Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA DENGAN

TREPANASI

A. Konsep Dasar Penyakit Cedera Kepala

1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Etiologi
Beberapa penyebab cedera kepala (Smeltzer, 2001; Long,1996), antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Perkelahian

3. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul
suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar
dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan
dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
( Lombardo, 2003).
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala
tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
4. Pathway

5. Penatalaksanaan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan
operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive (seperti
adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan kondisi lain
pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Epidural Hematoa (EDH) adalah
suatu pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural
Hematoa (SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater
dan dengan araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1)
Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai
faktor,2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera sistemik yang
memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah memonitor
kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total, pemberian obat-obatan,
observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi / fungsi otak, mencegah
komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal,
mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga, pemberian informasi tentang
proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.

ASUHAN KEPERAWATAN TN. A


POST OP TREPANASI DENGAN CEDERA OTAK BERAT
DI RUANG ICU LT 3
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

1. PENGKAJIAN:

1.1 Identitas

Nama : TN. A.

Umur : 50 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia.

Agama : Islam

Alamat : Blimbing Ngeran Bojonegoro

Pekerjaan : tidak bekerja

Pendidikan : SLTA

Tgl.MRS : 28 April 2019 jam: 02.30

Tgl. Pengkajian : 29 April 2019 jam: 08.00

Diagnosa Medik : Post op Trepanasi Cedera Otak Berat, OF TP (S)

1.2 Alasan MRS : kecelakaan lalu lintas, naik sepeda motor ditabrak truck, klien
tidaksadarkan diri dari kejadian sampai dibawa ke RS, muntah-
muntah (-), kejang (-) dan klien dibawa ke RSUD Cepu dan
langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo.

1.3 Observasi dan pemeriksaan fisik:

1) Pernapasan
Klien menggunakan respirator, Mode: CR Insp MV: 500 Exp MV: - FIO2: : 50%
A:aDO2:
Bentuk dada simetris, tidak ada jejas pada daerah dada, wheezing -/-, Ronchi +/+, RR
18 x/menit. Pada hidung terpasang NGT.
2) Kardiovaskuler/sirkulasi:
S1, S2 tunggal, tidak ada suara tambahan, hasil monitor EKG: irama sinus 75 x/menit,
tekanan darah: 130/100, suhu: 36,5 C
3) Persarafan/neurosensori
Klien tampak gelisah, GCS: 1 – x – 1 , pupil isokor, reaksi cahaya +/+

4) Perkemihan – Eliminasi uri


Terpasang Dower kateter produksi urine 1000 ml/12 jam warna kuning jernih

5) Pencernaan – Eliminasi alvi


infus Dext 1500cc/24 jam, manitol 4 x 100 cc/24 jam. Tidak ada jejas pada daerah
abdomen, bising usus (+), b.a.b (-). Cairan maag slang warna kecoklatan 200 cc.
6) Tulang – otot – integumen:
Kemampuan pergerakan pada ektrimitas atas dan bawah tidak dapat dikaji karena
pasien dalam tingkat kesadaran koma. Pada kepala ada luka operasi tertutup hipafix,
tidak tampak adanya perdarahan, kulit wajah dibagian rahang bawah tampak lecet-lecet,
kedua kelopak mata odem dan hematoma. Turgor baik, warna kulit pucat.

1.8 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium tanggal 30 April 2019:


Hb: 9,3 gr/dl. Leko: 5,6. Trombo: 101.
PCV: 0,28.
Blood Gas:
PH: 7,265 PCO2: 46,0 PO2: 259,4
HCO3: 20,4 BE: -6,6
CT Scan tanggal 29 April 2002:
 ICH daerah temporofrontal kiri dengan pnemotocele.
 Fr Impresi frontal kanan dan kiri
 Fraktur temporal kiri

1.9 Terapi:
Rantin 2x 1 IV Novalgin 3 x 1 amp IV
Afriaxon 1 x 2 gr IV Dilantin 3x 100 IV
Manitol 4 x 100 cc
Fisioterapi napas + Suction tiap 3 jam.
2. ANALISA DATA

Data Kemungkinan penyebab Masalah

DS: - Trauma kepala Gangguan perfusi


jaringan cerebral
DO: 

Kesadaran me , GCS: 1 Hematom Subarachnoid


x 1,

CT Scan :
Odema otak
 ICH daerah

temporofrontal kiri
dengan  TIK
pnemotocele.

 Fr Impresi frontal
kanan dan kiri Aliran darah ke otak 
 Fraktur temporal
kiri 

O2 

DS: - TIK  Gangguan pola


napas
DO: 

Menggunakan respirator,  rangsangan simpatis


Mode: CR Insp MV:
500 Exp MV: - FIO2: : 

50% A:aDO2:  tahanan vaskuler sistemik


Wheezing -/-, Ronchi +/+,
RR 18 x/menit 

terjadi pe  tek. pada sist.


pemb. darah pulmonal.

Pe  tek.hidrostatik 
kebocoran cairan kapiler

Pe  hambatan difusi O2 -
CO2

Hipoksemia

DS: - Trauma kepala Resiko nutrisi


kurang dari
DO: 
kebutuhan tubuh
GCS: 1-x-1, terpasang Stress
sonde, infus Dex 1500

cc/24 jam.
Pe  katekolamin
NGT dibuka, cairan maag
slang warna coklat 200 cc. 

Pe  sekresi asam lambung

Mual, muntah

Asupan tidak adekuat

DS: -

DO: Trauma jaringan, kulit rusak, Resiko tinggi


prosedur invasif. terhadap infeksi
Luka post op trepanasi
pada farietal tertutup
pembalut, tidak tampak
adanya perdarahan, luka
laserasi pada rahang
bawah dan tertutp kasa
serta luka jejas pada
phalank distal sinistra dan
mengeluarkan bau dan
secret berwarna kuning,
Turgor baik, warna kulit
pucat. Klien terpasang
respirator, dower katheter,
NGT.
Hasil lab: Hb: 9,3 gr/dl.
Leko: 5,6.

DS: - Trauma kepala Sindroma defisit


perawatan diri
DO: 
Kesadaran me , GCS: 1-
Hematom Subarachnoid
x-14
Klieb tidak sadar 

 TIK

Aliran darah ke otak 

O2 

Penurunan kesadaran

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hemoragi/ hematoma; edema cerebral
2. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan
otak).
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan yang tidak adekuat
5. Sindroma defisit perawatan diri b.d penurunan kesadaran

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


DP 1: Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi/ hematoma; edema
cerebral.

Tujuan:

 Mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.


Kriteria hasil:

 Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK


 Tingkat kesadaran membaik
Intervensi Rasional

Pantau /catat status Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan


neurologis secara teratur TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
dan bandingkan dengan perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
nilai standar GCS.

Evaluasi keadaan pupil,


Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
ukuran, kesamaan antara
berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
kiri dan kanan, reaksi
baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan
terhadap cahaya.
antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan
okulomotor (III).

Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan


Pantau tanda-tanda vital: TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
TD, nadi, frekuensi nafas, terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan
suhu. kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat
mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam
dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.

Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh


yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes
insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
Pantau intake dan out put, masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah
turgor kulit dan membran yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap
mukosa. tekanan serebral.

Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi


fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan TIK.

Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak


Turunkan stimulasi dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
eksternal dan berikan
kenyamanan, seperti
lingkungan yang tenang.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
Bantu pasien untuk akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
menghindari /membatasi terjadinya peningkatan TIK.
batuk, muntah, mengejan.
Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema
Tinggikan kepala pasien 5- serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD
15 derajad. dan TIK.

Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat


meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
Batasi pemberian cairan
yang meningkatkan TIK.
sesuai indikasi.
Manitol digunakan untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak dan TIK. Sedatif digunakan
Berikan oksigen tambahan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
sesuai indikasi.

Berikan obat:

 Manitol 4 x 100 cc
iv
 Dilantin 3 x 100
mg IV
DP 2: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernapasan otak).

Tujuan:

 Mempertahankan pola pernapasan efektif melalui ventilator.


Kriteria evaluasi:

 Tidak ada sianosis, Blood Gas dalam batas normal


Intervensi Rasional

Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi


kedalaman pernapasan pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan
setiap 1 jam. Catat otak.
ketidakteraturan
pernapasan.

Pantau / cek pemasangan


tube, selang ventilator Adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya
sesering mungkin. pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara
yang tidak adekuat.
Siapkan ambu bag tetap
berada didekat pasien Membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada
gangguan pada ventilator.
Lakukan penghisapan
dengan ekstra hati-hati, Penghisapan pada trakhea dapat menyebabkan atau
jangan lebih dari 10-15 meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
detik. Catat karakter, vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
warna dan kekeruhan dari cukup besar pada perfusi jaringan.
sekret.

Lakukan fisioterapi
Napas .
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti


Auskultasi suara napas, atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
perhatikan daerah membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
hipoventilasi dan adanya menandakan terjadinya infeksi paru.
suara tambahan yang tidak
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.
Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan
Pantau analisa gas darah,
asam basa dan kebutuhan akan terapi.
tekanan oksimetri
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
Lakukan ronsen thoraks
tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau
ulang.
bronkopneumoni.

DP 3:

Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
Tujuan: tidak terjadi infeksi

Kriteria evaluasi:

Tidak ada tanda-tanda infeksi.


Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi Rasional

Berikan perawatan aseptik Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi


dan antiseptik, nosokomial.
pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.
Observasi daerah kulit
yang mengalami Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
kerusakan, daerah yang untuk melakukan tindakan dengan segera dan
terpasang alat invasi, catat pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
karakteristik dari drainase
dan adanya inflamasi.

Pantau suhu tubuh secara


teratur, catat adanya
demam, menggigil,
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
diaforesis.
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan
Berikan antibiotik sesuai segera.
program dokter.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
mengalami trauma, atau setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi.
TINDAKAN KEPERAWATAN
Tanggal Diagnosa Tindakan Keperawatan

29/4/19 1 - Mengobservasi dan mencatat status neurologis dan tanda-


tanda vital setiap 1 jam, GCS: 1- x - 1, pupil: isokor
reaksi cahaya +/+, TD 130/90, nadi 76 , RR: 17x/menit,
suhu: 37C.
- Memantau intake dan out put, turgor kulit cukup dan
membran mukosa agak kering.
- Memberi posisi dengan meninggikan kepala pasien 30
derajad.
- Memberian cairan infus Dext 21 tetes/menit.
- Memberikan obat:
 Rantin 2 x 1 iv ( jam 12.00 – 24.00)
 Novalgin 3 x 1 amp IV ( jam 12.00 – 20.00 – 04.00)
 Afriaxon 1 x 2 gr iv ( jam 12.00 – 24.00)
 Manitol 4 x 100 cc/drip ( jam 12.00 – 18.00 - 24.00 –
– 06.00 )

- Mengecek pemasangan tube dan selang ventilator.


- Melakukan fisioterapi napas dan melakukan penghisapan
sekret setiap 3 jam (jam 08.00 – 11.00 – 14.00 – 17.00 –
20.00 – 23.00 –02.00 – 05.00) , mencatat karakter warna
lendir putih kental.
- .Mendengarkan suara napas: ronkhi +/+, wheezing -/-.

2
- Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan,
daerah yang terpasang alat invasi (infus, drain,catheter),
drainase dari drain warna merah, infus tidak ada plebitis,
cateter terfiksasi baik, warna urine kuning jernih. Kulit
kering tidak tampak tanda inflamasi.
- Melakukan perawatan luka secara aseptik.

30/4/19 1 - Mengobservasi dan mencatat status neurologis dan tanda-


tanda vital setiap 1 jam, GCS: 1- x-1, pupil: isokor reaksi
cahaya +/+, TD 145/90, nadi 78 , RR: 20x/menit, suhu:
37C.
- Memantau intake dan out put, turgor kulit cukup dan
membran mukosa agak kering.
- Memberi posisi dengan meninggikan kepala pasien 15 
- Memberikan cairan infus Tutofusi OPS: 14 tetes/menit,
cabang Intrafusin 3,5: 7 tetes/menit
- Memberikan obat:
 Rantin 2 x 1 iv ( jam 12.00 – 24.00)
 Novalgin 3 x 1 amp IV ( jam 12.00 – 20.00 – 04.00)
 Afriaxon 1 x 2 gr iv ( jam 12.00 – 24.00)
 Manitol 4 x 100 cc/drip ( jam 12.00 – 18.00 - 24.00 –
– 06.00 )

- Melakukan fisioterapi napas, memberikan nebulizer dan


melakukan penghisapan sekret setiap 3 jam (jam 08.00 –
11.00 – 14.00 – 17.00 – 20.00 – 23.00 –02.00 – 05.00) ,
mencatat karakter warna lendir putih kental.
Mendengarkan suara napas: ronkhi +/+, wheezing -/-.

- Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan,


daerah yang terpasang alat invasi (infus, drain,catheter),
drainase dari drain warna merah, infus tidak ada plebitis,
2 cateter terfiksasi baik, warna urine kuning jernih. Kulit
kering tidak tampak tanda inflamasi.
- Melakukan perawatan luka secara aseptik.
- Melakukan pemeriksaan lab:

1/5/19 Pasien Meninggal


EVALUASI
TGL DIAGNOSA EVALUASI

29/4/2019 1. Perubahan perfusi S: -


jaringan serebral
O:
berhubungan dengan
hemoragi/  Klien masih tampak gelisah, GCS: 1- x-1
hematoma; edema pupil isokor reaksi cahaya +/+
cerebral.  TTV stabil TD berkisar antara 140/100 -
120/90, nadi: 72 - 76 x/menit, RR: 17 – 22
x/menit, suhu : 36,6 – 37,5 C.
A: masalah belum teratasi

P: rencana tindakan dilanjutkan

29/4/2019 2. Pola napas tidak S: -


efektif berhubungan
O:
dengan kerusakan
neurovaskuler TTV stabil TD berkisar antara 130/100 -
(cedera pada pusat 90/70, nadi: 72 - 76 x/menit, RR: 17 – 22
pernapasan otak). x/menit. Ventilator terpasang Menggunakan
respirator, Mode: CR Insp MV: 500 Exp
MV: - FIO2: : 50% A:aDO2:
Wheezing -/-, Ronchi +/+,
RR 18 x/menit
A: Masalah belum teratasi

P: Rencana keperawatan dilanjutkan,

29/4/2019 3. Resiko tinggi S:


terhadap infeksi b.d
O:
trauma jaringan,
kulit rusak, prosedur  TTV stabil TD berkisar antara 140/80 -
invasif. 150/100, nadi: 72 - 80 x/menit, RR: 17 –
22 x/menit. suhu : 36,8 – 37,5 C.
 Cairan drain kepala warna merah, luka
ditangan merembes cairan (serum) warna
kecoklatan.
A: masalah belum terjadi

P: rencana tindakan dilanjutkan

30/4/2019 Perubahan perfusi S: -


jaringan serebral
O:
berhubungan dengan
hemoragi/  GCS: 1- 1-1 pupil isokor reaksi cahaya +/+
hematoma; edema  TTV stabil TD berkisar antara 130/100 -
cerebral. 140/110, nadi: 72 - 76 x/menit, RR: 17 –
22 x/menit, suhu : 36,6 – 37,5 C.
A: masalah belum teratasi

P: rencana tindakan dilanjutkan.

2. Pola napas tidak S: -


efektif berhubungan
O:
dengan kerusakan
neurovaskuler TTV stabil TD berkisar antara 130/100 -
(cedera pada pusat 90/70, nadi: 72 - 76 x/menit, RR: 17 – 22
pernapasan otak). x/menit. Ventilator dilepas, dipasang T –Piece ,
dengan O2 6 lt/menit, Ronchi +/+,
RR 18 x/menit
 Hasil Blood Gas Blood Gas:
PH: 7,265 PCO2:46,0 PO2: 254,4
HCO3: 20,4 BE: - 6,6
A: Masalah belum teratasi

P: Rencana keperawatan :

Klien bernapas dengan alat Bantu T-Piece.

3. Resiko tinggi S:
terhadap infeksi b.d
O:
trauma jaringan,
kulit rusak, prosedur  TTV stabil TD berkisar antara 140/80 -
invasif. 150/100, nadi: 72 - 80 x/menit, RR: 17 –
22 x/menit. suhu : 37,3 – 37,7 C.
 Cairan drain kepala warna merah, luka
ditangan merembes cairan (serum) warna
kekuning-kuningan.
A: masalah infeksi belum terjadi

P: rencana tindakan dilanjutkan

Tanggal 1/5/2019 klien meninggal

Anda mungkin juga menyukai