Anda di halaman 1dari 33

DENGUE HAEMORRHAGIE FEVER

( DHF )

Disusun Oleh :
Ella Rusnida 21117048
Es Jumiati 21117051
Hermawati 21117063
Heni Bayu Putri 21117060
Ilhami Nadion 21117067
Lestari Ningsih 21117074
Ludiya 21117076
Mareta Sari 21117079
Ramadhoni 21117097

Dosen Pembimbing : SURATUN, S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2018//2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan

Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “DENGUE

HAEMORRHAGIE FEVER ( DHF )”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami

harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari

awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Amin.

Palembang, 6 Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

1.1 Latar Belakang .....................................................................................

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) .......................................................

2.2 Tinjauan Keperawatan ........................................................................

BAB III BERDASARKAN JURNAL ...........................................................

BAB IV PENUTUP ........................................................................................

3.1 Kesimpulan ........................................................................................

3.2 Saran ..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengue Hemmorhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue dengan tanda dan gejala demam, nyeri otot,

nyeri sendi disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia (Rohim,

2004).

Sekitar 2,5 milyar (2/5 penduduk dunia) mempunyai resiko untuk

terkena infeksi virus Dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis

pernah mengalami letusan demam berdarah. Kurang dari 500.000 kasus setiap

tahun di rawat di RS dan ribuan orang meninggal (Mekadiana, 2007).

Pada bulan januari 2009, penderita DHF di Jawa Tengah sebanyak

1706 orang. Sedangkan kasus DHF yang terjadi di beberapa kota di Jawa

Tengah sampai pertengahan 2009 sebanyak 2767 orang 73 diantaranya

meninggal (Lismiyati, 2009).

Sebagian pasien DHF yang tidak tertangani dapat mengalami Dengue

Syok Sindrom yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan pasien

mengalami deficit volume cairan akibat meningkatnya permeabilitas kapiler

pembuluh darah sehingga darah menuju keluar pembuluh. Sebagai akibatnya

hampir 35% paien DHF yang terlambat ditangani di RS mengalami syok

hipovolemik hingga meninggal.


2.1 Rumusan Masalah

1. Pengertian dari Demam Berdarah Dengue (DBD).

2. Tinjauan Keperawatan dari DBD.

2.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk menjelaskan Pengertian dari Demam Berdarah Dengue (DBD).

2. Untuk mengetahui Tinjauan Keperawatan dari DBD.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)

A. Pengertian

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit epidemik

akut yang disebabkan oleh virus yang ditransmisikan oleh Aedes aegypti dan

Aedesalbopictus. Penderita yang terinfeksi akan memiliki gejala berupa

demam ringansampai tinggi, disertai dengan sakit kepala, nyeri pada mata,

otot dan persendian,hingga perdarahan spontan (WHO, 2010).

B. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari

kelompok arbovirus B, yaitu arthropod-born envirus atau virus yang

disebarkan oleh artropoda. Vector utama penyakit DBD adalah

nyamuk aedes aegypti (didaerah perkotaan) dan aedes albopictus (didaerah

pedesaan). (Widoyono, 2008).

Sifat nyamuk senang tinggal pada air yang jernih dan tergenang,

telurnya dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 20-420C. Bila kelembaban

terlalu rendah telur ini akan menetas dalam waktu 4 hari, kemudian untuk

menjadi nyamuk dewasa ini memerlukan waktu 9 hari. Nyamuk dewasa yang

sudah menghisap darah 3 hari dapat bertelur 100 butir (Murwani, 2011).

C. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama pada DBD adalah demam dan manifestasi

perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet.
1. Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari

2. Manifestasi perdarahan

a. Uji tourniquet positif

b. Perdarahan spontan berbentuk peteki, purpura, ekimosis,

epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena.

c. Hepatomegali

d. Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg)

atau nadi tak teraba, kulit dingin, dan anak gelisah (Soegeng, 2006).

D. Klarifikasi

Pembagian Derajat menurut (Soegijanto, 2006):

a. Derajat I : Demam dengan uji torniquet positif.

b. Derajat II : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya dikulit atau

perdarahan lain.

c. Derajat III : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai

hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi

nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg)/ hipotensi

disertai ekstremitas dingin, dan anak gelisah.

d. Derajat IV : demam, perdarahan spontan disertai atau tidak disertai

hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala renjatan hebat (nadi tak teraba

dan tekanan darah tak terukur).


E. Patofisiologi

Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan

menimbulkan viremia. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi oleh pusat

pengatur suhu di hipotalamus sehingga menyebabkan ( pelepasan

zat bradikinin,serotinin, trombin, Histamin) terjadinya: peningkatan

suhu. Selain itu viremia menyebabkan pelebaran pada dinding pembuluh

darah yang menyebabkan perpindahan cairan dan plasma dari intravascular ke

intersisiel yang menyebabkan hipovolemia. Trombositopenia dapat terjadi

akibat dari, penurunan produksi trombositsebagai reaksi dari antibodi

melawan virus (Murwani, 2011).

Pada pasien dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan baik

kulit seperti petekia atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini mengakibatkan

adanya kehilangan kemampuan tubuh untuk melakukan

mekanisme hemostatis secara normal. Hal tersebut dapat

menimbulkan perdarahan dan jika tidak tertangani maka akan menimbulkan

syok. Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari (Soegijanto,

2006).

Menurut Ngastiyah (2005) virus akan masuk ke dalam tubuh melalui

gigitan nyamuk aedes aeygypty. Pertama tama yang terjadi adalah viremia

yang mengakibatkan penderita menalami demam, sakit kepala, mual, nyeri

otot pegal pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik bintik merah pada

kulit, hiperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi pembesaran

kelenjar getah bening, pembesaran hati (hepatomegali).


Kemudian virus bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks

virus antibodi. Dalam sirkulasi dan akan mengativasi sistem komplemen.

Akibat aktivasi C3 dan C5 akan akan di lepas C3a dan C5a dua peptida yang

berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai

faktor meningkatnya permeabilitasdinding kapiler pembuluh darah yang

mengakibtkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang ekstraseluler.

Pembesaran plasma ke ruang eksta seluler mengakibatkan kekurangan volume

plasma, terjadi hipotensi,hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan

renjatan (syok).

Hemokonsentrasi (peningatan hematokrit >20%) menunjukan

atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) sehingga

nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan

intravena (Noersalam, 2005).

Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler di buktikan

dengan ditemukan cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu

rongga peritonium, pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata

melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan

intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukan kebocoran plasma telah

teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus di kurangi kecepatan dan

jumlahnya untuk mencegah terjadi edema paru dan gagal jantung, sebaliknya

jika tidak mendapat cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan

cairan yang akan mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami

renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lam akan timbul anoksia
jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan

baik (Murwani, 2011).

F. Komplikasi

a. Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang

berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang

tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia,

atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat

ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga

disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat

dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus

dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan pula bahwa

keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.

Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka

bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung

HC03- dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat

ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) =

1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali

tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya

kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan

vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80

mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekananintrakranial dengan

mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan
elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat.

Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa.

Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan

(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat

dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas

indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa

penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

b. Kelainan ginjal

Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai

akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom

uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka

setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting

diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan

baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan

untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml /

kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik,

sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada

keadaan syok berat sering kali dijumpai akute tubular necrosis, ditandai

penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

c. Edema paru

Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat

pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan

menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.

Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila

cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan

hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan

mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan

ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada.

Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin

beratnya bentuk demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock

syndrome. Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai

berikut:

a. Dehidrasi

b. Pendarahan

c. Jumlah platelet yang rendah

d. Hipotensi

e. Bradikardi

f. Kerusakan hati

G. Pemeriksaan diagnosti

Langkah-langkah diagnose medik pemeriksaan menurut Murwani,

2011, yaitu :
a. Pemeriksaan hematokrit (Ht) : ada kenaikan bisa sampai 20%, normal: pria

40-50%; wanita 35-47%

b. Uji torniquit: caranya diukur tekanan darah kemudian diklem antara

tekanan systole dan diastole selama 10 menit untuk dewasa dan 3-5 menit

untuk anak-anak. Positif ada butir-butir merah (petechie) kurang 20 pada

diameter 2,5 inchi.

c. Tes serologi (darah filter) : ini diambil sebanyak 3 kali dengan memakai

kertas saring (filter paper) yang pertama diambil pada waktu pasien masuk

rumah sakit, kedua diambil pada waktu akan pulang dan ketiga diambil 1-3

mg setelah pengambilan yang kedua. Kertas ini disimpan pada suhu kamar

sampai menunggu saat pengiriman.

d. Isolasi virus: bahan pemeriksaan adalah darah penderita atau jaringan-

jaringan untuk penderita yang hidup melalui biopsy sedang untuk

penderita yang meninggal melalui autopay. Hal ini jarang dikerjakan.

H. Penatalaksanaan

Untuk penderita tersangka DF / DHF sebaiknya dirawat dikamar yang

bebas nyamuk (berkelambu) untuk membatasi penyebaran. Perawatan kita

berikan sesuai dengan masalah yang ada pada penderita sesuai dengan

beratnya penyakit.

a. Derajat I: terdapat gangguan kebutuhan nutrisi dan keseimbangan

elektrolit karena adanya muntah, anorexsia. Gangguan rasa nyaman karena

demam, nyeri epigastrium, dan perputaran bola mata.


Perawat: istirahat baring, makanan lunak (bila belum ada nafsu makan

dianjurkan minum yang banyak 1500-2000cc/hari), diberi kompre dingin,

memantau keadaan umum, suhu, tensi, nadi dan perdarahan,

diperiksakanHb, Ht, dan thrombosit, pemberian obat-obat antipiretik dan

antibiotik bila dikuatirkan akan terjadi infeksi sekunder

b. Derajat II: peningkatan kerja jantung adanya epitaxsis melena dan

hemaesis.

Perawat: bila terjadi epitaxsis darah dibersihkan dan pasang tampon

sementara, bila penderita sadar boleh diberi makan dalam bentuk lemak

tetapi bila terjadi hematemesis harus dipuaskan dulu, mengatur posisi

kepala dimiringkan agar tidak terjadi aspirasi, bila perut kembung besar

dipasang maag slang, sedapat mungkin membatasi terjadi pendarahan,

jangan sering ditusuk, pengobatan diberikan sesuai dengan intruksi dokter,

perhatikan teknik-teknik pemasangan infus, jangan menambah

pendarahan, tetap diobservasi keadaan umum, suhu, nadi, tensi dan

pendarahannya, semua kejadian dicatat dalam catatan keperawatan, bila

keadaan memburuk segera lapor dokter.

c. Derajat III: terdapat gangguan kebutuhan O2 karena kerja jantung

menurun, penderita mengalami pre shock/ shock.

Perawatan: mengatur posisi tidur penderita, tidurkan dengan posisi

terlentang denan kepala extensi, membuka jalan nafas dengan cara pakaian

yang ketat dilonggarkan, bila ada lender dibersihkan dari mulut dan

hidung, beri oksigen, diawasi terus-meneris dan jangan ditinggal pergi,

kalau pendarahan banyak (Hb turun) mungkin berikan transfusi atas izin
dokter, bila penderita tidak sadar diatur selang selin perhatian kebersihan

kulit juga pakaian bersih dan kering.

Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :

a. Menggunakan insektisida

Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam

berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa

dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara

penggunaanmalathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara

penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasirabate ke dalam

sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air

bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 %

per 10 liter air.

b. Tanpa insektisida

Caranya adalah: Menguras bak mandi, tempayan dan tempat

penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk

lamanya 7 – 10 hari); Menutup tempat penampungan air rapat-rapat;

Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan

benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.

2.2 Tinjauan Keperawatan

A. Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan,

verifikasi, komunikasi dan data tentang pasien. Pengkajian ini didapat dari

dua tipe yaitu data subyektif dan persepsi tentang masalah kesehatan mereka
dan data obyektif yaitu pengamatan/pengukuran yang dibuat oleh

pengumpulan data.

Berdasarkan klasifikasi NANDA (Herdman, 2010), fokus pengkajian

yang harus dikaji tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus:

a. Aktivitas/ Istirahat

Gejala: keterbatasan aktivitas sehubungan dengan kondisi

sebelumnya, pekerjaan dimana pasien terpajan pada lingkungan bersuhu

tinggi.

b. Sirkulasi

Tanda: peningkatan TD, HR, nadi, kulit hangat dan kemerahan.

c. Eliminasi

Gejala: riwayat ISK, obstruksi sebelumnya, penurunan volume urin, rasa

terbakar.

Tanda: oliguria, hematuria, piouria, perubahan pola berkemih.

d. Pencernaan
Tanda: mual-mual, muntah.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnose keperawatan menurut NANDA (Herdman, 2010):

a. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses

penyakit (viremia).

b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit

c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan mual, muntah, anoreksi.


d. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan

permeabilitas dinding plasma.

e. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri, terapi tirah

baring.

f. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya


volume cairan tubuh.
g. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan
trombositopenia.

C. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan menurut NIC dan NOC (Judith, 2009) :

a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit

(viremia) Tujuan:

Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien

dapat berkurang/ teratasi. Kriteria hasil: Pasien mengatakan kondisi

tubuhnya nyaman,Suhu 36,80C-37,50C, Tekanan darah 120/80 mmHg,

Respirasi 16-24 x/mnt, Nadi 60-100 x/mnt.

Intervensi:

1) Kaji saat timbulnya demam, rasionalnya untuk mengidentifikasi pola

demam pasien.

2) Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3

jam, rasionalnya tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui

keadaan umum pasien


3) Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam), rasionalnya

peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat

sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

4) Berikan kompres hangat, rasionalnya dengan vasodilatasi dapat

meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.

5) Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal,

rasionalnya pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh

6) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter,

rasionalnya pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu

tinggi

b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan nyeri

pasien dapat berkurang dan menghilang. Kriteria hasil: Pasien

mengatakan nyerinya hilang, nyeri berada pada skala 0-3, tekanan

darah 120/80 mmHg, suhu 36,80C-37,50C, respirasi 16-24 x/mnt, nadi

60-100 x/mnt (Judith, 2009).

Intervensi:

1) Observasi tingkat nyeri pasien (skala, frekuensi, durasi), rasional

mengindikasi kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda

perkembangan/resolusi komplikasi

2) Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman dan tindakan

kenyamanan, rasionalnya lingkungan yang nyaman akan

membantu proses relaksasi.


3) Berikan aktifitas hiburan yang tepat, rasional memfokuskan

kembali perhatian; meningkatkan kemampuan untuk

menanggulangi nyeri.

4) Libatkan keluarga dalam asuhan keperawatan, rasional keluarga

akan membantu proses penyembuhan dengan melatih pasien

relaksasi.

5) Ajarkan pasien teknik relaksasi, rasionalnya relaksasi akan

memindahkan rasa nyeri ke hal lain.

6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik,

rasionalnya memberikan penurunan nyeri.

c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia

i. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3

x 24 jam diharapkan perubahan status nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh dapat teratasi. Kriteria hasil: Mencerna

jumlah kalori dan nutrisi yang tepat, menunjukkan tingkat

energi biasanya, berat badan stabil atau bertambah (Judith,

2009).

1. Observasi keadaan umam pasien dan keluhan pasien, rasional

mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh pasien.

2. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan

dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien, rasional


mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan

terapeutik

3. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi, rasionalnya

mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi

dan utilisasinya)

4. Identifikasi makanan yang disukai atau dikehendaki yang sesuai

dengan program diit, rasionalnya jika makanan yang disukai

pasien dapat dimasukkan dalam pencernaan makan, kerjasama ini

dapat diupayakan setelah pulang

5. Ajarkan pasien dan libatkan keluarga pasien pada perencanaan

makan sesuai indikasi, rasionalnya meningkatkan rasa

keterlibatannya; Memberikan informasi kepada keluarga untuk

memahami nutrisi pasien

6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti mual,

rasionalnya pemberian obat antimual dapat mengurangi rasa mual

sehingga kebutuhan nutrisi pasien tercukupi.

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan

permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan kebutuhan cairan terpenuhi Kriteria hasil: TD 120/80

mmHg, RR 16-24 x/mnt, Nadi 60-100 x/mnt, Turgor kulit baik,

Haluaran urin tepat secara individu, Kadar elektrolit dalam batas

normal (Judith, 2009).


Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tanda vital,

rasionalnya hipovolemia dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi

dan takikardi

2) Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul, rasionalnya

pernapasan yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan

asam aseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis harus

terkoreksi

3) Kaji suhu warna kulit dan kelembabannya, rasionalnya

merupakan indicator dari dehidrasi.

4) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran

mukosa, rasionalnya demam dengan kulit kemerahan, kering

menunjukkan dehidrasi.

5) Pantau masukan dan pengeluaran cairan, rasionalnya memberi

perkiraan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan program

pengobatan.

6) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari

dalam batas yang dapat ditoleransi jantung, rasionalnya

mempertahankan volume sirkulasi.

7) Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung,

rasionalnya kekurangan cairan dan elektrolit menimbulkan

muntah sehingga kekurangan cairan dan elektrolit.

8) Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan

BB, nadi tidak teratur, rasionalnya pemberian cairan untuk


perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan kelebihan beban

cairan.

9) Berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa,

pantau pemeriksaan laboratorium(Ht, BUN, Na, K), rasionalnya

mempercepat proses penyembuhan untuk memenuhi kebutuhan

cairan

e. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri, terapi

tirah baring

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan pasien dapat mencapai kemampuan aktivitas yang optimal.

Kriteria hasil: Pergerakan pasien bertambah luas, Pasien dpt

melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan (duduk, berdiri,

berjalan), Rasa nyeri berkurang, Pasien dapat memenuhi kebutuhan

sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan (Judith, 2009).

Intervensi:

1) Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien,

rasionalnya mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.

2) Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas, rasionlanya

pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif

dalam tindakan keperawatan

3) Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas

bawah sesui kemampuan, rasionalnya melatih otot – otot kaki

sehingga berfungsi dengan baik.


4) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya, rasionalnya agar

kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.

5) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain: dokter (pemberian analgesic),

rasionalnya analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri.

f. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya

volume cairan tubuh.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan

tidak terjadi syok hipovolemik. Kriteria hasil : TD 120/80 mmHg, RR

16-24 x/mnt, Nadi 60-100 x/mnt, Turgor kulit baik, Haluaran urin

tepat secara individu, Kadar elektrolit dalam batas normal (Judith,

2009).

Intervensi:

1) Monitor keadaan umum pasien, rasionalna memantau kondisi

pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi

perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera

ditangani.

2) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam, rasionalnya tanda-

tanda vital normal menandakan keadaan umum baik

3) Monitor tanda perdarahan, rasionalnya perdarahan cepat diketahui

dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.

4) Cek haemoglobin, hematokrit, trombosit, rasionalnya untuk

mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien

sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.


5) Berikan transfusi sesuai program dokter, rasionalnya untuk

menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.

6) Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik, rasionalnya untuk

mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.

g. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan

dengan trombositopenia.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi

perdarahan.

Kriteria hasil: Tekanan darah 120/80 mmHg, Trombosit 150.000-400.000

(Judith, 2009).

Intervensi:

1) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis, rasionalnya

penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.

2) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat, rasionalnya aktivitas pasien yang

tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan

3) Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih

lanjut, rasionalnya membantu pasien mendapatkan penanganan sedini

mungkin

4) Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya, rasionalnya memotivasi

pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.


BAB III
PENELITIAN JURNAL

FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH


DENGUE DI KABUPATEN SERANG
Amah Majidah Vidyah Dini, Rina Nur Fitriany, Ririn Arminsih Wulandari
Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Depok 16424, Indonesia.

Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah kemungkinan peningkatan

kejadian yang terus menerus dari vector borne disease. Demam berdarah dengue

(DBD) merupakan penyakit berbasis vektor yang menjadi penyebab kematian

utama di banyak negara tropis. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa variasi

iklim (jumlah hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban) memiliki

hubungan bermakna dengan insiden DBD di Kota Bogor.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan hubungan

antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari,

kelembaban, dan kecepatan angin) dengan kejadian DBD di Kabupaten Serang

tahun 2007-2008. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder faktor iklim dan

jumlah kasus DBD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

yang bermakna antara faktor iklim suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran

matahari, kelembaban, dan kecepatan angin dengan angka insiden DBD di

Kabupaten Serang tahun 2007-2008. Hal ini disebabkan karena kurang lamanya

durasi data yang diambil, kurang lengkapnya data iklim yang didapat, dan

kurangnya frekuensi data insiden DBD yang diambil.


Hasil dan Pembahasan

Angka Insiden DBD. Diketahui bahwa rata-rata angka insiden DBD untuk

periode tahun 2007-2008 adalah 5,4 per 10.000 penduduk, dengan nilai minimal

angka insiden (IR) 0,9 per 10.000 penduduk serta nilai maksimalnya adalah 10,41

per 10.000 penduduk. Sementara untuk rata-rata angka insiden pada tahun 2007

adalah 7,5 per 10.000 dan untuk tahun 2008 adalah 3,3 per 10.000 penduduk

1. Faktor Iklim. Hasil uji keeratan hubungan antara suhu, curah hujan, hari

hujan, lama penyinaran, kelembaban, dan kecepatan angin menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan insiden DBD

selama tahun 2007-2008, dengan nilai r dan p masing-masing 0,212 (p =

0,321); 0,331 (p = 0,114); 0,301 (p = 0,150); -0,109 (p = 0,612); -0,016 (p

= 0,941); dan 0,338 (p = 0,106). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1, 2, 3,

4, 5, dan 6.

2. Suhu dengan Insiden DBD. Iklim dapat berpengaruh terhadap pola

penyakit infeksi karena agen penyakit baik virus, bakteri atau parasit, dan

vekor bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban, dan kondisi lingkungan

ambien lainnya.9 Selain itu, WHO juga menyatakan bahwa penyakit yang

ditularkan melalui nyamuk seperti DBD berhubungan dengan kondisi

cuaca yang hangat.

Penelitian yang dilakukan Andriani (2001) menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara faktor iklim dengan angka

insiden DBD selama tahun 19972000 di DKI Jakarta terutama untuk suhu
udara,10 sedangkan penelitian ini menghasilkan hal yang sebaliknya, yaitu

tidak ada hubungan antara iklim dengan insiden DBD.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sungono (2004) di

Jakarta Utara tahun 1999-2003 yang menyatakan bahwa tidak ada

hubungan bermakna antara suhu dengan angka insiden DBD.11 Begitu

juga dengan penelitian Rohaedi (2008) di Jakarta Barat tahun 2007.

3. Curah Hujan dengan Insiden DBD. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Sungono (2004) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan

bermakna antara curah hujan dengan insiden DBD di Jakarta Utara tahun

1999-2003.11 Rohimat (2002) juga menyatakan tidak ada hubungan antara

suhu dengan penurunan/ peningkatan angka insiden DBD di Bogor tahun

19992001.15 Sementara itu penelitian lain yang dilakukan Andriani

(2001) menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara faktor iklim

curah hujan dan angka insiden DBD selama tahun 1997-2000 di DKI

Jakarta.

Secara deskriptif, rata-rata total curah hujan setiap bulan di wilayah

Kabupaten Serang adalah 124,9 mm. Curah hujan mempunyai pengaruh

langsung terhadap keberadaan tempat perindukan nyamuk A. aegypti.

Populasi A. aegypti tergantung dari tempat perindukan nyamuk. Curah

hujan yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan banjir sehingga dapat menghilangkan tempat perindukan

nyamuk Aedes yang biasanya hidup di air bersih. Akibatnya jumlah


perindukan nyamuk akan berkurang sehingga populasi nyamuk akan

berkurang.

4. Lama Penyinaran Matahari dengan Insiden DBD. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sungono (2004) di Jakarta Utara

tahun 19992003 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan

bermakna antara lama penyinaran matahari dengan insiden DBD.11

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Silaban (2005) di Bogor

pada 2004-2005 yang menyimpulkan terdapat hubungan yang bermakna

antara lama penyinaran matahari dengan insiden DBD.17 Depkes dalam

Sitorus (2003) menyimpulkan bahwa intensitas atau lama pencahayaan

matahari sangat berpengaruh dengan suhu dan kelembaban yang ada di

sekitarnya.

5. Kelembaban dengan Insiden DBD. Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian Rohimat (2002) yang menyatakan tidak ada hubungan antara

kelembaban dengan penurunan/peningkatan angka insiden DBD di Bogor

tahun 1999-2001.15 Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian

Sungono (2004) di Jakarta Utara tahun 1999-2003 yang menyatakan

bahwa ada hubungan bermakna antara kelembaban dengan insiden

DBD.11 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Andriani (2001)

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor iklim

kelembaban dan angka insiden DBD selama tahun 1997-2000.10

Secara deskriptif, kelembaban rata-rata selama periode 2007-2008

di Kabupaten Serang adalah berkisar antara 80-90%. Kelembaban tersebut

termasuk dalam batas atas kelembaban optimal vektor untuk berkembang


biak, sehingga ketidakbermaknaan hubungan antara kelembaban dan

angka insiden DBD di Kabupaten Serang mungkin dapat terjadi.

Kelembaban optimal vektor adalah 70-80%. Selain itu juga diduga karena

data kasus DBD dan faktor iklim kelembaban hanya selama 2 tahun yaitu

2007 dan 2008 sehingga menyebabkan analisis terhadap hubungan

tersebut kurang terperinci.

6. Kecepatan Angin dengan Insiden DBD. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian Sungono (2004) di Jakarta Utara tahun 1999-2003 yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin

dengan insiden DBD.11 Demikian pula halnya dengan penelitian yang

dilakukan oleh Silaban (2005) di Bogor pada 2004-2005 yang

menyimpulkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kecepatan

angin dengan insiden DBD.17 Namun berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Andriani (2001) yang menyimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara faktor iklim kecepatan angin dan angka

insiden DBD selama tahun 1997-2000.10

Berdasarkan penelitian Sulaksana dalam Purba (2006) dengan

kecepatan angin 11-14 meter/detik atau 22-28 knot maka akan

menghambat perkembangan nyamuk sehingga penyebaran vektor menjadi

terbatas. Sementara menurut teori yang dikemukakan Poorwo dalam Purba

(2006) menyatakan bahwa angin sangat mempengaruhi arah terbang

nyamuk dan nyamuk melakukan perkawinannya di udara.22 Andriani

(2001) menyatakan semakin tinggi kecepatan angin maka semakin sulit


nyamuk untuk terbang karena tubuhnya yang kecil dan ringan sehingga

mudah terbawa oleh angin


BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dengue Hemmorhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi virus akut

yang disebabkam oleh virus dengue dan terutama menyerang anak-anak

dengan ciri demam mendadak dangan manifrstasi perdaraham dan bertendensi

menimbulkan syok dan kematian.

Terkait dengan konsep demam berdarah dengue (DBD), dapat disimpulkan :

1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak

dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang

biasanya memburuk pada hari kedua.

2. Virus dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN

3. merupakan serotie yang paling banyak.

4. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.

5. Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam, pendarahan,

hepatomegali dan syok.

6. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua

kriteria klinis ditambah trombosipenia dan peningkatan hmatokrit cukup

untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue.

7. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatif yaitu

mengobati gejala penyerta dan suportif yaitu mengganti cairan yang

hilang.
3.2 Saran

1. Pasien dan keluarga

Diharapkan keluarga mampu mengetahui tanda dan gejala demam

berdarah, dapat merawat pasien jika terkena demam berdarah serta dapat

mencegah terjadinya lingkungan yang kotor. Keluarga diharapkan mampu

melanjutkan perawatan di rumah dengan baik.

2. Perawat

Hendaknya penyuluhan kesehatan dijadikan suatu program di ruangan

guna meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit pasien

dan dapat mencegah komplikasi yang dapat terjadi.

3. Rumah sakit

Diharapkan kepada RS dapat memberikan pelayanan yang lebih baik

lagi sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien.

4. Instansi pendidikan

Diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat menjadi referensi bacaan

dalam perpustakaan dan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Hendaknya menambah buku-buku referensi perpustakaan sehingga mahasiswa

dapat melakukan dan memberikan asuhan keperawatan pada pasien sesuai

dengan konsep yang ada di buku tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta.

M. Nurs, Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan pada bayi dan anak.


Salemba Medika. Jakarta.

Ngastiyah (1995), Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC,


Jakarta.
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. EGC. Jakarta.

Elizabeth, Corwin. 2006. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Hindra, Satari. 2004. Demam Berdarah. Jakarta : Puspa Swara.

L. Wong, Donna. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta:


EGC.

NANDA. 2012. Diagnosa Nanda: Definisi dan klasifikasi. Philadelphia:


USA

Anda mungkin juga menyukai