Anda di halaman 1dari 18

TEORI HUKUM MEMECAHKAN BERBAGAI

PERSOALAN HUKUM
Posted on 15 Oktober 2010 by Cakim PA Angkatan IV MA-RI

Oleh ; Ruslan H.R. (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta)

I. Latar Belakang Masalah.

Sebahagian masyarakat Indonesia masih ada yang beranggapan, bahwa teori berada di
kawasan yang jauh daripada praktis, bahkan sering menimbulkan kesan tidak praktis dan
kurang membantu memecahkan persoalan-persoalan secara konkret. Singkat kata, teori itu
menghambat, bertele-tele, dan memusingkan. Pendapat tersebut, tentu saja tidak benar.
Fungsi utama teori adalah memberikan penjelasan terhadap suatu masalah. Semakin baik
kemampuan suatu teori untuk menjelaskan, semakin tinggi penerimaan terhadap teori
tersebut. Apabila di kemudian hari muncul teori baru yang mampu memberikan penjelasan
yang lebih baik, maka teori yang lama pun akan ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah
dalam dunia ilmu pengetahuan.

Pada tanggal 5 Oktober 2010, penulis membaca majalah ”Forum Keadilan”, edisi No. 22
tanggal 3 Oktober 2010, sebuah karya tulis, oleh Dr.Binsar Gultom,S.H.,M.H., dengan judul
CALON HAKIM AGUNG VERSUS KARIER. Tulisan tersebut sangat menarik untuk
dibaca dan secara jujur, harus diakui bahwa memang mungkin ada benarnya, akan tetapi
secara teori, belum tentu setiap orang yang membaca mau menerima dan memahami apa
yang ditulis dan dimaksudkan oleh penulisnya. Kenapa? Karena tulisan tersebut sama sekali
tidak mengemukakan suatu teori, artinya secara ilmiah sangat sulit untuk
dipertanggungjawabkan, sehingga isi dan materi dari tulisan itu, orang lain pasti ada yang
menilai secara subjektif. Mungkin ada pembaca yang menilai bahwa tulisan itu tidak lebih
dari sebuah opini, karena sifatnya tulisan bebas atau mungkin pula tulisan itu, diaspirasi oleh
perasaan tidak puas dari kalangan orang-orang karir yang kebetulan tidak lolos menjadi
hakim agung. Pendek kata banyak kemungkinan?. Teori yang menarik dalam kasus ini adalah
teori yang ada dalam Islam, bahwa; ”apabila sesuatu diserahkan kepada orang yang bukan
ahlinya, maka tunggulah datangnya kehancuran”. Teori ini singkat, tetapi menusuk hati
sanubari dan sebagaimana fakta yang ada dalam berbagai aspek kehidupan, kelihatannya teori
ini benar dan diterima oleh akal sehat.

Suatu ilmu tanpa teori yang kuat, bagaikan bangunan tanpa pondasi yang kukuh. Demikian
juga ilmu hukum sebagai suatu sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan wawasan
berbagai ”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law, Jurisprudence), maupun
”konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama dalam rangka mengisi pembangunan di
bidang hukum dalam era reformasi . Bukan hanya tuntutan lahirnya suatu atau berbagai
peraturan perundang-undangan yang baru, tetapi juga termasuk paradigma baru hukum, yang
cocok bagi iklim perubahan Indonesia di abad kedua puluh satu ini.

Salah satu contoh yang menarik, suatu peristiwa yang memerlukan sebuah teori, untuk
memecahkan kebuntuan atas munculnya beberapa opini dan pendapat, ketika Jaksa Agung
RI, Hendarman Supanji, dinilai oleh berbagai pihak illegal (tidak sah). Kenapa tidak sah?,
karena pada saat pelantikan Kabinet Pemerintahan Jilid II oleh Presiden Soesilo Bambang
Yudoyono, Hendarman Supanji tidak ikut dilantik sebagai Jaksa Agung RI, padahal Jaksa
Agung, adalah salah satu jabatan, pejabat negara yang ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid
II.

Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka sudah barang tentu dalam
menghadapi dan menyelesaikan kasus ini, harus melalui pendekatan teori hukum. Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi, dan mengingat negara Indonesia bukan negara
kekuasaan semata, maka atas gugatan yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra (mantan
Menteri Kehakiman) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, yang inti amar
putusannya, dapat dipahami, bahwa terhitung sejak tanggal 24 September 2010, pukul 14.30
WIB, Jaksa Agung RI, dinyatakan tidak ada (kosong), lalu berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, Presiden RI menerbitkan pemberhentian dengan hormat Hendarman
Supanji sebagai Jaksa Agung RI dan menunjuk Wakil Jaksa Agung Dariatmo sebagai
Pelaksana Tugas.

Dari kasus ini timbul masalah baru, bahwa bagaimana mungkin seorang Jaksa Agung yang
tidak pernah diangkat, lalu diberhentikan?. Permasalahan ini tidak bisa dijawab dengan
argumentasi biasa dalam sebuah debat kusir, tetapi harus dijawab dan diselesaikan dengan
argumentasi hukum atau logika hukum dengan menggunakan rekonstruksi teori hukum.
Nampaknya Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memberi putusannya,
tidak lepas dari penafsiran analogis dan penafsiran ekstensif, dengan asumsi berpikir pada
pokoknya sebagai berikut; ”bahwa karena jabatan Jaksa Agung RI termasuk jabatan yang
ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I, bersamaan dengan adanya jabatan para Menteri
selaku pejabat negara, maka jabatan Jaksa Agung dianalogikan sama dan setingkat dengan
jabatan Menteri. Karena jabatan Menteri dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I telah
diberhentikan oleh Presiden, maka penafsiran ekstensifnya bahwa jabatan Jaksa Agung RI
pada Kabinet Pemerintahan Jilid I, harus pula diberhentikan. Mengapa harus digunakan
penafsiran ekstensif, karena masa berakhirnya jabatan Jaksa Agung tidak diatur dalam
undang-undang kejaksaan. Lalu kemudian timbul pertanyaan, apa mungkin suatu jabatan
dalam negara tidak memiliki batas akhir masa jabatan?. Secara teori hukum administrasi
negara tidaklah mungkin hal itu terjadi, sebagai konsekuensi Indonesia adalah negara hukum,
bukan negara otoriter (kekuasaan belaka).

Oleh karena Presiden tidak melakukan pemberhentian terhadap Jaksa Agung, maka Jaksa
Agung, dinilai illegal dan tidak memiliki legal standing dalam berperan melakukan
penegakan hukum di Indonesia dan dapat ditafsirkan bahwa semua kegiatan dan kebijakan
yang diambil oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji , sejak diberhentikannya para pejabat
negara (para Menteri) dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I, dianggap tidak sah (illegal).

Berdasarkan hal tersebut terjadilah kekosongan hukum dan oleh Mahkamah Konstitusi telah
tampil mengisi kekosongan tersebut. Oleh karena itu terhadap kasus ini, penulis berpendapat
bahwa secara formal, Jaksa Agung RI memang dapat dinilai sudah tidak ada, sejak
diberhentikannya para Menteri Kabinet Pemerintahan Jilid I, tetapi tidak dapat dinilai illegal
atas semua kebijakan yang telah diambil selama ini oleh Hendarman Supanji selaku Jaksa
Agung. Mungkin kasus ini tepat pula diterapkan , teori kemaslahatan yang ada dalam
hukum Islam, dan dikenal dengan istilah ”al-mashlahatul dharuriyah”. Akan tetapi secara
materiil, terhitung sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan oleh hakim
Mahkamah Konstitusi, maka eksistensi keberadaan Jaksa Agung RI, sudah tidak diakui lagi,
baik secara formal maupun secara materiil.
Demikianlah beberapa contoh kasus yang menggambarkan betapa pentingnya untuk
mengetahui dan memahami teori-teori hukum, baik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam mempelajari berbagai
teori dan konsep hukum Barat, maka seyogianya sebagai akademisi hukum ataupun praktisi
hukum, harus pula dilakukan kajian dan analisis kritis, sehingga dapat dilakukan apa yang
disebut rekonstruksi teori hukum.

Sejalan dengan itu tentunya terlebih dahulu harus dipahami perjalanan sejarah lahirnya suatu
teori dan konsep hukum, di mana semua teori dan konsep hukum itu didasarkan pada
pandangan atau aliran filsafat tertentu yang merupakan bagian dari suatu peradaban tertentu.
Teori-teori yang sifatnya legalistik, dogmatik, normatif, positivistik, jelas-jelas merupakan
produk Barat, yang serupa dengan paham filsafat liberalis, individualis, dan sekuler di Barat,
yang tentu saja diantara sekian banyak teori hukum atau konsep hukum itu, ada yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan itu, merupakan suatu keniscayaan, perlu dipadukan antara kajian historis
dan kajian komparatif dalam memahami dan mencoba melakukan rekonstruksi teori hukum.
Harus dilakukan kajian komparatif yang membandingkan teori dan konsep hukum Barat di
satu pihak, dengan teori dan konsep hukum Timur, di lain pihak, termasuk dengan teori dan
konsep hukum Islam.

Salah satu contoh yang menarik dan belum terlupakan di benak kita, yaitu kasus Bank
Century, di mana di perlemen (DPR), telah dilakukan langkah dan upaya demokrasi dengan
cara para anggota DPR dipersilahkan memilih, opsi A atau opsi C. Pilihan ini dilakukan
dalam menentukan benar atau tidaknya terdapat pelanggaran hukum dalam kasus Bank
Century, yang pada akhirnya telah dilakukan vooting pada sidang pleno. Hasil vooting suara,
ternyata suara terbanyak ada pada opsi C, sehingga DPR menyimpulkan bahwa dalam kasus
Bank Century terdapat pelanggaran hukum dan hasil pleno DPR tersebut, harus dibawa ke
rana hukum. Persoalannya sekarang, dan menimbulkan pertanyaan besar bahwa apakah benar
suatu kebenaran harus ditempuh dan diperoleh dengan cara atau melalui hasil vooting suara?.
Mengingat suara terbanyak sebagai produk demokrasi lembaga legislatif (DPR) yang
berdasarkan pada teori kedaulatan negara, pendapat itulah yang dijadikan sebagai tolok ukur,
untuk menentukan pilihan pendapat, atas kasus yang terjadi pada Bank Century. Apakah
dikemudian hari benar atau tidak benar, hal itu tidak menjadi soal. Yang pasti, pihak KPK
baru-baru ini menyatakan bahwa pihaknya sulit menemukan bukti-bukti yang kuat, tentang
adanya penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.

Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan
prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan
kebebasannya. Hukum haruslah netral dan dapat diterapkan pada siapa saja secara adil, tanpa
memandang kedudukan, jabatan, kekayaan, dan ras. Hukum dalam implementasinya harus
dipisahkan dari politik. Fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini, kadang suatu
kasus/permasalahan, sudah jelas masuk dalam rana hukum, masih dipermainkan dalam rana
politik. Atau sebaliknya suatu kasus/permasalahan berada dalam rana politik, dipaksakan
untuk masuk dalam rana hukum. Akibatnya timbul berbagai permasalahan yang berlarut-larut
tanpa ada penyelesaian hukum ataupun penyelesaian politik, yang akhirnya melahirkan
ketidakpastian dan ketidakadilan.

Solusi yang dapat dilakukan, bahwa tidak semua teori dan konsep hukum Barat harus kita
tolak, sebab tentu saja terdapat bagian dari teori dan konsep Barat yang mungkin cocok untuk
diterapkan di masyarakat Indonesia. Untuk itu harus ada proses analisis yang akurat untuk
mampu memilah-milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai teori dan konsep
hukum Islam, yang dalam sejarah peradaban, pernah menciptakan suatu masyarakat yang
benar-benar madani, terutama di masa keemasan Islam. Penerapan hukum Islam di zaman
Nabi Muhammad SAW, terbukti mampu mengimplementasikan secara konsisten ”keadilan
substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan prosedural-formal” seperti
yang didewa-dewakan oleh dunia Barat selama ini.

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang
timbul, adalah ; sejauhmana peranan teori hukum dalam memecahkan berbagai persoalan
hukum yang timbul di kalangan masyarakat Indonesia?

II. Menguak Beberapa Teori Hukum

1.Teori Kedaulatan Tuhan.

Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan suatu bentuk kehendak atau kemauan Tuhan.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, wajib untuk menaati hukum yang berasal dari
Tuhan. Dalam teori kedaulatan Tuhan ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Teori
kedaulatan Tuhan yang langsung; membenarkan perlunya hukum yang dibuat oleh raja-raja
yang menjelmakan dirinya sebagai Tuhan di dunia. Sedangkan teori yang tidak langsung
menyatakan bahwa raja-raja hanyalah merupakan wakil Tuhan di dunia.

Teori ini kalau dikaji secara mendalam, maka teori ini hakikatnya, sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang religius, di mana falsafah negara RI berdasarkan Pancasila, yang
sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan di dalam teori Islam, dikenal pula
bahwa Al-Qur’an itu adalah firman Tuhan dan Al-Hadis merupakan sabda Nabi Muhammad
SAW, yang kedua-duanya merupakan sumber hukum dalam Islam.

2. Teori Kedaulatan Negara.

Teori Kedaulatan Negara ini dipelopori oleh John Austin, yang esensi ajarannya adalah
;”Law..was the command of sovereign, artinya; hukum adalah perintah pihak yang berdaulat.
Hal ini dapat diikhtiarkan bahwa kedaulatan negara yang digunakan itu, berdasarkan
kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh pihak yang berkuasa. Dalam ilmu hukum
menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal dan eksternal. Sehingga prinsip
demokratisasi yang didengung-dengungkan oleh Amerika Serikat, kemudian diadopsi oleh
Indonesia, lalu untuk memperlihatkan keindonesiannya, dibingkai dengan istilah ”Demokrasi
Pancasila” dan itulah yang dianggap terbaik, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral,
melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok
masyarakat yang paling berkuasa.[1] Hukum ditafsirkan menurut keinginan yang
menafsirkannya, dan penafsir akan menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingannya
sendiri, sehingga yang namanya keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang
digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan, dan
keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi hasil penafsiran hukum dan akan selalu
menjadi bulan-bulanan hukum.[2]

Fakta di depan mata, penegakan hukum di Indonesia masih carut marut, dan hal ini sudah
diketahui dan diakui bukan saja oleh orang-orang yang sehari-harinya berkecimpung di
bidang hukum, tetapi juga oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan juga komunitas
masyarakat internasional. Bahkan banyak pendapat yang menyatakan bahwa penegakan
hukum, acap kali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan hanya mengedepankan
kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum merupakan ujung
tombak terciptanya tata hukum yang baik dalam masyarakat.

Sesungguhnya prinsip demokrasi yang dianut dan dikomandoi oleh Amerika Serikat, belum
tentu cocok dengan situasi dan kondisi kehidupan kenegaraan yang ada di Indonesia. Sebab
jika kita mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi, maka pada hakikatnya di dalamnya
terdapat suatu aksioma bahwa pihak yang kuat akan mengalahkan pihak yang lemah dan
pihak yang berkuasa mengalahkan pihak yang tidak berkuasa. Dalam teori kenegaraan dalam
Islam tidak dikenal prinsip demokrasi, tetapi yang dianut dan dijunjung tinggi dalam Islam
adalah prinsip musyawarah mufakat.

Apakah warga negara memiliki kewajiban moral natural untuk mematuhi negara? Atas dasar
apa negara mewajibkan masyarakat mematuhi hukum? Apakah negara itu sendiri memang
legitim dan karenanya berwenang memaksakan kehendaknya pada masyarakat? Inilah
beberapa gugatan kritis yang diajukan kepada negara, ketika masyarakat mengalami bahwa
hukum sesungguhnya tidak secara adil memihak pada kepentingan segenap warga negara.
Gugatan ini memperlihatkan bahwa pendekatan prosedural formal dalam penegakan hukum
tidak mencukupi untuk menjamin hak segenap warga negara.

Kecenderungan mengedepankan pendekatan prosedural formal, di satu pihak; dan


mengabaikan substansi hukum, di lain pihak, dapat menjadi indikasi ketidakmampuan negara
memenuhi fungsi pokoknya sebagai pembela dan menjamin pelaksanaan hak warga negara.
Kenyataan ini sekaligus menjadi lonceng kematian keadilan, ketika hukum sebagai iuris
secara sadar dilepaskan dari dimensi substansinya sebagai ius.

Karena itu, beralasan untuk menegaskan bahwa hukum, bukan sekedar sekumpulan
peraturan. Hukum adalah norma untuk menjamin dan melindungi hak warga negara. Itulah
sebabnya penganut teori hukum kodrat ataupun pendukung positivisme berpendapat bahwa
tujuan hukum hanya dapat tercipta apabila hukum dibangun dengan kesadaran dan
tanggungjawab moral untuk membela keadilan. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimnya
(ultimate end), hukum akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan
mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Karena itu,
apakah itu hukum? dan apakah warga negara wajib mematuhi hukum?, merupakan dua
pertanyaan krusial dan mendasar yang tetap relevan diajukan, juga dalam negara demokratis
sekalipun seperti kita di Indonesia. Pertanyaan ini membantu kesadaran kolektif masyarakat
untuk senantiasa secara kritis mengawal hukum yang berlaku, agar hukum sungguh-sungguh
secara adil mengabdi pada kepentingan semua pihak.

Untuk itu terhadap semua teori dan konsep hukum Barat, harus ada proses analisis yang
akurat untuk mampu memilah-milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai
teori dan konsep hukum Islam, yang dalam sejarah peradaban, pernah menciptakan suatu
masyarakat yang benar-benar madani, terutama di masa keemasan Islam. Penerapan hukum
Islam di zaman Nabi Muhammad SAW, terbukti mampu mengimplementasikan secara
konsisten ”keadilan substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan
prosedural-formal” seperti yang didewa-dewakan oleh dunia Barat selama ini.

3. Teori Kedaulatan Hukum .

Teori ini menyatakan bahwa hukum itu bersifat mengikat, bukan karena dikehendaki oleh
negara, namun lebih dikarenakan kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri.
Prof.Mr.H.Krabbe dalam bukunya ”Die Lehre Rechtssouvernitat” berpendapat bahwa
kesadaran hukum berpangkal pada perasaan setiap individu yaitu bagaimana seharusnya
hukum itu.[3]

Teori ini dalam tataran praktical, sedikit mengalami kesulitan, karena tingkat kesadaran
hukum, masing-masing orang pasti berbeda dan sangat bergantung pada faktor kepentingan
yang ingin dicapai. Salah satu contoh yang nampak di permukaan, bahwa betapa banyak
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam sengketa tata usaha negara, yang tidak mau
dilaksanakan oleh pihak yang kalah, terutama kalau yang dikalahkan adalah pihak penguasa.
Mengapa?, karena merasa kebijakannya dirugikan. Yang sangat disayangkan, ketika pihak
yang kalah ini, tidak mau menerima kekalahannya, ada pihak-pihak tertentu yang
mengompori atau mempropokasi masalah tersebut, akibatnya putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara, tidak dapat dilaksanakan, karena adanya perlawanan terhadap putusan Pengadilan
oleh pihak yang kalah .

Contoh yang lain putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilkada, banyak daerah yang
tidak mau melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal lembaga ini adalah
pengawal konstitusi. Kenapa demikian karena pihak yang kalah dalam Pilkada tidak mau
secara demokratis menerima kekalahan tersebut. Mereka lebih cenderung mencari-cari
masalah, agar pihak yang kalah dapat memperpanjang masa jabatannya, minimal akan
mendapatkan kesempatan dalam posisi atau kedudukan caraceter sebagai pelaksana tugas
sebagai Bupati/Walikota dan pada akhirnya pihak yang menang dalam Pilkada tidak
mendapat tempat dan kesempatan untuk tampil sebagai pimpinan daerah.

4. Esensi ajaran Thomas Aquinas.

Teori hukum ini berkembang pada abad pertengahan. Aquinas berpendapat; ”hukum pada
dasarnya merupakan cerminan tatanan Ilahi. Legislasi hanya memiliki fungsi untuk
mengklarifikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah menegakkan keadilan
melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan pemberlakuan undang-
undang”[4].

Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks kosmologi, artinya mengizinkan
penalaran rasional selama batas-batas yang ditetapkan oleh wahyu Ilahi, tidak dilanggar.
Penerapan hukum positif pada kasus riil, harus dibaca sebagai implementasi hukum Ilahi.
Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu, dengan
hukum yang dijangkau oleh akal manusia.
Teori ini masih dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, karena pengaruh ajaran agama
yang mereka pahami dan yakini selama ini. Seperti diketahui masyarakat Indonesia sebagian
besar penganut-penganut Islam yang fanatik dan sumber hukum mereka yang diyakini
kebenarannya, di samping Al-Quran dan As-Sunnah, juga ijetihad di kalangan para ulama
fikih. Hukum yang berasal dari wahyu adalah Al-Quran dan As-Sunah, sedangkan hukum
yang dijangkau oleh akal manusia adalah ijetihad. Dengan membuka pintu ijetihad, maka
dengan sendirinya akan lahir teori-teori hukum baru yang sesuai dengan tingkat
perkembangan masyarakat itu sendiri.

5. Esensi ajaran Rudolf Stammler.

Teori hukum ini berkembang pada abad ke 20 . Stammler berpendapat, apa yang dikehendaki
manusia dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup
bersama yang teratur itu, dibutuhkan perbuatan, yakni pengaturan segala hal yang terdapat
dalam kehidupan bersama itu. Perbuatan mengatur itu, wujudnya adalah hukum. Hidup
bersama yang teratur, menghendaki adanya hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak
akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut kehendak yuridis. Kehendak yuridis ini harus
menjadi dasar dan syarat seluruh aturan hukum positif. Tanpa kehendak yuridis (menjamin
keteraturan dalam hidup bersama), suatu aturan hukum positif tidak memiliki arti normatif .
Oleh karena itu ”kehendak yuridis (dalam arti formal) inilah yang merupakan prinsip terakhir
segala pengertian tentang hukum. Ia tidak berkaitan dengan isi kaidah hukum, sebaliknya ia
merupakan bidang formal. Sifat mewajibkan (sifat normatif) dari hukum harus bertolak dari
segi formalnya (bentuknya), bukan isinya (matreri)”.[5]

Pendek kata, hukum merupakan kehendak yuridis manusia sebagai kebutuhan dan kesadaran
bersama, bukan orang per orang dan di dalamnya lahir komitmen dan kesepakatan bersama,
karena itu ia bersifat obyektif sebagai patokan obyektif bagi keteraturan hidup bersama. Di
sinilah kemudian melahirkan makna transedental yang sifatnya mewajibkan, di mana
kehendak yuridis menuntut supaya orang-orang menaati aturan-aturan hukum. Jadi hukum itu
menuntut secara legal.

Sejalan dengan teori ini dapat dipahami dan dicontohkan bahwa kehidupan bersama sebagai
suami istri adalah suatu kebutuhan dan di dalam memenuhi akan kebutuhan itu, diperlukan
aturan hukum yang harus ditaati yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban. Ketika terjadi
konflik antara suami istri dalam bentuk syikak, maka dibutuhkan lagi aturan hukum yang
mengatur tentang tata cara penyelesaian konflik. Hal mana telah diatur dalam Pasal 76
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana diubah dan disempurnakan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

6. Esensi ajaran Hans Kelsen.

Teori hukum ini, berkembang pada abad 20. Kelsen berpendapat bahwa teori hukum yang
murni haruslah bersih dari politik, etika, sosiologi dan sejarah. Menurut Kelsen hukum
berurusan dengan bentuk forma, tidak berurusan dengan materia (isi). Sedangkan keadilan
sebagai isi hukum berada di luar hukum. Oleh karena itu gagasan-gagasan mengenai keadilan
haruslah menjadi tema di dalam politik, tidak di dalam hukum. Ilmu hukum adalah suatu
hirarki mengenai hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat. Demikian pula
Kalsen hanya berbicara mengenai hukum sebagai yang ada (law is it is), tidak sebagai yang
seharusnya ada (law as ought to be). Obyek tunggal hukum adalah “menentukan apa yang
dapat diketahui secara teoritis tentang tiap jenis hukum pada tiap waktu dan dalam tiap
keadaan.[6]

Dari uraian di atas, dapat penulis sebutkan dasar-dasar esensial dari teori Kelsen, sebagai
berikut ;

a. Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan
dan kemajemukan menjadi kesatuan.

b. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai
hukum yang seharusnya.

c. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

d. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya
kerja norma-norma hukum.

e. Teori hukum adalah formal; suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara
yang khusus.

f. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa
yang mungkin dengan hukum yang ada.[7]

Dari uraian tersebut, Kelsen menganggap bahwa ada perbedaan antara norma hukum dan
norma moral, terutama sekali dilihat dari segi sanksinya. Kelsen dianggap sebagai pencetus
teori murni tentang hukum, di samping sebagai pencetus dan berjasa mengembangkan teori
jenjang yang dicetuskan oleh Adolf Merkl ( 1836-1896), yaitu; teori yang menganggap
susunan hukum berbentuk piramida, di mana hukum yang lebih rendah harus sesuai dengan
hukum yang lebih tinggi.

Sejalan dengan teori ini, dapat dicontohkan bahwa Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01
Tahun 2008 tentang Mediasi sebagai peraturan hukum yang lebih rendah, telah sesuai dengan
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai peraturan
hukum yang lebih tinggi dan juga telah memenuhi maksud surat An-Nisa ayat 35 sebagai
hukum ilahi, yang di dalamnya mengatur tentang pengutusan atau pengangkatan hakam
dalam perkara syikak di Pengadilan Agama.

7. Esensi Positivisme Hukum menurut H.L.A Hart;

Teori hukum ini menyebutkan antara lain adalah;” that laws are commands of human
beings” artinya hukum adalah perintah. Juga dikatakan “that there is no necessary
connection between law and morals or law as it is and law as it ought to be”, artinya tidak
ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana
diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakan, dan yang diinginkan. Selanjutnya Hart berpendapat ; “that a legal system is a
closed logical system in which correct decisions can be deduced from predetermined legal
rules by logical means alone”, artinya system hukum adalah system tertutup yang logis, yang
merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-
aturan yang sudah ada sebelumnya.[8].

Sejalan dengan itu teori ini menghendaki, bahwa apapun bunyi pasal yang terkandung dalam
peraturan perundang-undangan sebagai contoh, Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, yang mengatur tentang proses syikak, harus diwujudkan dalam kenyataan.

8. Esensi ajaran John Austin.

Teori hukum ini menganut aliran positivis dan disebutkan bahwa ;”Law .. was the command
of sovereign, artinya hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Ilmu hukum selalu
berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat
disebut demikian, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya.

Konsep tentang kedaulatan Negara (doctrine of sovereignty) mewarnai hampir keseluruhan


dari ajaran Austin. Hal mana dapat diikhtisiarkan antara lain sebagai berikut a.Kedaulatan
yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal
maupun eksternal.

b.Sifat eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan sifat
internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif.[9] .

Sejalan dengan teori ini dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sebagai produk kedaulatan negara yang normatif,
harus dilaksanakan secara utuh dan sempurna.

Sedangkan dasar berpikir yang bersifat sosiologis dan filosofis ialah sesuai ajaran yang
dikembangkan oleh tokoh aliran sosiologis, tokoh aliran neo positivisme, dan juga tokoh
aliran utilistis, yaitu ;

9. Esensi ajaran Talcott Parsons.

Teori hukum ini lahir dari penganut aliran sosiologis, penulis dapat mengemukakan bahwa
Parsons melihat masyarakat sebagai salah satu totalitas yang mempunyai dua macam
lingkungan, yaitu: ultimate reality dan fisik organik. Untuk menghadapi kedua lingkungan
tersebut, masyarakat mengorganisir diri ke dalam beberapa sub-sistem, masing-masing : sub
sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya. Menurut Achmad Ali, tiap-tiap sub sistem
memiliki fungsi khas, yaitu;

a.Sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi ( adaptation ), berarti bagaimana masyarakat itu
memiliki fungsi yang dapat memamfaatkan sumber daya di sekitarnya secara fisik organik.

b.Sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan ( goal pursuance ), berarti setiap warga
masyarakat selalu mempunyai kebutuhan untuk mengetahui ke arah mana tujuan masyarakat
itu digerakkan. Dengan politik, masyarakat dihimpun sebagai satu totalitas untuk menentukan
satu tujuan bersama. Contohnya; masyarakat Indonesia bertujuan untuk mencapai masyarakat
yang adil dan makmur.

c.Sub sistem sosial berfungsi integrasi ( integration ), berarti proses/hubungan di dalam


masyarakat diintegrasikan menjadi satu, sehingga masyarakat dapat merupakan satu
kesatuan. Contohnya dengan adanya peraturan perkawinan, maka diintegrasikan orang-orang
yang telah menikah itu mengadakan hubungan suami istri.

d.Sub sistem budaya berfungsi mempertahankan pola ( pattern maintenance ), berarti tanpa
kebudayaan, maka masyarakat tidak dapat berintegrasi dan tidak dapat berdiri sebagai
kesatuan. Contohnya mengusahakan adanya ”pattern maintenance” melalui penataran
P4.[10]

Parsons memandang manusia dalam dua wujud, yakni ;

i.Manusia sebagai individu yang memiliki empat sub sistem, yaitu ; cultural system, social
system, personality, dan behavioral organism.

ii.Manusia sebagai warga masyarakat yang memiliki empat sub sistem, yaitu ; cultural
system, social system, political system dan economy sistem.[11]

Secara ”behavioral organism”, manusia pada umumnya sama,tetapi mengapa


kepribadiannya berbeda-beda? Ini disebabkan karena secara kultural, mereka berbeda-beda.
Jika Aco, Becce dan La Tuwo masing-masing melakukan hubungan secara timbal balik,
maka selain pisik mereka berhubungan, juga berhubungan kepribadian mereka. Hubungan
inilah yang membentuk ”social system”. Interaksi di dalam masyarakat berbentuk ” system of
expectations”.inilah yang mengakibatkan kalau manusia itu masuk ke dalam jaringan ”social
system”, maka dengan sendirinya manusia itu telah berada dalam jaringan ”system of
expectations” .

Apa yang dimaksud dengan ”system of expectations” , penulis dapat memberikan contoh
sebagai berikut ; ”Di dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya,
tidak hanya terjadi interaksi antara seorang pria dewasa yang kebetulan berstatus ayah dengan
seorang wanita dewasa yang kebetulan berstatus ibu dan juga dengan manusia-manusia kecil
yang kebetulan berstatus anak, melainkan justru yang menjadikan ciri sebagai keluarga
adalah adanya ”system of expectations” , yaitu terjadinya harapan-harapan akibat terjadinya
perubahan status dari status bujang menjadi suami dan dari status gadis menjadi istri.

Perubahannya antara lain, pada waktu masih bujangan, si pria tadi biasanya ada yang bebas
keluyuran di luar rumah sampai pagi, bebas pacaran dengan beberapa orang wanita, bebas
berpoya-poya dengan menghabiskan gajinya atau penghasilannya. Tetapi dengan selesainya
pria tadi menikah dan statusnya pun berubah menjadi suami, maka muncullah ”expectation”
sebagai suami. ”Expectation” atau sesuatu yang diharapkan dari seorang ayah itu adalah
bahwa keadaan seperti dulu ketika ia masih bujang, tidaklah benar jika ia masih mau
mengulanginya lagi.

Demikian pula sebaliknya pada si istri. Ketika ia masih gadis, ada diantaranya yang bebas
berteman dan bergaul dengan pria mana saja yang diinginkannya dengan aneka ragam
alasan; teman sekolah, teman kerja, teman gaul atau teman akrab, sudah kayak saudara dan
sebagainya. Sehari semalam tentu boleh saja digunakan untuk berdandan di depan cermin,
tetapi dengan perubahan statusnya setelah menjadi istri, muncullah ”expectation” sebagai
istri. ”Expectation” atau sesuatu yang diharapkan dari seorang istri itu, adalah bahwa
keadaan dan kebiasaan seperti ketika ia masih gadis, sudah salah jika ia masih ingin
meneruskannya.

Apa arti suami?, apa arti istri?, dan apa arti anak?. Tentu memiliki peran dan fungsi yang
berbeda. Seorang suami memiliki ”expectation”, dalam arti; diharapkan untuk tidak lagi
bagadang dan membuang-buang waktu, lalu pulang ke rumah pada pagi hari, tidak bergaul
bebas dengan wanita-wanita lain yang bukan muhrimnya dan tidak menghabiskan gajinya
atau penghasilannya buat berpoya-poya di luar rumah. Demikian pula seorang istri memiliki
”expectation”, dalam arti diharapkan untuk tidak bergaul ”bebas” dengan pria lain, selain
suaminya, juga tidak hanya mengurus dirinya sendiri sampai berdandan berjam-jam lamanya,
hanya untuk kepentingan penampilan di luar rumah dan untuk kepentingan orang lain,
sementara di rumah tidak menghiraukan suaminya, bahkan cenderung berpenampilan
alakadarnya dengan pakaian yang kusut, kotor dan berbau aroma yang tidak menyenangkan.
Demikian pula seorang anak memiliki ”expectation”, bahwa apa yang ia harus lakukan
terhadap kedua orang tuanya, baik dalam bentuk ketaatan maupun dalam bentuk pengabdian.

Pada kenyataannya ”expectations” atau harapan-harapan itu, tidak selalu selaras dengan
”performance” atau kenyataan. Ketika terjadi perbedaan antara ”expectation” dengan
”performance”, maka hubungan itu menjadi tidak ideal, muncul sikap dan perilaku yang
egois, yang pada gilirannya hilang rasa percaya dan mudah timbul persepsi dan pendapat
yang berbeda yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan dan pertengkaran (syikak) dalam
keluarga. Menurut penulis, bahwa yang memberikan arti dan solusi pada ”system of
expectations” adalah kaidah-kaidah, yang di dalamnya terdapat; kaidah agama, kaidah
hukum, kaidah sosial, kaidah moral dan kesopanan. Kaidah-kaidah ini sangat menentukan
tampilnya ”expectation” dari seseorang.

10. Esensi ajaran George Gurvitch;

Teori hukum ini dari kubu Neo-Positivisme. Gurvitch berpendapat ”kenyataan normatif itu
adalah keadilan. Hidup dalam masyarakat hanya dapat berjalan aman, damai, dan stabil
berkat hubungannya dengan keadilan. Sejumlah orang, baru menjadi kelompok yang riil, bila
mereka mengalami kelompoknya sebagai suatu ”kita”. ’Aku’ dan ’engkau’ menjadi bersatu
sebagai ’kita’. Ini bisa terwujud jika keadilan menjadi nilai hidup bersama yang utama. Juga
dalam membentuk hukum positif, keadilan harus memegang peranan yang penting. Hukum
itu mendapat arti hukum yang sesungguhnya, berkat nilai keadilan yang diwujudkannya”.[12]

Jadi kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai perwujudan nilai keadilan
dalam realitas empiris hidup bersama yang merupakan dasar materiil hubungan-hubungan
sosial antara manusia, artinya bahwa tiap-tiap hidup bersama sejumlah orang mendapat
bentuknya sebagai hidup berkelompok berdasarkan kenyataan normatif.

Sejalan dengan teori ini, dapat dicontohkan bahwa upaya damai yang dilakukan oleh hakim
dalam bentuk ishlah itu, peran seorang hakam atau mediator sangat menentukan dalam
mengimplementasikan nilai-nilai keadilan bagi kepentingan kedua belah pihak sebagai
bagian dari kelompok masyarakat.
11. Esensi ajaran Jeremy Bentham.

Teori hukum ini lahir dari aliran Utilistis. Butir-butir ikhtisar dan esensi ajarannya, dapat
dikemukakan antara lain sebagai berikut;

a.Tujuan hukum perundang-undangan menurut Bentham adalah untuk menghasilkan


kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha mencapai
empat tujuan, yaitu ;

i.to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).

ii.. to provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).

iii. to provide security (untuk memberikan perlindungan).

iv. to attain equality (untuk mencapai persamaan).

b. Tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-
besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.

Menurut Bentham ada dua tipe studi ilmu hukum (jurisprudential study), yaitu ;

i.Expository Jurisprudence ; Ilmu hukum Ekspositor ini tidak lebih dari studi hukum
sebagaimana adanya. Obyek studi ini adalah menemukan dasar-dasar dari asas-asas hukum
melalui penganalisaan sistem hukum sebagaimana yang ada.

ii. Censorial Jurisprudence ;Ilmu hukum Sensorial ini merupakan studi kritis tentang hukum
yang dikenal juga sebagai deontology untuk meningkatkan efektivitas hukum dan
pengoperasiannya.[13].

Sejalan dengan teori ini, maka hukum yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, khususnya Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2), harus efektif pelaksanaannya dalam
rangka memberikan keadilan dan perlindungan hukum kepada para pencari keadilan.

12. Teori Hukum Responsif;

Teori hukum ini lahir dan digagas oleh Nonet-Selznick. Hukum responsif merupakan teori
tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap
situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang
terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu tujuan sosial yang ingin
dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dalam bekerjanya hukum itu. [14]

Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick, sebetulnya ingin mengeritik model analytical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya berkutat di dalam sistem hukum positif.[15]
Model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum Responsif sebaliknya,
pemahaman mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking
towards pada hasil akhir, akibat dan manfaat dari hukum itu.[16]. Itulah sebabnya, hukum
responsif mengandalkan dua doktrin utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik,
bertujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua
pelaksanaan hukum.

Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum
responsif, menekankan pada ;

a. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum

b. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan

c. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan
masyarakat.

d. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap
berorientasi pada tujuan

e. Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan

f. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum

g. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat.

h. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum

i. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan
sosial.[17]

Dalam konteks inilah, hukum responsif menurut Nonet-Selznick, merupakan upaya dalam
menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut
mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan
kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual
akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya
segelintir orang.[18] Jadi teori hukum, tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak
pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia
secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan dan
perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet-Selznick, untuk membuat ilmu hukum lebih
relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, politik hukum dan teori
sosial.[19]. Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan
sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif
itu.[20]

13. Teori Hukum Progresif;

Teori hukum progresif, tidak lepas`dari gagasan Prof.Satjipto Rahardjo, yang galau dengan
cara penyelenggaraan hukum di Indonesia. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi
dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Hukum progresif menganut ideologi, hukum yang
pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum
mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut
mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki
empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan
rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses
perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum
mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif
dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan
yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang buruk, tidak harus
menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan, untuk
rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap
kali terhadap suatu peraturan. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa
pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu dalam fora kepentingan-kepentingan
sosial yang memang harus dilayaninya,[21]

Hukum progresif, seprti juga intressenjurisprudenz, tidak sekali-kali menafikan peraturan


yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meski begitu, ia tidak
seperti legisme yang mematok peraturaan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence
yang hanya berkutat pada proses logis-formal.[22]. Hukum progresif itu merangkul, baik
peraturan maupun kenyataan dan kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus
dipertimbangkan secara matang dalam setiap pengambilan keputusan.

Perhatian hukum progresif dan legal raelism pada tujuan dan akibat hukum, memperlihatkan
suatu cara pandang etis yang dalam etika disebut etika teleologis. Cara berpikir teleologis ini
bukan tidak mengacuhkan hukum. Aturan itu penting, tapi itu bukan ukuran terakhir. Yang
lebih penting ialah tujuan dan akibat. Sebab itu pertanyaan sentral dalam etika teleologis,
ialah apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik, dan apakah tindakan yang
tujuannya baik itu, juga berakibat baik. Kiranya jelas, baik hukum progresif maupun
intressenjurisprudenz dan legal realism, memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu
semangat menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari
hukum.

Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan


pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat dengan
social engineering dari Roscoe Pound. Oleh para penganutnya, usaha sosial engineering ini
dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan
atau mengarahkan masyarakat.

Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai


titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul
dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam hubungan-hubungan
sosial adalah keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas, baik politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks keterbelengguan dimaksud, hukum progresif
harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan) dalam berbagai persoalan
hukum yang timbul di kalangan masyarakat. Dan hal ini sangat bergantung pada diskresi dari
para pelaku penegak hukum, ia dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus
bertindak, berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-ketentuan formal.
III. Kesimpulan.

Teori-teori dan konsep hukum yang ada di Indonesia yang merupakan produk dunia Barat,
harus dikaji secara lebih komperhensif dan mendalam serta disesuaikan dengan teori-teori
dan konsep hukum timur dan juga teori-teori hukum Islam. Teori dan konsep hukum Barat
yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia harus diterima secara lapang dada dan
dinilai sebagai khasanah kekayaan hukum Indonesia. Sebaliknya teori-teori dan konsep
hukum yang bertentangan dengan nilai budaya dan hukum yang hidup dalam masyarakat,
harus ditolak dengan tegas atas keberlakuannya di Indonesia.

Kiranya jelas, diskresi bagi penyelenggara hukum atau penegak hukum merupakan faktor
wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggung jawab dengan menggunakan
pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak, karena tujuan-tujuan yang dirumuskan
dalam ketentuan hukum, seringkali begitu kabur, sehingga memberi kesempatan kepada
pelaksananya untuk menambahkan dan menafsirkan sendiri dalam konteks situasi yang ia
hadapi, dan di sinilah peran teori hukum dalam memecahkan persoalan hukum yang dihadapi
dan di sini pulalah, perlunya diskresi yang merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan
oleh hukum itu sendiri.
ANALISIS KASUS MENGGUNAKAN TEORI SISTEM HUKUM LAWRENCE M. FRIEDMAN
Tugas UTS

Nihayatul Ifadhloh

122111103

SOSIOLOGI HUKUM

ANALISIS KASUS “Illegal Loging Di Garut Yang Di Duga Libatkan Oknum


Perhutani” MENGGUNAKAN TEORI SISTEM HUKUM LAWRENCE M. FRIEDMAN

A. PENGANTAR

Lawrence M. Friedman menyebutkan berhasil atau tidaknya Penegakan hukum


bergantung pada tiga unsur yakni: struktur , substansi , dan budaya hokum. satu sama
lain memiliki hubungan dalam kaitanya dengan hukum.

1) Substansi Hukum adalah norma (aturan/keputusan) yang merupakan hasil dari


produk hukum.
2) Sruktur Hukum diciptakan oleh sistem hukum yang mungkin untuk
memberikan pelayanan dan penegakan hokum.
3) Budaya hukum adalah ide , perilaku , keinginan , pendapat dan nilai-nilai yang
berkaitan dengan hukum (positif/negatif).
B. TUJUAN

1) Untuk mengetahui dan memahami korelasi kasus illegal loging di jabar dengan
Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman.
C. ANALISIS
1. Substansi Hukum

Dalam kasus illegal loging yang terjadi di garut jabar, hal itu merupakan pelanggaran
dari undang-undang republik indonesia nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan. Dan juga hal ini telah melanggar undang-undang
republik indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kasus ini dinilai telah
melanggar pasal 50 ayat 3 huruf g tentang kehutanan yang berbunyi “setiap orang
dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri”. Dan hal itu sangat jelas karna
tidak adanya izin pinjam pakai kawasan kepada mentrei untuk sebuah pertambangan
kayu.
Dalam kasus tersebut penanganan kasus pembalakan kayu dalam skala besar tidak
begitu mendapat perhatian dalam penegakan hukumnya, hal ini berbeda dengan nenek
asyiani yang hanya dengan bberapa batang pohon tapi dengan putusan hukum yang amat
berbeda dari yang masyarakat harapkan, bagaimana mungkin yang hanya segelintir
batang di usut tuntas sesuai dengan peraturan perundang –undangan, tapi yang dalam
skala besar seakan tidak diperdulikan, dan seakan dihentikan. Substansi dari sebuah
hukum itu sendirii seharusnya mencerminkan keadilan, namun seakan hal itu tidak
berlaku bagi mereka yang memiliki materi dan juga jabatan, sangat bertolak belakang
dengan penegakan masyarakat awam yang hanya mempunyai harapan atas sebuah
keadilan dalam hukum. terlebih dalam kasus tersebut Nampak terlihat janggal ketika
terdapat dugaan kuat adanya campur tangan pihak kehutanan dan kepolisian dalam
kasuus illegal loging di garut jabar. Seharusnya terdapat aturan yang lebih, khusunya
terhadap aparat kehutanan dalam menjalankan tugas agar tidak ada kesempatan untuk
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas sesuai dengan masing-masing
kepentingan .
2. Struktur Hukum

Dalam teori Lawrence Meir Friedman struktur hukum merupakan suatu hal yang
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Jika dalam kasus illegal loging ini juga termasuk
pihak perhutani, yang mempunyai wewenang untuk menjaga dan melindungi Kawasan
hutan yang merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kewenangan
lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.
Namun teori tersebut banyak diselewengkan. Buktinya terdapat kasus pembalakan
kayu dalam skala besar dengan ratusan ribu kubik yang di tebang di kawasan hutan
perhutani tidak mendapatkan tanggapan yang serius dari pihak perhutani dan hal itu
jelas ada indikasi pembiaran oleh aparat kepolisian setempat dan pihak perum perhutani,
seolah-olah mereka menjadi bagian dari praktek pembalakan kayu dalam skala besar.
Hall ini ditambah dengan kejanggalan dalam persidangan yang tampaknya tidak
mengarahkan pertanyaan tajam kepada pihak perhutani. Tidak hanya itu, dikatakan
bahwa pihak bupatii pun juga tampaknya acuh untuk menanggapi kasus tersebut. Maka
dari itu, perlu dilakukan reformasi kelembagaan atau mekanisme reformasi prosedural
dan juga tentang kepribadian kinerja perhutani hingga kepolisian, dan perilaku
masyarakat hukum yang kurang optimal . Jika dilihat dari struktur hukumnya dapat
dikatakan telah terjadi goncangan yang cukup besar, karna salah stau unsurnya belum
terpenuhi secara sempurna.
3. Budaya Hukum
menurut Lawrence Meir Friedman budaya hukum merupakan sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum pada sebuah kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.
suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat menentukan
bagaimana suatu hukum digunakan, dihindari, atau bahkan disalahgunakan. Budaya hukum
memiliki kaitan yang erat dengan kesadaran hukum pada masyarakat itu sendiri.
Dikatakan bahwa semakin tinggi ingkat kesadaran hukum pada masyarakat maka budaya
hukum akan tercipta dengan baik. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Masyarakat
Indonesia sendiri belum terlalu paham dan patuh dengan proses hukum yang ada.
Pelaksanaan hukum di Indonesia pun belum tampak adil. Hal ini dapat dilihat dari kasus
nenek asyiani dengan bebebrapa batang pohonya dengan putusan hukuman yang
diterimanya, yang dibandingkan dengan kasus illegal loging dalam jumlah skala yang besar
yang tidak cukup mendapatkan respon dari aparat hukum itu sendiri, mulai dari pihak
perhutani, kepolisian, bahkan bupati.

Untuk mengubah budaya hukum yang ada pada masyarakat kita harus selalu
memahami tentang nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, dan segala sikap dominan yang berlaku
pada semua aspek hidup masyarakat. memberikan pemahaman tentang arti hukum dan
peraturan itu sendiri, bahwa pembalakan kayu liar dengan jumlah yang cukup besar telah
melanggar peraturan undang-undang, dan yang terpenting adalah bagaimana cara kita
untuk mengajak masyarakat melindungi hutan sebagai cagar alam juga budaya, karna
jutaan pohon yang berada hutan juga merupakan bagian dari kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai