Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk, sumber daya
air di dunia telah menjadi salah satu kebutuhan yang sangat vital. Air
merupakan hal pokok bagi konsumsi dan sanitasi umat manusia, untuk
produksi berbagai bahan industri. Selain itu air juga merupakan sumber
tenaga dan merupakan sarana pengangkutan dan alat transportasi yang
mempunyai fungsi penting.
Sumber daya yang berharga sekalipun, dapat pula menjadi
bahaya. Demikian pula halnya dengan air yang berlebihan. Jumlah air
hujan atau bentuk presipitasi lainnya yang berlebihan, dapat
mengakibatkan banjir sehingga dapat menimbulkan bahaya kerusakan
berat dan korban jiwa yang banyak jumlahnya.
Sumber daya air di bumi ini harus dikelola dengan tepat agar
dapat memenuhi kebutuhan manusia dan juga agar tidak menimbulkan
kerugian-kerugian. Pengelolaan yang tepat sangat dibutuhkan agar
kebutuhan air untuk berbagai kebutuhan di bumi ini dapat terpenuhi
dengan baik. Dengan perencanaan yang baik jumlah air berlebih dari
sisa presipitasi dapat diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan
limpasan yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan banjir di
permukaan.
1.2. Identifikasi Masalah
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan
perkembangan suatu kota, akan bertambah maju pula sarana dan pra
sarana yang mendukungnya. Sarana untuk menyediakan air semakin
bertambah, misalnya penyediaan sarana air bersih, air minum,
penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari, dan lain-lain. Selain
sarana penyediaan kebutuhan air, diperlukan juga sarana pembuangan
air yang memadai. Air berlebih dan tidak terpakai di daerah perkotaan
berasal dari :
- Air hujan / bentuk presipitasi yang lainnya yang tidak terinfiltrasi ke
dalam tanah, sehingga mengakibatkan limpasan berlebih di
permukaan. Kecilnya infiltrasi ini disebabkan semakin luasnya
permukaan yang dapat menginfiltrasi, karena banyaknya perubahan
tata guna lahan menjadi daerah industri, perumahan, jalan dan lain-
lain. Sebab lainnya adalah intensitas hujan yang tinggi, sehingga
kapasitas saluran yang telah ada tidak mampu mengalirkan air hujan
yang berlebih tersebut.
- Kondisi topografi daerah yang datar, atau tidak rata sehingga
menyebabkan sedimentasi pada saluran pembuang yang akan
menyebabkan berkurangnya kapasitas saluran tersebut.
- Limbah (rumah tangga, industri dan lain-lain)
Kelebihan air di perkotaan tersebut harus segera dibuang
sehingga tidak menyebabkan genangan air yang mengganggu aktivitas
manusia dan juga kurang baik bagi sanitasi. Drainasi merupakan istilah
yang dipergunakan sistem-sistem yang digunakan untuk menangani air
yang berlebih.
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan sistem
drainasi bagi daerah perkotaan. Sistem dan kapasitas pembuangan
harus memadai untuk membuang habis kelebihan air yang ada di
permukaan sehingga tidak terjadi genangan air yang mengganggu
aktivitas manusia dan juga kurang baik bagi sanitasi
Kebanyakan kota-kota besar mempunyai sistem drainasi tertentu
dengan biaya yang besar. Bahkan investasi keseluruhan di bidang
drainasi pemukiman jauh lebih besar dibandingkan dengan investasi di
bidang pengurangan banjir atau irigasi. Menurut perhitungan, hampir
seperempat biaya pembangunan jalan raya dibelanjakan untuk sarana
drainasi jalannya. Karena itu perencanaan sistem drainasi harus
mempertimbangkan masalah ekonomi.
Saluran dan sistem drainasi memerlukan pemeliharaan yang baik
dan rutin. Setiap beberapa tahun sekali harus dievaluasi agar dapat
dianalisa apakah perubahan-perubahan yang terjadi telah mengubah
kondisi sistem saluran.
1.3. Batasan Masalah
Masalah yang akan dibicarakan dalam laporan ini adalah sebatas :
 Perhitungan debit air yang akan didrainasi berkaitan dengan curah
hujannya.
 Perhitungan debit air yang akan didrainasi berkaitan dengan luas
tiap tata guna lahan daerah, dan dengan pertimbangan proyeksi
perkembangan penduduk di perkotaan tersebut.
 Perencanaan sistem jaringan drainasi pada daerah perkotaan dan
perhitungan dimensi salurannya.
1.4. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mendapatkan debit dari sisa air yang didrainasikan,
dari data hujan harian yang dianalisa dengan poligon thiessen
sehingga didapatkan curah hujan maksimum daerah tahunan.
2. Bagaimana mendapatkan curah hujan rancangan dengan kala
ulang tertentu, dengan menggunakan disribusi log pearson III.
3. Bagaimana mendapatkan debit limbah rumah tangga dengan
memproyeksikan jumlah penduduk ini dengan prosentase
pertumbuhan-pertumbuhan yang dihubungkan dengan kebutuhan
air tiap penduduk.
4. Bagaimana merencanakan sistem jaringan drainase dengan
mempertimbangkan topografi daerah.
1.5. Maksud dan Tujuan
Maksud pemberian tugas ini adalah untuk pengenalan salah satu
penerapan dari teori yang telah diterima mahasiswa dari mata kuliah
Rancangan Drainasi, sehingga mahasiswa dapat mengetahui sebagian
kondisi dan jenis pekerjaan suatu proyek drainasi di wilayah perkotaan.
Sedangkan tujuan pemberian tugas ini adalah :
 Untuk mengetahui jumlah debit yang tersisa di permukaan akibat
hujan dan limbah rumah tangga serta industri pada suatu daerah
dengan luas dan tata guna lahan tertentu berdasarkan data yang
tersedia.
 Untuk mengetahui harga tanah timbunan dan galian, sehingga kita
dapat merencanakan sistem dan dimensi saluran drainasi di suatu
wilayah perkotaan dengan memperhitungkan faktor efisiensi dan
biaya.
Flow Chart :
MULAI

PETA JUMLAH INDUSTRI


PENDUDUK

MENGHITUNG A, Q AIR KOTOR AIR LIMBAH


KOEF.THIESEN TATA GUNA
LAHAN

R MAX. DAERAH
MENGHITUNG
TAHUNAN
L, S, A, C

R. RANCANGAN
DEBIT AIR Q AIR KOTOR
DENGAN KALA
HUJAN TOTAL
ULANG

Ya

UJI KESESUAIAN : Q RANCANGAN


CHI SQUARE
SMIRNOV KOLMOGOROV
Tidak
PERHITUNGAN
DIMENSI SALURAN

PERHITUNGAN GALIAN
DAN TIMBUNAN

BIAYA

BAB II
KONDISI DAERAH STUDI
SELESAI

2.1. Umum
Untuk perencanaan suatu jaringan drainasi diperlukan peta
topografi yang memenuhi syarat. Penyelidikan topografi ini diperlukan
untuk mendapatkan penentuan bentuk permukaan tanah (surface
cinfiguration) termasuk juga kemiringan permukaan (surface slope),
arah dari drainasi alamiah serta daerah pengeluaran (outlet).
Untuk perencanaan biasanya diperlukan peta topografi yang
mempunyai perbandingan skala antasa 1 : 10000 sampai 1 : 25000
dengan interval garis kontur 1,00-2,00 meter. Sedangkan untuk
detailnya mempunyai perbandingan skala 1:500 sampai 1:2500 dengan
interval garis kontur 0,20-0,50 meter. Hal ini tergantung dari keadaan
lapangan, yaitu datar atau curamnya keadaan medan.
Dengan hasil penyelidikan keadaan topografi ini, dapat
memberikan gambaran macam dari sistem drainasi yang diperlukan.
2.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Dalam perencanaan sistem drainasi suatu wilayah, juga harus
diketahui dan diteliti kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah
tersebut. Jangan sampai lagi terulang kejadian-kejadian yang timbul
akibat kurang komunikasi antara pihak perencana dan penduduk
setempat seperti yang terjadi pada pembuatan waduk kedungombo.
Yang harus diperhatikan antara lain kebiasaan-kebiasan penduduk yang
telah membudaya, kondisi tanah penduduk, masalah ganti rugi lahan
yang terkena proyek dan lain sebagainya sehingga perencanaan proyek
drainasi tersebut dapat berguna seperti apa yang diinginkan semua
pihak.
2.3. Kondisi Fisik
2.3.1. Kondisi Topografi
Keadaan topografi wilayah perkotaan diperlukan untuk merancang
sistem jaringan saluran drainase daerah tersebut. Keadaan topografi
dapat dilihat di peta topografi atau peta kontur. Selain elevasi tempat
berbagai di daerah tersebut, dari peta topografi dapat pula didapat
informasi mengenai batas-batas alam maupun administratif wilayah,
daerah pengaliran sungai dan tata guna lahan beserta luasnya. Di
samping itu melalui peta topografitersebut kita dapat melihat atau
mengetahui hal-hal yang akan dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas,
misalnya :
 Batas-batas wilayah
 Ketinggian
 Daerah pengaliran sungai dan sebagainya
Pada daerah studi yang kami lakukan, yaitu kota Malang tergolong
daerah perbukitan dengan kemiringan antara 0% - 30%. Wilayah bagian
barat merupakan daerah perbukitan atau wilayah yang lebih tinggi,
sedang wilayah bagian timur merupakan daerah yang datar. Wilayah
tengah daerah Malang merupakan daerah transisi , perpaduan antara
daerah perbukitan dan daerah datar.
Tata air dipengaruhi adanya empat sungai, yaitu kali Brantas, kali
Bango, kali Metro, dan kali Amprong. Kali Bango dan kali Amprong
menjadi satu. Data ini bisa didapatkan di kantor Bappeda atau kantor
studi topografi kota.
2.3.2. Kondisi Geologi
Data kondisi geologi dibutuhkan untuk mengetahui jenis tanah
dan sifat-sifatnya. Data sifat tanah (stabilitas, daya dukung, tegangan,
porositas, derajat kejenuhan, konsolidasi, kepadatan, kandungan
mineral, dan lain-lain) diperlukan untuk menentukan dimensi saluran,
material penyusunnya serta stabilitas saluran.
Pada daerah studi yang kami lakukan, sebagian dari tanah-tanah
dataran rendah terdiri dari lapisan tanah alluvial yang terjadi baik oleh
endapan sungai maupun oleh endapan pantai yang secara geologi
merupakan tanah liat atau unit-unit pasir. Daerah perbukitan di sebelah
barat pada umumnya mengandung kadar kapur yang tinggi, sedangkan
di daerah selatan mempunyai potensial yang subur. Pada tanah alluvial
ini terbentuknya terbatas pada lembah-lembah sungai dan dataran-
dataran pantai serta bekas lanau yang kesemuanya itu mempunyai rilief
datar atau sebagai cekungan. Tanah alluvial ini hanya meliputi tanah
yang masih sering terkena banjir sehingga dianggap tanah yang masih
muda dan belum ada differensiasi horizon. Suatu hal yang mencirikan
pada pembentukan alluvial adalah bahwa bagian terbesar bahan kasar
akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya.
Jadi tekstur bahan yang diendapkan pad waktu dan tempat yang
sama akan lebih seragam dan makin jauh dari sumbernya, serta makin
halus butir-butir yang tersangkut. Pada umumnya tanah alluvial ini
berwarna kelabu kecoklatan yang merupakan tanah yang cukup subur.
2.3.3. Kondisi Iklim
Kondisi alam khususnya data keadaan iklim setempat diperlukan
untuk menentukan debit air yang akan didrainase. Data iklim ini
meliputi curah hujan rancangan dengan kala ulang tertentu, data
limpasan permukaan, data infiltrasi dan perkolasi, evaporasi dan
evapotranspirasi dan lain-lain. Data klimatologi dapat diperoleh di dinas
klimatologi kota.
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, kota Malang
mempunyai iklim tropis yang terdiri dari dua musim, yaitu musim
penghujan (bulan Nopember- bulan April) dan musim kemarau (bulan
Mei- bulan Oktober), dengan temperatur bulanan rata-rata 24°C (min) -
27°C (maks). Kelembaban rata-rata bulanannya ± 78%, sedangkan
curah hujan rata-rata tahunan ± 1420 mm dimana 90% jatuh pada
musim penghujan.
2.4. Arah Perkembangan Kota
Arah perkembangan kota perlu dianalisa dalam merancang sistem
drainasi suatu wilayah perkotaan. Misalnya apakah daerah itu cepat
atau lambat mengalami perkembangan, cenderung untuk berkembang
kearah kota perindustrian, arah kota pertanian, pemukiman atau yang
lainnya.
Dengan proyeksi perkembangan kota ini dapat direncanakan
sistem drainasi yang sesuai. Kecenderungan perkembangan penduduk
di suatu kota adalah menuju ke daerah pusat kota dan sekitarnya,
karena kegiatan ekonomi dan kesibukan lainnya sebagian besar berada
di pusat kota. Misalnya untuk kota yang cenderung cepat berkembang
tentu akan cepat mengalami perubahan tata guna lahan, sehingga kala
ulang pemeriksaannya lebih kecil.
Untuk keperluan ini yang diperlukan adalah data jumlah penduduk
dan perkembangan penduduk. Yang utama perencaan ini harus
disesuaikan dengan tata kota yang terdapat di Rencana Tata Ruang Kota
(RURTK). Data ini dapat diperoleh di dinas meteorologi kota.
2.5. Tata Guna Lahan Daerah Perkotaan
Perbedaan tata guna lahan mempengaruhi koefisien tata guna
lahan, yang akan digunakan untuk menghitung debit air yang akan
didrainasi dengan menggunakan rumus rasional. Karena itu diperlukan
data tata guna lahan wilayah perkotaan tersebut (jasa, pemukiman,
tegalan, tanah kosong atau yang lainnya).
Perubahan tata guna lahan tentu akan mengubaha debit air yang
akan didrainasi. Karena itu perlu diperkirakan arah perubahan tata guna
lahan di wilayah tersebut. Yang diperlukan adalah RURTK yang
menggambarkan kebijaksanaan dasar tata ruang kota dan langkah-
langkah umum pelaksanaan yang berkaitan dengan sistem sosial,
ekonomi, dan fisik guna tercapainya tata guna lahan yang direncanakan.
Kebijaksanaan ini dipertegas dengan rencana detail tata ruang kota di
tiap-tiap kecamatan. Yang perlu diperhatikan adalah perubahan tata
guna lahan yang banyak terjadi di daerah pinggiran yang sedang
mengalami perkembangan.

BAB III
METODOLOGI PERENCANAAN
3.1. Umum
Metodologi yang digunakan pada studi ini mengacu pada
pendekatan deduksi, yaitu perumusan-perumusan yang digunakan
dianggap benar sejak awal.
Studi ini bersifat perencanaan, sehingga data pendukung yang
digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari beberapa
sumber.
Berdasarkan penjelasan pada bab satu dan dua serta pendekatan
studi sebagaimana tersebut di atas, langkah-langkah untuk
merencanakan sistem jaringan drainasi perkotaan adalah sebagai
berikut :
1. Pengumpulan data-data
a. Peta dan data topografi
b. Peta tata guna lahan daerah studi
c. Proyeksi jumlah penduduk pada tahun 1990 = 35.600 jiwa
d. Kebutuhan air penduduk = 275 lt / orang / hari
e. Luas daerah perkotaan
f. Air buangan industri = 3,50 m3/dt
Curah hujan harian, diambil 5 hari selama setahun, selama 11
tahun (dari tahun 1990 sampau dengan tahun 2000) yang diukur
dari lima stasiun hujan di daerah sekitar daerah studi.
2. Pengolahan data yang meliputi :
a. Perhitungan curah hujan maksimum daerah tahunan dengan
menggunakan metode poligon Thiessen.
b. Perhitungan curah hujan rancangan dalam kala ulang tertentu
dengan metode Log Pearson III, lalu diikuti dengan uji kesesuaian
distribusi Smirnov-Kolmogorov dan uji Chi Square yang bertujuan
mengetahui kebenaran hipotesa distribusi frekuensi Log Pearson
III.
c. Pengukuran luas tata guna lahan (dengan planimeter) untuk
menghitung koefisien pengaliran.
d. Perencanaan jaringan saluran drainasi, dengan
mempertimbangkan faktor topografi daerah.
e. Mengukur panjang tiap saluran untuk menentukan debit.
f. Perhitungan intensitas hujan.
g. Perhitungan jumlah penduduk untuk tahun 2007 yang akan
datang dengan metode Exponential Rate of Growth
h. Perhitungan debit air kotor (buangan) dengan mempertimbangkan
kebutuhan air tiap penduduk.
i. Perhitungan debit air buangan total.
j. Perhitungan debit rancangan drainasi.
3. Perencanaan saluran drainasi, yang terdiri dari :
a. Penentuan debit rancangan yang akan dibuang dari debit
limpasan permukaan dan debit air buangan rumah tangga dan
industri.
b. Perencanaan dimensi saluran agar dapat menampung debit
rancangan untuk beberapa kemiringan berdasarkan kecepatan
ijinnya.
c. Perhitungan biaya yang diperlukan untuk pembuatan jaringan
drainasi.
4. Perhitungan curah hujan rancangan
Yang dimaksud dengan curah hujan rancangan adalah curah hujan
terbesar yang mungkin terjadi dalam suatu daerah dengan kala
ulang atau periode tertentu, yang dipakai sebagai dasar untuk
perhitungan perencanaan ukuran suatu bangunan (Dirjen Pengairan,
DPU)
Pemilihan kala ulang ditentukan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan hidro-ekonomis, yaitu didasrkan terutama pada :
a. Besarnya kerugian yang akan diderita jika terjadi pengrusakan
bangunan-bangunan oleh banjir atau limpasan (akibat hujan) dan
sering tidaknya pengrusakan itu terjadi.
b. Umur ekonomis bangunan.
c. Biaya pembangunan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, pada umumnya
perencanaan jaringan drainasi perkotaan untuk salurannya dipakai
hujan rencana dengan kala ulang 5 tahun, artinya harga dari curah
hujan terbesar akan terjadi rata-rata, baik disamai atau dilampaui sekali
setiap 5 tahun. Dengan kata lain bahwa kemungkinan terjadinya hujan
dengan intensitas tersebut setiap tahun adalah sepersepuluh atau 20%
atau peluang kegagalannya setiap tahun 80%.
Bangunan-bangunan drainasi utama didesain untuk mampu
menanggulangi banjir akibat curah hujan dengan kala ulang 10 sampai
20 tahun.

3.2 Analisa Hidrologi


3.2.1 Hujan Rerata Daerah
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan
rata-rata diseluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada
suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan daerah yang
dinyatakan dalam milimeter (Sosrodarsono, 1987:27).
Terdapat tiga cara yang digunakan untuk menghitung curah hujan
daerah (Sri Harto, 1987:13), yaitu :
1. Cara rata-rata hitung
2. Cara poligon Thiessen
3. Cara garis-garis Isohyet
Dengan mempertimbangkan sebaran lima stasiun penakar hujan
yang tidak merata, cara poligon Thiessen akan memberikan hasil yang
lebih baik. Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Stasiun-stasiun hujan terdekat dihubungkan sehingga satu sama lain
terbentuk beberapa segitiga.
2. Dari setiap segitiga ditarik sumbu yang tepat di tengah sisinya dan
memotong tegak lurus.
3. Daerah pengaruh hujan masing-masing stasiun hujan dibatasi sumbu
segitiga yang membentuk segi banyak. Segi banyak ini disebut
poligon Thiessen.
4. Tiap-tiap banyak thiessen tersebut dihitung luasnya sehingga
terdapat luas daerah pengaruh tiap-tiap stasiun.
5. Prosentase luas pengaruh tiap stasiun total didapat dari luas daerah
stasiun tersebut dibagi luas total DAS.
6. Curah hujan maksimum daerah tahunan tiap stasiun didapat dari
hasil perkalian prosentase luas daerah dengan curah hujan.
d = P1.d1 + P2.d2 + … +Pn.dn
Pn = An A
Dengan :
An = daerah yang diwakili stasiun-stasiun pengukuran
Pn = koefisien Thiessen
A = Luas daerah keseluruhan
dn = tinggi hujan yang diukur di stasiun-stasiun pengukuran
Untuk mendapatkan curah hujan harian maksimum daerah pada
suatu daerah aliran adalah sebagai berikut :
a. Menjumlahkan curah hujan yang didapat dari metode poligon
Thiessen pada hari yang sama untuk semua stasiun pengamatan.
b. Dari hasil penjumlahan curah hujan maksimum daerah tahunan
tersebut pilih yang tertinggi untuk setiap tahunnya. Curah hujan ini
merupakan curah hujan maksimum tahunan untuk 11 tahun.
3.2.2 Hujan Rancangan Maksimum
Hujan rancangan maksimum adalah curah hujan terbesar tahunan
mungkin terjadi di suatu daerah dengan kala ulang tertentu.
Berbagai metode yang dapat dipakai dalam menganalisa curah
hujan rancangan antara lain distribusi Gumbel, Log Normal, Log Pearson
Type III dan lain-lain.
Untuk menentukan macam analisa frekuensi, perlu dihitung
parameter-parameter statistik seperti koefisien Cs, Cv, Ck. Syarat untuk
distribusi :
- E.J Gumbel : Ck = 5,4 dan Cs = 1,14
- Log Normal : Ck = 3,0 dan Cs = 0,0
- Log Pearson III : Ck dan Cs tidak ditentukan
Dalam studi ini dipilih cara Log Pearson III dengan pertimbangan
bahwa cara ini lebih fleksibel dan dapat dipakai untuk semua sebaran
data (Pilgrim, 1991:207).
Tahapan untuk menghitung hujan rancangan maksimum dengan
metode Log Pearson III adalah sebagai berikut :
1. Hujan harian maksimum diubah dalam bentuk logaritma.
2. Menghitung harga logaritma rata-rata dengan rumus :
 Logx i
Logx 
n

3. Menghitung harga simpangan baku dengan rumus :


2
 ( Logx i  Logx )
Si 
n 1

4. Menghitung harga koefisien kemiringan dengan rumus :

Cs 

n  Logx i  Logx 
 n 1 n  2 Si 3
5. Menghitung logaritma hujan rancangan dengan kala ulang tertentu
dengan rumus :
LogR t  Logx  G.Si

6. Menghitung antilog Rt untuk mendapatkan curah hujan rancangan


dengan kala ulang tertentu atau dengan membaca grafik
pengeplotan Rt lawan peluang di kertas logaritma.
3.2.3 Uji Kesesuaian Frekuensi
Pemeriksaan uji kesesuaian distribusi bertujuan untuk mengetahui
kesesuaian data yang tersedia dengan distribusi yang dipakai. Uji yang
dipakai ada dua macam, yaitu :
1. Uji Smirnov-Kolmogorov (horisontal)
Dari hasil pembacaan grafik pengeplotan data curah hujan pada
kertas probabilitas logaritma, diadapat perbedaan antara distribusi
teoritis dan empirisnya pada sumbu horisontal yang merupakan data
probabilitas. Selisih ini dicari yang maksimum yang disebut  maks.
Uji Smirnov-Kolmogorov ini akan membandingkan harga  maks
dengan suatu harga kritis yang ditentukan berdasarkan jumlah data
dan batas nilai simpangan data. Bila  maks <  kritis, hipotesa
tersebut dapat diterima.
2. Uji Chi Square
Dari hasil pembacaan grafik pengeplotan data curah hujan pada
kertas probabilitas logaritma, didapat perbedaan antara distribusi
teoritis dan empirisnya pada sumbu vertikal yang merupakan data
curah hujan rancangan. Langkah-langkahnya adalah :
a. Menghitung selisih data curah hujan hasil perhitungan (Xt) dengan
nilai data curah hujan hasil pengamatan (Xe).
b. Selisih tersebut dikuadratkan lalu dibagi nilai tiap tahunnya
kemudian dijumlahkan untuk beberapa tahun. Nilai ini disebut X 2
hit.
c. Harga X2hit dibandingkan dengan harga X2Cr dari tabel Chi Kuadrat
dengan  dan jumlah data (n) tertentu. Apabila X2hit < X2Cr
maka hipotesa distribusi dapat diterima.
3.2.4 Debit Rancangan
Untuk mendapatkan kapasitas saluran drainasi, terlebih dahulu
harus dihitung jumlah air hujan dan jumlah air kotor atau buangan yang
kan dibuang melalui saluran drainasi tersebut. Debit rancangan adalah
debit air hujan ditambah debit air kotor.
Debit Akibat Curah Hujan
Untuk menghitung debit air hujan dalam mendimensi saluran
drainasi digunakan metode rasional (Subarkah, 1980 :49)
Q = 0,278. C. I. A

Dengan :
Q = debit banjir maksimum (m3/det)
C = koefisien pengaliran
I = intensitas hujan rerata selama waktu tiba banjir
A = luas daerah pengaliran (km2)
3.2.4.1 Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah perbandingan antara jumlah air yang
mengalir di permukaan akibat hujan (limpasan) pada suatu daerah
dengan jumlah curah hujan yang turun di daerah tersebut. Besarnya
koefisien pengaliran dipengaruhi oleh :
a. Kemiringan tanah
Semakin besar kemiringan tanah, semakin cepat aliran limpasan,
berarti semakin sedikit air yang meresap atau terinfiltrasi. Walaupun
jenis tanahnya sama, angka pengaliran dapat berbeda-beda.
b. Jenis tanah bagian permukaan yang dialui air hujan.
Yang membedakan adalah :
 Tanah biasa atau pasir
 Rumah-rumah dengan atap genting atau seng
 Jalan aspal atau tanah
c. Iklim
Pada permulaan musim hujan yang panjang angka pengaliran lebih
kecil daripada akhir musim hujan, karena tanah terlalu jenuh.
3.2.4.2 Intensitas Hujan
Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan persatuan
waktu. Untuk mendapatkan intensitas hujan selama waktu konsentrasi
digunakan rumus Mononobe (Imam Subarkah, 1980:20), sebagai berikut
:
2/3
R 24  24 
I=  
24  Tc 

dengan :
I = intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
R24 = curah hujan maksimum harian alam 24 jam (mm)
Tc = waktu konsentrasi
Waktu konsentrasi dihitung dengan teoritis, tetapi karena daerah
pertanian yang diukur secara langsung tidak terlalu besar, maka
besarnya waktu konsentrasi dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
0 , 77
 Ls 
Tc = 0,0195 
 menit
 s

Dengan :
L = panjang saluran (m)
S = kemiringan rerata saluran
3.2.4.3 Daerah Pengaliran
Daerah pengaliran (cacthment area) adalah daerah tempat curah
hujan mengalir menuju saluran. Biasanya ditentukan berdasarkan
perkiraan dengan pedoman garis kontur. Luas daerah dihitung di atas
peta topografi dengan menggunakan planimeter. Jika tersedia foto
udara, penentuan luas daerah aliran akan lebih mudah dan teliti.
3.2.5 Perhitungan Pertumbuhan Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk pada daerah studi pada tahun saat perencanaan
dimulai dan pada tahun-tahun yang akan datang harus diperhitungkan
untuk menghitung kebutuhan air tiap penduduk. Dari kebutuhan air tiap
penduduk dapat diketahui jumlah air kotor (buangan) akibat rumah
tangga.
Untuk memproyeksikan jumlah penduduk pada tahun-tahun yang
akan datang digunakan cara perhitungan laju pertumbuhan geometri
(Geometric Rate of Growth) dan pertumbuhan eksponensial
(Exponential Rate of Growth), (Rusli, Said, 1985:13).
a. Pertumbuhan Geometri
Cara ini mengasumsikan besarnya laju pertumbuhan yang
menggunakan dasar bunga berbunga (bunga majemuk) dimana angka
pertumbuhannya adalah sama untuk setiap tahun. Ramalan laju
pertumbuhan Geometris adalah sebagai berikut :
Pn = Po (1 + n)n
Dengan :
Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n
Po = jumlah penduduk pada awal tahun
r = angka pertumbuhan penduduk
n = interval waktu (tahun)
b. Pertumbuhan Eksponensial
Pertumbuhan ini mengasumsikan pertumbuhan penduduk secara
terus-menerus setiap hari dengan angka pertumbuhan konstan.
Pengukuran penduduk ini lebih tepat, karena dalam kenyataannya
pertumbuhan jumlah penduduk juga berlangsung terus-menerus.
Ramalan pertambahan penduduknya adalah :
Pn = Po. em
Dengan :
Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n
Po = jumlah penduduk pada awal tahun
m = interval waktu
e = bilangan logaritma
3.2.6 Perhitungan Debit Buangan Penduduk
Debit air kotor berasal dari air buangan hasil aktivitas penduduk
yang berasal dari lingkungan rumah tangga atau bangunan-bangunan
atau tang lainnya.
Untuk memperkirakan jumlah air harus diketahui kebutuhan air
rata-rata dan jumlah penduduk kota. Dalam tugas ini debit air kotor
berasal dari perhitungan air kotor per penduduk dan air kotor sisa
industri.
Perhitungan air buangan tiap penduduk didapat dari :
P n.q
Qak =
A

Dimana :
Qak = debit air kotor (l/dt/km2)
Pn = jumlah penduduk
A = luas daerah (km2)
q = jumlah air buangan (l/orang/hari)
Jumlah air buangan didapat dari prosentase air terbuang dari
kebutuhan air tiap penduduk.
3.2.7 Perhitungan Debit Buangan Industri
Perusahaan-perusahaan industri baik industri besar maupun
industri kecil pasti menghasilkan air kotor ( air sisa industri). Untuk
menghitung debit buangan industri digunakan rumus :
P n.q
Qak =
A

Dengan :
Qak = debit air kotor (l/dt/km2)
Pn = jumlah penduduk
A = luas daerah (km2)
q = jumlah air buangan (l/orang/hari)

3.3 Perhitungan Dimensi Saluran


Besar kapasitas saluran drainasi dihitung menggunakan rumus
Manning (Ven.Te Chow, 1985)
Q=V.A
V = 1/n . R2/3 . S1/2
Dengan :
Q = debit air (m3/dt)
V = kecepatan aliran (m/dt)
A = luas penampang basah (m2)
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis (m)
S = Kemiringan dasar saluran
Rumus ini merupakan bentuk yang sederhana namun memberikan
hasil yang tepat, sehingga penggunaan rumus ini sangat luas dalam
aliran seragam untuk perhitungan dimensi saluran. Koefisien kekasaran
Manning dapat diperoleh dari tabel dengan memperhatikan faktor
bahan pembentuk saluran.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah kecepatan aliran yang
diijinkan. Kecepatan harus diantara batas tertentu (maksimum dan
minimum) dimana dengan kecepatan tersebut tidak akan terjadi
pengendapan dan pertumbuhan tanaman air, serta tidak juga terjadi
pengikisan.
Kecepatan minimum merupakan kecepatan terkecil yang tidak
menimbulkan pengendapan dan tidak merangsang tumbuhnya tanaman
air serta lumut dalam saluran.
Besarnya kecepatan aliran yang diijinkan dalam saluran
tergantung pada bahan saluran, kondisi fisik dan sifat-sifat alirannya.
Besarnya kecepatan minimum yang diijinkan berkisar antara 0,6 – 0,9
m/dt (Suhardjono, 1984:25).
Tabel Kecepatan Ijin Berdasarkan Material
Jenis Bahan Kec. Ijin Kec. Ijin
Minimum Maksimum
(m/dt) (m/dt)
Lempung 0,75 0,75
kokoh 1,1 1,1
Lempung 1,2 1,2
padat 1,5 1,5
Kerikil kasar 1,5 1,5
Batu besar 1,5 1,5
Pasangan batu 1,5 1,5
Beton
Beton
bertulang

Dengan menghubungkan rumus Q = V . A dan besaran A dan P


yang mengandung lebar dasar saluran dan tinggi air, dapat
diperhitungkan dimensi saluran yang akan direncanakan berdasarkan
data debit, koefisien Manning dan kemiringan dasar saluran.
Perhitungan selengkapnya adalah sebagai berikut :
 Saluran Trapesium
Untuk merencanakan penampang trapesium yang paling efisien
digunakan rumus-rumus (Rangga Raju, 1986:86) :
 Jari-jari luas saluran
A = ( B + z.h ) h
 Keliling basah
P = B + 2h (z2 + 1)1/2
 Jari-jari hidrolis
R=A/P
 Saluran Setengah Lingkaran
 Luas saluran
A = 0,5.  . r2
 Keliling saluran
P= .R
 Jari-jari hidrolis
R = 0,5 . r
Untuk menentukan kecepatan aliran digunakan persamaan
Manning (Rangga Raju, 1986:45)
V = 1/n . R2/3. S1/2
Dari menggabungkan persamaan Manning diatas, maka akan
didapatkan kapasitas angkut dari suatu saluran dengan persamaan
(Rangga Raju, 1986:45)
Q=V.A
Dengan :
B = lebar saluran (m)
h = tinggi aliran (m)
z = kemiringan talud
V = kecepatan aliran (m/dt)
A = luas penampang basah (m2)
n = angka kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis (m)
r = jari-jari lingkaran (m)
S = kemiringan saluran
Q = debit air yang mengalir (m3/dt)
Sedangkan harga koefisien kekasaran Manning, didapat
berdasarkan lapisan bahan permukaan saluran yang diinginkan dan
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel Nilai Koefisien Kekasaran Manning
Tipe Saluran n
A. saluran tertutup terisi sebagian
1. Gorong-gorong dari beton lurus dan bebas 0,010 – 0,013
kikisan 0,011 – 0,014
2. Gorong-gorong dengan belokan dan 0,013 – 0,017
sambungan 0,011 – 0,014
3. Saluran pembuang lurus dari beton 0,015 – 0,017
4. Pasangan bata dilapisi dengan semen
5. Pasangan batu kali disemen
B. Saluran dilapis atau disemen
1. Pasangan bata disemen 0,012 – 0,018
2. Beton dipoles 1,013 – 0,016
3. Pasangan batu kali disemen 0,017 – 0,030
4. Pasangan batu kosong 0,023 – 0,035
SISTEM DRAINASE NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU
A. Sistem Drainase Negara Berkembang
Indonesia memiliki saluran air yang banyak dan kompleks. Jumlah
pemukiman dan perkotaan yang semakin meluas membuat saluran
pembuangan air atau selokan semakin dibutuhkan. Namun kebiasaan
masyarakat membuang sampah di selokan dianggap sebagai hal yang
biasa, membuat kondisi selokan menjadi lebih parah. Fungsi utama
selokan sebagai tempat menampung air pun hilang, bahkan menjadi
penyebab utama banjir. Jika got, selokan, comberan, parit dan atau
sebangsanya tersumbat karena sampah, maka aliran air akan
terhambat, dengan begitu air yang tidak bisa menembus barikade
sampah tersebut akan meluap dan menggenangi di sekitar saluran air
tersebut.
Hingga saat ini, penanganan dan pengelolaan sampah di sejumlah
perkotaan di Indonesia tersebut masih belum optimal. Baru 11,25%
sampah di daerah perkotaan yang diangkut oleh petugas, 63,35%
sampah ditimbun/dibakar, 6,35% sampah dibuat kompos, dan 19,05%
sampah dibuang ke kali/sembarangan. Sementara untuk di daerah
pedesaan, sebanyak 19% sampah diangkut oleh petugas, 54% sampan
ditimbun/dibakar, 7% sampah dibuat kompos, dan 20% dibuang ke
kali/sembarangan (BPS, Tahun 1999).
Jika pengelolaan sampah tersebut tetap tidak ditangani dengan
baik akan dapat menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan
seperti kumpulan sarnpah dapat menjadi tempat pembiakan lalat, dan
lalat ini mendorong penularan infeksi, dapat menutup saluran air
sehingga meningkatkan masalah-masalah kesehatan yang berkaitan
dengan banjir dan tanah-tanah yang tergenang air dan sebanyak 20%
sampah yang dihasilkan dibuang ke kali/sembarangan menyumbang
sekitar 60% - 70% pencemaran sungai. Oleh karena itu diharapkan
dengan adanya pembersihan selokan secara otomatis, sehingga
pembersihan selokan lebih mudah dilakukan.
1. Drainase Jalan Raya
Drainase jalan raya dibedakan untuk perkotaan dan luar
kota.Umumnya di perkotaan dan luar perkotaan, drainase jalan raya
selalu mempergunakan drainase muka tanah (Surface drainage). Di
perkotaan saluran muka tanah selalu ditutup sebagai bahu jalan atau
trotoar. Walaupun juga sebagaiman diluar perkotaan, ada juga saluran
drainase muka tanah tidak tertutup (terbuka lebar), dengan sisi atas
saluran rata dengan muka jalan sehingga air dapat masuk dengan
bebas. Drainase jalan raya perkotaan elevasi sisi atas selalu lebih tinggi
dari sisi atas muka jalan .Air masuk ke saluran melalui inflet. Inflet yang
ada dapat berupa inflet tegak ataupun inflet horizontal. Untuk jalan raya
yang lurus, kemungkinan letak saluran pada sisi kiri dan sisi kanan jalan.
Jika jalan ke arah lebar miring ke arah tepi, maka saluran akan terdapat
pada sisi tepi jalan atau pada bahu jalan, sedangkan jika kemiringan
arah lebar jalan kearah median jalan maka saluran akan terdapat pada
median jalan tersebut. Jika jalan tidak lurus, menikung, maka kemiringan
jalan satu arah, tidak dua arah seperti jalan yang lurus. Kemiringan satu
arah pada jalan menikung ini menyebabkan saluran hanya pada satu
sisi jalan yaitu sisi yang rendah. Untuk menyalurkan air pada saluran ini
pada jarak tertentu,direncanakan adanya pipa nol yang diposisikan
dibawah badan jalan untuk mengalirkan air dari saluran.
2. Drainase Lapangan Terbang
Drainase lapangan terbang pembahasannya difokuskan pada
draibase area run way dan shoulder karena runway dan shoulder
merupakan area yang sulit diresapi, maka analisis kapasitas / debit
hujan memepergunakan formola drainase muka tanah atau surface
drainage. Kemiringan keadaan melintang untuk runway umumnya lebih
kecil atau samadengan 1,50 % , kemiringan shoulder ditentukan antara
2,50 % sampai 5 %.Kemiringan kea rah memanjang ditentukan sebesar
lebih kecil atau sama dengan 0,10 %, ketentuan dari FAA. Amerika
Serikat, genangan air di permukaan runway maksimum 14 cm, dan
harus segera dialirkan. Di sekeliling pelabuhan udara terutama di
sekeliling runway dan shoulder, harus ada saluran terbuka untuk
drainase mengalirkan air (Interception ditch) dari sis luar lapangan
terbang.
3. Drainase Lapangan Olahraga
Drainase lapangan olahraga direncanakan berdasarkan infiltrasi
atau resapan air hujan pada lapisan tanah, tidak run of pada muka
tanah (sub surface drainage) tidak boleh terjadi genangan dan tidak
boleh tererosi.Kemiringan lapangan harus lebih kecil atau sama dengan
0,007. Rumput di lapangan sepakbola harus tumbuh dan terpelihara
dengan baik. Batas antara keliling lapangan sepakbola dengan lapangan
jalur atletik harus ada collector drain.
B. Sistem Drainase Negara Maju
Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati
standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi
yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP (Gross Domestic
Product)/ Produk domestic bruto per kapita tinggi dianggap negara
berkembang. Namun beberapa negara telah mencapai GDP tinggi
melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui
pengambilan fosfor dan Brunei Darussalam melalui pengambilan minyak
bumi) tanpa mengembangkan industri yang beragam, dan ekonomi
berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'negara maju'.
1. Sistem drainase di negara maju (BELANDA)
Negara maju seperti Belanda telah menerapkan sistem
pengelolaan tata air yang lebih maju dari negara-negara lainnya.
Belanda benar-benar memanfaatkan alam untuk menghidupi
kebutuhan manusia seperti Kincir Angin dan Kincir Air yang menjadi
andalan negeri tersebut.
Belanda mempunyai kecanggihan dam penataan atau system
drainasenya yaitu sitem polder dan sistem eco-drainase.

1.1 Sistem Polder


Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk
kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul. Pada daerah
polder, air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu
badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada polder
yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke
sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang
mengelilingi polder bisa berupa pemadatan tanah dengan lapisan
kedap air, dinding batu, bisa juga berupa konstruksi beton dan
perkerasan yang canggih.
Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direkalamasi. Sistem
polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, dan
juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di
daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai.
Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan
kelengkapan bangunan sarana fisik, yang meliputi saluran drainase,
kolam retensi, pompa air, yang dikendalikan sebagai satu kesatuan
pengelolaan. Dengan sistem polder, maka lokasi rawan banjir akan
dibatasi dengan jelas, sehingga elevasi muka air, debit dan volume air
yang harus dikeluarkan dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena
itu, sistem polder disebut juga sebagai sistem drainase yang
terkendali.
Konsep Sistem Polder
1. Tanggul
Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu
badan air atau daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang
lebih tinggi daripada elevasi di sekitar kawasan tersebut, yang
bertujuan untuk melindungi kawasan tersebut dari limpasan air
yang berasal dari luar kawasan.
Jenis -jenis tanggul :
A. Tanggul Alamiah
tanggul yang sudah terbentuk secara alamiah dari bentukan
tanah dengan sendirinya. Contohnya bantaran sungai di
pinggiran sungai secara memanjang.
B. Tanggul Infrastruktur
sebuah struktur yang didesain dan dibangun secara kuat
dalam periode waktu yang lama dengan perbaikan dan
pemeliharaan secara terus menerus, sehingga seringkali
dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misal jalan raya.
2. Kolam Retensi
Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang
dapat menampung atau meresapkan air didalamnya,
tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam.

Jenis-jenis kolam retensi :


A. Retensi Alami
Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa
cekungan atau lahan resapan yang sudah terdapat secara
alami dan dapat dimanfaatkan baik pada kondisi aslinya
atau dilakukan penyesuaian. Pada umumnya perencanaan
kolam jenis ini memadukan fungsi sebagai kolam
penyimpanan air dan penggunaan oleh masyarakat dan
kondisi lingkungan sekitarnya. Kolam jenis alami ini selain
berfungsi sebagai tempat penyimpanan, juga dapat
meresapkan pada lahan atau kolam yang pervious, misalnya
lapangan sepak bola ( yang tertutup oleh rumput ), danau
alami, seperti yang terdapat di taman rekreasi dan kolam
rawa.

B. Retensi non-Alami
Kolam non alami yaitu kolam retensi yang dibuat
sengaja didesain dengan bentuk dan kapasitas tertentu
pada lokasi yang telah direncanakan sebelumnya dengan
lapisan bahan material yang kaku, seperti beton. Pada
kolam jenis ini air yang masuk ke dalam inlet harus dapat
menampung air sesuai dengan kapasitas yang telah
direncanakan sehingga dapat mengurangi debit banjir
puncak (peak flow) pada saat over flow, sehingga kolam
berfungsi sebagai tempat mengurangi debit banjir
dikarenakan adanya penambahan waktu kosentrasi air
untuk mengalir dipermukaan.
Konsep pengeringan polder
1. System pompa
Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang
digunakan untuk mengeluarkan air yang sudah terkumpul
dalam kolam retensi atau junction jaringan drainase ke luar
cakupan area. Prinsip dasar kerja pompa adalah menghisap
air dengan menggunakan sumber tenaga, baik itu listrik
atau diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau
sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di
laut. Biasanya pompa digunakan pada suatu daerah dengan
dataran rendah atau keadaan topografi atau kontur yang
cukup datar, sehingga saluran-saluran yang ada tidak
mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas
pompa yang disediakan di dalam stasiun pompa harus
disesuaikan dengan volume layanan air yang harus
dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga listrik,
disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan pompa
yang menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar
adalah pompa submersible.
Perencanaan pompa harus diperhatikan mengenai
tinggi tekan pompa dan pengaruh kehilangan tenaga yang
akan mempengaruhi daya pompa yang dibutuhkan. Selain
itu perencanaan kolam retensi memiliki keterikatan dengan
pompa yang akan digunakan semakin besar volum
tampungan yang tersedia, semakin kecil kapasitas pompa
yang dibutuhkan dan sebaliknya.

1.2 Sistem eco-Drainase


System eco-drainase adalah system yang berbasis ramah
lingkungan agar terbebas dari banjir.Selain itu, sistem ini juga mampu
untuk menjaga kualitas air agar tetap bersih dan jernih. Sistem ini
pertama kali diperkenalkan oleh peneliti asal Belanda Van Wirdum
pada tahun 1982.

Sistem kerja drainase tersebut adalah memilah air hujan yang


dianggap baik atau jernih dan selanjutnya air hujan yang tidak baik ke
kanal atau laut. Air hujan terbagi menjadi dua yaitu air yang dianggap
jernih dan air yang kotor. Air hujan yang dianggap jernih yaitu air
hujan yang mengalir dari atap rumah, sedangkan air hujan yang kotor
ialah air yang langsung turun ke jalan sehingga air akan tercampur
dengan tanah, ban kendaraan dan lain-lain.

Air yang dianggap jernih tadi langsung dialirkan ke tanah yang


permukaannya terdapat rumput-rumput hijau sebagai penyaring
alami dari alam, Sehingga akan terserap oleh tanah. Sedangkan air
hujan yang kotor yang ada dijalan akan terserap kedalam paving blok
yang terdapat pada median jalan.

Pembuatan paving blok yang terdapat celah antar blok yang satu
dengan yang lainnya, air akan terserap turun kedalam tanah melewati
celah tersebut, disamping paving blok biasanya akan diberi lubang
saluran irigasi yang berfungsi untuk mengurangi debit air yang ada
dijalanan, sehingga air akan terserap melalui paving blok ataupun
melalui saluran tersebut dan jalanan akan terbebas dar banjir.

Di Belanda, para kontraktor jalan tidak hanya berfikir untuk


membut saluran pembuangan debit air saja, tapi juga berfikir untuk
membuat resapan air. Sehingga, walaupun jumlah saluran irigasi di
sana terbatas dan debit airnya cukup tinggi tapi jarang sekali dilanda
banjir.

 Contoh negara maju yang telah berhasil mengembangkan sistem


drainase berkelanjutan dengan berbagai metode unggulannya.

1. Negara Inggris
- Green Roofs : Taman di atap rumah tinggal
- Living Walls : Penanaman tumbuhan pada
dinding vertikal
- Rain Gardens : Taman dengan
tanah porus yang berfungsi sebagai area
tangkapan air hujan
- Permukaan Permeable : Permukaan berpori yang dapat
dilalui oleh air
- Grassgrid : PavingBlock berlubangyang
dapat ditumbuhi rumput
- FilterStrips : Penampung
sementara limpasan airpermukaan yang jatuh
pada permukaan tanah yang tidak
porus
- Swales : Saluran linier
dengan dasar rata yang bisa
menampung limpasan air permukaan
dan menyerap air ke dalam tanah
- Bio Retensi
:Saluranpenyerapairlimpasanpadapermu
kaanyang diperkeras dan ditumbuhi
tumbuhan
- Kolam Detensi : Kolam penampung
sementara dan penyerap air limpasan
untuk jangka waktu beberapa jam saja.
- Kolam Retensi :Kolam
penyimpanan airl impasan yang sudah
bersih dari polutan dan penyerap air ke
dalam tanah
- Kolam :Tempat Penyedia air bersih
yang permanen atau semi-permanen dan
bebas dari polutan
- Wetlands :Tempat penyedia air bersih
yang sangat luas dengan volume air
bersih yang sangat banyak dan
merupakan tujuan akhir selain danau atau
sungai
- Geocellular : Plastik Geomem
brane penyaring polutan pada limpasang
air permukaan yang akan masuk kedalam
tanah
- Crosswave : Material plastik
penyimpan resapan air hujan yang
disimpan dibawah area terbuka sebagai
tempat jatuhnya air hujan
- Up-Flo Filter : Teknologi penyaring air
limpasan permukaan dari jalan raya yang
mengandung banyak polutan dan
disalurkan ke kolam-kolam detensi atau
retensi
- Flo-Well : Tangki berlubang
penampung air limpasan hujan yang
disimpan didalam tanah dan dilapisi kerikil
guna menyaring polutan sebelum diserap
tanahNo
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Identifikasi Masalah
1.3. Batasan Masalah
1.4. Rumusan Masalah
1.5. Maksud dan Tujuan
1.6. Sistematika Pembahasan
BAB II KONDISI DAERAH STUDI
2.1. Umum
2.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
2.3. Kondisi Fisik Alam
2.3.1 Kondisi Topografi
2.3.2 Kondisi Geologi
2.3.3 Kondisi Alam
2.4. Arah Perkembangan Kota
2.5. Tata Guna Lahan Daerah Perkotaan
BAB III METODOLOGI PERENCANAAN
3.1 Umum
3.2 Analisa Hidrologi
3.2.1 Hujan Rerata Daerah
3.2.2 Hujan Rancangan Maksimum
3.2.2.1. Hujan Rancangan Dengan Metode Log
PearsonIII
3.2.2.2. Uji Kesesuaian Distribusi (Smirnov-Kolmigorof
dan Chi Square)
3.2.3. Debit Rancangan
3.2.3.1. Daerah Pengaliran (Cacthment Area)
3.2.3.2. Daerah Resapan Air Hujan Dan Koefisien
Pengaliran.
3.2.3.3. Debit Akibat Curah Hujan
3.2.3.4. Debit Kotor Akibat Pemukiman
Penduduk
3.2.3.5. Intensitas Hujan Dan Waktu Konsentrasi
3.3. Pertumbuhan Jumlah Penduduk
3.4. Perencanaan Saluran Drainase Perkotaan
3.4.1. Dimensi Saluran
3.4.2. Kondisi Hidrolika Saluran
3.5. Perencanaan Skema Serta Biaya Pembuatan Saluran
Drainasi Perkotaan
3.5.1. Saluran Pengumpul (Collector Drain Channel)
3.4.2. Saluran Pembawa (Receptor Drain Channel)
BAB IV ANALISA PERHITUNGAN
4.1. Koefisien Thiessen
4.2. Perhitungan Curah Hujan Harian Maksimum Dengan
Metode Thiessen.
4.3. Perhitungan Hujan Rancangan Dengan Menggunakan
Metode Log Pearson III.
4.4. Uji Kesesuaian Distribusi (Smirnov-Kolmogorof dan Chi
Square).
4.5. Perhitungan Pertambahan Jumlah Penduduk.
4.6 Perhitungan Luas Tata Guna Lahan Daerah Perkotaan
4.7 Perhitungan Pada Masing-Masing Rencana Saluran
Drainase Perkotaan
4.7.1. Skema Saluran Drainase Pada Daerah Yang
Direncanakan.
4.7.2. Intensitas Hujan Dan Waktu Konsentrasi.
4.7.3. Luas Cakupan, Panjang, Slope, Dan Debit Rencana.
4.7.4. Dimensi Saluran.
4.7.5. Volume Galian Dan Timbunan Beserta Biaya
Pembuatan Saluran.
4.7.6. Gambar Potongan Memanjang Dan Melintang
Saluran (Collector Drain Channel dan Receptor Drain
Channel).
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran

Anda mungkin juga menyukai