TREPANASI
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Etiologi
Beberapa penyebab cedera kepala (Smeltzer, 2001; Long,1996), antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Perkelahian
3. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul
suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar
dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan
dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
( Lombardo, 2003).
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala
tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
4. Pathway
5. Penatalaksanaan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan
operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive (seperti
adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan kondisi lain
pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Epidural Hematoa (EDH) adalah
suatu pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural
Hematoa (SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater
dan dengan araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1)
Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai
faktor,2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera sistemik yang
memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah memonitor
kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total, pemberian obat-obatan,
observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi / fungsi otak, mencegah
komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal,
mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga, pemberian informasi tentang
proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
1. PENGKAJIAN:
1.1 Identitas
Nama : TN. A.
Umur : 50 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia.
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
1.2 Alasan MRS : kecelakaan lalu lintas, naik sepeda motor ditabrak truck, klien
tidaksadarkan diri dari kejadian sampai dibawa ke RS, muntah-
muntah (-), kejang (-) dan klien dibawa ke RSUD Cepu dan
langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo.
1) Pernapasan
Klien menggunakan respirator, Mode: CR Insp MV: 500 Exp MV: - FIO2: : 50%
A:aDO2:
Bentuk dada simetris, tidak ada jejas pada daerah dada, wheezing -/-, Ronchi +/+, RR
18 x/menit. Pada hidung terpasang NGT.
2) Kardiovaskuler/sirkulasi:
S1, S2 tunggal, tidak ada suara tambahan, hasil monitor EKG: irama sinus 75 x/menit,
tekanan darah: 130/100, suhu: 36,5 C
3) Persarafan/neurosensori
Klien tampak gelisah, GCS: 1 – x – 1 , pupil isokor, reaksi cahaya +/+
1.9 Terapi:
Rantin 2x 1 IV Novalgin 3 x 1 amp IV
Afriaxon 1 x 2 gr IV Dilantin 3x 100 IV
Manitol 4 x 100 cc
Fisioterapi napas + Suction tiap 3 jam.
2. ANALISA DATA
O2
Pe tek.hidrostatik
kebocoran cairan kapiler
Pe hambatan difusi O2 -
CO2
Hipoksemia
Mual, muntah
DS: -
TIK
O2
Penurunan kesadaran
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hemoragi/ hematoma; edema cerebral
2. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan
otak).
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan yang tidak adekuat
5. Sindroma defisit perawatan diri b.d penurunan kesadaran
Tujuan:
Berikan obat:
Manitol 4 x 100 cc
iv
Dilantin 3 x 100
mg IV
DP 2: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernapasan otak).
Tujuan:
Lakukan fisioterapi
Napas .
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
DP 3:
Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria evaluasi:
2
- Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan,
daerah yang terpasang alat invasi (infus, drain,catheter),
drainase dari drain warna merah, infus tidak ada plebitis,
cateter terfiksasi baik, warna urine kuning jernih. Kulit
kering tidak tampak tanda inflamasi.
- Melakukan perawatan luka secara aseptik.
P: Rencana keperawatan :
3. Resiko tinggi S:
terhadap infeksi b.d
O:
trauma jaringan,
kulit rusak, prosedur TTV stabil TD berkisar antara 140/80 -
invasif. 150/100, nadi: 72 - 80 x/menit, RR: 17 –
22 x/menit. suhu : 37,3 – 37,7 C.
Cairan drain kepala warna merah, luka
ditangan merembes cairan (serum) warna
kekuning-kuningan.
A: masalah infeksi belum terjadi