Anda di halaman 1dari 5

ELEMEN – ELEMEN KEBUDAYAAN KOTA MALANG

Kata budaya diambil dari bahasa sansekerta yakni “buddhayah”. Kata ini memiliki
arti bahwa segala sesuatu yang ada hubungannya dengan akal serta budi manusia. Sedangkan
secara harfiah, budaya merupakan cara hidup yang digunakan sekelompok masyarakat yang
diturunkan dari generasi seblumnya kepada generasi berikutnya. Adapun perbedaan antara
agama, politik, pakaian, lagu, bangunan, suku, bahasa, ataupun karya seni akan membuat
terbentuknya suatu budaya. Berdasarkan wujudnya budaya dibagi menjadi 2 yaitu Budaya
Benda (Tangible) dan Budaya TakBenda (Intangible) berikut merupakan warisan budaya
benda dan tak benda yang dimiliki oleh Kota Malang :

1. Budaya Tak Benda (Intangible) : “Boso Walikan Malang”

Bagi orang Malang maupun mereka yang pernah tinggal di Malang, pasti sudah tak
asing lagi mendengar istilah-istilah seperti ‘oskab ngalam’, ‘ongis nade’ serta ‘kera ngalam’.
Istilah-istilah ini adalah kata-kata di dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa yang dibaca
secara terbalik dari belakang ke depan. Seperti ‘bakso Malang’ dibaca terbalik menjadi ‘oskab
ngalam’. Kini keberadaan bahasa walikan ini seakan menjadi indentitas bagi orang Malang
serta mereka yang pernah tinggal, sekolah atau bekerja di Malang, sekaligus sering digunakan
untuk sekedar bertegur sapa ketika bertemu di luar Kota Malang.

Menurut catatan sejarah, bahasa walikan Malang ini berasal dari pemikiran para
pejuang tempo doeloe yaitu mereka yang menamakan kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK).
Bahasa ini khusus diciptakan untuk mengelabui Belanda yang saat itu menjajah wilayah-
wilayah di Indonesia. Untuk itu keberadaan bahasa ini dianggap perlu untuk menjaga
kerahasiaan komunikasi sesama pejuang serta sebagai pengenal antara kawan atau lawan. Pada
saat itu, banyak sekali mata-mata Belanda yang berasal dari orang pribumi sendiri. Sehingga,
komunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa sehari-hari dirasa berbahaya. Karena itu, para
pejuang menciptakan bahasa walikan untuk mengelabui para mata-mata sekaligus
meminimalisir bocornya informasi strategi perjuangan para gerilyawan. Adalah Suyudi
Raharno, seorang tokoh pejuang Malang pada saat itu yang mempunyai gagasan untuk
menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang untuk saling berkomunikasi tanpa diketahui
oleh pihak musuh.

Bahasa tersebut haruslah lebih kaya dari kode dan sandi serta tidak terikat pada aturan
tata bahasa baik itu bahasa nasional, bahasa daerah maupun mengikuti istilah umum dan baku.
Bahasa campuran tersebut hanya mengenal satu cara baik pengucapan maupun penulisan yaitu
secara terbalik dari belakang dibaca kedepan

Kebebasan tata bahasa serta aturan yang tidak banyak mengikat memungkinkan bahasa
ini berkembang menjadi lebih luas. Kemunculan-kemunculan istilah batu disepakati secara
bersama oleh para pejuang pada saat itu. Kesepakatan istilah ini diperlukan juga karena banyak
kata penting yang sulit untuk dibaca secara terbalik sehingga harus dicari istilah dan padanan
yang sesuai namun mudah diingat oleh para pelakunya. Contohnya kata ‘Belanda’ dalam
bahasa Jawa disebut ‘Londho’ yang cukup sulit dibaca terbalik, maka dicari istilah padanannya
yaitu ‘Nolo’. Demikian juga dengan ‘Polisi’ bukan menjadi ‘Isilop’ namun cukup ‘Silop’.

Namun boso walikan bukanlah bahasa sandi karena tetap menggunakan bahasa yang
lazim digunakan, hanya cara membacanya yang diubah. Kata yang lazimnya dibaca dari kiri
ke kanan dalam boso walikan dibaca dari kanan ke kiri. Bahasa yang bisa dibalik juga bisa
berasal dari Bahasa Jawa maupun Bahasa Indonesia. Karena itu pula, boso walikan selalu
berkembang karena pasti banyak kata-kata baru yang bisa dibalik. Namun, tentu tidak semua
kata bisa seenaknya dibalik karena kata-kata yang umum saja yang biasanya bisa dibaca secara
terbalik.Sebagai contoh, kata 'komputer' tidak pernah diucapkan sebagai 'retupmok' karena
akan sulit pengucapannya dan tidak lazim digunakan.

Seperti fungsi bahasa pada hakekatnya, keberadaan bahasa walikan di Malang telah
menjadi tradisi serta identitas kebudayaan dari masyarakat Kota Malang. Penciptaan suatu
bahasa adalah bukti dari kecerdasan akal berfikir manusia sebagai mahkluk sosial yang
menjadikan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi satu dan lainnya. Terlepas dari nilai
historis penciptaan serta penggunaan bahasa walikan pada umumnya, boso walikan Malang ini
telah menjadi mozaik yang tak terpisahkan dari perjuangan masyarakat Kota Malang melawan
penjajah, serta menjadi salah satu bukti dari kekayaan serta ragam bahasa yang ada di Bumi
Nusantara ini.

2. Budaya Benda (Tangible) : “Candi Badut”

Candi Badut terletak di Dukuh Gasek, Desa Karang Besuki, Kesamatan Dau,
Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Candi Badut terletak di kaki Gunung Kawi. Candi
Badut diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan
sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi. Dapat ditempuh
dengan kendaraan umum jurusan Tidar. Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun
dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana
yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi.

Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang
Canopus atau Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah
pasangan arca tidak nyata dari Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada bagian
dinding luar terdapat relung-relung yang berisi arca Mahakal dan Nadiswara. Pada relung utara
terdapat arca Durga Mahesasuramardhini. Relung timur terdapat arca Ganesha. Dan disebelah
Selatan terdapat arca Agastya yakni Syiwa sebagai Mahaguru. Namun diantara semua arca itu
hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa
3. Budaya Benda (Tangible) : “Topeng Malangan”

Di Kota Malang terdapat seni pemahatan topeng yang asli bercirikan khas Malang.
Berdasarkan beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Topeng Malang adalah sebuah
kesenian kuno yang usianya lebih tua dari keberadaan Kota Apel ini.

Topeng ini pun sudah diperkenalkan sejak zaman kerajaan Gajayana kala itu. Para
pemahat Topeng Malangan sudah turun temurun sampai sekarang, walaupun jumlahnya tidak
terlalu melonjak banyak. Pada jaman dulu apresiasi pada Topeng Malang ini diwujudkan
dengan bentuk pertunjukan saat ada acara tertentu seperti pernikahan, selamatan, dan hiburan
pejabat tinggi kala itu.

Topeng Malang sedikit berbeda dengan topeng yang ada di Indonesia, dimana corak
khas dari pahatan kayu yang lebih kearah realis serta menggambarkan karakter wajah
seseorang. Ada banyak ragam dari jenis Topeng Malang yang dibuat seperti karakter jahat,
baik, gurauan, sedih, kecantikan, ketampanan, bahkan sampai karakter yang sifatnya tidak
teratur.

Sajian ini nantinya dikolaborasikan dengan tatanan rias dan pakaian untuk memainkan
sebuah pewayangan atau cerita tertentu menggunakan Topeng Malang. Perkemgbangan saat
ini Topeng Malang sudah dapat dinikmati dalam bentuk drama, ada yang menceritakan tentang
sosial dan humoran.

Anda mungkin juga menyukai