Anda di halaman 1dari 19

REFARAT

KOMA
Disusun Oleh :

Mhd. Ayyub Rizki


214 210 041

Pembimbing :

dr. INDRA BHAKTI, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH
PEMATANG SIANTAR
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya
penulis selesai menyusun Refarat ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar
dengan judul “ KOMA ”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kepada pembimbing dr. Indra
Bhakti, Sp.S yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan penulisan
Refarat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Refarat ini memiliki banyak kekurangan baik
dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis semoga
Refarat ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Pematangsiantar, April 2019


Penyususn

Mhd. Ayyub Rizki

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2
A. DEFINISI ........................................................................................................... 2
B. ETIOLOGI ......................................................................................................... 2
C. PATOGENESIS ................................................................................................. 3
D. MANIFESTASI KLINIK .................................................................................. 4
E. PEMBAGIAN KOMA........................................................................................ 4
F. DIAGNOSIS ...................................................................................................... 4
G. PENATALAKSANAAN ................................................................................... 11
H. KOMPLIKASI ................................................................................................... 14
I. PROGNOSIS ..................................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari mata,
suara dari telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ sensorik lainnya untuk
melengkapi tingkat kesiagaan yang tepat. Jika sistem rangsangan atau hubungannya dengan
bagian otak yang lain tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka sensasi tidak lagi
mempengaruhi tingkat rangsangan dan kesiagaan otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka
akan timbul gangguan kesadaran.
Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat ringan
atau sama sekali tidak memberikan respon. Terdapat beberapa istilah yang masih tetap
dipakai di klinik ialah komposmentis, somnolen, stupor atau spoor, dan koma. Terminology
ini bersifat kualitatif. Tetapi penurunan kesadaran ini juga dapat dinilai secara kuantitatif
untuk anak dengan menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
Komposmentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indera
(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar
maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.
Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti mengantuk, mata
tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat
menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap
sekitar menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan rangsang
nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa
gerakan mengelak tehadap rangsang nyeri.
Sedangkan koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan
rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun
reaksi motorik. Makalah kali ini akan berfokus pada pembahasan terhadap koma.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Koma adalah suatu keadaan dimana kesadaran lebih menurun lagi dari tahap letargia
dan stupor, sehingga reaksi motorik tidak dapat dibangkitkan lagi, meskipun rangsang
protopatik kasar / keras digunakan.

B. ETIOLOGI
Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatan keledai menjadi
kalimat “SEMENITE”. Selain itu ada juga beberapa buku yang menggunakan jembatan
keledai yang berbeda tetapi memiliki pengertian yang sama. Dari jembatan keledai ini kita
juga dapat membedakan manakah yang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma
diensefalik.

S (Sirkulasi) : Gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)


E (Ensefalitis) : Akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll
M (Metabolik) : Akibat gangguan metabolik yang menekan/mengganggu kinerja otak.
(gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dan
sebagainya).
E (Elektrolit) : Gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).
N (Neoplasma) : Tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan penekanan
intrakranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat (papiledema,
bradikardi, muntah).
I (Intoksikasi) : Keracunan.
T (Trauma) : Kecelakaan.
E (Epilepsi) : Mempengaruhi aktivitas listrik normal batang otak.

2
C. PATOGENESIS

RANGSANGAN

Spesifik Non-spesifik

Substansia retikularis substansia retikularis


(lintasan spesifik) (Diffuse ascending reticular system)

Thalamus Thalamus
(inti intralaminar) (inti intralaminar)

Korteks Korteks
(area spesifik) (seluruh bagian)

Respon spesifik Kewaspadaan/kesadaran

Berdasarkan skema diatas kita dapat melihat bahwa input/rangsangan dibagi dua,
spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang khas
dimana menghasilkan suatu kesadaran yang khas pula. Lintasan yang digunakan impuls-
impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh
dengan suatu titik di daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik ke titik),
yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang mengirimkan impuls yang akan
diterima oleh sekelompok neuron dititik tertentu daerah reseptif somatosensorik primer.
Setibanya impuls aferen di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan suatu modalitas
perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan,
penghiduan atau suatu pendengaran tertentu.
Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferen spesifik yang
disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik (lintasan ini lebih dikenal sebagai “diffuse
ascending reticular system”) yang terdiri dari serangkaian neuron-neuron di substansia
retikularis medulla spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus
(inti intralaminar). Inti intralaminar yang menerima impuls non-spesifik tersebut akan

3
menggalakkan dan memancarkan impuls yang diterimanya menuju/merangsang/menggiatkan
seluruh korteks secara difuse dan bilateral sehingga timbul kesadaran/kewaspadaan. Karena
itu, neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak kewaspadaan”, sedangkan
neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan disebut “neuron pengemban
kewaspadaan”.
Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah,
maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab ‘neuron pengemban kewaspadaan sama
sekali tidak berfungsi (koma kortikal bihemisferik)’ atau oleh sebab ‘neuron penggalak
kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan (koma
diensefalik)’.

D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik penurunan kesadaran dapat bersifat sangat akut, akut atau bertahap.
Dipandang dari penampilan klinik, penderita koma dapat bersikap tenang seakan-akan tidur
pulas atau bersikap gelisah, banyak gerak, dan atau berteriak. Penurunan kesadaran dapat
disertai oleh tanda dan gejala klinik lainnya, bergantung pada penyakit yang mendasarinya
atau pada komplikasi yang muncul setelah terjadinya penurunan kesadaran. Dengan demikian
manifestasi klinik penuruan kesadaran sangat bervariasi. Tanda dan gejala klinik yang dapat
menyertai koma antara lain: Demam, gelisah, kejang, muntah, retensi lendir/sputum di
tenggorok, retensi atau inkontinesia urin, hipertensi, hipotensi, takikardi, bradikardi, takipnea,
dispnea, edema fokal atau anasarka, ikterus, sianosis, pucat, perdarahan subkutis, dan
sebagainya. Pada lesi intrakranial dapat terjadi; hemiplegia, defisit nervi kranialis, kaku
kuduk, deviasi mata, perubahan diameter pupil, edema papil. Pada trauma kapitis dapat
terjadi; hematomata mata, hematoma belakang telinga, perdarahan telinga dan hidung, dan
likorea. Dengan demikian setiap kasus koma harus diperiksa secara menyeluruh dan teliti.

E. PEMBAGIAN KOMA
Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis di
daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran) disebut koma
diensefalik.
Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat
lesi supratentorial dan lesi infratentorial.
1) Koma supratentorial

4
a) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedangkan batang otak
tetap normal.
b) Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di
dalam kranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses
dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya, terjadilah
herniasi girus singuli, herniasi transtentorial sentral dan herniasi unkus.
a. Herniasi girus singuli Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah
kontralateral menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak,
mengakibatkan iskemi dan edema.
b. Herniasi transtentorial/ sentral Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir
dari proses desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara
berurutan menekan disensefalon, mesensefalon, pons dan medulla oblongata melalui
celah tentorium.
c. Herniasi unkus Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii
media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke
arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon.

2) Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
a) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis.
Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
b) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
1. Langsung menekan pons
2. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan
menekan tegmentum mesensefalon.
3. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medulla
oblongata.
Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya.
Ditentukan lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis) dan dibantu dengan pemeriksaan
penunjang.

5
Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran
 Vaskular : Perdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal bilateral
 Infeksi : Abses, ensefalitis, meningitis
 Neoplasma : Primer atau metastasis
 Trauma : Hematoma, edema, kontusi hemoragik
 Herniasi : Herniasi sentral, herniasi unkus, herniasi singuli
 Peningkatan tekanan intrakranial : Proses desak ruang

F. DIAGNOSIS
Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi,
apakah di hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.
1. Anamnesis
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit
melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan
pasien dengan menanyakan :
1) Keluhan pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran, antara lain nyeri kepala yang
mendadak atau sudah lama, perasaan pusing berputar, mual dan muntah, penglihatan
ganda, kejang, kelumpuhan anggota gerak.
2) Apakah pernah terjadi Trauma atau tidak?
3) Penyakit yang pernah diderita sebelum terjadinya gangguan kesadaran, misalnya
diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, epilepsi, adiksi obat
tertentu
4) Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat penenang, obat tidur,
antikoagulansia, obat antidiabetes (dapat dalam bentuk injeksi), antihipertensi.
5) Apakahg gangguan kesadaran terjadi secara bertahap atau mendadak, apakah disertai
gejala lain / ikutan?
6) Apakah penyalah gunaan obat-obatan atau alcohol?

2. Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik :
1) Tekanan darah :melihat apakah terjadi peningkatan tekanan darah atau penurunan
tekanan darah.

6
2) Nadi :meliputi frekuensi, isi dan irama denyut
3) Suhu tubuh :melihat apakah terjadi peningkatan suhu tubuh atau penurunan suhu
tubuh
4) Respirasi :meliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau pernapasan
(aseton, amonia, alkohol, bahan kimia tertentu dll)
5) Kulit :meliputi turgor, warna dan permukaan kulit ( dehidrasi, ikterus, sianosis,
bekas suntikan, luka karena trauma, dll)
6) Kepala :apakah ada luka dan fraktur
7) Konjungtiva :apakah normal, pucat, atau ada perdarahan
8) Mukosa mulut dan bibir :apakah ada perdarahan, perubahan warna
9) Telinga :apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk bau cairan perlu
diperhatikan
10) Hidung :apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari hidung
11) Orbita :apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli, kelainan pasangan bola
mata (paresis N.III, IV, VI), pupil, celah palpebra, ptosis xii. Leher, apakah ada fraktur
vertebra; bila yakin tidak ada fraktur maka diperiksa apakah ada kaku kuduk
12) Dada :pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik dan teliti
13) Perut :meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak, suara peristaltik
usus, nyeri tekan di daerah tertentu
14) Ektremitas meliputi apakah oedem, fraktur ?
3. Pemeriksaan saraf
1) Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang
tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
2) Derajat kesadaran ditentukan dengan GCS (Glasgow Coma Scale) .
3) Pola pernafasan.
a. Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada gangguan
metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak dapat
menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma.
b. Ataxia dan gasping paling sering dilihat pada lesi pontomeduler.
c. Apneustic breathing : kerusakan pons
d. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
e. Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan oleh
lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan.

7
4) Posisi kepala dan mata. Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah
lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada Iesi di talamus
dan mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah hidung.
5) Funduskopi.
Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial. Perdarahan subhyaloid,
biasanya menandakan rupture aneurisma atau malformasi arteriovena.
6) Pupil.
Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
a. Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan mesensefalon
(pusat refleks pupil di mesensefalon).
b. Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada -- koma
metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
c. Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan n.I1I
oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks
cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide.
d. Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti infark
atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint pupil dan
refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi,
berarti bagian bawah batang otak masih utuh.
7) Gerakan bola mata.
Khas untuk lesi batang otak.
a. Gerakan bola mata spontan.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari satu
sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.
2. Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum mesensefalon.
3. Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.
4. Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.
5. Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan midpontine-lower
pontine.
6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang otak.
Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi structural penyebab koma.
b. Gerakan bola mata refleks.
Tes-tes yang lazim dilakukan :
1. Doll’s head maneuver (refleks okulosefalik).

8
Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural ditingkat
mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau barbiturate dapat
menghalangi refleks ini.

2. Tes kalori (refleks okulovestibular).


Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin, berarti
batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak simetris
berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik
dapat menghalangi refleks ini.

9
c. Gerakan bola mata saat istirahat.
 Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi hemisper
kontralateral dari sisi yang hemiparesis
 Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :
a) Lesi di pons kontralateral hemiparesis
b) Lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
c) Aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
 Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari midbrain,
disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus refrakter dikenal
sebagai sindroma parinoud
 Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak
menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi
hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik
 Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke
arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan
kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
 Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan
suatu psikogenik unresponsive.
8) Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.
9) Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan CN 7
(eferen)
10) Respons motoris.
a) Spontan.
1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi struktural.
Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang multifokal berarti koma
disebabkan proses metabolik.
2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berarti ensefalopati
metabolik.
b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).
1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai. Bisa
simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di batas
dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons motorik SKG).

10
2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan dan
ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).
11) Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi
defisit sensoris.
12) Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris
yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma akibat
struktural atau metabolik.

4. Skala koma
Beberapa skala koma yang berbeda telah diciptakan untuk menilai pasien dengan
koma. Nilai dari beberapa tes ini adalah untuk memberikan penilaian sederhana untuk
prognosis beberapa
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai
tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik
penilaian dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien
setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon
verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.
Skor GCS dapat diklasifikasikan:
 Skor 14 -15 : compos mentis
 Skor 12 – 13 : apatis
 Skor 11 – 12 : somnolen
 Skor 8 – 10 : stupor
 Skor < 5 : koma
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (Eye Opening, E)
 Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) 4
 Respon terhadap suara (suruh buka mata) 3
 Respon terhadap nyeri (dicubit) 2
 Tidak ada respon (meski dicubit) 1
Respon verbal (V)
 Berorientasi baik 5
 Berbicara mengacau (bingung) 4
 Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan 3
non-kalimat, misalnya, “aduh… bapak..”)
 Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) 2

11
 Tidak ada suara 1
Respon motorik terbaik (M)
 Ikut perintah 6
 Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi 5
rangsang nyeri) 4
 Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 3
 Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas
dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) 2
 Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi
tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) 1
 Tidak ada (flasid)

Respons motorik
Pemeriksaan motorik pasien stupor atau koma, bila diperlukan, berbeda dengan
pasien yang bangun dan kooperatif. Dibandingkan dengan menilai kekuatan pada otot
spesifik, pemeriksaan ini lebih berfokus pada pemeriksaan responsivitas keseluruhan pasien
dengan penilaian respons motorik, tonus motorik dan refleks serta mengindentifikasikan
beberapa pola motorik abnormal seperti hemiplegia atau posturing.
Gerakan kacau dari kedua tangan dan kaki, menggenggam dan memungut
menandakan traktus kortikospinal kurang lebih utuh. Tahanan bervariasi terhadap gerakan
pasif (rigiditas paratonik), gerakan menghindar kompleks dan gerakan perlindungan khusus
mempunyai arti yang sama, bila gerakan ini bilateral maka koma biasanya tidak dalam.
Epilepsi motorik fokal menandakan traktus kortikospinal terkait utuh. Refleks tendon
biasanya tetap ada sampai ke tahap lanjut koma oleh karena gangguan metabolik dan
intoksikasi. Pada koma oleh karena infark atau perdarahan serebral luas, refleks tendon dapat
normal atau hanya sedikit berkurang pada sisi hemiplegik dan refleks plantar dapat tidak ada
atau ekstensor. Respons fleksor plantaris yang mendahului respons ekstensor menandakan
adanya pemulihan ke arah normal atau dalam konteks peberatan koma menandakan transisi
ke arah mati otak.
Pemeriksaan laboratorium utama
Pemeriksaan-pemeriksaan yang paling penting untuk diagnosis koma adalah: analisis
kimiawi-toksikologik darah dan urin, pencitraan CT-scan atau MRI kranial, EEG dan
pemeriksaan likuor serebrospinalis. Analisis gas darah arterial dapat membantu pada pasien
dengan penyakit paru dan kelainan asam basa. Gangguan metabolik yang sering dilihat pada
praktek klinis memerlukan pemeriksaan elektrolit, glukosa, kalsium,osmolaritas, dan fungsi
ginjal (BUN) serta hati (NH3).

12
G. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions /
SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 – 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau
abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir
10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon
2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur
Terapi Umum

1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi


2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau
peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,
hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan
plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg
3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer
akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

13
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi, meliputi: gangguan pernafasan, pneumonia,
dekubitus dan aspirasi.

I. PROGNOSIS
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari dalamnya
suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi obat lebih baik
prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial.
Kemungkinan penyembuhan dari koma yang dalam selama lebih dari beberapa jam
sulit diramalkan. Jika penyebabnya adalah cedera kepala, bisa terjadi penyembuhan, bahkan
jika koma berlangsung selama beberapa minggu (tetapi tidak lebih dari 3 bulan).
Penyembuhan total setelah mengalami koma selama 1 bulan karena jantung berhenti atau
karena kekurangan oksigen, jarang terjadi.

14
BAB III
PENUTUP

Koma adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh karena adanya gangguan
terhadap sistem aktivasi retikular, baik oleh penyebab mekanis struktural seperti lesi
kompresi atau oleh penyebab metabolik destruktif seperti hipoksia dan overdosis obat.
Keragaman penyebab koma memerlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai
mekanisme dan gambaran klinis koma yang berbeda-beda tergantung penyebabnya.
Koma merupakan kondisi kegawat-daruratan yang memerlukan penatalaksaan yang
cepat namun akurat, oleh karena penyebab koma yang beragam, penatalaksanaan yang secara
signifikan berbeda dan dampak luas yang ditimbulkannya. Langkah utama dalam
penatalaksanaan koma ada membedakan mekanisme penyebabnya, apakah berupa kelainan
struktural atau metabolik, dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan neurologis serta
diagnostik yang terarah. Setelah penyebab koma diketahui terapi dapat dilakukan secara
terarah sesuai dengan penyebab koma tersebut.
Pada dasarnya prognosis koma adalah buruk, namun untuk koma-koma yang
mempunyai penyebab-penyebab reversibel usaha penuh harus dilakukan untuk memulihkan
keadaan penyebabnya. Prognosis terbaik untuk koma metabolik dapat ditemukan pada pasien
dengan koma hepatikum, namun usaha yang baik harus dilakukan untuk mencegah terjadinya
ensefalopati.

15
DAFTAR PUSTAKA

England Department of Health. Hospital Episode Statistics 2002-2003. 2003.

Harsono (ed.) 2005 buku ajar Neurologis klinis, cetakan ketiga. Penerbit Gajah Mada
University Press.

J.G.Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Diterjemahkan oleh dr.


Andri Hartono, Gadjah Mada University press, cetakan ke empat 1993.

Kelley SD, Saperston A. Coma. [book auth.] Humpreys RL Stone CK. Current Diagnosis
and Treatment: Emergency Medicine. s.l. : McGraw-Hill, 2008, 15.

Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner's Diagnosis of Stupor and Coma.
New York : Oxford University Press, 2007. ISBN 978-0-19-532131-9.

Priguna Sidharta, M. D., Ph. D. , Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Dian Rakyat

Prof. Dr. dr. B. Chandra, Neurologi Klinik, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK.Unair /
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Prof.DR.dr. S.M. Lumbantobing (ed. 2005) Neurologi Klinik, pemeriksaan fisik dan mental,
cetakan ketujuh. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's Principles of Neurology. New York : McGraw-
Hill, 2005. Vol. 8. 0-07-146971-0.

Solomon P, Aring CD. Causes of coma in patients entering general hospital. 1934, Am J
Med Sci, Vol. 188, p. 805.

16

Anda mungkin juga menyukai