaya bagi tubuh manusia (Kozier & Erb,
2012).
3. Faktor Yang Mempengaruhi SpO2
Faktor yang mempengaruhi ketidakakuratan pengukuran saturasi oksigen
adalah sebagai berikut; perubahan kadar HB, sirkulasi yang buruk, aktivitas
(menggigil/gerakan berlebihan) ukuran jari terlalu besar atau terlalu kecil, akral
dingin, denyut nadi terlalu kecil, adanya cat kuku berwarna gelap (Kozier &
Erb, 2012). Saturasi oksigen pada pasien dengan diagnosa PPOK (Penyakit
Paru Obstruksi Kronik) relatif rendah. PPOK lebih lanjut obstruksi jalan nafas
perifer, distraksi parenkim, dan iregularitas vaskular pulmonal mengurangi
kapasitas paru untuk pertukaran gas sehingga meneyebabkan hipoksemia
(oksigen darah rendah) dan hiperkapnia (karbon dioksida darah tinggi). Yang
termasuk PPOK adalah bronkitis dan emfisema.
2.3 Review artikel
NO PENGARANG TAHUN METODE SAMPEL HASIL
1. Teti Hayati, Busjra 2019 Desain penelitian kuantitatif dengan menggunakan 34 Hasil
M Nur, Fitrian metode quasi eksperimen, menggunakan tehnik bahwa sej
Rayasari, Yani consecutive sampling menggunakan rancangan pre terjadi pe
Sofiani, Diana test dan post test dimana kelompok A disebut oksigen set
Irawati kelompok intervensi I yang memperoleh pada kelom
hiperoksigenasi 1 menit, sedangkan kelompok B pada kelom
disebut sebagai kelompok intervensi II dengan 14 orang p
pemberian hiperoksigenasi sesuai yang dilakukan 2 orang pe
diruang IGDRSPAD Gatot Soebroto Puskesad. dan 1 ora
Kelompok intervensi dilakukan hiperoksigenasi Hiperoksig
diberikan 30 detik pre suction, suction 10 detik diperoleh p
hiperoksigenasi 30 detik. yang artiny
Pemberian hiperoksigenasi di ruang IGDRSPAD bermakna
pada SOP pemberian hiperoksigenasi pre suction oksigen
diberikan 2 menit, pengisapan suction selama 15 pemberian
detik. kelompok.
Kalibrasi terakhir alat suction dilakukan bulan menunjuka
Maret tahun 2018 dengan label dikalibrasi Maret bermakna a
2018 digantung pada mesin ventilator. (dengan pe
Alat oksimetri nadi dikalibrasi satu tahun sekali, menit) dan
namun bila ada kerusakan atau error akan langsung (dengan pe
diperbaiki. Kalibrasi terakhir dilakukan bulan Maret menit). den
tahun 2018. Oksimetri Nadi digunakan untuk 0,210. A
mengukur kadar saturasi oksigen, hasil pengukuran hiperoksige
dibaca pada layar monitor alat dengan waktu 3 menit.
detik. Hasil ukur dinyatakan dalam %, data Terdap
dideskripsikan dalam bentuk numerik yang bermakna
dinyatakan dengan penghitungan nilai mean, nilai oksigen seb
median, dan simpangan baku, serta nilai minimal hiperoksige
dan maksimal dan 95% confident interval mean Tidak te
bermakna
sesudah
pada kedua
Bagi pe
keperawata
pemberian
mengontrol
juga mem
hiperoksige
2. Jacqueline 2017 Desain randomised single blind menggunakan 68 Adanya
Rodrigues de suction dengan hiperoksigenasi 100 % saat pre dan kelompok
Freitas Vianna, post selama 1 menit pada prosedur suction terbuka. 0,001 sela
Vale´ria Amorim Kelompok kontrol dilakukan pre hiperoksigenasi suction. Ad
Pires Di Lorenzo, 100% selama 2 menit dan kelompok intervensi kelompok
Mile´a Mara dilakukan pre post hiperoksigenasi 100% selama 1 hiperoksige
Lourenc¸o da Silva menit. hiperoksige
Simo˜es, Maurício Oksimetri yang digunakan terpasang pada bed side nilai p
Jamami monitor yang terkalibrasi tiap tahun pada label menunjukk
yang tertera. Subjek penelitian dengan mode kelompok
ventilator volume control ventilation, assist/control pre post 1
(VCV A/C), volume control synchronized post 97.0 ±
intermittent mandatory ventilation (VC-SIMV) and pre 2 men
spontaneous breath with volume guarantee pressure 95.6±3.1)
support ventilation (PSV-VTG). Prosedur
intervensi dimulai memposisikan pasien dengan
posisi supinasi dan elevasi kepala 40 derajad
selama 20 menit sebelum dilakukan prosedur
suction terbuka. Kemudian melakukan
hiperoksigenasi 100% selama 1 menit lalu suction
dan terakhir hiperoksigenasi 100% selama 100
menit. Selanjutnya diukur saturasi oksigen dari bed
side monitor yang terpasang pada responden.
BAB III
METODE PENULISAN
A. Rancangan solusi yang ditawarkan
Step 0: Menumbuhkan semangat berpikir kritis (bertanya dan menyelidiki)
Perancang mengobservasi kegiatan suction di ruang ICU.
Step 1: Menanyakan pertanyaan klinik dengan menggunakan PICO/PICOT format
P : aiway jalan napas tidak bersih
I : suction 10 detik dan hiperoksigenasi 1 menit
C:-
O : Saturasi oksigen 95%
T : 3x sehari
Step 2: Mencari dan mengumpulkan bukti-bukti (artikel penelititan) yang paling
relevan dengan PICO/PICOT
Perancang mencari artikel mengenai Suction dan Hiperoksigenasi dari jurnal dan
buku
Step 3: Melakukan penilaian kritis terhadap bukti-bukti (artikel penelititan)
Menerapkan kritisi jurnal dengan prinsip validity, reability, importance pada format
critical appraisal yang terlampir dengan yes 9.
Step 4: Mengintegrasikan bukti-bukti (artikel penelititan) terbaik dengan
pandangan ahli di klinik serta memperhatikan keinginan dan manfaatnya bagi
pasien dalam membuat keputusan atau perubahan
Perancang menentukan keputusan dengan konsultasi bersama pembimbing klinik,
sesuai kebutuhan pasien dan artikel penelitian yang terbaik.
Step 5: Mengevaluasi outcome dari perubahan yang telah diputuskan berdasarkan
bukti-bukti.
Perancang melakukan evaluasi intervensi dan mengkaji ulang manfaat intervensi
dalam perubahan pelayanan berdasar EBP dengan kualitas baik.
Step 6: Menyebarluaskan hasil dari EBP
Perancang menyusun proposal hingga presentasi laporan hasil dari intervensi yang
telah dilakukan sebagai penerapan EBP
B. Target dan luaran
Target ditujukan pada klien yang mengalami gangguan kepatenan jalan
napas dengan akumulasi sekret berlebih, terpasang endotrakeal tube dengan suction
terbuka.
Luaran dengan kriteria hasil adalah tidak ada suara tambahan paru,
frekuensi pernapasan 12-20x/menit, irama napas reguler, tidak menggunakan otot
bantu pernapasan, SpO2 100%, sputum berkurang di selang Endotrakeal tube.
C. Prosedur pelaksanaan
1. Menyiapkan alat (mesin suction, kanul suction no 12, air steril, handscone,
stetoskop)
2. Mencuci tangan
3. Lakukan auskultasi suara napas sebelum suction
4. Pastikan peralatan suction berfungsi dengan baik, daya hisap 140mmhg
(Muhaji, Santoso, & Putrono, 2017).
5. Buka pembungkus suction
6. Lakukan hiperoksigenasi 100% dalam 30 detik (Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani,
& Irawati, 2019)
7. Ukur saturasi oksigen
8. Masukan suction catheter ke ETT kemudian tarik dengan menghisap secara
rotasi selama 10 detik
9. Bilas canul suction denga air steril dan berikan hiperoksigenasi 100% selama 30
detik (Rodrigues, Amorim, Lourenc¸o, & Jamami, 2017).
10. Ukur kadar saturasi oksigen
11. Lakukan auskultasi suara napas
12. Lakukan suction ulang bila masih terdapat sekret
13. Buang canul suction
14. Bereskan alat dan cuci tangan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. Pengkajian
Ny. S dengan Stroke Hemorragik dilakukan pengkajian pada tanggal 11
Maret 2021 pukul 08.00 WIB
Airway
Klien mengalami sumbatan pada jalan napas yaitu sputum berwarna putih
dengan konsistensi kental dan berjumlah banyak. Sumbatan sputum berada
di selang Mayo. Terdapat suara stridor, Auskultasi terdapat suara ronchi
basah kasar pada area bronkhus.
Breathing
RR : 12x/menit dan irreguler, terpasang selang Mayo, pengembangan dada
simetris namun ada tidak ada kelemahan otot pernapasan, tidak ada reflek
batuk.
Circulation
TD : 117/76 mmHg, HR : 52 x/menit dan kekuatan nadi lemah, SpO 2 : 99
%, S : 36℃, Capillary Refill Time : <2 detik, akral hangat, tidak sianosis,
pitting edema : baik, tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada suara
jantung tambahan seperti gallop maupun murmur, tidak ada perdarahan,
BB : 55 kg, diaforesis
Disability
Terjadi hemiplegi sinistra, kekuatan otot ekstremitas kiri 0, kekuatan otot
ekstremitas kanan 1 tingkat kesadaran : , GCS : E1 V1 M2 : 4
Foto thorax : Gambaran bronkopneumonia
2. Analisis Keperawatan
Sebelum dilakukan suction, SpO2 99% dengan produksi sputum
berlebihan di area selang Mayo sehingga Ny. S sehingga analisis masalah
keperawatan yang muncul adalah ketidakefektifan bersihan jalan napas
dengan penyebab produksi sputum berlebihan di jalan napas.
3. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis yang ditegakkan dalam masalah sumbatan jalan napas
adalah ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan produksi
sputum berlebihan.
4. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan hasil yang diharapkan dalam menangani masalah bersihan
jalan napas, dilakukan tindakan suction selama 3x24 jam dengan dibuktikan
kriteria hasil : irama napas reguler, RR 16-20x/menit, tidak ada ronki, tidak
menggunakan otot bantu pernapasan, saturasi oksigen 100%. Intervensi
yang dilakukan
a. Mengkaji SpO2, RR, irama napas
b. Memposisikan supinasi dengan elevasi kepala 40 derajad
c. Hiperoksigenasi 100% pre suction 30 detik
d. Melakukan suction 10 detik
e. Hiperoksigenasi 100% post suction 30 detik
f. Evaluasi SpO2, RR, irama napas
5. Implementasi Keperawatan
Implementasi pertama dilakukan pada hari Kamis tanggal 11 Maret
2021 pukul 08.00 WIB didapatkan respon sebelum prosedur suction SpO2
99%, RR 12x/menit, irama napas irreguler dan sesudah suction SpO2 99%,
RR 14x/menit, irama napas irreguler. Implementasi kedua dilakukan pada
hari kamis tanggal 11 Maret 2021 pukul 09.00 WIB didapatkan respon
sebelum prosedur suction SpO2 97%, RR 25x/menit, irama napas irreguler
dan sesudah suction SpO2 99%, RR 21x/menit, irama napas irreguler.
Implementasi ketiga dilakukan pada hari Kamis tanggal 11 Maret 2021
pukul 10.00 WIB didapatkan respon sebelum prosedur suction SpO2 98%,
RR 15x/menit, irama napas reguler dan sesudah suction SpO2 100%, RR
16x/menit, irama napas reguler.
6. Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada hari Kamis tanggal 11 Maret 2021 pukul
11.00 dengan hasil perkembangan respon klien SpO2 100%, RR 16x/menit,
irama napas reguler.
B. PEMBAHASAN
Ny. S mengalami masalah pada bersihan jalan napas, yang awalnya
sumbatan pada jalan napas yaitu sputum berwarna putih dengan konsistensi
kental dan berjumlah banyak. Sumbatan sputum berada di selang Mayo, RR :
12x/menit dan irreguler, SpO2 99%. Setelah 3x intervensi, didapatkan yaitu
sputum berwarna putih dengan konsistensi kental dan berjumlah sedikit pada
selang Mayo dengan SpO2 100%, RR 16x/menit, irama napas reguler.
Menurut Hudak & Gallo, (2013) pemberian hiperoksigenasi yang
berlebihan mempunyai efek samping. Bila dalam waktu lama dapat
menyebabkan toksisitas yang tinggi (dapat dilihat pada kasus cedera paru akut
atau sindrom pada gawat nafas akut), atelectasis absorbtif. Selain itu dapat
terjadi narcosis karbondioksida dengan manifestasi perubahan status mental,
konfusi, sakit kepala, dan somnolen. Pemberian hiperoksigenasi maksimal
diberikan selama 2 menit pada tindakan suction.
Saturasi oksigen adalah nilai rasio jumlah O2 terikat pada hemoglobin
pada kemampuan seluruh hemoglobin dapat berikatan dengan O2 (Hudak &
Gallo, 2013). nilai dari saturasi oksigen normalnya berkisar 95 sampai dengan
100 % (walaupun pengukuran yang lebih rendah mungkin normal pada
beberapa pasien, misalnya pada pasien PPOK (Fox, 2002). Saturasi oksigen
dapat diukur dengan metode invasive maupun non invasive. Pengukuran dengan
metode invasive menggunakan analisa gas darah. Adapun pengukuran metode
non invasive menggunakan oksimetri nadi (Kozier dan Erb, 2012).
Untuk menghindari terjadinya hipoksemi dari prosedur suctioning sangat
perlu dilakukan tindakan hiperoksigenasi. Hiperoksigenasi harus dilakukan
pada setiap tindakan suctioning dengan cara meningkatkan aliran oksigen 100
% melalui ventilator mekanik. Hiperoksigenasi merupakan tehnik yang terbaik
harus dilakukan untuk meningkatkan nilai saturasi oksigen pada setiap prosedur
suction (Kozier & Erb, 2012).
Pada tindakan suction terjadi komplikasi yang dapat timbul diantaranya
salah terjadinya hipoksemia atau hipoksia. Pada proses dilakukan penghisapan
tidak hanya sekret yang terhisap, tetapi O2 juga terhisap dan menyebabkan
kejadian hipoksemia yang terjadi sesaat dengan tanda penurunan nilai saturasi
oksigen atau SpO2 (Saskatoon health Regional Authority, 2010). Dalam hal ini
diperlukan tindakan hiperoksigenasi sebelum tindakan suction
(Brunner&Suddarth, 2012). Hiperoksigenasi harus dilakukan pada setiap
tindakan suctioning dengan cara meningkatkan aliran oksigen 100 % melalui
ventilator mekanik. Hiperoksigenasi merupakan tehnik yang terbaik harus
dilakukan untuk meningkatkan nilai saturasi oksigen pada setiap prosedur
suction (Kozier & Erb, 2012).
Hiperoksigenasi adalah pemberian oksigen konsentrasi tinggi (100%)
yang bertujuan untuk menghindari hipoksemi akibat suction (Kozier &Erb,
2012). Teknik yang terbaik didalam menghindari hipoksemia yang diakibatkan
tindakan suction adalah dengan hiperoksigenasi. Dengan demikian pada semua
prosedur suction, tindakan hiperoksigenasi harus dilaksanakan (Kozier & Erb,
2012).
Tindakan suction sangat diperlukan, karena pada pasien terpasang selang
Mayo dapat terjadi kontaminasi mikroba dijalan nafas dan berkembangnya
bakteri. Terjadinya kontaminasi mikroba dijalan nafas dan berkembangnya
bakteri sangat memungkinkan sekali dikarenakan secara umum pasien yang
terpasang selang Mayo mempunyai respon tubuh yang sangat lemah untuk
batuk, dengan demikian tindakan suction sangat diperlukan (Nurachmah &
Sudarsono, 2010).
Pada saat akan melakukan tindakan suction pada selang Mayo, sangatlah
perlu adanya pemantauan saturasi oksigen, karena saat tindakan suction bukan
hanya sekret yang terhisap, tetapi oksigen juga terhisap. Selain itu saturasi
oksigen pada tindakan suction dipengaruhi oleh banyaknya hiperoksigenasi
yang diberikan, tekanan suction yang sesuai usia, dan besar diameter kanule.
Bila hal tersebut tidak atau kurang diperhatikan maka akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dari suction pada pasien yang terpasang ventilasi
mekanik adalah terjadinya hipoksia yang ditandai dengan penurunan saturasi
oksigen atau desaturasi (Kozier & Erb, 2012). Menurut Wiyoto, (2010) apabila
suplai oksigen dalam waktu 4 menit tidak terpenuhi untuk suplai keotak maka
otak terjadi kerusakan yang permanen, karena itu perlu dilakukan
hiperoksigenasi sebelum dilakukan suction. Apabila suplai oksigen dalam
waktu 4 menit tidak terpenuhi untuk suplai ke otak maka otak terjadi kerusakan
yang permanen dan sangat mengancam jiwa. Oleh karena perlu pemberian
suction dengan hiperoksigenasi 100%.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pemberian suction dengan hiperoksigenasi 100% pre dan post,
menghasilkan peningkatan SpO2 dan mengurangi produksi sputum berlebih di jalan
napas. Hal ini dikarenakan adanya hiperoksigenasi dapat menghindari hipoksemia
dan perlakuan saat melakukan suction selama 10 detik dapat menerapkan prinsip
suction pada suction terbuka meliputi aseptik, asianotik, afektif dan atraumatik.
Sehingga pasien tidak mengeluh nyeri saat disuction dan aseptik dalam mengurangi
infeksi.
B. Saran
1. Institusi pendidikan
Penerapan eviden based nursing dapat memperbaruhi kurikulum pembelajaran
utamanya terkait suction yang berpedoman pada kaidah ilmiah berdasar bukti
dengan jangka waktu terupdate dan dapat diaplikasikan.
2. Pelayanan keperawatan
Penerapan eviden based nursing dapat dijadikan Standar Operasional Prosedur
dalam melakukan suction pada pasien GADAR..
DAFTAR PUSTAKA
Bararah & Jauhar. (2013). Asuhan keperawatan panduan lengkap menjadi perawat
profesional. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Carpenito. (2013). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 13. Jakarta: EGC
Hayati, T., Nur, B. M., Rayasari, F., Sofiani, Y., & Irawati, D. (2019). Perbandingan
Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit Dan Dua Menit Pada Proses Suction
Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Terpasang Ventilator. Journal of Telenursing
(JOTING), 1(1), 67–79.
Hudak & Gallo. (2010). Keperawatan Kritis (6th ed.). Jakarta: EGC
Kitong. (2014). Pengaruh tindakan penghisapan lendir endotrakeal tube terhadap
saturasi oksigen pada pasien yang dirawat di ruang IGDRSUP Prof. Dr.
R.D.Kandou Manado. E-Jurnal Keperawatan, 2(2)
Kozier & Erbs. (2015). Fundamentals of Nursing (10th ed.). Jakarta: EGC
Morton, Patricia Gonce. (2011). Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik.
Jakarta: EGC
Muhaji, Santoso, B., & Putrono. (2017). Comparison Of The Effectiveness Of Two
Levels Of Suction Pressure On Oxygen Saturation In Patients With Endotracheal
Tube. Belitung Nursing Journal, 3(6), 693–696.
Muslihah. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2011). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (6th ed.). Jakarta: EGC.
Rodrigues, J., Amorim, V., Lourenc¸o, M. M., & Jamami, M. (2017). Comparing the
Effects of Two Different Levels of Hyperoxygenation on Gas Exchange During
Open Endotracheal Suctioning : A Randomized Crossover Study. Respiratory
Care, 62(1), 92–101. https://doi.org/10.4187/respcare.04665
Smeltzer, S. C. (2013). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth (8th
ed.). Jakarta: EGC.
Stilwell, S. B. (2011). Pedoman keperawatan kritis. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan pengurus PPNI
LAMPIRAN
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA NY.S DENGAN MYASTHENIA GRAVIS
DI IGDRS KENSARAS KABUPATEN SEMARANG

DISUSUN OLEH

Vita Dwi Futmasari


P1337420919050
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI
NERS
JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2019
ABSTRAK

Latar belakang : Gagal napas pada pasien ICU, diberikan tindakan pemasangan
endotrakeal tube (ETT) yang dihubungkan ventilator mekanik. Perawatan ETT dapat
dilakukan dengan menjaga kepatenan jalan napas yaitu suction.
Tujuan : Mengidentifikasi respon klien sesudah pemberian suction selama 10
detik dengan hiperoksigenasi selama 1 menit.
Hasil : Prosedur suction dilakukan dalam waktu yang singkat untuk meminimalkan
resiko hipoksemia, lama waktu suction 10 detik efektif dalam meningkatkan saturasi
oksigen. Pemberian hiperoksigenasi maksimal diberikan selama 2 menit pada tindakan
suction untuk mencegah sindrom pada gawat napas akut sehingga hanya melakukan
selama 1 menit.
Simpulan : Pemberian suction berkala dengan durasi 10 detik dengan hiperoksigenasi
selama 1 menit dapat meningkatkan saturasi oksigen dan menjaga kepatenan jalan
napas.
BAB I
PENDAHULUAN
D. Latar belakang
Insidensi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada The
American-European Consensus on ARDS tahun 2010 menemukan antara 12,6-28,0
kasus/100.000 penduduk/tahun serta dilaporkan sekitar 40% terjadi kematian akibat
gagal napas. Insidensi gagal napas akut pada dewasa dari hasil studi di negara
Jerman dan Swedia melaporkan bahwa 77,6-88,6 kasus/100.000 penduduk/tahun.
Data dari Kementerian Kesehatan RI, 2012 yang terfatal menyebabkan kematian
berdasarkan data peringkat 10 Penyakit Tidak Menular (PTM) pada tahun 2010,
Case Fatality Rate (CFR) angka kejadian gagal napas pada pasien rawat inap
dirumah sakit yaitu sebesar 20,98 % menempati peringkat kedua.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu ruangan untuk merawat pasien
dirumah sakit yang mempunyai staf dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk
pengelolaan pasien yang mengalami komplikasi yang mengancam jiwa, penyakit,
atau trauma. Perlengkapan peralatan di Intensive Care Unit (ICU) mempunyai
standar meliputi alat untuk membantu usaha bernafas melalui Endotrakeal Tube
(ETT) yang tersambung dengan ventilasi mekanik. Indikasi dari pemasangan alat
ventilasi mekanik salah satunya adalah gagal nafas (Musliha, 2010). Dikatakan
gagal napas bilamana pertukaran oksigen atau O2 terhadap karbondioksida atau
CO2 didalam organ paru–paru tidak dapat memelihara laju O2 dan CO2 didalam
sel-sel tubuh manusia. Sehingga peningkatan tekanan CO2 lebih besar dari 45
mmHg atau hiperkapnia dan tekanan O2 arteri kurang dari 50 mmHg atau
hipoksemia.
Endotracheal Tube (ETT) merupakan konektor yang digunakan untuk
ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik yang digunakan adalah ventilasi mekanik
invasif. ETT yang telah terpasang memerlukan perhatian khusus dalam menjaga
kebersihan dari akumulasi sekret, sehingga patensi jalan nafas menjadi tetap
terjaga. Untuk menjaga kepatenan jalan nafas akibat penumpukan sekresi tersebut,
tindakan yang dilakukan adalah penghisapan lendir (suctioning). Melakukan
tindakan suction yaitu dengan cara selang kateter suction dimasukkan melalui
hidung, mulut pada ETT (Nurachmah & Sudarsono, 2010).
Tindakan suction dilakukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret atau
sputum dan juga untuk menghindari dari infeksi jalan nafas (Price& Wilson, 2012).
Selain untuk mengatasi masalah bersihan jalan nafas, tindakan suction sangat
diperlukan, karena pada pasien terpasang ventilasi mekanik terjadi kontaminasi
mikroba dijalan nafas dan berkembangnya Ventilator Assosiated Pnemonia (VAP)
(Kozier & Erb, 2012). Terjadinya VAP dikarenakan secara umum pasien yang
terpasang ETT mempunyai respon tubuh yang sangat lemah untuk batuk, dengan
demikian tindakan suction sangat diperlukan (Nurachmah & Sudarsono, 2010).
Apabila suction tidak dilakukan pada pasien dengan gangguan kebersihan
jalan nafas, maka pasien tersebut akan mengalami kekurangan suplai oksigen dan
apabila oksigen tidak terpenuhi dalam 4-6 menit akan menyebabkan kerusakan sel-
sel otak. Dalam pemberian tindakan suction, waktu yang dianjurkan adalah selama
10-15 detik. Apabila waktu yang digunakan lebih dari 15 detik akan meningkatkan
hipoksia karena oksigen di jalan nafas ikut terhisap (Morton, Patricia Gonce Dkk,
2011). Pemberian hiperoksigenasi pre suction sebanyak 1 menit dan
hiperoksigenasi diberikan lagi 1 menit bila saturasioksigen post suction <95%.
Untuk tindakan suction dilakukan selama 15 detik. Hal ini tidak tepat karena
pemberian hiperoksigenasi maksimal diberikan 1 menit pada prosedur suction.
Untuk tindakan suction harusnya dilakukan maksimal 10 detik, karena bila lebih
dari 10 detik beresiko terjadi hipoksia.
E. Web of Causation
BAB 2
LAPORAN KASUS KELOLAAN
D. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 30 tahun
Alamat : Ungaran
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Tanggal masuk/jam : 3 September 2019/20.39 WIB
Tanggal pengkajian : 3 September 2019/22.00 WIB
Diagnosa medis : Myastenia gravis
No. register : 104129
Cara masuk : Ny. S merupakan pasien rujukan dari
RSUD Wongsonegoro Semarang yang membutuhkan ventilator dikarenakan di
sana sudah terpakai semua. Pasien datang ke IGD dalam keadaan sesak napas,
terpasang endotrakeal tube kemudian mengalami penurunan kesadaran.
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. A
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Alamat : Ungaran
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Hubungan dengan klien : Suami
3. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RS Kensaras Kabupaten Semarang dengan
keluhan sesak napas, lemah. Pasien merupakan rujukan RSWN yang telah
terpasang ETT, DC dan NGT. Pasien didiagnosa medis Myastenia gravis
baru 5 bulan. Pasien pernah menggunakan ventilator sebanyak 3x dan
gagal saat ekstubasi. Selain itu, pasien telah dirawat selama 4 hari di ICU.
Hasil dari pengkajian di IGD didapatkan GCS = E4VETM6, dengan
kesadaran Compos menthis, TD : 117/76mmHg, HR: 52x/menit, RR:
12x/menit, SpO2 :99 %, S : 360C
b. Riwayat Keperawatan Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit parkinson, jantung, DM,
epilepsi maupun kelainan jiwa.
c. Riwayat Keperawatan Keluarga
Dalam keluarga klien, tidak ada yang memiliki penyakit herediter
seperti hipertensi.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Pengkajian Primer
D. Airway
Klien mengalami sumbatan pada jalan napas yaitu sputum
berwarna putih dengan konsistensi kental dan berjumlah banyak.
Sumbatan sputum berada di selang Endotrakeal tube. Tidak terdapat
suara snoring, gurgling maupun stridor
E. Breathing
RR : 12x/menit, terpasang Endotrakeal Tube, pengembangan
dada simetris namun ada kelemahan otot pernapasan, tidak ada reflek
batuk, menggunakan otot bantu pernapasan, mode ventilator PCV,
PC 15, PS : 12, FiO2 : 70%, I: E (1:2), PEEP 5cmH2O, Trigger 3.
F. Circulation
TD : 117/76 mmHg, HR : 52 x/menit dan kekuatan nadi lemah,
SpO2 : 99 %, S : 36℃, Capillary Refill Time : <2 detik, akral hangat,
tidak sianosis, pitting edema : baik, tidak ada distensi vena jugularis,
tidak ada suara jantung tambahan seperti gallop maupun murmur,
tidak ada perdarahan, BB : 55 kg, diaforesis
G. Disability
Tidak terjadi paralisis, kekuatan otot pada semua ekstremitas
bernilai 5, tingkat kesadaran :compos menthis , GCS : E4 VET M6
H. Eksposure
Tidak terdapat jejas pada tubuh pasien, hematom di tangan kiri
I. Folley catheter
Tidak keluar darah dari orifisium uretra, terpasang kateter urin hari ke
2.
J. Gastric tube
Tidak keluar darah dari telinga dan hidung, tidak ada tanda lebam
pada orbita, negatif battle sign (kaku kuduk), terpasang NGT hari ke
5
b. Pengkajian Sekunder (HEAD TO TOE)
3. Kepala
Mesencephalon, kulit kepala kotor, pertumbuhan rambut merata, tidak
ada lesi, benjolan maupun nyeri tekan
a) Mata
Inspeksi : refleks terhadap cahaya baik +/+, pupil isokor, kelopak
mata ptosis, sklera tidak ikterik, conjuctiva tidak anemis
b) Telinga
Inspeksi : simetris, bersih tidak ada serumen, tidak terdapat lesi,
dan fungsi pendengaran masih baik, daun telinga simetris
c) Hidung
Inspeksi : bersih, tidak terdapat polip, tidak ada deviasi posisi
pada septum nasi, tidak bernapas dengan cuping hidung
d) Mulut dan Bibir
Inspeksi : bentuk bibir normal, tidak terdapat bengkak, mukosa
bibir lembab, bibir berwarna pink, tidak ada stomatitis, gigi
bersih, lidah bersih, tidak ada caries, kelemahan otot menelan dan
sulit berbicara.
e) Leher
Inspeksi : tidak ada distensi vena jugularis, bentuk leher normal
Palpasi : tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
4. Thorax
a) Paru – paru
Inspeksi : simetris, tidak terdapat jejas, pergerakan dada
simetris, tidak terdapat tarikan dinding dada
Palpasi : Tactile fremitus bergetar sama kuat pada dada
kanan dan kiri yang disebut simetris
Perkusi : seluruh lapang paru sonor
Auskultasi : suara vesikuler dan terdapat ronki kering di
perihiler kiri atau lobus paru kiri
b) Jantung
Inspeksi : tidak terdapat jejas, ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba kuat
Perkusi : batas atas di ICS II, batas kiri di ICS V mid
clavikula sinistra, batas kanan ICS IV di mid sternum dxtra dan
batas bawah di ICS V
Auskultasi : terdengar suara SI dan SII reguler dan tidak ada suara
jantung murmur ataupun gallop
c) Abdomen
Inspeksi : bentuk abdomen cembung
Auskultasi : terdapat suara bising usus 13x/menit
Perkusi : terdengar timpani
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan di semua kuadran
d) Ekstremitas atas dan bawah
(1) Ektremitas atas : tidak ada paralisis, tidak terdapat bekas
trauma.
(2) Ekstremitas bawah : tidak ada paralisis, tidak terdapat bekas
trauma, tidak terdapat oedem pada kaki kanan dan kiri.
Terpasang infus hari ke-2 di kaki kiri.
Pergerakan : lemah
Penilaian mobilisasi
Tingkat
Kategori
Aktivitas/Mobilisasi
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh.
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Memerlukan bantuan atau pengawasan
Tingkat 2
orang lain.
Memerlukan bantuan, pengawasan orang
Tingkat 3
lain, dan peralatan.
Sangat tergantung dan tidak dapat
Tingkat 4 melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan.
Klien dalam tingkat 4 dalam melakukan aktivitas
ADL menurut indeks barthel
N INDIKATOR SKALA KETERANGAN
O
1. Personal hygiene 5
2. Mandi 5
3. Makan 5
4. Toileting 5
5. Naik turun tangga 5
6. Berpakaian 5
7. Kontrol BAB 5
8. Kontrol BAK 5
9. Ambulasi atau 5
memakai kursi roda
10. Transfer kursi roda ke 5
bed
TOTAL 50 Ketergantungan total
(1-24)
Ketergantungan berat
(25-49)
Ketergantungan sedang
(50-74)
Ketergantungan ringan
(75-90)
Ketergantungan
minimal (91-99)
Jadi, Tingkat ketergantungan tergolong berat
Kekuatan otot : skala 5 di semua ekstremitas
5 5

5 5
e) Kuku dan kulit
Tidak terdapat sianosis, tidak ada lesi, turgor kulit baik, tidak
terdapat ekimosis (bintik merah), terdapat hematom di tangan kiri.

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Foto Thorax
4 September 2019, pukul 05.00
4. Letak ETT baik
5. Cor kardiomegali
6. Gambaran bronkopneumonia
b. Pemeriksaan darah rutin
3 September 2019 pukul 22.40
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,6 g/dL 11 – 15
Leukosit 14,9 (H) 10^3/uL 4 – 10
Trombosit 313 10^3/uL 100 – 400
Hematokrit 37,5 % 37 – 47
Eritrosit 4,18 10^6/uL 3,5 – 5
KIMIA KLINIK
Ureum 25 mg/dL 15 – 40
Creatinin 0,61 mg/dL 0,5 – 0,9
Albumin 3,5 g/dl 3,4 – 4,8
Natrium 140,14 mmol/L 135 – 145
Kalium 3,55 mmol/L 3,5 – 5,5
Kalsium 100 mmol/L 96 – 106
c. Pemeriksaan analisa gas darah
4 September 2019 pukul 10.40
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
PH 7,54 (H) 7,35 – 7,45
PCO2 30,6 (L) mmhg 35 – 45
PO2 71 (L) mmhg 83 – 108
cHCO3 26,6 mmol/L 21 – 28
BE 4,7 (H) mmol/L -2 – 3
SPO2 96,1 % 95 – 100
ctO2 15,4 Vol % 0 – 20
AaDO2 360,9 mmhg
FiO2 70 %
6. Penatalaksanaan
4 September 2019 pukul 02.00
TERAPI RUTE FUNGSI
Cairan kristaloid yang
mengandung kalsium, kalium,
RL 20 tpm Intravena laktat, natrium, klorida dan air
untuk hidrasi cairan dan
memenuhi kebutuhan elektrolit
Menekan sistem kekebalan
Methylprednisolon 125mg /
Intravena tubuh dan mengurangi reaksi
8 jam
peradangan.
Mencegah produksi asam
Ranitidin 50mg/12 jam Intravena
lambung berlebih
Menormalkan pembentukan sel
darah merah dan jaringan saraf
Neurosanbe100mcg / 8 jam Oral dengan memodifikasi aktivitas
listrikdan mengendurkan sinyal
saraf ke otak.
Mengatasi gejala myasthenia
gravis (kelemahan otot,
Mestinon 60 mg /4 jam Oral
penglihatan kabur / ganda dan
melemahnya otot pada wajah)
Mengurangi peradangan dan
Pulmicort 0,25mg/6 jam Inhalasi
pembengkakan saluran napas
Melebarkan saluran uradara
Ventolin 4mg / 6 jam Inhalasi pada paru-paru dan mencegah
bronkospasme
E. DAFTAR MASALAH
N TANGGAL / MASALAH
DATA FOKUS ETIOLOGI TTD
O JAM KEPERAWATAN
1. 3 September Data Objektif Produksi sputum Ketidakefektifan
Φ
2019 Airway berlebihan bersihan jalan napas
Vita
Klien mengalami sumbatan
22.00 WIB pada jalan napas yaitu sputum
berwarna putih dengan
konsistensi kental dan
berjumlah banyak.
Breathing
RR : 12x/menit, terpasang
Endotrakeal Tube
Auskultasi paru : suara
vesikuler dan terdapat ronki
kering di perihiler kiri atau
lobus kiri
Foto thorax : Gambaran
bronkopneumonia
2. 3 September Data objektif Ketidakberdayaan Disfungsi respons
Φ
2019 Pasien pernah menggunakan kemampuan penyapihan
Vita
ventilator sebanyak 3x dan disapih ventilator spontan
22.00 WIB gagal saat ekstubasi.
BB 55kg
Breathing
kelemahan otot pernapasan,
tidak ada reflek batuk,
menggunakan otot bantu
pernapasan, pernapasan tidak
sinkron dengan ventilator
Circulation
HR : 52 x/menit dan kekuatan
nadi lemah
Disability
GCS : E4 VET M6
BGA
PH 7,54
PCO2 30,6 mmhg
PO2 71 mmhg
3. 4 September Data subjektif Ketidakseimbangan Intoleransi Aktivitas
Φ
2019 Sesak napas, lemah suplai dan
Vita
Data objektif kebutuhan oksigen
05.00 WIB Diaforesis
Klien dalam tingkat 4 dalam
melakukan aktivitas (Sangat
tergantung/ total care)
Indeks barthel 50 (tingkat
ketergantungan berat)
SaO2 : 96%
PERUMUSAN DIAGNOSA
a. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan produksi sputum
berlebihan
2) Disfungsi respons penyapihan ventilator spontan berhubungan dengan
ketidakberdayaan kemampuan disapih
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveoli-kapiler
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen
b. Prioritas Masalah
DIAGNOSA TANGGAL
NO TTD
KEPERAWATAN DITEMUKAN TERATASI
Ketidakefektifan bersihan jalan 3 September 2019 Belum teratasi
Φ
1. napas berhubungan dengan
produksi sputum berlebihan Vita
Disfungsi respons penyapihan 3 September 2019 Belum teratasi
Φ
ventilator spontan berhubungan
2.
dengan ketidakberdayaan Vita
kemampuan disapih
Gangguan pertukaran gas 3 September 2019 -
Φ
3 berhubungan dengan perubahan
membrane alveoli-kapiler Vita
Intoleransi aktivitas berhubungan 3 September 2019 -
Φ
4. dengan ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen Vita
PERENCANAAN
TUJUAN DAN
N
TGL/ JAM DIAGNOSA HASIL YANG INTERVENSI TTD
O
DIHARAPKAN
1. 3 September Ketidakefektifan Setelah dilakukan 7. Posisikan semi
Φ
2019 bersihan jalan tindakan keperawatan fowler
napas berhubungan selama 3x24 jam, 8. Auskultasi suara Vita
22.00 dengan produksi pasien menunjukkan nafas, catat adanya
sputum berlebihan keefektifan jalan nafas suara tambahan
dibuktikan dengan 9. Berikan
kriteria hasil : bronkodilator
a. irama napas reguler, 10. Berikan pelembab
RR 12-20x/menit, udara berupa air
tidak ada ronki steril
b. tidak menggunakan 11. Berikan antibiotik 
otot bantu pernapasan 12. Atur intake untuk
c. saturasi oksigen cairan
>95% mengoptimalkan
d. tidak aspirasi keseimbangan.
13. Monitor respirasi
dan status O2
14. Pertahankan
hidrasi yang
adekuat untuk
mengencerkan
secret
15. Lakukan fisioterapi
dada bila perlu
16. Jelaskan pada
pasien dan
keluarga tentang
penggunaan
peralatan : O2,
Suction, Inhalasi.
2. 3 September Disfungsi respons Setelah dilakukan d. Monitor
Φ
2019 penyapihan tindakan keperawatan hemodinamik
Vita
ventilator spontan selama 3x24 jam, e. Posisikan pasien
22.00 berhubungan pasien menunjukkan agar mengatur
dengan mampu disapih pernapasan dan
ketidakberdayaan dibuktikan dengan toleran terhadap
kemampuan kriteria hasil : penyapihan
disapih a. pasien mampu f. Lakukan periode
dilakukan periode selang seling
selang seling penyapihan dengan
penyapihan T-piece
b. Mode ventilator g. Hindari penundaan
dari control menjadi pengembalian bila
spontan pasien mengalami
c. status hemodinamik kelelahan otot
stabil (TD sistolik pernapasan ke
100-120 mmhg, TD ventilasi mekanik
diastolik 60-80mmhg, h. Motivasi pasien
HR 60-100x/menit) untuk usaha
d. PCO2 35-45 mmhg, penyapihan
PO2 83 – 108 mmhg, i. Bantu pasien untuk
PH 7,35-7,45 membedakan
pernapasan spontan
dengan pernapasan
yang dibantu secara
mekanik
j. Berikan obat-obat
untuk meningkatkan
kepatenan jalan
napas dan perubahan
gas
(Keliat, Mediani, & Tahlil, 2018) (Nurarif & Kusuma, 2015)
F. IMPLEMENTASI
DIAGNOSA
NO TGL IMPLEMENTASI RESPON TTD
KEP.

1. 4 Ketidakefektifan Memberikan posisi semi Objektif


Φ
September bersihan jalan fowler SpO2 99%
Vita
2019 napas Melakukan suction Tidak ada sputum di area
berhubungan berkala jalan napas dan mulut
03.00 dengan produksi
sputum berlebihan

4 Memberikan makan Objektif


Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi

06.00 Memberikan injeksi Obat intravena masuk


intravena tanpa alergi
Methilprednisolon
125mg

4 Memberikan pelembab Objektif


Φ
September udara RR : 14x/menit
Vita
2019 Mengkaji status Tampak menggunakan
pernapasan pernapasan perut
07.00 Terdengar ronki di lobus
paru

4 Memberikan obat Objektif


Φ
September inhalasi ventolin : Tidak muncul alergi saat
Vita
2019 pulmicort obat masuk
09.00

4 Melakukan suction Objektif


Φ
September berkala SpO2 99%
Vita
2019 Tidak ada sputum di area
jalan napas dan mulut
11.00

4 Memberikan makan Objektif


Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi

12.00

4 Memberikan injeksi Objektif


Φ
September intravena Obat intravena masuk
Vita
2019 Methilprednisolon tanpa alergi
125mg
14.00

4 Memberikan obat Objektif


Φ
September inhalasi ventolin : Tidak muncul alergi saat
Vita
2019 pulmicort obat masuk

15.00

4 Memberikan makan Objektif


Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi

18.00

4 Melakukan suction Objektif


Φ
September berkala SpO2 99%
Vita
2019 Tidak ada sputum di area
jalan napas dan mulut
19.00

4 Memberikan obat Objektif


Φ
September inhalasi ventolin : Tidak muncul alergi saat
Vita
2019 pulmicort obat masuk

21.00

4 Memberikan injeksi Objektif


Φ
September intravena Obat intravena masuk
Vita
2019 Methilprednisolon tanpa alergi
125mg
22.00

2. 5 Melakukan suction Objektif


Φ
September berkala SpO2 99%
Vita
2019 Tidak ada sputum di area
jalan napas dan mulut
03.00 Memberikan obat Tidak muncul alergi saat
inhalasi ventolin : obat masuk
pulmicort

5 Memberikan makan Objektif


Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi

06.00 Memberikan injeksi Obat intravena masuk


intravena tanpa alergi
Methilprednisolon
125mg

5 Memberikan pelembab Objektif


Φ
September udara RR : 25x/menit
2019 Tampak menggunakan Vita
Mengkaji status pernapasan perut
07.00 pernapasan Terdengar ronki di lobus
paru

5 Memberikan obat Objektif


Φ
September inhalasi ventolin : Tidak muncul alergi saat
Vita
2019 pulmicort obat masuk

09.00

5 Melakukan suction Objektif


Φ
September berkala SpO2 99%
Vita
2019 Tidak ada sputum di area
jalan napas dan mulut
11.00

5 Memberikan makan Objektif


Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi

12.00

5 Memberikan injeksi Objektif


Φ
September intravena Obat intravena masuk
Vita
2019 Methilprednisolon tanpa alergi
125mg
14.00

5 Memberikan obat Objektif


Φ
September inhalasi ventolin : Tidak muncul alergi saat
Vita
2019 pulmicort obat masuk

15.00
5 Memberikan makan Objektif
Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi

18.00

5 Melakukan suction Objektif


Φ
September berkala SpO2 99%
Vita
2019 Tidak ada sputum di area
jalan napas dan mulut
19.00

5 Memberikan obat Objektif


Φ
September inhalasi ventolin : Tidak muncul alergi saat
Vita
2019 pulmicort obat masuk

21.00

5 Memberikan injeksi Objektif


Φ
September intravena Obat intravena masuk
Vita
2019 Methilprednisolon tanpa alergi
125mg
22.00

3. 6 Melakukan suction Objektif


Φ
September berkala SpO2 99%
Vita
2019 Tidak ada sputum di area
jalan napas dan mulut
03.00 Memberikan obat Tidak muncul alergi saat
inhalasi ventolin : obat masuk
pulmicort

6 Memberikan makan Objektif


Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi
06.00 Memberikan injeksi Obat intravena masuk
intravena tanpa alergi
Methilprednisolon
125mg

6 Memberikan pelembab Objektif


Φ
September udara RR : 21x/menit
Vita
2019 Mengkaji status Terdengar ronki di lobus
pernapasan paru
07.00

6 Memberikan obat Objektif


Φ
September inhalasi ventolin : Tidak muncul alergi saat
Vita
2019 pulmicort obat masuk

09.00

6 Melakukan suction Objektif


Φ
September berkala SpO2 99%
Vita
2019 Tidak ada sputum di area
jalan napas dan mulut
11.00

6 Memberikan makan Objektif


Φ
September melalui NGT dengan Tidak ada residu dan
Vita
2019 diit bost optimum 150 cc tidak terjadi aspirasi

12.00

6 Memberikan injeksi Objektif


Φ
September intravena Obat intravena masuk
Vita
2019 Methilprednisolon tanpa alergi
125mg
14.00
1. 3 Disfungsi respons Memasang jalur Objektif
Φ
September penyapihan pengisian air steril di Mode ventilator
Vita
2019 ventilator spontan tabung ventilator PCV dengan PC
22.00 berhubungan 15, PS : 12, FiO2 :
dengan Melakukan setting 70%, Inspirasi :
ketidakberdayaan ventilator Ekspirasi (1:2),
kemampuan PEEP 5cmH2O,
disapih Trigger 3,
Pressure limit 21
cmH2O, Peak
flow 5,6 L/menit,
RR 14x/menit

2. 4 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi

03.00

4 Melakukan pemeriksaan Objektif


Φ
September darah arteri Pasien tampak
Vita
2019 rileks
Memandikan pasien dan Mukosa bibir
05.00 merawat mulut lembab

4 Mengkaji hemodinamik Objektif


Φ
September dan tingkat kesadaran TD : 120/75
Vita
2019 mmhg
HR : 74x/menit
07.00 E4VETM6

4 Memberikan obat Objektif


Φ
September Obat oral masuk
2019 Mestinon 60 mg per oral tanpa alergi Vita

09.00

4 Melakukan analisa hasil Objektif


Φ
September pemeriksaan gas darah
PH 7,54 Vita
2019
PCO2 30,6 mmhg
PO2 71 mmhg
11.00

4 Melakukan setting Objektif


Φ
September ventilator Mode ventilator
Vita
2019 PSIMV, FiO2
Mengkaji hemodinamik 70%, PEEP 5
14.00 dan tingkat kesadaran cmH2O, PS 12,
PC 15, Trigger 3
TD : 114/63
mmhg
HR : 61x/menit
E4VETM6

4 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi
Memandikan pasien dan Mukosa bibir
15.00 merawat mulut lembab

4 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi
Melakukan setting Mode ventilator
21.00 ventilator PSIMV, FiO2
50%, PS 8, PC 15,
Mengkaji hemodinamik Trigger 3
dan tingkat kesadaran TD : 114/69
mmhg
HR : 65x/menit
E4VETM6

3. 5 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi

03.00

5 Memandikan pasien dan Objektif


Φ
September merawat mulut Mukosa bibir
Vita
2019 lembab

05.00

5 Melakukan setting Objektif


Φ
September ventilator Mode ventilator
Vita
2019 spontan, FiO2
Mengkaji hemodinamik 50%, PEEP 5
07.00 dan tingkat kesadaran cmH2O, PS 12,
Trigger 1
TD : 113/65
mmhg
HR : 60x/menit
E4VETM6

5 Memberikan edukasi Objektif


Φ
September untuk membedakan Pasien tampak
Vita
2019 pernapasan spontan dan menganggukan
yang dibantu ventilator kepala
09.00 Memberikan obat Obat oral masuk
Mestinon 60 mg per oral tanpa alergi
5 Melakukan setting Objektif
Φ
September ventilator Mode ventilator
Vita
2019 spontan, FiO2
Mengkaji hemodinamik 50%, PEEP 5
14.00 dan tingkat kesadaran cmH2O, PS 12,
Trigger 1
TD : 113/65
mmhg
HR : 60x/menit
E4VETM6

5 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi
Memandikan pasien dan Mukosa bibir
15.00 merawat mulut lembab

5 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi
Melakukan setting Mode ventilator
21.00 ventilator spontan, FiO2
50%, PEEP 5
Mengkaji hemodinamik cmH2O, PS 10,
dan tingkat kesadaran Trigger 1
TD : 117/74
mmhg
HR : 52x/menit
E4VETM6

4. 6 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
2019 tanpa alergi Vita

03.00

6 Memandikan pasien dan Objektif


Φ
September merawat mulut Mukosa bibir
Vita
2019 lembab

05.00

6 Melakukan setting Objektif


Φ
September ventilator Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi
Mengkaji hemodinamik Mode ventilator
07.00 dan tingkat kesadaran spontan, FiO2
50%, PEEP 5
cmH2O, PS 6,
Trigger 1
TD : 132/82
mmhg
HR : 61x/menit
E4VETM6

6 Memberikan obat Objektif


Φ
September Mestinon 60 mg per oral Obat oral masuk
Vita
2019 tanpa alergi

09.00

6 Melakukan setting Objektif


Φ
September ventilator Mode ventilator
Vita
2019 spontan, FiO2
Mengkaji hemodinamik 50%, PEEP 5
14.00 dan tingkat kesadaran cmH2O, PS 6,
Trigger 1
TD : 132/82
mmhg
HR : 85x/menit
E4VETM6

G. EVALUASI
TANGGAL DIAGNOSA
NO EVALUASI TTD
/ JAM KEPERAWATAN
1. 4 September Ketidakefektifan S:-
Φ
2019 bersihan jalan napas O
berhubungan dengan RR : 14x/menit Vita
produksi sputum Tampak menggunakan pernapasan perut
07.00
berlebihan
Terdengar ronki di lobus paru
Irama napas ireguler
SpO2 : 99%
Tidak terjadi aspirasi
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan
4 September S:-
Φ
2019 O
Vita
RR : 11x/menit
14.00 Tampak menggunakan pernapasan perut

Terdengar ronki di lobus paru


Irama napas ireguler
SpO2 : 99%
Tidak terjadi aspirasi
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan
4 September S :-
Φ
2019 O
Vita
RR : 15x/menit
21.00 Tampak menggunakan pernapasan perut

Terdengar ronki di lobus paru


Irama napas ireguler
SpO2 : 99%
Tidak terjadi aspirasi
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan
5 September S:-
Φ
2019 O
Vita
RR : 25x/menit
07.00 Tampak menggunakan pernapasan perut

Terdengar ronki di lobus paru


Irama napas ireguler
SpO2 : 99%
Tidak terjadi aspirasi
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan
5 September S:-
Φ
2019 O
Vita
RR : 21x/menit
14.00 Tampak menggunakan pernapasan perut

Terdengar ronki di lobus paru


Irama napas ireguler
SpO2 : 99%
Tidak terjadi aspirasi
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan
5 September S:-
Φ
2019 O
Vita
RR : 24x/menit
21.00 Tampak menggunakan pernapasan perut

Terdengar ronki di lobus paru


Irama napas ireguler
SpO2 : 99%
Tidak terjadi aspirasi
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan
6 September S:-
Φ
2019 O
Vita
RR : 21x/menit
07.00 Terdengar ronki di lobus paru
Tidak menggunakan otot bantu pernapasan

Irama napas ireguler


SpO2 : 99%
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan
6 September S:-
Φ
2019 O
Vita
RR : 22x/menit
14.00 Terdengar ronki di lobus paru
Tidak menggunakan otot bantu pernapasan

Irama napas ireguler


SpO2 : 99%
Tidak terjadi aspirasi
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi suction berkala dan monitor
status pernapasan

2. 4 September Disfungsi respons S:-


Φ
2019 penyapihan O
Vita
ventilator spontan Mode ventilator PCV dengan PC 15, PS : 12,
07.00 berhubungan dengan FiO2 : 70%, Inspirasi : Ekspirasi (1:2), PEEP
ketidakberdayaan 5cmH2O, Trigger 3
kemampuan disapih TD : 120/75 mmhg
HR : 74x/menit
E4VETM6
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi dan pantau status
hemodinamik
4 September S:-
Φ
2019 O
Vita
Mode ventilator PSIMV, FiO2 70%, PEEP 5
14.00 cmH2O, PS 12, PC 15, Trigger 3
TD : 114/63 mmhg
HR : 61x/menit

E4VETM6PH 7,54
PCO2 30,6 mmhg
PO2 71 mmhg
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi, pantau hemodinamik,
analisa gas darah

4 September S:-
Φ
2019 O
Vita
Mode ventilator PSIMV, FiO2 50%, PS 8, PC
21.00 15, Trigger 3
TD : 114/69 mmhg
HR : 65x/menit
E4VETM6
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi, pantau hemodinamik
5 September S:-
Φ
2019 O
Vita
Mode ventilator spontan, FiO2 50%, PEEP 5
07.00 cmH2O, PS 12, Trigger 1
TD : 113/65 mmhg
HR : 60x/menit
E4VETM6
A
Masalah belum teratasi
P

Lanjutkan intervensi, pantau hemodinamik,


bantu pasien untuk membedakan pernapasan
spontan dengan pernapasan yang dibantu secara
mekanik
5 September S:-
Φ
2019 O
Vita
Mode ventilator spontan, FiO2 50%, PEEP 5
14.00 cmH2O, PS 12, Trigger 1
TD : 113/65 mmhg
HR : 60x/menit
E4VETM6
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi, pantau hemodinamik,
motivasi pasien dalam usaha bernapas
5 September S:-
Φ
2019 O
Vita
Mode ventilator spontan, FiO2 50%, PEEP 5
21.00 cmH2O, PS 10, Trigger 1
TD : 117/74 mmhg
HR : 52x/menit
E4VETM6
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi, pantau hemodinamik,
motivasi pasien dalam usaha bernapas

6 September S:-
Φ
2019 O
Vita
Mode ventilator spontan, FiO2 50%, PEEP 5
07.00 cmH2O, PS 6, Trigger 1
TD : 132/82 mmhg
HR : 61x/menit
E4VETM6
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi, pantau hemodinamik,
motivasi pasien dalam usaha bernapas
6 September S:-
Φ
2019 O
Vita
Mode ventilator spontan, FiO2 50%, PEEP 5
14.00 cmH2O, PS 6, Trigger 1
TD : 132/82 mmhg
HR : 85x/menit
E4VETM6
A
Masalah belum teratasi
P
Lanjutkan intervensi, pantau hemodinamik,
motivasi pasien dalam usaha bernapas,
kolaborasi pemberian plasmaferesis
BAB 3
PEMBAHASAN
A. Analisa kasus
Ny. S dengan Myastenia Gravis sebagai berikut :
Data objektif
BB 55kg
Airway Disability
Klien mengalami sumbatan pada GCS : E4 VET M6
jalan napas yaitu sputum berwarna Eksposure
putih dengan konsistensi kental dan Hematom di tangan kiri
berjumlah banyak Folley catheter
Breathing Terpasang kateter urin hari ke 2
RR : 12x/menit, terpasang Gastric tube
Endotrakeal Tube, kelemahan otot Terpasang NGT hari ke 5
pernapasan, tidak ada reflek batuk, Auskultasi paru : suara
menggunakan otot bantu vesikuler dan terdapat ronki basah
pernapasan, pernapasan tidak kering di perikardial kanan dan ke
sinkron dengan ventilator dua lobus paru
Circulation Ekstremitas : Terpasang infus hari
HR : 52 x/menit dan kekuatan nadi ke-2 di kaki kiri.
lemah Foto thorax : Gambaran
bronkopneumonia
Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena
kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada
sambungan neuro muscular. Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular
terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate
motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak
akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran
presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam
perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain
itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran
postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka
kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kondisi Ny. S mengalami kelemahan otot pada mata, tenggorokan dan
pernapasan. Jika menyerang otot menelan/ tenggorokan, penderita akan sulit
menelan, sulit berbicara; suara menjadi sengau atau berbicara menjadi cedal. Jika
yang diserang otot yang membantu pernapasan, penderita akan mengalami napas
yang pendek, sulit menarik napas secara dalam, hingga gagal napas yang
membutuhkan ventilator. Gagal napas dan keadaan lumpuh total (akibat MG
menyerang seluruh otot tubuh) ini merupakan myasthenia crisis.
Kelemahan otot pernapasan utama dapat mengakibatkan ketidakseimbangan
asam basa dalam paru yaitu alkalosis respiratorik. Ny. S memiliki PH basa dan
PCO2 rendah sehingga penurunan PaCO2 primer akan meningkatkan pH gas darah
>7,45 disebabkan meningkatnya ventilasi alveolar melebihi produksi CO2.
Penurunan PaCO2 (hipokapnia) menyebabkan dua efek yang bertentangan dalam
persamaan asam basa. Dalam jangka pendek terjadi peningkatan pH dan penurunan
HCO3 plasma akibat dari dapar jaringan, sedangkan dalam jangka panjang, (setelah
6-72 jam) ekskresi asam oleh ginjal akan dihambat, yang mengakibatkan penurunan
konsentrasi HCO3 plasma dan pH darah. Adanya akalosis respitarorik merupakan
tanda prognostik yang buruk karena mortalitas meningkat sebanding dengan
proporsi beratnya hipokapnia.
Pada sindrom hiperventilasi, dapat digunakan ventilator dengan frekuensi
yang dikurangi dan menambah ruang rugi. Pada sindrom hiperventilasi gelisah
pendekatan terapi aktif yangmemberikan ketenangan, sedasi, dan terutama
psikoterapi sangat bermanfaat. Bila alkalemia disebabkan hipokapnia berat dan
persisten, pemberian sedasi dibutuhkan. Alkalosis respiratori terjadi hiperventilasi
alveolar yang menyebabkan hipokapnia arterial. Penatalaksanaan alkalosis
respiratorik dengan ventilator dan pemberian obat untuk hiperventilasi simtomatik
dan mengatasi faktor penyebab. (Yanda, 2002).
B. Analisa intervensi keperawatan
Menurut Hudak & Gallo, (2013) pemberian hiperoksigenasi yang berlebihan
mempunyai efek samping. Bila dalam waktu lama dapat menyebabkan toksisitas
yang tinggi (dapat dilihat pada kasus cedera paru akut atau sindrom pada gawat
nafas akut), atelectasis absorbtif. Selain itu dapat terjadi narcosis karbondioksida
dengan manifestasi perubahan status mental, konfusi, sakit kepala, dan somnolen.
Pemberian hiperoksigenasi maksimal diberikan selama 2 menit pada tindakan
suction.
Saturasi oksigen adalah nilai rasio jumlah O2 terikat pada hemoglobin pada
kemampuan seluruh hemoglobin dapat berikatan dengan O2 (Hudak & Gallo,
2013). nilai dari saturasi oksigen normalnya berkisar 95 sampai dengan 100 %
(walaupun pengukuran yang lebih rendah mungkin normal pada beberapa pasien,
misalnya pada pasien PPOK. Saturasi oksigen dapat diukur dengan metode invasive
maupun non invasive. Pengukuran dengan metode invasive menggunakan analisa
gas darah. Adapun pengukuran metode non invasive menggunakan oksimetri nadi
(Kozier dan Erb, 2012).
Untuk menghindari terjadinya hipoksemi dari prosedur suctioning sangat
perlu dilakukan tindakan hiperoksigenasi. Hiperoksigenasi harus dilakukan pada
setiap tindakan suctioning dengan cara meningkatkan aliran oksigen 100 % melalui
ventilator mekanik. Hiperoksigenasi merupakan tehnik yang terbaik harus
dilakukan untuk meningkatkan nilai saturasi oksigen pada setiap prosedur suction
(Kozier & Erb, 2012).
Pada tindakan suction terjadi komplikasi yang dapat timbul diantaranya
salah terjadinya hipoksemia atau hipoksia. Pada proses dilakukan penghisapan tidak
hanya sekret yang terhisap, tetapi O2 juga terhisap dan menyebabkan kejadian
hipoksemia yang terjadi sesaat dengan tanda penurunan nilai saturasi oksigen atau
SpO2 (Saskatoon health Regional Authority, 2010) Dalam hal ini diperlukan
tindakan hiperoksigenasi sebelum tindakan suction (Brunner&Suddarth, 2012).
Hiperoksigenasi harus dilakukan pada setiap tindakan suctioning dengan cara
meningkatkan aliran oksigen 100 % melalui ventilator mekanik. Hiperoksigenasi
merupakan tehnik yang terbaik harus dilakukan untuk meningkatkan nilai saturasi
oksigen pada setiap prosedur suction (Kozier & Erb, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok intervensi I (dengan pemberian hiperoksigenasi 1
menit) dan kelompok intervensi II (dengan pemberian hiperoksigenasi 2 menit).
dengan p value 0,418 dengan r 0,210. Artinya sama pemberian hiperoksigenasi 1
menit dengan 2 menit (Hayati, Nur, Rayasari, Sofiani, & Irawati, 2019).
BAB 4
PENUTUP
e. Simpulan
Prosedur suction dilakukan dalam waktu yang singkat untuk
meminimalkan resiko hipoksemia, lama waktu suction 10 detik efektif dalam
meningkatkan saturasi oksigen. Pemberian hiperoksigenasi maksimal diberikan
selama 2 menit pada tindakan suction untuk mencegah sindrom pada gawat
napas akut sehingga hanya melakukan selama 1 menit. Pemberian suction
berkala dengan durasi 10 detik dengan hiperoksigenasi selama 1 menit dapat
meningkatkan saturasi oksigen dari 98% menjadi 99% dan menjaga kepatenan
jalan napas dari akumulasi sekret yang berlebih di jalan napas.
f. Saran
1. Bagi institusi pendidikan
Sebagai bahan pembelajaran klinik kebutuhan dasar kritis berdasarkan
evidence based nursing pada kasus Myastenia Gravis dengan gagal napas
2. Bagi perawat klinis
Perlu adanya kajian hiperoksigenasi yang tepat agar dapat diterapkan SOP
(Standar Operasional Prosedur) yang benar dan menguntungkan bagi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Hayati, T., Nur, B. M., Rayasari, F., Sofiani, Y., & Irawati, D. (2019). Perbandingan
Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit Dab Dua Menit Pada Proses Suction
Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Terpasang Ventilator. Journal of Telenursing
(JOTING), 1(1), 67–79.
Keliat, B. A., Mediani, H. S., & Tahlil, T. (2018). NANDA International Nursing
Diagnose : Definitions and Classification 2018-2020 (11th ed.). Jakarta: EGC.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC NOC (Jilid 3). Yogyakarta: MediAction.
Yanda, S. (2002). Gambaran Analisa Gas Darah pada Distres Pernapasan. Sari Pediatri,
4(3).
CRITICAL APPRAISAL
Hayati, T., Nur, B. M., Rayasari, F., Sofiani, Y., & Irawati, D. (2019). Perbandingan
Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit Dan Dua Menit Pada Proses Suction
Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Terpasang Ventilator. Journal of Telenursing
(JOTING), 1(1), 67–79.

Pertanyaan Fokus Yes


Bagian A : Apakah hasilnya valid?
A. Apakah studi tersebut menjelaskan masalahnya secara V
fokus (studi populasi, intervensi, kelompok
kontrol/intervensi, hasil)
B. Apakah pembagian pasien ke dalam kelompok intervensi
dan kontrol dilakukan secara acak (bagaimana dilakukan,
apakah alokasi pasien dilakukan secara tersembunyi dari
peneliti dan pasien)
C. Apakah semua pasien yang terlibat dalam penelitian V
dicatat dengan benar di kesimpulan (apakah dihentikan
lebih awal, apakah pasien dianalisis dalam kelompok
untuk yang mereka acak)
D. Apakah pasien, petugas kesehatan, dan responden
pada penelitian ini “blind” terhadap intervensi yang
dilaksanakan
E. Apakah waktu pelaksanaan untuk setiap grup sama? V

F. Selain intervensi yang dilaksanakan, apakah setiap grup V


diperlakukan sama/adil?

Pertanyaan Fokus Yes


Bagian B : Apa hasilnya?
A. Seberapa besar efek dari intervensi tersebut (outcome, V
hasilnya dijelaskan spesifik, hasil yang ditemukan, hasil
dari setiap outcome yang diatur)
B. Seberapa tepat dan akurat efek intervensi? V

Bagian C : Apakah hasil membantu secara lokal?


A. Bisakah hasilnya diterapkan pada populasi lokal, atau V
konteks saat ini di lingkungan sekarang (apakah
karakteristik pasien sama dengan tempat bekerja/populasi
anda, jika berbeda apakah perbedaannya)
B. Apakah hasil penelitian ini penting secara klinis untuk V
dipertimbangkan (apakah informasi yang anda inginkan
sudah terdapat dalam penelitian, jika tidak apakah akan
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan)
C. Apakah manfaatnya sepadan dengan bahaya dan biaya yang V
dibutuhkan (meskipun tidak tercantum dalam
penelitian, bagaimana menurut anda?)
Rodrigues, J., Amorim, V., Lourenc¸o, M. M., & Jamami, M. (2017). Comparing the
Effects of Two Different Levels of Hyperoxygenation on Gas Exchange During Open
Endotracheal Suctioning : A Randomized Crossover Study. Respiratory Care, 62(1),
92–101. https://doi.org/10.4187/respcare.04665

Pertanyaan Fokus Yes


Bagian A : Apakah hasilnya valid?
A. Apakah studi tersebut menjelaskan masalahnya secara V
fokus (studi populasi, intervensi, kelompok
kontrol/intervensi, hasil)
B. Apakah pembagian pasien ke dalam kelompok intervensi V
dan kontrol dilakukan secara acak (bagaimana dilakukan,
apakah alokasi pasien dilakukan secara tersembunyi dari
peneliti dan pasien)
C. Apakah semua pasien yang terlibat dalam penelitian V
dicatat dengan benar di kesimpulan (apakah dihentikan
lebih awal, apakah pasien dianalisis dalam kelompok
untuk yang mereka acak)
D. Apakah pasien, petugas kesehatan, dan responden V
pada penelitian ini “blind” terhadap intervensi yang
dilaksanakan
E. Apakah waktu pelaksanaan untuk setiap grup sama? V

F. Selain intervensi yang dilaksanakan, apakah setiap grup V


diperlakukan sama/adil?
Pertanyaan Fokus Yes

Bagian B : Apa hasilnya?


A. Seberapa besar efek dari intervensi tersebut (outcome, V
hasilnya dijelaskan spesifik, hasil yang ditemukan, hasil
dari setiap outcome yang diatur)
B. Seberapa tepat dan akurat efek intervensi? V

Bagian C : Apakah hasil membantu secara lokal?

A. Bisakah hasilnya diterapkan pada populasi lokal, atau V


konteks saat ini di lingkungan sekarang (apakah
karakteristik pasien sama dengan tempat
bekerja/populasi anda, jika berbeda apakah
perbedaannya)
B. Apakah hasil penelitian ini penting secara klinis untuk V
dipertimbangkan (apakah informasi yang anda inginkan
sudah terdapat dalam penelitian, jika tidak apakah akan
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan)
C. Apakah manfaatnya sepadan dengan bahaya dan biaya V
yang dibutuhkan (meskipun tidak tercantum dalam
penelitian, bagaimana menurut anda?)

Anda mungkin juga menyukai