Anda di halaman 1dari 20

Dispepsia Fungsional

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 1151

Abstrak:

Dyspepsia adalah kumpulan gejala (syndrome) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa
panas yang menjalar ke dada. Di kalangan masyarakat awam, mungkin kita mengenal dyspepsia
sebagai maag (lambung) sebagai penyakit yang sering terjadi dan wajar jika terlambat makan.
Dyspepsia dapat terjadi karena banyak hal, misalnya karena tonus otot gaster berkurang, atau
meningkatnya sekresi asam lambung karena faktor psikologis. Sehingga dyspepsia akan
menimbulkan rasa nyeri ulu hati dan rasa penuh pada abdomen. Untuk mendiagnosis dyspepsia
kita dapat menggunakan endoskopi, setelah mendapatkan hasil, kita bisa melakukan terapi
dengan obat yang sesuai.

Kata kunci: dyspepsia fungsional, gaster, regurgitasi, heart burn

Abstract

Dyspepsia is a collection of symptoms (syndrome) which consists of pain or discomfort in the


epigastrium, nausea, vomiting, bloating, early satiety, full flavor, belching, regurgitation, and a
burning sensation radiating to the chest. Among ordinary people, may we recognize as an maag
(stomach) as the disease is common and natural for a late meal. Dyspepsia can occur due to
many things, such as gastric muscle tone is reduced, or increased gastric acid secretion due to
psychological factors. So dyspepsia will cause heartburn and early satiety. For diagnosing
dyspepsia we can use the endoscope, after getting results, we can do therapy with the
appropriate medication.

Keywords :functional dyspepsia, gaster, regurgitation, heart burn


Pendahuluan
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/
keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua ada
pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi baik
dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang dispepsia. Salah
satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper
abdomen. Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999-2000. Jadi dispepsia bukanlah
suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya. Secara garis
besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit
organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll ) dan kelompok dimana sarana
penunjang diagnostik yang konvensional atau baku tidak dapat memperlihatkan adanya
gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata lain, kelompok ini disebut
sebagai gangguan fungsional.

Anamesis

Anamnesis adalah teknik wawancara antara dokter dan pasien yang mengarahkan
masalah pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis dapat dilakukan langsung terhadap
pasien (auto anamnesis) dan tidak langsung kepada keluarganya atau orang terdekat (allo
anamnesis).1
Dalam anamnesis akan ditanyakan poin-poin seperti berikut.
(1) Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, dan agama.
(2) Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa si pasien pergi
ke dokter dan mencari pertolongan, disertai dengan indikator waktu, seperti berapa lama
pasien mengalami hal itu.
(3) Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terinci, dan jelas
mengenai keadaan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.
Meliputi perincian tentang lokasi, kualitas, kuantitas, waktu terjadinya, faktor yang
meredakan atau memperburuk gejala.
(4) Riwayat penyakit dahulu, seperti hubungan antara penyakit yang pernah diderita dulu
dan sekarang, obat yang pernah diminum, dan berbagai pemeriksaan dan hasilnya.
(5) Riwayat keluarga, yaitu diagram usia dan kesehatan, atau usia dan penyebab kematian
dari setiap hubungan keluarga yang paling dekat mencakup kakek-nenek, orang tua,
saudara kandung, anak dan
(6) Riwayat Pribadi dan Sosial meliputi data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.1
Untuk anamnesis penyakit gastrointestinal, kita bisa menambahkan beberapa pertanyaan
sesuai dengan keluhan. Pendekatan diagnostic yang bisa dilakukan adalah menanyakan lokasi
nyeri, kualitas, intensitas, faktor memperberat dan memperingan: (1) Lokasi nyeri menandakan
dugaan penyakit berdasar lokasi anatomis. Nyeri di epigastrium menandakan ada yang salah
pada gaster, pancreas, dan duodenum. Nyeri di periumbilikus menandakan penyakit mengenai
usus halus. Nyeri di kuadran kanan atas yaitu hati, duodenum, kantung empedu, yang terakhir
nyeri di kuadran kiri atas mungkin mengarah ke pancreas, limpa, kolon, ginjal, atau gaster. (2)
Kualitas nyeri, rasa nyeri kolik (bertambah dan berkurang pada suatu siklus) seperti pada
obstruksi intestinal dan bilier, rasa nyeri tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas
pada kolesistitis, rasa panas seperti esofagitis, dan rasa nyeri tumpul yang menetap seperti
appendicitis. (3) Intensitas nyeri dapat menandakan penyakit, misalnya perforasi abdomen
memiliki intensitas nyeri yang sangat tinggi. (4) Faktor memperberat dan memperingan, sakit
yang dapat dihilangkan dengan antasida dapat diperkirakan merupakan tukak peptic, nyeri pada
penyakit pancreas terjadi setelah makan. Pada penyakit kolon, nyeri hilang setelah buang air
besar.1
Hasil anamnesis pasien pada kasus, pencetus adalah sering adalah terlambat makan dan
makan makanan pedas, Penurunan berat badan, muntah, BAB hitam disangkal. Penurunan berat
badan, muntah dan BAB hitam merupakan tanda alarm, artinya alarm sign negative.
Pemeriksaan fisik

Untuk memudahkan pemeriksaan fisik, kita dapat membagi abdomen dalam beberapa
region abdomen, yang pertama dengan menarik garis tegak lurus terhadap garis median melalui
umbilicus. Dengan ini terbagilah abdomen menjadi 4 kuadran: kanan atas, kanan bawah, kiri
atas, dan kiri bawah. Pembagian yang lebih spesifik dengan menarik dua garis sejajar dengan
garis median dan dua garis transversal yaitu yang menghubungkan dua titik paling bawah dari
arcus costae dan satu garis lagi yang menghubungkan kedua SIAS. Berdasarkan pembagian yang
lebih rinci ini, abdomen menjadi 9 regio yaitu: regio epigastrium, hipokondrium kanan,
hipokondrium kiri, umbilicus, lumbal kanan, lumbal kiri, suprapubik, iliaka kanan dan iliaka
kiri.1,2

Yang akan diperiksaan ialah bagian abdomen pada keempat quadran abdomen dengan
melakukan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi:

(1) Inspeksi, memperhatikan kulit bagian abdomen (jaringan parut, striae, dilatasi vena).
Kontur abdomen (cekung, rata, cembung), kesimetrisan abdomen, benjolan atau massa, gerakan
peristatik usus. Pada keadaan normal, dinding abdomen simetris dan tidak terlihat gerak
peristaltic.

(2) Palpasi, dilakukan dengan lembut untuk mengetahui adanya : nyeri tekan abdomen,
nyeri lepas, massa, rigiditas otot menggunakan ruas distal jari-jari. Palpasi dalam dilakukan
untuk mengetahui batas-batas abdomen, cari pembesaran massa tumor, apakah hati, limpa,
empedu membesar, kemudian periksa ginjal apakah ballottement positif atau negative.

(3) Perkusi, membantu untuk mengetahui distribusi gas dalam abdomen, massa padat,
atau cairan serta batas-batas organ (kantung empedu, menentukan ukuran hati dan limpa),
menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timfani), massa tumor (redup-pekak) dan
asites. Perkusi membantu menentukan apakah abdomen lebih banyak air atau gas. Pada keadaan
normal suara timfani, kecuali hati suara pekak. Bertambahnya bunyi timfani menandakan adanya
udara bebas, seperti pada perforasi usus. Dalam keadaan adanya cairan dalam rongga perut,
perkusi di atas dinding perut mungkin timfani dan di sampingnya pekak. Dengan memindah
mindahkan pasien miring ke satu sisi, maka bunyi pekak ini akan berpindah pindah (shifting
dullness). Fenomena papan catur, perkusi dinding perut ditemukan timfani dan redup yang
berpindah seperti pada peritonitis TBC.

(4) Auskultasi ,mendengarkan bising usus pasien, apakah normal (5-34 kali per menit),
hiperperistaltik, atau bising usus dibawah normal.1,2

Hasil pemeriksaan fisik, ditemukan nyeri tekan ringan regio epigastrium.

Pemeriksaan Penunjang
Setelah melakukan anamnesis dan mendapatkan informasi yang cukup dari pasien.
Dokter tentu mendapatkan gambaran penyakit yang diderita pasien tersebut tetapi perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat sehingga
tindakan terapi/penatalaksanaan dapat diberikan secara optimal.

- Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (lekositosis),


pankreatitis (amilase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA19-9, AFP).1
- Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan benda padat intra abdomen,
misalnya adanya batu kandung empedu, kolesistis, sirosis hati, appendicitis akut dan
sebagainya.1
- Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi), pemeriksaan ini sangat dianjurkan
untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm
symptoms yaitu adanya penurunan berat badan yang signifikan, anemia, terapi empiris
gagal, hemetamesis melena, disfagia. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan
organik, terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya.
Teknik pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural/
organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak/ ulkus, tumor dan
sebagainya serta dapat disertai pengambilan contoh jaringan (biopsi) dari jaringan yang
dicurigai memperoleh gambaran histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti
mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori.1,3
- Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini pemeriksaan barium meal adalah pemeriksaan untuk
mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa saluran cerna bagian atas seperti
adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada
kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif dimana skop endoskopi tidak
dapat melewatinya.1

Pada umumnya pemeriksaan fisik dan laboratorium bersifat tidak khas atau tidak spesifik
karena dalam aplikasi klinisnya jarang digunakan karena tidak memberikan gambaran yang tepat
dalam rangka mencari dasar patofisiologi atau mencari dasar penyebab penyakit. Tetapi
pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang disertai
alarm symptoms.1

Diagnosis
Working diagnosis

Dispepsia Fungsional

Dispepsi fungsional merupakan bagaian dari gangguan pencernaan fungsional yang


memiliki gejala umum gastrointestinal tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi.Berdasarkan
keluhannya, dispepsia fungsional dapat diklasifikasikan menjadi beberapa subgrup yang
didasarkan pada keluhan yang paling dominan antara lain:
1. Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari maka dikategorikan
sebagai dispepsia tipe ulkus.
2. Bila kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang lebih dominan maka
dikategorikan sebagai dispepsia tipe dismotilitas.
3. Bila tidak ada keluhan yang dominan, maka dikategorikan sebagai dispepsia non
spesifik.4
Klasifikasi lain dari dispepsia fungsional adalah pembagian menurut Rome III, yaitu
diklasifikasikan dalam 2 subgrup yaitu dispepsia yang berhubungan dengan makan, disebut
Postprandial Distress Syndrome (PDS), dimana simptom utama adalah rasa penuh dan cepat
kenyang dan dispepsia yang tidak berhubungan dengan makan, disebut Epigastric Pain
Syndrome (EPS), dimana simptom utama adalah nyeri epigastrium dan rasa terbakar di
epigastrium.4
Patofisiologi pada dispepsia fungsional dapat dibedakan menjadi sekresi asam lambung,
dismotilitas gastrointestinal, disfungsi autonom, dan psikologis.4
1. Sekresi Asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,
baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga adanya
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut.

2. Dismotilitas Gastrointestinal
Pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas
antrum, gangguan akomodasi lambung saat makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral.
Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus dispepsia
fungsional. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan lambung
berkolerasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu hati.
3. Disfungsi Autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung saat menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
4. Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan menimbulkan keluhan
pada orang yang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yanhg mendahului
keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Dalam studi terbatas dilaporkan adanya
kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang tidak bahagia, adanya
sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik.

Differential diagnosis

Gastroesofageal Refluks Disease (GERD)

Manifestasi klinis dari GERD adalah nyeri ulu hati atau nyeri retrosternal bagian bawah.
Rasa sering dideskripsikan sebagai heart burn, disfagia, mual, regurgitasi, rasa pahit di lidah.
Gejala bertambah saat malam hari saat berbaring terlentang. Untuk menegakkan diagnosis
GERD maka kita harus melakukan endoskopi saluran cerna bagian atas untuk menemukan
“mucosal break” di esophagus. Jika tidak menemukan mucosal break, maka disebut NERD (Non
erosife refluks disease).1,6

Pada pemeriksaan radiologi tidak begitu jelas, tetapi dapat ditemukan penebalan dinding
dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pemeriksaan endoskopi adalah gold standart
di Indonesia untuk penyakit GERD. Terapi yang diberikan adalah terapi yang meringankan
gejala, seperti menghentikan segala sesuatu yang bisa menurunkan tonus LES (obat teofilin,
rokok, alcohol), menghentikan segala sesuatu yang menyebabkan peningkatan distensi lambung
dan meningkatkan tek intrabdominal.1

Dispepsia ec Gastritis
Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung. Gastritis berdasarkan manifestasi klinisnya
dibagi menjadi gastritis akut dan kronik. (1) Gastritis akut, penyebab terbanyak adalah infeksi
Helicobacter pylori (Hp). Didapati rasa nyeri epigastrium mendadak, disetai mual dan muntah.
Pemeriksaan endoskopi memperlihatkan eritem, eksudatif, flat and raised erosion, pendarahan
dan edema. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan infiltrasi neutrofil dengan edema dan
hyperemia. (2) Gastritis kronis, menunjukkan dominasi limfosit dan sel plasma pada gambaran
histopatologisnya. Penyebab terbanyak gastritis kronik ialah infeksi Helicobacter pylori dan
OAINS.1,5,6
a. Gastritis kronik akibat Hp:
Sebanyak 80% gastritis kronis H. pylori asimtomatik, 10-20% berkembang menjadi ulkus
peptic dan 0,1-4 % menjadi karsinoma lambung. Pada tingkat sekresi asam lambung
normal, kolonisasi Hp kebanyakan pada antrum. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
serologi Hp yaitu IgG dan IgM, uji nafas urea dan antigen tinja.

b. Gastropati obat antiinflamasi non steroid (OAINS)


Faktor risiko mendapat gastropati OAINS adalah riwayat ulkus peptikum, usia diatas 60
tahun, terapi lebih dari 1 macam OAINS dan terapi OAINS bersama steroid. Gejala
klinik, bisa asimtomatik (30-40%), namun umumnya bermanifestasi sebagai sindroma
dispepsia, terutama rasa nyeri.
Gejala klinik yang ditimbulkan pada gastritis ialah keluhan nyeri ulu hati disertai mual
muntah, yang membaik oleh antasida tetapi sebagai penegak diagnosis kita harus melakukan
endoskopi dan histopatologi dan menemukan hasil seperti yang dijelaskan diatas.1

Dispepsia ec Ulkus peptik


Definisi ulkus atau tukak peptik adalah defek berukuran diatas 5mm, kedalaman
mencapai lapisan submukosa. Ulkus peptik dapat menembus mukosa muskularis sampai lapisan
serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Ulkus peptik terdiri dari ulkus lambung dan ulkus
duodenum. 1,6
Patogenesis terjadi karena faktor agresif lebih kuat dari faktor defensive. Faktor agresif
yaitu H pylori dan OAINS. Selain itu pengaruh rokok, stres, malnutrisi, diet tinggi garam,
defisiensi vitamin, genetic. Sebaliknya, faktor defensive yaitu Preepitel yaitu ketebalan mukus
dan bikarbonat, epitel yaitu kecepatan perbaikan mukosa yang rusak dimana sel sehat bermigrasi
ke ulkus, subepitel yaitu mikrosirkulasi, prostaglandin endogen menekan ekstravasasi leukosit
yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.
Diagnosis bila ada keluhan dispepsia: mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa,
rasa terbakar, rasa penuh, cepat kenyang. Tipe gejala yang dirasakan adalah tipe ulkus, dominan
rasa nyeri. Biasanya terjadi penurunan berat badan. Pada tukak duodeni gejala biasanya
menghilang setelah makan, atau pemberian antasida (Hunger pain food relieve). Pada tukak
gaster biasanya pada sebelah kiri, malah timbul setelah makan.1,5,6
Hasil radiologi yang ditemukan di sini adalah kawah dengan batas jelas disertai lipatan
mukosa teratur, pada keganasan biasanya ditandai dengan filling defect, sedangkan pada ulkus
jinak, gambaran radioopak radial terlihat bersatu kearah ulkus. Gambaran endoskopi untuk ulkus
jinak berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal.1

Dyspepsia ec pankreasitis

Radang pancreas dapat terjadi karena defisiensi lithostatin, peningkatan tekanan pada
saluran pancreas, konsumsi alcohol yang kronis menimbulkan kerusakan sel asinar. Gambaran
klinis yang ditemukan pada pasien pancreatitis adalah nyeri epigastrium yang biasanya terjadi
pada abdomen tengah atau kiri atas, nyeri dapat dipicu oleh alcohol atau makan makanan
berlemak banyak, diare dan steatore, distensi dan kembung karena bakteri membentuk gas yang
banyak, penurunan berat badan dan ikterus sebagai akibat stenosis bilier. PP tes amylase lipase,
analisis lemak tinja. Amilase meningkat pada pancreatitis akut, ca pancreas, peptic ulcer.
Menurun pada pancreas kronik, gagal jantung, dan kehamilan. Konfirmasi bila kenaikan serum
3x diatas normal. Lipase meningkat, lebih spesifik. Analisis lemak tinja penting untuk
menyingkirkan penyebab lain dari steatore, mengetahui insufisiensi eksokrin pancreas.1,7 Foto
abdomen polos tampak kalsifikasi pancreas. USG ditemukan dilatasi duktus pankreatikus,
pseudokista, kalsifikasi, kelainan lain yang difus.

Dyspepsia ec kolesistitis

Kolestisitis adalah radang dinding kantung empedu. Gejala klinis yang dirasakan adalah
nyeri kolik abdomen kanan atas, demam. Pasien umumnya perempuan dengan kelebihan berat
badan.1 Diagnosis ditegakkan dengan USG yang memperlihatkan besar, bentuk, penebalan
dinding kantung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik.1

Etiologi

Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom ) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan
rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh
berbagai penyakit atau gangguan dalam lumen saluran cerna, tentunya termasuk pula penyakit
pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai penyakit maag/ lambung. Penyakit
hepato-pancreato-bilier ( hepatitis, pankreatitis kronik, kolesitis kronik dll ) merupakan penyakit
tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologik pada esofago-gastroduodenal (
tukak peptik, gastritis dll ). Beberapa penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula
bermanifest dalam bentuk sindroma dispepsia, seperti yang cukup kita harus waspadai adalah
gangguan kardiak ( inferior iskemia/ infark miokard ), penyakit tiroid, obat-obatan dan
sebagainya. Bersifat fungsional jika dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organik/ struktural biokimia.7

Epidemiologi
Prevalensi dispepsia adalah ¼ dari populasi dewasa dan merupakan penyebab tersering
untuk konsultasi perobatan. Setiap tahun, hampir 25% dewasa mengalami dispepsia yang
berlangsung selama beberapa hari, meliputi 7% dari lawatan ke kantor dan lebih dari setengah
keluhan dari gastrointestinal di praktek umum. Kebanykan pasien mengalami gejala yang
berulang-ulang dan intermiten. Ini memberikan impak yang besar terhadap kualitas hidup
pasien.8
Patofisiologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya


gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan
dengan dispepsia fungsional adalah ; hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan
motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya gangguan psikologik
atau psikiatrik.

1. Sekresi Asam lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,
baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga adanya
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak
diperut.

2. Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti
dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.
Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi helicobacter pylori pada dispepsia
fungsional dengan Hp positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.

3. Dismotilitas gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan


pengosongan lambung, adanya hipomtilitas antrum ( sampai 50% kasus ), gangguan akomodasi
lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah satu dari keadaaan ini
dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan
pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional, tetapi tidak adanya
korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan pengosongan lambung.
Pemeriksaan manometri antro-duodenal memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post
antral hipomotilitas prandial, disamping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus.
Perbedaan patofisiologi ini diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan
mempengaruhi pola pikir pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang
mengalami perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan
rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung
biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang
ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung waktu makan. Pada
keadaaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster
tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia
fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus.
Konsep ini yang mendasari adanya pembagian subgrup dispepsia fungsional menjadi tipe
dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.

4. Ambang rangsang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik
dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral
terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih belum
dipahami. Penelitian dnegan menggunakan balon intargastrik didapatkan hasil bahwa 50%
populasi dsipepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi
balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri
pada populasi kontrol.

5. Disfungsi autonom

Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan daam hipersensitivitas gastrointestinal pada


kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagianproksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

6. Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa


tachygastria, bradygastria, pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, yapi hal ini
bersifat inkonsisten.
7. Hormonal

Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam
beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos
dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

8. Diet dan faktor lingkungan

Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional
dibandingkan kasus kontrol.

9. Psikologis

Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan
pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan personaliti
yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan kelompok kontrol.
Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan pada kasus dispepsia
fungsional terdapat adanya masa kecil yang kurang bahagia atau adanya gangguan psikiatrik.9

Manifestasi Klinis

Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka
banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi subgrup didasarkan
pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.

 Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )
 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (
dismotility like dyspepsia )
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-
spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh
gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.10

Penatalaksanaan

Pendekatan umum

Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan bahwa adanya
ketidakpastian dalam patogenesisny. Adanya respon plasebo yang tinggi ( sekitar 45% )
mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan dan reaasurance
kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang
penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang
mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya.
Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari makanan yang dapat
mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik akan berdampak positif bagi
perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.10

Non-medikamentosa

Pada penatalaksanaan non-medika mentosa kita perlu menjelaskan tentang perlunya dietetik
kepada pasien. Walaupun, tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan
secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan
yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi
sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai menurunkan/
mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk
makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.10
Penatalaksanaaan non farmakologis yaitu meliputi:

1. Atur pola makan

2. Olah raga teratur

3. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat, keju,
dll )

4. Hindari makanan yang terlalu pedas

5. Hindari minuman dengan kadar caffeine,alkohol,dan kurangi rokok

6.Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung

7.Kelola stress psikologi seefisien mungkin.

Medikamentosa

1. Antasida

Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita dispepsia,
merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung dengan menurunkan
aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan merupakan suatu basa lemah.

2. Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin – H2

Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar ganda,
didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan manfaatnya pada dispepsia
fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara metaanalisis diperkirakan manfaat terapinya 20%
diatas plasebo. Masalah pkok adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga
kemungkinan masuknya kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya untuk
menghilangakn rasa nyeri ulu hati.
3. Penghambat pompa proton ( PPI )

Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional. Respons
baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan sekresi asam lambung
dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana asam sehingga harus diminum
sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi bersama H2 – reseptor antagonis dan
antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole, pantoprazole dan rabeprazole.

4. Sitoproteksi

Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang memperoleh
kemanfaatan yang dapat dinilai.

5. Prokinetik

Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),


domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride 9 agonis
reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan cisapride
mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri epigastrik,
cepat kenyang, distensi abdomen dan mual. Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat
pada dispepsia fungsional, tapi terbatas studinya dan hambatan efek samping
ekstrapiramidalnya. Cisapride tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang
secara metaanalisis memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo.
Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah
diketahuinya efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa Q-T,
sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.

6. Obat lain – lain

Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional, mebuka


peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri. Dalam beberapa
penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan dapat menurunkan keluhan
dispepsia terutama nyeri abdomen.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi pada
volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia fungsional,
walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan agonist 5-HT1 ( sumatriptan
dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung dan memperbaiki rasa keluhan cepat
kenyang setelah makan.

7. Psikoterapi

Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan manfaatnya


pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.

Komplikasi

Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya komplikasi yang
tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di dinding lambung yang
dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan
Ulkus Peptikum ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi
pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah. Muntah darah ini
sebenarnya pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami buang
air besar berwarna hitam terlebih dulu. Yang artinya sudah ada perdarahan awal.Tapi komplikasi
yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan penderitanya
melakukan operasi.1

Pencegahan

Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan memperbaiki kondisi
lambung secara tidak langsung. Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola
danmencegah timbulnya gangguan akibat dyspepsia.

1. Atur pola makan seteratur mungkin.

2. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung(coklat, keju, dan lain-
lain).

3. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,semangka, dan lain-lain).
4. Hindari makanan yang terlalu pedas.

5. Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.

6. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obatanti- inflammatory, misalnya yang mengandung
ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen.

Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding
lambung.

7. Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.

8. Jika anda perokok, berhentilah merokok.

9. Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.

10. Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalubanyak, terutama makanan
berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makansesaat sebelum olahraga.

11. Pertahankan berat badan sehat

12. Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untukmengurangi stress dan
mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.

13. Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatandispepsia. Baik itu antasid, PPI, penghambat histamin-2
reseptor, dan obat motilitas.

Prognosis

Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki


prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik.
Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia
fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang
refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
gangguan psikiatris. Dengan menghilangkan penyebab kecemasan, prognosis baik.
Kesimpulan

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/
keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Diagnosis dispepsia fungsional didarakan
pada keluhan/ simptom/ sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat
disingkirkan kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok penyakit
gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan multifaktorial, diaman
tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas viseral. pemeriksaan
endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang disertai alarm symptoms.
Modalitas pengobatannya menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih
kearah hanya menrunkan atau menghilangkan simptom. Pilihan pengobatan berdasarkan
pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih diperdebatkan manfaatnya.
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta : Interna Publishing; 2009. h. 69-74; 441-2; 529-32;1127-33.
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. USA : Lippinott
Williams & Wilkins; 2009.h. 339-44.
3. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan dignostik. Ed ke-6. Jakarta : EGC;
2007.h.34;308;332.
4. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi FK UKRIDA;
2012.h.25-35.
5. Ndraha S. Bahan ajar gastroeterohepatologi. Jakarta : Biro Publikas Fakultas Kedokteran
Ukrida; 2013.h. 28-33.
6. Parkman HP, Friedenberg FK, Fisher RS. Disorders of gastric emptying on: Yamada T,
Alpers DH, Kaloo AN, Kaplowitz N, Owyang C, Powell DW. Textbook of
gastroenterology. 5th Ed. USA: Wiley-Blackwell; 2010. H. 903-81; 1005-25.
7. Sylvia Anderson P, Lorraine McCarty W. Alih bahasa, Braham U, Pendit dkk. Editor
edisi bahasa indonesia, Huriawati H. Patofisiologi ; konsep-konsep klinis penyakit. Edisi
6. EGC. Jakarta; 2005 : 235-40
8. Scott L. Friedman, Kenneth R. McQuaid, James H. Grendell. Current diagnosis &
treatment in gastroenterology. 2nd ed. Boston : Mc Graw Hill; 2003. p. 342-53
9. Tack j. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia. Gastroenterology ; 2004 :
325-40
10. Aru W. Sudoyo, Bambang S, Idrus A, Marcellus simadibrata, Siti S editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Pusat informasi dan Penerbitan bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta; 2009 : 441 – 533.
11.

Anda mungkin juga menyukai