Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“RETARDASI MENTAL”

Penguji :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

Oleh :
Rakhmi Fatharani G4A018004

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA

“RETARDASI MENTAL”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Oleh :
Rakhmi Fatharani G4A018004

Disetujui
Pada tanggal, Juni 2019

Penguji,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ


NIP. 19570919 198312 2 001

2
1. PENDAHULUAN

Sensasi anxietas sering dialami oleh hampir semua manusia.


Perasaan tersebut ditandai oleh ketakutan yang difus, tidak menyenangkan,
seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat,
palpitasi, gelisah, dan sebagainya. Anxietas merupakan gejala yang umum tetapi
non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Kumpulan gejala
tertentu yang ditemui selama kecemasan cenderung bervariasi, pada setiap
orang tidak sama. Anxietas
yang patologik biasanya merupakan kondisi yang melampaui batas normal
1,2
terhadap satu ancaman yang sungguh-sungguh dan maladaptif.
Anxietas sendiri dapat sebagai gejala saja yang terdapat pada
gangguan psikiatrik, dapat sebagai sindroma pada neurosis cemas dan dapat
juga sebagai kondisi normal. Anxietas normal sebenarnya suatu hal yang
sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh
manusia supaya dapat mempertahankan diri dan anxietas juga dapat bersifat
konstruktif, misalnya
seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas, maka ia akan belajar
2
secara giat supaya kecemasannya dapat berkurang.
Gangguan kecemasan adalah salah satu gangguan mental yang paling
lazim terjadi di masyarakat umum. Hampir 30 juta orang yang terkena gangguan
ini di Amerika Serikat, dengan angka kejadian pada wanita yang dapat terkena
hampir dua kali lebih sering dibanding pria. Gangguan kecemasan yang
berhubungan dengan kejadian morbiditas yang cukup signifikan, sering menjadi
kronis dan cenderung resisten terhadap pengobatan. Gangguan kecemasan dapat
dilihat sebagai bagian dari gangguan mental terkait, yang dapat diklasifikasikan
dalam Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-
IV-TR), yaitu : (1) gangguan panik dengan atau tanpa agoraphobia, (2)
agoraphobia dengan atau tanpa gangguan panik, (3) fobia spesifik, (4) fobia
sosial, (5) obsesif-kompulsif (OCD), (5) gangguan stres pasca trauma (PTSD), (6)
3
gangguan stres akut; dan (7) gangguan kecemasan umum.
Sebuah aspek menarik dari gangguan kecemasan adalah interaksi antara
faktor genetik dan pengalaman. Ada sedikit keraguan bahwa gen yang abnormal
dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap keadaan kecemasan patologis,

3
namun bukti jelas menunjukkan bahwa peristiwa kehidupan yang traumatis dan
3
stres juga dapat menjadi penyebab yang cukup penting.

Pengalaman kecemasan memiliki dua komponen: kesadaran sensasi


fisiologis (misalnya, jantung berdebar dan berkeringat) dan kesadaran
bahwa mereka gugup atau ketakutan. Perasaan malu dapat meningkatkan
3
kecemasannya dan akan mengakui bahwa mereka sedang ketakutan.
Selain efek motorik dan efek viseral, kecemasan dapat mempengaruhi
pemikiran, persepsi, dan belajar. Hal ini cenderung menghasilkan kebingungan
dan distorsi persepsi, tidak hanya waktu dan ruang tetapi juga dari orang
dan makna dari suatu peristiwa. Distorsi ini dapat mengganggu belajar
dengan menurunkan konsentrasi, mengurangi ingat, dan merusak
3
kemampuan untuk berhubungan dengan bagian lain untuk membuat asosiasi.
Dalam referat ini, akan dibahas lebih mendetail mengenai gangguan cemas
menyeluruh, yakni mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, gambaran klinis,
3
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, serta prognosis.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa
gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Maslim, 2013).
Retardasi mental merupakan gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi
intelektual yang di bawah rata-rata dan gangguan ketrampilan adaptif yang ditemukan
sebelum orang berusia 18 tahun. Fungsi intelektual keseluruhan ini ditentukan dengan
menggunakan tes kecerdasan yang dibakukan, didefinisikan sebagai nilai kecerdasan (I.Q;
intelligence quotient). Fungsi adaptif dapat diukur dengan menggunakan skala yang
dibakukan seperti Vineland Adaptive Behavior Scale. Skala tersebut akan menilai
komunikasi, keterampilan hidup sehari-hari, sosialisasi, dan keterampilan motorik (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).

2. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi retardasi mental pada anak-anak di bawah umur 18 tahun di Negara


maju diperikirakan mencapai 0,5-2,5%, di Negara berkembang berkisar 4,6%. Angka
kejadian anak retardasi mental berkisar 19 per 1000 kelahiran hidup. Penelitian
melaporkan angka kejadian retardasi mental lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan
perempuan (Sularyo & Kadim, 2000). Menurut data Badan Pusat Statistik Nasional tahun
2007, terdapat 30.460 anak dengan retardasi mental yang tersebar di seluruh Indonesia
dengan proporsi terbanyak di Pulau Jawa (Mujaddid, 2014).

3. ETIOLOGI

Terdapat Terdapat beberapa faktor penyebab dalam retardasi mental yaitu kondisi
genetik (kromosom dan bawaan), pemaparan prenatal dengan infeksi dan toksin, trauma
perinatal dan faktor sosiokultural. Keparahan retardasi mental berhubungan dengan saat
dan lama trauma atau pemaparan pada sistem saraf pusat. Gangguan kromosom dan

5
metabolik yang sering menyebabkan retardasi mental yaitu sindrom Down, sindrom X
rapuh, dan fenilketonuria (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
a. Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom seperti sindrom down, sindrom x rapuh, dan sindrom
penyimpangan autosomal lain dapat disertai dengan retardasi mental. Namun,
terdapat beberapa penyimpangan kromosom seks yang tidak selalu berhubungan
dengan retardasi mental seperti sindrom Turner dan sindrom Klinefelter. Pada
sindrom Down, retardasi mental adalah cirri yag sebagian besar ditemukan Orang
dengan sindrom Down cenderung menunjukkan perburukan yang jelas dalam bahasa,
daya ingat, keterampilan merawat diri sendiri, dan memecahkan masalah. Sebagian
besar pasien berada pada kelompok retardasi sendang sampai berat. Sementara pada
sindrom X raphu, derajat retardasi mental terentang dari ringan samai berat. Ciri
perilaku dengan sindrom ini adalah tingginya angka gangguan defisit
atensi/hiperaktivitas, gangguan belajar, dan gangguan perkembangan pervasive,
seperti gangguan autistik. Fungsi intelektual pasien dengan sindrom ini tampak
menurun dalam periode pubertal (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
b. Faktor Genetik Lain
Fenilketonuria yaitu ketidakmampuan untuk mengubah fenilalanin, suatu
asam amino esensial, menjadi paratirosin. Pasien dengan gangguan ini biasanya
memiliki kecercasan yang ambang atau normal. Namun, komunikasi verbal dan
nonverbal biasanya terganggu parah. Koordinasi anak buruk dan memiliki kesulitan
perceptual. Selain itu, terdapat gangguan rett. Pada anak dengan gangguan rett terjadi
perburukan keterampilan komunikasi, perilaku motorik, dan fungsi sosial dimulai
pada usia 1,5 tahun. Gejala seperti autism, ataksia, seringai wajah, dan hilangnya
pembicaraan juga ditemukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
c. Faktor Pranatal
Kesehatan fisik, psikologis, dan nutrisi maternal selama kehamilan berperan
penting dalam perkembangan anak. Infeksi maternal selama kehamilan, seperti
infeksi virus dapat menyebabkan kerusakan janin dan retardasi mental. Derajat
kerusakan janin bergantung pada jenis infeksi irus, usia kehamilan janin, dan
keparahan penyakit. Rubella merupakan penyebab utama malformasi congenital dan
retardasi mental yang disebabkan oleh infeksi maternal (Kaplan, Sadock, & Grebb,
2010).
d. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural
Retardasi ringan secara bermakna menonjol di antara orang yang mengalami
gangguan cultural, kelompok sosioekonomi rendah, dan banyak sanak saudaranya
terkena retardasi mental dengan derajat yang mirip. Ketidakstabilan keluarga, sering
pindah, dan pengasuh yang berganti-ganti tetapi tidak adekuat dianggap

6
mempengaruhi retardasi mental, selain itu ibu dengan pendidikan rendah dan tidak
siap memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya juga mempengaruhi
kejadian retardasi mental (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).

4. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh


ditegakkan apabila dijumpai gejala-gejala antara lain keluhan cemas,
khawatir, was-was, ragu untuk bertindak, perasaan takut yang berlebihan, gelisah
pada hal-hal yang sepele dan tidak utama yang mana perasaan tersebut
mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, sehingga pertimbangan akal
sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh. Selain itu spesifik untuk
Gangguan Kecemasan Menyeluruh adalah kecemasanya terjadi kronis secara
terus-menerus mencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan,
kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol,
cemas akan`mendapatkan serangan jantung. Sering penderita tidak sabar, mudah
3,7,8
marah, sulit tidur.
Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum ansietas dapat dilihat pada tabel
di bawah:
Ketegangan Motorik 1. Kedutan otot/ rasa gemetar
2. Otot tegang/kaku/pegal

7
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas Otonomik 5. Nafas pendek/terasa berat
6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah/dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tak enak
11. Muka panas/ badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering
Kewaspadaan berlebihan dan 13. Perasaan jadi peka/mudah ngilu
Penangkapan berkurang 14. Mudah terkejut/kaget
15. Sulit konsentrasi pikiran
16. Sukar tidur
17. Mudah tersinggung

11
Tabel 2.1 Gejala-gejala Gangguan Cemas Menyeluruh:

Gangguan cemas menyeluruh juga memiliki pengaruh terhadap tekanan


darah. Ada dua faktor yang paling berpengaruh pada tekanan darah, yaitu
curah jantung (cardiac output) dan tahanan perifer (peripheral resistance).
Anxietas akan merangsang respon hormonal dari hipotalamus yang akan
mengsekresi CRF ( Cortisocoprin- Releasing Factor) yang menyebabkan
sekresi hormon-hormon hipofise. Salah satu dari hormon tersebut adalah
ACTH (Adreno- Corticotropin Hormon). Hormon tersebut akan merangsang
korteks adrenal untuk mengsekresi kortisol kedalam sirkulasi darah.
Peningkatan kadar kortisol dalam darah akan mengakibatkan peningkatan
renin plasma, angiotensin II dan peningkatan kepekaan pembuluh darah
terhadap katekolamin, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan sebagai
pusat dari system saraf otonom. Sistem ini terbagi atas sistem simpatis dan sistem
parasimpatis.
Pada anxietas terjadi sekresi adrenalin berlebihan yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedanngkan pada anxietas yang

8
sangat berat dapat terjadi reaksi yang dipengaruhi oleh komponen
parasimpatis sehingga akan

mengakibatkan penurunan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Pada


kecemasan yang kronis, kadar adrenalin terus meninggi, sehingga
kepekaan terhadap rangsangan yang lain berkurang dan akan terlihat
tekanan darah meninggi. Pada gangguan cemas menyeluruh yang
terutama berperan adalah neurotransmiter serotonin. Pada saat ini telah
diidentifikasi tiga reseptor serotonin, yaitu : 5-HT1, 5-HT2 dan 5-HT3 . Menurut
Kabo reseptor 5-HT1 bersifat sebagai inhibitor, sedangkan reseptor 5-HT2 dan
reseptor 5-HT3 bersifat sebagai eksitator.
Menurut Gothert, aktivasi reseptor 5-HT1 akan mengurangi kecemasan sedangkan
8
aktivasi reseptor 5-HT2 akan meningkatkan tekanan darah.

5. DIAGNOSIS
9
Kriteria diagnostik gangguan cemas menyeluruh menurut DSM V (300.02) (F41.1) :
1. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir
setiap hari, sepanjang hari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang
sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)
2. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya
3. Kecemasan atau kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala
berikut ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak terjadi selama enam bulan terakhir). Catatan : hanya
satu nomor yang diperlukan pada anak :
a) Kegelisahan
b) Merasa mudah lelah
c) Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
d) Iritabilitas
e) Ketegangan otot
f) Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan
tidakmemuaskan)
4. Kecemasan, khawatir, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting.

9
5. Gangguan tidak berasal dari zat yang memberikan efek pada fisiologis
(memakai obat-obatan) atau kondisi medis lainnya (seperti hipertiroid).
6. Gangguan tidak dapat dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental lainnya
(seperti kecemasan dalam gangguan panik atau evaluasi negatif pada
gangguan kecemasan sosial atau sosial fobia, kontaminasi atau obsesi
lainnya pada gangguan obsesif-kompulsif, mengingat kejadian traumatik
pada gangguan stress pasca traumatik, pertambahan berat badan pada
anorexia nervosa, menderita keluhan fisik pada gangguan somatisasi,
merasakan penampilan kelemahan dalam gangguan dismorfik tubuh,
memiliki penyakit yang serius dalam penyakit kecemasan, atau delusi pada
gangguan schizophrenia).
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh berdasarkan PPDGJ-III sebagai
10
berikut:
1. Pasien harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”)
2. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk,
sulit konsentrasi, dan sebagainya);
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai);
dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering dan sebagainya).
3. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan
untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang
yang menonjol.
4. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa
hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan
cemas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari
episode
depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0),
atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).

6. DIAGNOSIS BANDING
10
Gangguan cemas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan
akibat kondisi medis umum maupun gangguan yang berhubungan dengan
penggunaan zat. Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes kimia darah,
elektrokardiografi, dan tes fungsi tiroid. Klinisi harus menyingkirkan adanya
intoksikasi kafein,

penyalahgunaan stimulansia, kondisi putus zat atau obat seperti alkohol, hipnotik-
4
sedatif dan anxiolitik.
Kelainan neurologis, endokrin, metabolik dan efek samping pengobatan
pada gangguan panik harus dapat dibedakan dengan kelainan yang terjadi pada
gangguan anxietas menyeluruh. Selain itu, gangguan cemas menyeluruh juga
dapat didiagnosis banding dengan fobia, gangguan obsesif-kompulsif,
4
hipokondriasis, gangguan somatisasi, dan gangguan stres post-trauma.
1. Fobia
Pada fobia, kecemasan terjadi terhadap objek/hal tertentu sehingga pasien
berusaha untuk menghindarinya, sedangkan pada GAD, tidak terdapat objek
4
tertentu yang menimbulkan kecemasan.
2. Gangguan obsesif kompulsif
Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan tindakan berulang-ulang
(kompulsi) untuk menghilangkan kecemasannya, sedangkan pada GAD,
4
pasien sulit untuk menghilangkan kecemasannya, kecuali pada saat tidur.
3. Hipokondriasis
Pada hipokondriasis maupun somatisasi, pasien merasa cemas
terhadap penyakit serius ataupun gejala-gejala fisik yang menurut pasien
dirasakannya dan berusaha datang ke dokter untuk mengobatinya,
sedangkan pada GAD,
pasien merasakan gejala-gejala hiperaktivitas otonomik sebagai akibat dari
4
kecemasan yang dirasakannya.
4. Gangguan stres pasca trauma
Pada gangguan stres pasca trauma, kecemasan berhubungan dengan sutau
peristiwa ataupun trauma yang sebelumnya dialami oleh pasien, sedangkan
4
pada GAD kecemasan berlebihan berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.
11
7. PENATALAKSANAAN

1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine
dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai
respons terapi. Pengguanaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan
dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama
pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama
1-2 minggu. Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas,
antikonvulsan, anti-
insomnia, dan premedikasi tindakan operatif. Adapun obat-obat yang
11
termasuk dalam golongan Benzodiazepin antara lain :
• Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 2-10 mg
9im/iv), broadspectrum.
• Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum.
• Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan
anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas, untuk pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.
• Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas, psychomotor performance paling kurang terpengaruh,
untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang masih ingin tetap aktif.
• Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
• Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk anxietas
tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai
komponen efek anti-depresi.
b. Non-benzodoazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih
efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding gejala
somatik. Tidak menyebabkan withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10
mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya baru terasa setelah 2-3
minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah
menggunakan Benzodiazepin tidak akan
12
13
memberikan respon yang baik dengan Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan
bersama antara Benzodiazepin dengan Buspiron kemudian dilakukan
tapering Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi
11
Buspiron sudah mencapai maksimal.

Dosis
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan
Anjuran

1. Diazepam Diazepin Tab. 2-5 mg 10-30 mg/h


Lovium Tab. 2-5 mg
Stesolid Tab. 2-5 mg
Amp.
10mg/2cc
2. Chlordiazepoxide Cetabrium Drg. 5-10 mg 15-30 mg/h
Arsitran Tab. 5 mg
Tensinyl Cap. 5 mg
3. Lorazepam Ativan Tab. 0,5-1-2 2-3 x 1 mg/h
Renaquil mg
Tab. 1 mg
4. Clobazam Frisium Tab. 10 mg 2-3 x 1m
mg/h
5. Alprazolam Xanax Tab. 0,25-0,5 0,75-1,50
Alganax mg mg/h
Tab. 0,25-0,5
mg
6. Sulpiride Dogmatil Cap. 50 mg 100-200 mg/h
7. Buspirone Buspar Tab. 10 mg 15-30 mg/h
8. Hydroxyzine Iterax Caplet 25 mg 3x25 mg/h

11
Tabel 2.2 Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran

14
2. Psikoterapi
a. Terapi kognitif perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran
manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana
proses kognisi akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa dan bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan
kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan
peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan
memutuskan kembali. Dengan mengubah arus pikiran dan perasaan, klien
diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi
positif.Tujuan terapi kognitif perilaku ini adalah untuk mengajak pasien
menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti
yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara kangsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.
Teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi
6,11
dan biofeedback.
b. Terapi suportif
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi
yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi
6
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien.
Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai
terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk
menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar
6
pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.

8. PROGNOSIS

Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang


mungkin berlangsung seumur hidup. Prognosis dipengaruhi oleh usia, onset,
durasi gejala dan perkembangan komorbiditas gangguan cemas dan depresi.

15
Karena tingginya insidensi gangguan mental komorbid pada pasien dengan
gangguan kecemasan menyeluruh, perjalanan klinis dan prognosis
gangguan cemas menyeluruh sukar untuk ditentukan.Namun demikian,
beberapa data menyatakan bahwa peristiwa kehidupan berhubungan dengan
onset gangguan kecemasan umum. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan
yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan
cemas menyeluruh. Menurut definisinya, gangguan kecemasan umum adalah
suatu keadaan kronis
yang mungkin seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami
4
gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh,
perlu diingat bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan. Hal ini
berhubung dengan dinamika terjadinya gangguan cemas serta terapinya
yang begitu kompleks.Keadaan penderita, lingkungan penderita, dan
dokter yang mengobatinya ikut mengambil peran
dalam menentukan prognosis gangguan cemas menyeluruh.
Ditinjau dari kepribadian premorbid, jika penderita sebelumnya telah
menunjukkan kepribadian yang baik di sekolah, di tempat kerja atau dalam
interaksi sosialnya, maka prognosisnya lebih baik daripada penderita
yang sebelumnya banyak menemui kesulitan dalam pergaulan, kurang percaya
diri, dan mempunyai sifat tergantung pada orang lain. Kematangan kepribadian
juga dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam menanggapi
kenyataan-kenyataan, keseimbangan dalam memadukan keinginan-keinginan
pribadi dengan tuntutan-tuntutan masyarakat, integrasi perasaan
dengan perbuatan, kemampuan menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan lain sebagainya. Semakin matang kepribadian
premorbidnya, maka prognosis gangguan cemas menyeluruh juga semakin
baik.
Mengenai hubungan dengan terapi, semakin cepat dilakukan terapi pada
gangguan kecemasan menyeluruh, maka prognosisnya menjadi lebih
baik. Demikian pula dengan situasi tempat pengobatan, semakin pasien merasa
nyaman dan cocok dengan situasinya, maka hasilnya akan lebih baik
dan akan mempengaruhi prognosisnya. Pengobatan sebaiknya dilakukan

16
sebelum gejala-gejala menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan-
keuntungan sampingan

17
misalnya untuk mendapatkan simpati, perhatian, uang, dan peringanan dari
tanggung jawabnya. Jika gejala-gejala sudah merupakan alat untuk
mendapatkan keuntungan-keuntungan tersebut, maka kemauan pasien untuk
sembuh berkurang dan prognosis akan menjadi lebih jelek.
Faktor stres juga ikut menentukan prognosis dari gangguan
cemas menyeluruh. Jika stres yang menjadi penyebab timbulnya gangguan
cemas menyeluruh relatif ringan, maka prognosis akan lebih baik karena
penderita akan lebih mampu mengatasinya. Kalau dilihat dari lingkungan hidup
penderita, sikap orang-orang di sekitarnya juga berpengaruh terhadap
prognosis. Sikap yang mengejek akan memperberat penyakitnya, sedangkan
sikap yang membangun akan meringankan penderita. Demikian juga
peristiwa atau masalah yang menimpa penderita misalnya kehilangan orang
yang dicintai, rumah tangga yang kacau, kemunduran finansial yang besar akan
memperjelek prognosisnya.

18
III. KESIMPULAN

Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD)


merupakan kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan
kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak
realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari.Kondisi ini dialami
hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-kurangnya selama 6
bulan.Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan
dengan gejala-gejala somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan
tidur, dan kegelisahan sehingga menyebabkan penderitaan yang jelas dan
gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan.
Penyebab terjadinya GAD dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara
lain teori biologi, teori genetik, teori psikoanalitik dan teori kognitif-perilaku.
Gambaran klinis yang dapat muncul antara lain anxietas berlebihan,
ketegangan motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan, dan sakit kepala,
hiperaktivitas otonom timbul dalam bentuk napas pendek, berkeringat, palpitasi,
dan disertai gejala pencernaan.
Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD
adalah gangguan panik, fobia, gangguan obsesif-kompulsif, hipokondriasis,
gangguan somatisasi, gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan
kepribadian.
Penatalaksanaan GAD meliputi farmakoterapi, golongan Benzodiazepin
merupakan drug of choice sebab mempunyai efek anti-anxietas, spesifitas,
potensi dan keamanan yang paling baik. Selain itu, pasien juga diberikan
psikoterapi, berupa terapi kognitif-perilaku (CBT), terapi suportif dan psikoterapi
berorientasi tilikan.
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh,
perlu diingat bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan.Hal ini berhubung
dengan dinamika terjadinya gangguan cemas serta terapinya yang
begitu kompleks.Keadaan penderita, lingkungan
penderita, dan dokter yang mengobatinya ikut mengambil peran dalam
menentukan prognosis gangguan cemas menyeluruh. Selain itu kepribadian
premorbid pasien, efektifitas terapi, faktor stres, serta dukungan
lingkungan.
19
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Saddock BJ. Gangguan Kecemasan. In : Wiguna M, editor.


Sinopsis Psikiatri. Edisi ketujuh. Jilid Satu : Phyladelphia. Hal.1-8.
2. Hutagalung, Evalina Asnawi. Tatalaksana Diagnosis dan Terapi
Gangguan Anxietas. [Internet] 2007 [Diakses pada 27 Maret 2018].
Available from : http://gangguan_anxietas.htm
3. Saddock BJ, Saddock VA. Anxiety disorder. In : Kaplan Saddock’s Synopsis
of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Tenth Edition..
New York: Lippincott Williams & Wilkins: 2007; Pg 580-8.
4. DSM IV-TR. (2000). Diagnostic And Statistical Manual Of Mental
Disorders (DSM IV-TR). Washington DC: American Psychiatric
Association.American Psychological Association.
5. Generalized Anxiety Disorder.[Internet]. [Diakses pada 27 Maret 2018].
Available from : http://www.Helpguide.org
6. Shear, Katherine M. Anxiety Disorders “Generalized Anxiety Disorder” in :
Dale DC, Federman DD, editors. ACP Medicine. 3rd Edition. Washington:
WebMD Inc. : 2007.
7. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Generalized
Anxiety Disorder in : Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott
Williams & Wilkins: 2007. p. 623-7
8. Idrus, Faisal. Pola Tekanan Darah pada Gangguan Cemas
Menyeluruh.[Internet]. [Diakses pada 27 Maret 2018]. Available from
:http://www.artikelkedokteran.com/304/pola -tekanan-darah-pada-gangguan-
cemas-menyeluruh.html.
9. Stevens V. Anxiety Disorders. In : Goljan EF, editor. Behavioral Science.
Elsevier Science.
10. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya: 2003. Hal. 74
11. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi

20
Ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: 2007.
Hal.36-41.

21

Anda mungkin juga menyukai