“RETARDASI MENTAL”
Penguji :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ
Oleh :
Rakhmi Fatharani G4A018004
2019
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA
“RETARDASI MENTAL”
Oleh :
Rakhmi Fatharani G4A018004
Disetujui
Pada tanggal, Juni 2019
Penguji,
2
1. PENDAHULUAN
3
namun bukti jelas menunjukkan bahwa peristiwa kehidupan yang traumatis dan
3
stres juga dapat menjadi penyebab yang cukup penting.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa
gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Maslim, 2013).
Retardasi mental merupakan gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi
intelektual yang di bawah rata-rata dan gangguan ketrampilan adaptif yang ditemukan
sebelum orang berusia 18 tahun. Fungsi intelektual keseluruhan ini ditentukan dengan
menggunakan tes kecerdasan yang dibakukan, didefinisikan sebagai nilai kecerdasan (I.Q;
intelligence quotient). Fungsi adaptif dapat diukur dengan menggunakan skala yang
dibakukan seperti Vineland Adaptive Behavior Scale. Skala tersebut akan menilai
komunikasi, keterampilan hidup sehari-hari, sosialisasi, dan keterampilan motorik (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
2. EPIDEMIOLOGI
3. ETIOLOGI
Terdapat Terdapat beberapa faktor penyebab dalam retardasi mental yaitu kondisi
genetik (kromosom dan bawaan), pemaparan prenatal dengan infeksi dan toksin, trauma
perinatal dan faktor sosiokultural. Keparahan retardasi mental berhubungan dengan saat
dan lama trauma atau pemaparan pada sistem saraf pusat. Gangguan kromosom dan
5
metabolik yang sering menyebabkan retardasi mental yaitu sindrom Down, sindrom X
rapuh, dan fenilketonuria (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
a. Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom seperti sindrom down, sindrom x rapuh, dan sindrom
penyimpangan autosomal lain dapat disertai dengan retardasi mental. Namun,
terdapat beberapa penyimpangan kromosom seks yang tidak selalu berhubungan
dengan retardasi mental seperti sindrom Turner dan sindrom Klinefelter. Pada
sindrom Down, retardasi mental adalah cirri yag sebagian besar ditemukan Orang
dengan sindrom Down cenderung menunjukkan perburukan yang jelas dalam bahasa,
daya ingat, keterampilan merawat diri sendiri, dan memecahkan masalah. Sebagian
besar pasien berada pada kelompok retardasi sendang sampai berat. Sementara pada
sindrom X raphu, derajat retardasi mental terentang dari ringan samai berat. Ciri
perilaku dengan sindrom ini adalah tingginya angka gangguan defisit
atensi/hiperaktivitas, gangguan belajar, dan gangguan perkembangan pervasive,
seperti gangguan autistik. Fungsi intelektual pasien dengan sindrom ini tampak
menurun dalam periode pubertal (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
b. Faktor Genetik Lain
Fenilketonuria yaitu ketidakmampuan untuk mengubah fenilalanin, suatu
asam amino esensial, menjadi paratirosin. Pasien dengan gangguan ini biasanya
memiliki kecercasan yang ambang atau normal. Namun, komunikasi verbal dan
nonverbal biasanya terganggu parah. Koordinasi anak buruk dan memiliki kesulitan
perceptual. Selain itu, terdapat gangguan rett. Pada anak dengan gangguan rett terjadi
perburukan keterampilan komunikasi, perilaku motorik, dan fungsi sosial dimulai
pada usia 1,5 tahun. Gejala seperti autism, ataksia, seringai wajah, dan hilangnya
pembicaraan juga ditemukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
c. Faktor Pranatal
Kesehatan fisik, psikologis, dan nutrisi maternal selama kehamilan berperan
penting dalam perkembangan anak. Infeksi maternal selama kehamilan, seperti
infeksi virus dapat menyebabkan kerusakan janin dan retardasi mental. Derajat
kerusakan janin bergantung pada jenis infeksi irus, usia kehamilan janin, dan
keparahan penyakit. Rubella merupakan penyebab utama malformasi congenital dan
retardasi mental yang disebabkan oleh infeksi maternal (Kaplan, Sadock, & Grebb,
2010).
d. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural
Retardasi ringan secara bermakna menonjol di antara orang yang mengalami
gangguan cultural, kelompok sosioekonomi rendah, dan banyak sanak saudaranya
terkena retardasi mental dengan derajat yang mirip. Ketidakstabilan keluarga, sering
pindah, dan pengasuh yang berganti-ganti tetapi tidak adekuat dianggap
6
mempengaruhi retardasi mental, selain itu ibu dengan pendidikan rendah dan tidak
siap memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya juga mempengaruhi
kejadian retardasi mental (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
4. GAMBARAN KLINIS
7
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas Otonomik 5. Nafas pendek/terasa berat
6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah/dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tak enak
11. Muka panas/ badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering
Kewaspadaan berlebihan dan 13. Perasaan jadi peka/mudah ngilu
Penangkapan berkurang 14. Mudah terkejut/kaget
15. Sulit konsentrasi pikiran
16. Sukar tidur
17. Mudah tersinggung
11
Tabel 2.1 Gejala-gejala Gangguan Cemas Menyeluruh:
8
sangat berat dapat terjadi reaksi yang dipengaruhi oleh komponen
parasimpatis sehingga akan
5. DIAGNOSIS
9
Kriteria diagnostik gangguan cemas menyeluruh menurut DSM V (300.02) (F41.1) :
1. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir
setiap hari, sepanjang hari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang
sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)
2. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya
3. Kecemasan atau kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala
berikut ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak terjadi selama enam bulan terakhir). Catatan : hanya
satu nomor yang diperlukan pada anak :
a) Kegelisahan
b) Merasa mudah lelah
c) Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
d) Iritabilitas
e) Ketegangan otot
f) Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan
tidakmemuaskan)
4. Kecemasan, khawatir, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting.
9
5. Gangguan tidak berasal dari zat yang memberikan efek pada fisiologis
(memakai obat-obatan) atau kondisi medis lainnya (seperti hipertiroid).
6. Gangguan tidak dapat dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental lainnya
(seperti kecemasan dalam gangguan panik atau evaluasi negatif pada
gangguan kecemasan sosial atau sosial fobia, kontaminasi atau obsesi
lainnya pada gangguan obsesif-kompulsif, mengingat kejadian traumatik
pada gangguan stress pasca traumatik, pertambahan berat badan pada
anorexia nervosa, menderita keluhan fisik pada gangguan somatisasi,
merasakan penampilan kelemahan dalam gangguan dismorfik tubuh,
memiliki penyakit yang serius dalam penyakit kecemasan, atau delusi pada
gangguan schizophrenia).
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh berdasarkan PPDGJ-III sebagai
10
berikut:
1. Pasien harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”)
2. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk,
sulit konsentrasi, dan sebagainya);
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai);
dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering dan sebagainya).
3. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan
untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang
yang menonjol.
4. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa
hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan
cemas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari
episode
depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0),
atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).
6. DIAGNOSIS BANDING
10
Gangguan cemas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan
akibat kondisi medis umum maupun gangguan yang berhubungan dengan
penggunaan zat. Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes kimia darah,
elektrokardiografi, dan tes fungsi tiroid. Klinisi harus menyingkirkan adanya
intoksikasi kafein,
penyalahgunaan stimulansia, kondisi putus zat atau obat seperti alkohol, hipnotik-
4
sedatif dan anxiolitik.
Kelainan neurologis, endokrin, metabolik dan efek samping pengobatan
pada gangguan panik harus dapat dibedakan dengan kelainan yang terjadi pada
gangguan anxietas menyeluruh. Selain itu, gangguan cemas menyeluruh juga
dapat didiagnosis banding dengan fobia, gangguan obsesif-kompulsif,
4
hipokondriasis, gangguan somatisasi, dan gangguan stres post-trauma.
1. Fobia
Pada fobia, kecemasan terjadi terhadap objek/hal tertentu sehingga pasien
berusaha untuk menghindarinya, sedangkan pada GAD, tidak terdapat objek
4
tertentu yang menimbulkan kecemasan.
2. Gangguan obsesif kompulsif
Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan tindakan berulang-ulang
(kompulsi) untuk menghilangkan kecemasannya, sedangkan pada GAD,
4
pasien sulit untuk menghilangkan kecemasannya, kecuali pada saat tidur.
3. Hipokondriasis
Pada hipokondriasis maupun somatisasi, pasien merasa cemas
terhadap penyakit serius ataupun gejala-gejala fisik yang menurut pasien
dirasakannya dan berusaha datang ke dokter untuk mengobatinya,
sedangkan pada GAD,
pasien merasakan gejala-gejala hiperaktivitas otonomik sebagai akibat dari
4
kecemasan yang dirasakannya.
4. Gangguan stres pasca trauma
Pada gangguan stres pasca trauma, kecemasan berhubungan dengan sutau
peristiwa ataupun trauma yang sebelumnya dialami oleh pasien, sedangkan
4
pada GAD kecemasan berlebihan berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.
11
7. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine
dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai
respons terapi. Pengguanaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan
dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama
pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama
1-2 minggu. Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas,
antikonvulsan, anti-
insomnia, dan premedikasi tindakan operatif. Adapun obat-obat yang
11
termasuk dalam golongan Benzodiazepin antara lain :
• Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 2-10 mg
9im/iv), broadspectrum.
• Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum.
• Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan
anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas, untuk pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.
• Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas, psychomotor performance paling kurang terpengaruh,
untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang masih ingin tetap aktif.
• Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
• Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk anxietas
tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai
komponen efek anti-depresi.
b. Non-benzodoazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih
efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding gejala
somatik. Tidak menyebabkan withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10
mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya baru terasa setelah 2-3
minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah
menggunakan Benzodiazepin tidak akan
12
13
memberikan respon yang baik dengan Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan
bersama antara Benzodiazepin dengan Buspiron kemudian dilakukan
tapering Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi
11
Buspiron sudah mencapai maksimal.
Dosis
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan
Anjuran
11
Tabel 2.2 Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran
14
2. Psikoterapi
a. Terapi kognitif perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran
manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana
proses kognisi akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa dan bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan
kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan
peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan
memutuskan kembali. Dengan mengubah arus pikiran dan perasaan, klien
diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi
positif.Tujuan terapi kognitif perilaku ini adalah untuk mengajak pasien
menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti
yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara kangsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.
Teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi
6,11
dan biofeedback.
b. Terapi suportif
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi
yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi
6
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien.
Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai
terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk
menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar
6
pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
8. PROGNOSIS
15
Karena tingginya insidensi gangguan mental komorbid pada pasien dengan
gangguan kecemasan menyeluruh, perjalanan klinis dan prognosis
gangguan cemas menyeluruh sukar untuk ditentukan.Namun demikian,
beberapa data menyatakan bahwa peristiwa kehidupan berhubungan dengan
onset gangguan kecemasan umum. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan
yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan
cemas menyeluruh. Menurut definisinya, gangguan kecemasan umum adalah
suatu keadaan kronis
yang mungkin seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami
4
gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh,
perlu diingat bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan. Hal ini
berhubung dengan dinamika terjadinya gangguan cemas serta terapinya
yang begitu kompleks.Keadaan penderita, lingkungan penderita, dan
dokter yang mengobatinya ikut mengambil peran
dalam menentukan prognosis gangguan cemas menyeluruh.
Ditinjau dari kepribadian premorbid, jika penderita sebelumnya telah
menunjukkan kepribadian yang baik di sekolah, di tempat kerja atau dalam
interaksi sosialnya, maka prognosisnya lebih baik daripada penderita
yang sebelumnya banyak menemui kesulitan dalam pergaulan, kurang percaya
diri, dan mempunyai sifat tergantung pada orang lain. Kematangan kepribadian
juga dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam menanggapi
kenyataan-kenyataan, keseimbangan dalam memadukan keinginan-keinginan
pribadi dengan tuntutan-tuntutan masyarakat, integrasi perasaan
dengan perbuatan, kemampuan menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan lain sebagainya. Semakin matang kepribadian
premorbidnya, maka prognosis gangguan cemas menyeluruh juga semakin
baik.
Mengenai hubungan dengan terapi, semakin cepat dilakukan terapi pada
gangguan kecemasan menyeluruh, maka prognosisnya menjadi lebih
baik. Demikian pula dengan situasi tempat pengobatan, semakin pasien merasa
nyaman dan cocok dengan situasinya, maka hasilnya akan lebih baik
dan akan mempengaruhi prognosisnya. Pengobatan sebaiknya dilakukan
16
sebelum gejala-gejala menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan-
keuntungan sampingan
17
misalnya untuk mendapatkan simpati, perhatian, uang, dan peringanan dari
tanggung jawabnya. Jika gejala-gejala sudah merupakan alat untuk
mendapatkan keuntungan-keuntungan tersebut, maka kemauan pasien untuk
sembuh berkurang dan prognosis akan menjadi lebih jelek.
Faktor stres juga ikut menentukan prognosis dari gangguan
cemas menyeluruh. Jika stres yang menjadi penyebab timbulnya gangguan
cemas menyeluruh relatif ringan, maka prognosis akan lebih baik karena
penderita akan lebih mampu mengatasinya. Kalau dilihat dari lingkungan hidup
penderita, sikap orang-orang di sekitarnya juga berpengaruh terhadap
prognosis. Sikap yang mengejek akan memperberat penyakitnya, sedangkan
sikap yang membangun akan meringankan penderita. Demikian juga
peristiwa atau masalah yang menimpa penderita misalnya kehilangan orang
yang dicintai, rumah tangga yang kacau, kemunduran finansial yang besar akan
memperjelek prognosisnya.
18
III. KESIMPULAN
20
Ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: 2007.
Hal.36-41.
21