Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Wilayah

Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk

memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.

Menurut MT Zen pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan

daripada masalah kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan.

Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar

memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga

merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses

tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrumen yang

digunakan (Alkadri et.al, 2001).

Berdasarkan filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan

upaya memberdayakan stake holders (masyarakat, pemerintah, pengusaha) di suatu

wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah

tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi.

Pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis

sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung

lingkungan itu sendiri (Alkadri et.al, 2001).

Universitas Sumatera Utara


Tujuan utama dari pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai

kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumber

daya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat

sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal

berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial

budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan (Ambardi dan Prihawantoro,

2002).

Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil

kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu

pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut UU No. 26/2007

tentan Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis

beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan

berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Susilo, 2002).

2.1.1. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori kutub pertumbuhan yang terkenal dikembangkan oleh Francois

Perraoux seorang ahli ekonomi Perancis yang berpendapat bahwa fakta dasar dari

perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah

bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara

serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan

intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-

saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap

keseluruhan perekonomian (Adisasmita, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Lebih spesifik lagi Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan regional

sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah

perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut keseluruh

daerah pengaruhnya (Dawkins, 2003). Konsep-konsep yang dikemukakan di dalam

teori pusat pertumbuhan antara lain:

1. Konsep leading industries dan perusahaan propulsif, menyatakan bahwa di

pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan besar yang bersifat

propulsif yaitu perusahaan yang relatif besar, menimbulkan dorongan dorongan

pertumbuhan nyata terhadap lingkungannya, mempunyai kemampuan inovasi

tinggi, dan termasuk ke dalam industri-industri yang cepat berkembang. Dalam

konsep ini leading industries adalah:

a. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang

mendorong iklim pertumbuhan kondusif ke dalam suatu daerah permintaan

terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi dan

biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.

b. Mempunyai kaitan-kaitan antara industri yang kuat dengan sektor-sektor

lainnya sehingga terbentuk forward linkages dan backward linkages.

2. Konsep polarisasi. Konsep ini mengemukakan bahwa pertumbuhan leading

industries yang sangat cepat (propulsive growth) akan mendorong polarisasi

dari unit-unit ekonomi lainnya ke kutub pertumbuhan.

3. Konsep spread effect. Konsep ini mengemukakan bahwa pada suatu waktu

kualitas propulsif dinamis dari kutub pertumbuhan akan memencar dan

Universitas Sumatera Utara


memasuki ruang-ruang di sekitarnya. Menurut Myrdal dan Hirschman, spread

effect atau trickling down effect merupakan lawan dari back wash effect atau

polarization effect.

Dalam penerapannya, teori kutub pertumbuhan digunakan sebagai alat

kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah. Banyak negara telah menerima

konsep kutub pertumbuhan sebagai alat tranformasi ekonomi dan sosial pada skala

regional. Namun demikian konsep ini banyak mendapat kritik para ahli, yang pada

umumnya berpendapat bahwa penerapan konsep ini cenderung semakin

meningkatkan disparitas wilayah negara sedang berkembang, terutama antara daerah

pusat atau kutub dengan daerah pengaruhnya.

Gejala ini disebabkan karena pusat pertumbuhan yang umumnya adalah kota-

kota besar ternyata sebagai pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan

ekonomi dan sosial adalah cukup kuat, sehingga terjadi tarikan urbanisasi dari desa-

desa wilayah pengaruh ke pusat pertumbuhan (kota besar), atau terjadi dampak

polarisasi yaitu daerah pusat atau kutub cenderung lebih banyak menarik sumber

daya dari daerah belakang daripada spread effect yang ditimbulkannya, akibatnya

daerah pusat yang lebih maju akan bertambah maju, sedangkan daerah belakang akan

semakin tertinggal.

2.1.2. Teori Tempat Pusat

Teori tempat pusat (Central Place Theory) pertama kali diperkenalkan oleh

Walter Christaller seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman. Teori ini timbul dari

perhatian Christaller terhadap penyebaran permukiman, desa, dan kota-kota yang

Universitas Sumatera Utara


berbeda-beda ukuran luasnya di Jerman Selatan. Penyebaran tersebut kadang

bergerombol atau berkelompok, kadang juga terpisah jauh antara satu dengan yang

lainnya. Menurut Christaller dalam Jayadinata (1999), pusat-pusat pelayanan

cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam).

Keadaan seperti itu akan terjadi secara jelas di wilayah yang mempunyai syarat: (1)

topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh

dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2)

kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi

primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batubara.

Menurut proses yang sama, jika perkembangan wilayah meningkat akan

berkembang hierarki jenjang ketiga, yaitu salah satu kampung akan tumbuh menjadi

kota yang dikelilingi oleh enam kampung yang dilayaninya. Pada hierarki jenjang

keempat terdapat kota besar yang dikelilingi oleh enam kota yang dilayaninya.

Karena perkembangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kota-kota umumnya timbul

sebagai akibat perkembangan potensi wilayah (alam dan manusia), dan kemudian

kota sebagai pusat pelayanan berperan dalam mengembangkan wilayah.

Sedangkan ide dasar yang dikemukakan oleh Losch dalam Dawkins (2003)

adalah bahwa ukuran relatif wilayah pemasaran suatu perusahaan, digambarkan

sebagai tempat penjualan produk perusahaan dipengaruhi oleh biaya-biaya

transportasi dan skala ekonomi. Jika pengaruh skala ekonomi relatif lebih besar dari

biaya transportasi maka seluruh produksi akan terkumpul pada satu tempat.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan jika pengaruh biaya transportasi relatif lebih besar dari skala ekonomi

maka perusahaan akan menyebar keseluruh wilayah.

Pembagian hierarki pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah sering tidak

merata sehingga mengakibatkan ketidakmerataan di dalam pelayanan kepada

masyarakat. Selain itu kadang akses untuk mencapai pusat pelayanan sulit, sehingga

mengakibatkan wilayah belakang (Hinterland) menjadi terbelakang karena tidak

ditunjang dengan jumlah fasilitas yang memadai untuk dapat meningkatkan

produktivitasnya maupun pelayanannya kepada masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan suatu usaha untuk

meningkatkan peran pusat-pusat pelayanan, termasuk dengan meningkatkan akses

kemudahan pencapaian dari wilayah belakang (hinterland) menuju pusat pelayanan

yang terdekat. Di dalam sistem pelayanan yang baik harus memiliki keseimbangan

antara pola kebutuhan dan jasa pelayanan sehingga dalam peningkatan kebutuhan

akan diikuti dengan jasa pelayanan yang semakin besar.

Apabila jumlah penduduk di suatu wilayah dengan satu pusat telah melebihi

ambang batas dan terus meningkat hingga mencapai jumlah tertentu, kemungkinan

penduduk yang berada jauh dari pusat telah melebihi jarak ekonomi, sehingga mereka

akan mencari pelayanan di pusat-pusat lainnya yang terdekat. Dalam melakukan

strategi pengembangan wilayah di pusat-pusat pelayanan memiliki beberapa

keuntungan:

Universitas Sumatera Utara


a) Adanya penghematan terhadap investasi yang dikeluarkan, karena strategi

yang bersifat desentralisasi konsentrasi sehingga tidak semua wilayah

mendapatkan investasi tetapi hanya wilayah yang berpotensi saja.

b) Adanya perkembangan pusat-pusat pelayanan hingga ke wilayah belakang

(hinterland) melalui akses pencapaian yang memadai untuk mengatasi

kesenjangan wilayah.

c) Terselenggaranya pengembangan antara kota dan desa dengan baik karena

saling menguntungkan.

Selain itu Fisher dan Rushton menyatakan bahwa jaringan pusat-pusat

pelayanan yang memiliki hierarki akan menguntungkan penduduk di sekitar pusat

tersebut (Rezeki, 2007). Keuntungan tersebut adalah:

a) Membuat efisiensi bagi konsumen karena pemenuhan terhadap kebutuhan yang

berbeda-beda akan didapatkan dengan sekali bepergian keluar dari desa.

b) Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan

antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai cara alternatif terhadap

jalur hubungan sehingga jalur yang paling penting dan kemampuan pemenuhan

kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal.

c) Mengurangi panjang jalan yang harus ditingkatkan karena sudah diketahui jalur

yang paling penting bagi setiap desa sehingga dapat ditentukan prioritas dalam

pengembangan jalan.

d) Mengurangi biaya untuk penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan bagi fasilitas-

fasilitas yang ada, karena biaya tersebut ditanggung secara bersamasama.

Universitas Sumatera Utara


e) Pengawasan lebih efektif dan ekonomis karena berbagai aktivitas bergabung

menjadi satu di pusat pelayanan.

f) Memudahkan adanya pertukaran informasi antar berbagai aktivitas yang saling

berhubungan.

g) Lokasi-lokasi dengan keunggulan lokasi sumberdaya akan berkembang secara

spontan sebagai respon terhadap kebutuhan di wilayah belakangnya (hinterland).

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa wilayah dalam perkembanganya

memiliki pusat dan sub pusat sebagai wilayah pengaruhnya. Pusat dapat diartikan

sebagai kota yang menjadi pusat pelayanan dan terkonsentrasinya kegiatan. Besarnya

wilayah kota dipengaruhi oleh jarak pelayanan bagi penduduknya, sehingga dalam

satu pusat dapat memberikan pelayanan maksimalnya. Penduduk yang belum

menerima pelayanan, akan dilayani oleh pusat lainnya sehingga hubungan antar pusat

tersebut akan membentuk pola heksagonal dimana masing-masing wilayah pengaruh

memiliki pusat sendiri.

2.2. Struktur Ruang

Kata kunci di dalam menggambarkan struktur pemanfaatan ruang adalah

gambaran mengenai hubungan keterkaitan (linkages) antara aspek-aspek aktivitas-

aktivitas pemanfaatan ruang. Salah satu wujud pendeskripsian wilayah sebagai suatu

sistem, adalah aspek struktur hubungan antar komponen-komponen yang ada di

dalam wilayah tersebut. Deskripsi interaksi antar komponen wilayah yang paling

umum adalah aliran penduduk antar wilayah atau pusat-pusat konsentrasi wilayah,

Universitas Sumatera Utara


yang sering digambarkan dengan aliran arus perjalanan (trips) dan migrasi. Aliran

jumlah kendaraan baik dalam bentuk tabel maupun peta, merupakan pendekatan yang

paling umum. Menurut UU No. 26/2007 tentan Penataan Ruang, Struktur ruang

adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana

yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara

hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Di dalam pendeskripsian interaksi spasial di daratan, secara spasial aspek

keterkaitan digambarkan melalui unsur jaringan prasarananya (jaringan jalan

raya,jaringan rel kereta api, dan lain-lain), sarana angkutan (bis, kendaraan roda

empat, sepeda motor, dan lain-lain), oblek yang dialirkan (orang/penumpang,

barang), jasa, informasi, dan lain-lain), besaran aliran (jumlah kendaraan, jumlah

orang/penumpang, volume barang, nilai barang jasa yang dialirkan, dan lain-lain,

hingga aspek tujuan/maksud dari interaksi yang dituju (tujuan pergi bekerja,

disrribusi pemasaran output barang/jasa, tujuan-tujuan sosial, bersekolah/pendidikan,

dan lain-lain) (Rustadi, dkk, 2011).

Aspek kedua struktur ruang setelah struktur jaringan prasarana adalah aspek

struktur pusat-pusat aktivitas permukiman. Pada akhirnya, gambaran mengenai

kapasitas atau hierarki pusat-pusat dan linkage berimplikasi pada kebutuhan sarana

dan prasarana. Adanya mekanisme pasar menyebabkan terpenuhinya sebagian dari

sarana yang dibutuhkan. Di daerah-daerah tertentu, terutama pada kawasan-kawasan

permukiman yang tidak terjangkau trayek kendaraan umum, kebutuhan sarana

transportasi dipenuhi oleh sektor informal penyedia jasa transportasi seperti ojek

Universitas Sumatera Utara


kendaraan.bermotor roda dua. Fenomena ojek di berbagai lokasi nyaris mendekati

fenomena mekanisme pasar yang sempurna berskala local jumlah ojek (sisi supply)

dan penumpang (sisi demand) berada di dalam keseimbangan yang dinamis sesuai

dengan kompetisi pasar di tingkat local, terlihat nyaris tanpa keterlibatan langsung

pemerintah. Sarana angkutan umum roda empat umumnya merupakan sektor jasa

transportasi yang tergolong sebagai sektor formal.

Pemerintah daerah terlibat langsung di dalam penyediaan sarana angkutan ini

melalui mekanisme ijin trayek, kebijakan jalur trayek yang diselenggarakan, dan

penetapan tarif angkutan. Sektor swasta yang memiliki ijin trayek menyediakan

sarana angkutan roda empatnya. Sektor Prasarana transportasi berupa pembangunan

jalan raya, jembatan dan terminal umumnya merupakan tanggungjawab dan

kewenangan pemerintah di dalam penyediaannya (Rustadi, dkk, 2011).

2.3. Struktur Ruang dan Keberlanjutan Perkotaan

Pengaruh struktur ruang terhadap keberlanjutan perkotaan telah menjadi

perhatian serius di kota-kota di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Studi-studi

terhadap kotakota di Amerika Utara yang banyak dikategorikan sebagai “tidak

berlanjut” (unsustainable) telah mempersalahkan pola ruang semrawut (sprawling)

yang dicirikan antara lain oleh pola penggunaan lahan melompat (leapfrog), tata guna

lahan terpencar dan tingkat kepadatan rendah (Gilham, 2002). Kerugian yang

diakibatkan oleh pola ruang seperti ini sangat luas, meliputi antara lain konversi lahan

hijau secara signifikan menjadi permukiman, komersial atau industri, memicu

Universitas Sumatera Utara


tumbuhnya “lahan tidur”, ancaman pada ekosistem dan daerah yang sensitif secara

lingkungan, meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi, dan menuntut

pembangunan infrastruktur yang berlebihan (TCRP, 2002). Hal ini telah mendorong

kota-kota di negara-negara maju untuk meneliti dampak struktur ruang dan

karakteristiknya terhadap keberlanjutan perkotaan (urban sustainability) seperti studi

oleh Marshall dan Banister (2005.

Sementara itu pada sisi lain, banyak kota-kota di negaranegara berkembang

yang mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius belum

melakukan identifikasi empiris yang memadai terhadap pola ruang yang dialami.

Studi-studi yang mengamati karakteristik tata ruang di kota-kota berkembang justru

sering salah kaprah dengan kenyataan tingginya kepadatan kota yang dalam literatur

Barat diasosiasikan sebagai karakteristik kota yang berlanjut (sustainable). Adanya

paradoks ini terlihat seperti pada studi yang dilakukan oleh Newman dan Kenworthy

(1999) terhadap kota-kota di dunia yang pada satu sisi mengkategorikan kota-kota

dengan tingkat kepadatan tinggi seperti Jakarta, Bangkok, Manila sebagai kota yang

kompak dan lebih berlanjut, namun pada sisi lain kota-kota ini menderita kemacetan

lalu-lintas dan tingkat polusi yang jauh lebih parah dibandingkan kota-kota di negara

maju yang memiliki tingkat kepadatan rendah. Studi literature juga menunjukkan

bahwa kota-kota berkembang di Asia Tenggara seperti Jakarta, Manila dan Bangkok

mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius baik dari aspek

ekonomi, sosial maupun lingkungan seperti konversi lahan pertanian besar-besaran

(Kelly, 1999), gangguan terhadap sistem ekologi dan krisis air bersih (Douglass,

Universitas Sumatera Utara


2005), permasalahan banjir (Murakami dan Palijon, 2005), polusi udara dan

kebisingan (Kittiprapas, 2001), polusi air tanah (Kelly, 1999), polusi tanah

(Kittiprapas, 2001), penurunan muka tanah (Douglass, 2005), hujan asam dan

kemacetan lalu-lintas (Steinberg, 2007).

Permasalahannya adalah bahwa penelitian empiris terhadap kota-kota di

negara berkembang kurang memiliki konteks teori di mana distribusi kegiatan

sosioekonomi kota dapat dijelaskan. Hal ini bertolak belakang dengan studi-studi

empiris kota-kota negara maju, di mana penelitian terfokus pada pengujian pola ruang

monosentris dan polisentris (Anas et al., 1998) serta dampaknya terhadap

keberlanjutan kota, terutama dari sisi keberlanjutan transportasi (transport

sustainability). Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Alpkokin et al. (2008)

dan Vichiensan (2007), justru berspekulasi bahwa kota-kota di negara berkembang

tengah mengalami dinamika yang mirip dengan kota-kota di negara maju, di

antaranya adalah terjadinya desentralisasi fungsi pusat-pusat bisnis di luar pusat

kegiatan bisnis di tengah kota, yaitu berupa peralihan dari struktur kota monosentris

menuju polisentris. Hal ini bertolak belakang dengan studi yang dilakukan oleh Kelly

(1999) dan McGee (2008) yang menyarankan bahwa latar belakang historis dan

karakteristik sosioekonomi yang unik telah memberi pengaruh yang kuat terhadap

pola pertumbuhan kota-kota di Negara berkembang sehingga menghasilkan struktur

ruang yang sangat berbeda dengan yang dialami oleh kota-kota di negara maju.

Model alternatif terhadap struktur ruang di kota-kota di negara berkembang

diajukan oleh McGee (2008) yang mengidentifikasi fenomena mega-urbanisasi atau

Universitas Sumatera Utara


extended metropolitan region (EMR) di mana terbentuk urbanisasi pada skala

wilayah (region-based urbanisation) yang menghasilkan suatu wilayah luas yang

terintegrasi secara ekonomi, yang terdiri dari sebuah kota inti (yang pada banyak

kasus merupakan ibukota negara atau propinsi), wilayah pinggir kota (peri-urban) di

sekeliling kota inti di mana terdapat kota-kota yang lebih kecil, kawasan industri

maupun kota-kota satelit, dan zona paling luar (outer zones) di mana terdapat

pertemuan kegiatan perkotaan dan perdesaan. Pada zona paling luar inilah terdapat

kawasan “desakota” yang dicirikan oleh berbaurnya kegiatan kota dan desa. Paradoks

pada studi Newman dan Kenworthy (1999) seperti disebutkan di atas timbul karena

adanya asumsi bahwa pola urbanisasi kota-kota di Negara maju juga dialami oleh

kota-kota negara berkembang di Asia Tenggara tersebut. Bila sudut pandang mega-

urbanisasi yang digunakan, sulit untuk mengkategorikan Jabodetabek, misalnya,

sebagai unit perkotaan yang kompak. Hanya saja, teori mega-urbanisasi ini belum

diteliti secara empiris dalam skala yang detail (Hakim dan Parolin, 2008).

Dalam dua dekade terakhir, kajian-kajian empiris terhadap struktur ruang kota

didominasi oleh usaha untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan (spatial

structure of employment), karakteristik fisik serta dampaknya terhadap pola

transportasi, khususnya perjalanan ke tempat kerja (commuting trip). Metode yang

sering digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan di wilayah

perkotaan adalah pendekatan cut-off (Giuliano dan Small, 1991) yang menerapkan

batasan kepadatan pekerjaan (employment density) tertentu untuk menentukan apakah

suatu kumpulan zona dikategorikan sebagai pusat pekerjaan (employment center).

Universitas Sumatera Utara


Walaupun metode ini cukup populer digunakan, kelemahan utama terletak pada

subyektifitas dalam menentukan nilai batasan (cut-off) yang digunakan, sehingga

mengakibatkan inkonsistensi hasil.

Sejumlah metode yang bersifat non-parametric telah diusulkan untuk

mengatasi kelemahan tersebut. Di antara metode-metode yang diusulkan, metode

analisa eksplorasi data spasial (Exploratory Spatial Data Analysis atau ESDA)

memiliki kelebihan berupa pengikutsertaan aspek kebergantungan spasial (spatial

dependence) atau dikenal dengan autokorelasi spasial (spatial autocorrelation).

Metode ESDA memperoleh momentum dalam beberapa tahun terakhir dengan

dirumuskannya statistik autokorelasi spasial lokal (local spatial autocorrelation) oleh

Anselin (1995) dan Ord dan Getis (1995). Kedua statistik, yaitu lokal banyak

digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang kota-kota di dunia seperti studi yang

dilakukan Carrol et al. (2008), Riguelle et al. (2007), Guillain dan Gallo (2006), Sohn

et al. (2005), dan Baumont et al. (2004).

2.4. Kota dan Daerah di Belakangnya

Sudah umum diketahui bahwa didalam suatu wilayah ada tempat-tempat

dimana penduduk/kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk/

kegiatan kurang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi penduduk/ kegiatan tersebut,

dinamakan dengan berbagai istilah: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat

pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman atau daerah nodal. Masing-masing

istilah itu bersangkut paut dengan asosiasi pikiran kita tentang fungsi apa yang

Universitas Sumatera Utara


hendak ditonjolkan atas tempat-tempat konsentrasi tersebut. Daerah di luar pusat

konsentrasi tersebut dinamakan dengan berbagai istilah seperti daerah pedalaman,

wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian atau daerah perdesaan. Didalam bab

ini akan dijelaskan apa yang mendorong terjadiny konsentrasi tersebut dan bagaimana

bentuk hubungan antara kota dengan daerah belakangnya. Hal ini sangat bermanfaat

dalam mengatur pembangunan kota dan daerah belakangnya yang menjamin suatu

hubungan yang saling menguntungkan.

2.4.1. Definisi Kota

Didalam perencanaan wilayah sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat

pemukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena

kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnyapun berbeda

dibanding dengan daerah pedesaan/pedalaman, padahal di pedesaanpun terdapat

lokasi permukiman plus berbagai kegiatan non-pertanian seperti perdagangan,

warung kopi, tukang pangkas, tukang jahit pakaian, dan lain-lain walaupun dalam

jumlah dan intensitas yang kecil dan biasanya hanya ditujukan untuk melayani

kebutuhan masyarakat setempat.

Karena fungsinya yang berbeda, maka kebijakan pembangunan pun bisa

berbeda antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan. Di pedesaan umumnya

yang menjadi kegiatan basis adalah sektor penghasil barang (pertanian, industri dan

pertambangan). Di perkotaan selain sektor penghasil barang maka sektor

perdagangan dan jasa dapat menjadi basis asalkan kegiatan tersebut mendatangkan

Universitas Sumatera Utara


uang dari luar wilayah (pelanggannya datang dari luar wilayah). Karena kegiatan

sektor penghasil barang, seringkali kegiatannya dibatasi di perkotaan maka kota

umumnya mengandalkan kegiatan perdagangan dan jasa sebagai basis utama.

Dengan demikian maka adalah wajar apabila program pemerintah pun

seringkali dibedakan antara program untuk perkotaan dan program untuk perdesaan.

Namun perlu dicatat disini bahwa sektor perdagangan dan jasa diluar yang melayani

pariwisata, bukanlah basis murni. Perkembangan perdagangan dan jasa di perkotaan

tergantung pada perkembangan perekonomian wilayah belakangnya. Perkembangan

perekonomian wilayah belakangnya tergantung pada sektor basis di wilayah belakang

tersebut. Dengan demikian perkembangan perekonomian secara keseluruhan tetap

tergantung pada perkembangan sektor basis murni.

Didalam menetapkan apakah sesuatu konsentrasi pemukiman itu sudah dapat

dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk

membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan

kepadatan penduduk. Bagi kota yang dulunya sudah berstatus kotamadya atau sudah

dikenal luas sebagai kota, maka permasalahannya adalah berapa besar sebetulnya

kota tersebut, misalnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk ataupun luas wilayah

yang masuk dalam kesatuan kota. Menggunakan jumlah penduduk berdasarkan

wilayah administrasi pemerintahan, seringkali hasilnya tidak tepat untuk

menggambarkan besarnya sebuah kota, karena terkadang ada bagian (pinggiran) dari

wilayah administrasi kota tersebut yang belum tepat dikatakan sebagai wilayah kota,

karena belum memenuhi persyaratan sebagai wilayah kota (misalnya masih sebagai

Universitas Sumatera Utara


wilayah pertanian/ perkebunan). Pada kondisi lain kota itu sebetulnya sudah melebar

melampaui batas administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah

tetangga yang bukan berada pada wilayah administrasi kota tersebut. Didalam

menganalisis fungsi kota ataupun dalam menetapkan orde perkotaan, maka luas dan

penduduk sebaiknya didasarkan atas wilayah kota yang benar-benar telah memiliki

ciri-ciri perkotaan.

Permasalahan bagi konsentrasi pemukiman atau bagi kota kecil (ibukota

kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau

masih sebagai desa. Jadi perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi konsentrasi

itu sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum. Biro Pusat

Statistik (BPS), dalam pelaksanaan “Survei Status Desa/Kelurahan 2000” yang

dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan

apakah suatu desa/ kelurahan itu dikategorikan sebagai desa atau sebagai kota.

Kriteria yang digunakan adalah:

1) Kepadatan penduduk per km2,

2) Prosentase rumah tangga yang mata-pencaharian utamanya adalah pertanian atau

non-pertanian;

3) Prosentase rumah tangga yang memiliki telepon;

4) Prosentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik;

5) Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan tersebut seperti: fasilitas pendidikan,

pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas lain seperti: hotel, bilyar,

diskotik, karaoke, panti pijat dan salon. Masing-masing fasilitas ini diberi skor

Universitas Sumatera Utara


(nilai). Atas dasar skor gabungan yang dimiliki desa/kelurahan tersebut, maka

ditetapkanlah apakah masuk kategori kota dan dinamakan kelurahan atau masuk

kategori desa. Atas dasar gabungan skor beberapa kelurahan/desa yang berada

dalam satu wilayah administrasi maka ditetapkanlah wilayah tersebut masuk

dalam salah satu kategori berikut: Perkotaan Besar, Perkotaan Sedang, Perkotaan

Kecil dan Perdesaan.

Kriteria BPS diatas hanya didasarkan atas kondisi (besaran) phisik dan

mestinya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan

fungsi perkotaan. Misalnya mengenai mata pencaharian penduduk perlu dibuat

ketentuan bahwa mata-pencaharian penduduknya adalah bervariasi, dan tidak

tergantung hanya pada satu sektor yang dominan (walaupun itu bukan pertanian),

sehingga terdapat transaksi antar berbagai kegiatan/sektor yang bernilai ekonomi.

Selain itu perlu ditambah dengan kriteria bahwa konsentrasi itu berfungsi melayani

wilayah belakangnya. Artinya berbagai fasilitas yang ada di tempat itu seperti tempat

perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain tidak hanya melayani/

dimanfaatkan oleh penduduk kota itu sendiri, tapi juga melayani masyarakat yang

datang dari luar kota yang sering disebut sebagai wilayah belakangnya.

Di lain sisi Direktorat Cipta Karya Departemen PU (berubah menjadi

KIMPRASWIL tapi kemudian berubah lagi ke nama semula) secara implicit

meganggap bahwa suatu konsentrasi pemukiman yang kepadatannya 50 jiwa atau

lebih per ha berhak mendapat pelayanan fasilitas perkotaan (seperti pelayanan

sampah, air minum, dan lain-lain). Juga ada kriteria bahwa jaringan jalannya sudah

Universitas Sumatera Utara


berlapis (berbentuk grid, bukan berbentuk pita atau ribbon type). Kriteria diatas

masih perlu dipertegas tentang berapa luas wilayah minimal yang kepadatannya 50

jiwa atau lebih per ha dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, artinya tidak terputus-

putus. Dalam kebutuhan praktis (misalnya dalam menetapkan ibukota kabupaten

yang berhak mendapat program P3KT perkotaan), maka Dirjen Cipta Karya Dep.

P.U. menetapkan jumlah penduduk ibukota kabupaten itu minimal 10.000 jiwa.

Tetapi instansi yang sama untuk kondisi yang berbeda menetapkan bahwa ibukota

kecamatan yang perlu disusun Rencana Tata Ruangnya adalah setidak-tidaknya

terdapat 10 ha lahan dengan jumlah penduduk minimal 1.000 jiwa.

Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak,

adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh

kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Fasiltas perkotaan/fungsi perkotaan antara

lain adalah sebagai berikut:

1) Pusat Perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan atas: melayani masyarakat

kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggirannya (daerah yang

berbatasan), melayani beberapa kota kecil (misalnya Pusat Kabupaten), melayani

beberapa kabupaten/kota yang lebih kecil lainnya (misalnya Pusat Propinsi) dan

pusat kegiatan perdagangan antar pulau/ekspor di propinsi tersebut atau Pusat

perdagangan beberapa propinsi sekaligus.

2) Pusat Pelayanan Jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan. Jasa

perorangan, misalnya: tukang-pangkas, salon, tukang-jahit, perbengkelan, reparasi

alat elektronik, pengacara, dokter, notaris, warung-kopi/nasi, dan lain-lain. Jasa

Universitas Sumatera Utara


perusahaan misalnya: Perbankan, Perhotelan, Asuransi, Pengangkutan, Pelayanan

Pos, Tempat hiburan, Jasa Penyewaan Peralatan, dan lain-lain.

3) Tersedianya Prasarana Perkotaan seperti: Sistim Jalan Kota yang baik, Jaringan

Listrik, Jaringan Telepon, Jaringan Air Minum, Pelayanan Sampah, Sistim Drainase,

Taman Kota, Pasar, dan lain-lain.

4) Pusat Penyediaan Fasilitas Sosial seperti Prasarana pendidikan (Universitas,

Akademi, SMU, SLTP, SD), termasuk berbagai kursus ketrampilan, Prasarana

Kesehatan dengan berbagai tingkatannya termasuk Apotik, Tempat beribadah,

Prasarana Olahraga, Prasarana Sosial seperti Gedung pertemuan,dan lain-lain.

5) Pusat Pemerintahan, banyak kota adalah sekaligus lokasi pusat pemerintahan. Kota

terbesar di suatu propinsi seringkali adalah pusat pemerintahan tingkat propinsi,

demikian pula untuk tingkat kota/kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat

kelurahan/desa. Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota,

karena banyak masyarakat yang perlu datang ke tempat itu dalam rangka urusan

pemerintahan.

6) Pusat Komunikasi dan Pangkalan Transportasi, artinya dari kota tersebut masyarakat

bisa berhubungan ke banyak tujuan dengan berbagai pilihan alat penghubung.

Masyarakat bisa berkomunikasi ke banyak tempat dengan berbagai pilihan alat

penghubung (mis. telepon, telex, internet, radio, faksimil, dan lain-lain). Bisa

mengirim uang atau berita dengan banyak cara (bank, kantor pos, perusahaan

pengiriman - forwarding, dan lain-lain). Bisa bepergian langsung ke berbagai tujuan

Universitas Sumatera Utara


dengan berbagai pilihan alat transportsi (Bus, Kapal Laut, Kereta Api, dan Pesawat

Udara)

7) Lokasi pemukiman yang tertata, sesuatu lokasi dikatakan kota karena jumlah

penduduknya yang banyak. Penduduk membutuhkan tempat tinggal. Hal ini berarti

kota adalah sekaligus lokasi pemukiman, dan mestinya di kota, pemukiman itu

kelihatan teratur/tertata (karena harus meminta IMB bila ingin membangun).

Makin banyak fasilitas perkotaan yang dimiliki serta makin banyak fungsi

perkotaan yang di-embannya, menggambarkan hierarki yang sebenarnya dari kota

tersebut. Makin tinggi hierarkinya makin luas wilayah pengaruhnya

2.4.2. Bentuk Hubungan Kota dengan Daerah Dibelakangnya

Hubungan antara kota dengan wilayah belakangnya dapat dibedakan antara:

kota generatip, kota parasitip, dan enclave. Kota generatip ialah kota yang

menjalankan bermacam-macam fungsi baik untuk dirinya sendiri maupun untuk

wilayah belakangnya, sehingga bersifat saling menguntungkan/mengembangkan.

Kota-kota seperti ini membutuhkan bahan makanan, bahan mentah, dan tenaga kerja

dari daerah pedalaman, dengan kata lain dapat menyerap/memasarkan produksi

daerah pedalaman dan sekaligus menyediakan kebutuhan daerah pedalaman. Daerah

pedalaman menjadi tempat pemasaran produk yang dihasilkan di perkotaan. Dengan

demikian terdapat kebutuhan yang timbal balik dan saling menunjang.

Perkembangan perkotaan akan meningkatkan daya serapnya terhadap produk

pedalaman sehingga kedua belah pihak akan berkembang sejajar. Selain daripada itu

Universitas Sumatera Utara


perkotaan merupakan sumber inovasi dan modernisasi yang dapat berguna bagi

kemajuan wilayah pedalaman.

Kota parasitip adalah kota yang tidak banyak berfungsi untuk menolong

wilayah belakangnya dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh

di pedesaan. Kota parasitip ini umumnya adalah kota yang belum banyak

berkembang industrinya dan masih memiliki sifat daerah pertanian tapi juga

perkotaan sekaligus. Kegiatan industri/ kerajinan disini sering bersifat duplikatip

dengan apa yang dapat dilakukan orang di pedesaan, misalnya: pembuatan minyak

kelapa secara sederhana, anyaman tikar, pembuatan tempe, tahu, tape, roti sederhana,

kue-kue, dan lainnya. Karena kegiatan yang di kota memiliki pasar yang lebih luas,

maka kegiatan yang di desa menjadi kalah bersaing dan tidak mampu bertahan.

Padahal kegiatan tersebut di desa merupakan sumber mata-pencaharian tambahan dan

banyak dilakukan sebagai pekerjaan pasca panen.

Dengan lumpuhnya kegiatan pasca panen tersebut, maka daerah pedesaan jadi

lebih menderita. Hal ini dapat berakibat bertambahnya pengangguran tidak kentara di

pedesaan dan tidak dapat ditampung oleh perkotaan karena industrinya sendiri belum

berkembang dan belum mampu menembus pasar diluar daerah pengaruhnya yang

sempit selama ini. Jadi selama kota itu belum mampu memasarkan hasil produksinya

keluar dari wilayah pengaruhnya yang sempit (daerah pedalaman sekitarnya), maka

kota itu belum mampu menolong dirinya sendiri untuk berkembang dan dengan

sendirinya belum mampu menggerakkan wilayah belakangnya (ingat teori basis

ekspor).

Universitas Sumatera Utara


Diluar dua bentuk hubungan yang telah dibicarakan diatas, maka masih ada

satu bentuk hubungan yang tidak menguntungkan daerah pedalaman, yaitu suatu kota

yang bersifat enclave (tertutup). Hubungan yang tidak menguntungkan ialah apabila

kota itu berkembang tapi tidak mengharapkan input dari daerah sekitarnya melainkan

dari luar. Dalam hal ini kota itu adalah suatu enclave yaitu seakan-akan terpisah

samasekali dari daerah sekitarnya (daerah pedalaman). Buruknya prasarana,

perbedaan taraf hidup, perbedaan tigkat pendidikan yang sangat menyolok dan faktor

lain dapat membuat kurangnya hubungan antara perkotaan dengan daerah pedalaman

di sekitarnya. Kalaupun ada orang pedalaman yang pindah ke kota untuk bekerja di

kota tersebut, maka umumnya yang bisa pindah tersebut adalah putra-putra terbaik di

desa itu. Hal ini membuat daerah pedalaman itu makin ketinggalan dan

keadaan/hubungan ekonomi antara kota dengan desa di sekitarnya makin pincang.

Biasanya enclave ini terjadi pada wilayah pemukiman (kompkeks perumahan)

pertambangan besar yang ada di pedalaman. Pemukiman itu biasanya ditata seperti

sebuah kota. Untuk menghindari hal ini maka daerah pedalaman perlu lebih didorong

sedangkan daerah perkotaan mungkin dapat berkembang atas kemampuan sendiri.

Ada baiknya pertambangan itu diminta untuk membantu peningkatan kehidupan

masyarakat di sekitar wilayah kerjanya. Secara umum sering kali agar pertumbuhan

kota dan daerah belakangnya dapat sejajar maka daerah belakang tersebut

memerlukan bantuan yang lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara


2.4.3. Hirarki Perkotaan

Hirarki perkotaan adalah menggambarkan jenjang fungsi perkotaan sebagai

akibat perbedaan jumlah, jenis dan kualitas dari fasilitas yang tersedia di kota

tersebut. Atas dasar perbedaan itu maka volume dan keragaman pelayanan yang dapat

diberikan masing-masing jenis fasilitas juga berbeda. Perbedaan fungsi ini umumnya

terkait langsung dengan perbedaan besarnya kota (jumlah penduduk). Perbedaan

fungsi ini juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas pengaruh atau wilayah

belakang dari kota tersebut. Dengan demikian ada kota yang menjalankan banyak

fungsi sekaligus dengan kualitas pelayanan yang tinggi dan ada kota yang hanya

menjalankan beberapa fungsi saja dengan kualitas yang kurang memadai. Sejalan

dengan itu, ada kota yang wilayah pengaruhnya cukup luas bahkan juga termasuk

kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya dan ada kota yang pengaruhnya hanya

beberapa desa di sekitarnya saja.

Hirarki perkotaan seringkali sudah tercipta secara alamiah (mekanisme pasar),

akan tetapi bisa juga dimodifikasi/dirubah sebagai akibat keputusan pemerintah.

Misalnya sebuah kota kecil yang diputuskan pemerintah menjadi ibukota kabupaten,

secara perlahan akan menaikkan hirarki dari kota tersebut, apabila keputusan itu

direspon oleh masyarakat/ pasar. Hirarki perkotaan sangat perlu diperhatikan dalam

perencanaan wilayah karena menyangkut fungsi yang ingin diarahkan untuk masing-

masing kota.

Terlaksananya fungsi itu berkaitan dengan fasilitas kepentingan umum yang

akan dibangun di masing-masing kota. Banyaknya fasilitas yang harus tersedia di

Universitas Sumatera Utara


masing-masing kota harus sejalan dengan luas pengaruh kota tersebut, atau jumlah

penduduk yang diperkirakan akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Didalam suatu

wilayah, kota orde tertinggi diberi ranking-I. Penentuan orde sangat terkait dengan

luas wilayah analisis. Bagi Indonesia, Jakarta adalah kota orde-I. Bagi propinsi

Sumatera Utara, Medan adalah kota orde–I. Bagi sebuah kabupaten kemungkinan

besar ibukota kabupaten itu yang menjadi orde-I, seandainya ibukota itu adalah kota

terbesar di kabupaten tersebut. Untuk kepentingan perencanaan wilayah, maka setiap

kota di sesuatu wilayah harus ditetapkan ordenya. Orde itu ditetapkan berdasarkan

kondisi riel di lapangan ataupun karena adanya keinginan untuk merubah orde

sesuatu kota. Orde suatu kota bisa dirubah secara bertahap dengan merencanakan

penambahan berbagai fasilitas di kota tersebut, dimana masyarakat diperkirakan akan

mau memanfaatkan fasilitas tersebut sebagaimana mestinya (direspon oleh pasar).

2.4.4. Kota Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dapat diartikan dengan dua cara yaitu

secara fungsional dan secara geographis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan

adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena

sifat hubungannya, memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi

kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar (ke daerah belakangnya). Secara

geographis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas

dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang

menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi disitu dan masyarakat

Universitas Sumatera Utara


senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun

kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Tidak semua kota

generatip dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat Pertumbuhan harus

memiliki empat karakteristik yaitu:

1. Ada hubungan internal antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai

ekonomi

2. Ada multiplier effect (efek pengganda)

3. Ada konsentrasi geographis

4. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya.

Peranan dari masing-masing karakteristik itu untuk menjadikan kota itu sebagai

pusat pertumbuhan akan dikemukakan berikut ini:

Ada hubungan internal dari berbagai macam kegiatan: Hubungan internal

berupa adanya transaksi ekonomi diantara berbagai cabang kegiatan sangat

menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor

lainnya, sehingga bila ada satu sektor yang bertumbuh, akan mendorong

bertumbuhnya sektor lainnya, karena saling terkait. Jadi kehidupan kota menjadi

suatu irama dari berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan synergi untuk

saling mendukung terciptanya pertumbuhan. Pertumbuhan tidak terlihat pincang,

pertumbuhan satu sektor diikuti pertumbuhan sektor lainnya. Pertumbuhan dikatakan

pincang apabila ada sektor yang bertumbuh cepat tetapi sektor lainnya seperti tidak

terkena imbasnya sama-sekali.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini dapat terjadi misalnya pada sebuah kota yang fungsinya hanya sebagai

perantara (transit). Kota perantara adalah apabila kota itu hanya berfungsi

mengumpulkan berbagai bahan dari daerah belakangnya dan menjualnya ke kota lain

yang lebih besar/luar wilayah dan membeli dari kota lain berbagai kebutuhan

masyarakat dan dijual/didistribusikan ke wilayah belakangnya. Pada kota perantara

ini tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang menciptakan nilai

tambah. Kalaupun ada pengolahan hanya bersifat penyortiran (seleksi) dan

pembungkusan, sedangkan kegiatan yang bersifat mengubah bentuk dan kegunaan

barang masih sedikit. Dengan demikian sedikit sekali terjadi interaksi dengan sektor

lain di kota tersebut. Pertumbuhan sektor perantara ini tidak banyak mendorong

pertumbuhan sektor lain di kota itu.

Ada efek pengganda (multiplier effect): Keberadaan sektor-sektor yang saling

terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu

sektor yang karena permintaan dari luar wilayah, produksinya meningkat; karena ada

keterkaitan membuat banyak sektor lain juga akan meningkat produksinya dan akan

terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi bisa

beberapa kali lipat dibanding dengan kenaikan permintaan dari luar untuk sektor

tersebut (sektor yang pertama meningkat permintaannya). Unsur efek pengganda ini

sangat berperan dalam membuat kota itu mampu memacu pertumbuhan wilayah

belakangnya. Karena kegiatan berbagai sektor di kota meningkat tajam, maka

kebutuhan kota akan bahan baku/tenaga kerja yang dipasok dari wilayah belakangnya

akan meningkat tajam pula.

Universitas Sumatera Utara


Ada konsentrasi geografis: Konsentrasi geografis dari berbagai

sektor/fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang saling

membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut.

Orang yang datang ke kota tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhannya pada

lokasi yang berdekatan. Jadi kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu,

tenaga dan biaya. Hal ini membuat kota itu menarik untuk dikunjungi dan karena

volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan economic of scale,

sehingga tercipta efisiensi lanjutan.

Bersifat mendorong wilayah belakangnya: Hal ini berarti antara kota dan

wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan

baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah

belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Apabila terdapat hubungan yang

harmonis dengan wilayah belakangnya dan kota itu memiliki tiga karakteristik yang

disebutkan terdahulu, maka otomatis kota itu akan berfungsi untuk mendorong

wilayah belakangnya. Jadi agar sesuatu konsentrasi kegiatan ekonomi dapat dianggap

pusat pertumbuhan, apabila konsentrasi itu dapat mempercepat pertumbuhan

ekonomi baik ke dalam (diantara berbagai sektor didalam kota) maupun ke luar (ke

wilayah belakangnya).

2.5. Penelitian Sebelumnya

Sasongko (2005), melakukan penelitian dengan judul: Pembentukan Struktur

Ruang Permukiman Berbasis Budaya (Studi Kasus: Desa Puyung – Lombok Tengah).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan kajian budaya Sasak di Desa Puyung nampak bahwa determinasi budaya

muncul pada ruang permukiman, dan selanjutnya dapat menunjukkan adanya struktur

ruang. Seting dan cakupan ruang dalam peristiwa ritual pada dasarnya beragam, serta

menunjukkan adanya pengunaan ruang yang tetap maupun temporal.

Kusumastuti (2008), melakukan penelitian dengan judul Penyediaan Prasarana

dan Sarana Permukiman sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi dalam Wilayah Pakal

Benowo. Kecamatan Pakal merupakan kawasan pinggiran kota yang secara umum

kehidupan penduduknya masih berciri pedesaan yang didominasi oleh aktivitas

pertanian dan tambak. Tujuan studi adalah untuk mengetahui potensi dan kearifan

lokal dalam pengadaan perumahan bagi pekerja-pekerja industri, khususnya yang

dilakukan oleh pengembang perumahan informal, tanpa bantuan modal dari institusi

keuangan dan teknis, untuk mengetahui keterbatasan penyediaan prasarana dan

sarana lingkungan permukimannya. Data didapat melalui daftar pertanyaan,

pengamatan dan wawancara langsung dengan penduduk kelurahan Babat Jerawat,

Benowo Kecamatan Pakal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan

perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah kemungkinan tetap memiliki

potensi dengan proses secara informal dan berkesinambungan, dan keterbatasan

penyediaan prasarana dan sarana permukiman disebabkan oleh keterbatasan dana,

sehingga menemui kendala dalam proses pengembangannya.

Buchori, dkk (2008) melakukan penelitian dengan judul: Efektivitas Rencana

Tata Ruang Dalam Mengarahkan Pembangunan Infrastruktur (Kasus: Jalan dan

Drainase di Kota Semarang). Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengkaji

Universitas Sumatera Utara


efektivitas rencana tata ruang kota dalam mengarahkan pembangunan prasarana

perkotaan. Hasil studi memperlihatkan bahwa rencana tata ruang belum cukup efektif

dalam mengarahkan pembangunan infrastruktur di Kota Semarang. Beberapa hal

yang menyebabkan antara lain: adanya aspek/tekanan politis dalam kegiatan

perencanaan, penganggaran dan pembangunan infrastruktur, kurang akuratnya data

dan lemahnya analisis dalam proses penyusunan rencana infrastruktur di dalam

dokumen rencana tata ruang, dan masih kentalnya ego sektoral (dinas sektoral) dalam

perencanaan, penganggaran dan pembangunan infrastruktur.

2.6. Kerangka Pemikiran

Struktur pemanfaatan ruang merupakan hubungan keterkaitan (linkage) antara

aktivitas-aktivitas pemanfaatan ruang, yang dapat disekripsikan melalui interaksi

secara spasial melalui unsur prasarananya (sarana transportasi). Aspek kedua struktur

ruang adalah pusat-pusat aktivitas permukiman. Struktur pemanfaatan ruang

Kabupaten Dairi tertuang dalam RTRW Kabupaten Dairi 2010 – 2030. Dalam

rencana struktur ruang Kabupaten Dairi ditentukan bahwa Kota Sidikalang berfungsi

sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Kabupaten Dairi dengan fungsi utama

sebagai Ibukota Kabupaten Dairi, pusat pelayanan pemerintahan kabupaten, pusat

pendidikan kabupaten, pusat pelayanan kesehatan, dan pusat perdagangan dan jasa

regiona, pusat koleksi dan distribusi barang dan jasa, pusat permukiman perkotaan,

pusat pengembangan kawasan agropolitan.

Universitas Sumatera Utara


Mengacu pada rencana struktur ruang tersebut, maka pengembangan wilayah

Kota Sidikalang diarahkan dalam upaya mendukung perekonomian daerah melalui

pusat-pusat kegiatan dan transportasi. Pengoptimalan pusat-pusat kegiatan dalam

rencana pembangunan dan pembangunan transportasi selanjutnya akan mendukung

dalam pengembangan wilayah Kota Sidikalang.

RTRW KABUPATEN
DAIRI

STRUKTUR RUANG KAB.


DAIRI

PUSAT-PUSAT SISTEM
KEGIATAN TRANSPORTASI

PENGEMBANGAN
WILAYAH KOTA
SIDIKALANG

ARAHAN PENGEMBANGAN
KOTA SIDIKALANG

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai