Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berusaha selama tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Untuk melakukan usaha secara pribadi,
seseorang tidak memerlukan izin khusus dalam pendiriannya, karena bukan berupa badan usaha
atau badan hukum. Usaha perseorangan ini bisa dijalankan dengan membuat usaha dagang (UD)
atau usaha lainnya, tanpa harus memiliki nama usaha. Contoh usaha yang dijalankan pun bisa
beragam, dari berdagang, manufaktur skala kecil, jasa, dsb.
1. menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi, yaitu pemilik yang sebenarnya
dari usaha tersebut untuk keperluan perpajakan.
2. pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan kegiatan usahanya, namun dalam
hal peredaran usaha pengusaha dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar, pengusaha
boleh tidak melakukan pembukuan, namun wajib membuat pencatatan. Dalam menghitung
penghasilan neto untuk keperluan perpajakan, pengusaha menggunakan norma. Ketentuan
mengenai pembukuan diatur dalam Pasal 28 UU KUP, ketentuan mengenai norma penghitungan
penghasilan neto diatur dalam Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor
PER-17/PJ/2015.
3. selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sesuai ketentuan UU PPh,
pengusaha juga boleh mengurangkan penghasilan netonya dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) yang dihitung berdasarkan keadaan/status perkawinan Wajib Pajak dan jumlah
tanggungannya. Ketentuan mengenai biaya yang dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 6 UU
PPh, ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
4. dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak yang semakin
meningkat seiring besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan mengenai tarif pajak diatur dalam
Pasal 17 UU PPh.
5. apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah nomor 46/2013, bagi pengusaha yang dalam satu tahun pajak peredaran usahanya
tidak lebih dari Rp4,8 miliar, pengusaha wajib menghitung pajaknya secara final dengan tariff 1%
dari peredaran usaha setiap bulannya.
Contoh 1
Tuan Anas memiliki usaha perdagangan bahan-bahan bangunan. Selama tahun 2015 laporan
laba/rugi usaha tuan Anas tersebut adalah:
Peredaran usaha Rp5.200.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp3.700.000.000,-
Laba Bruto Rp1.500.000.000,-
Biaya Operasi Rp850.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp650.000.000,-
Maka penghitungan besarnya PPh terutang Tuan Anas selama tahun 2015 adalah sebagai berikut:
Laba Usaha Rp650.000.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) Rp45.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp605.000.000,-
PPh Terutang
5% x Rp50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000,-
25% x Rp250.000.000,- = Rp62.500.000,-
30% x Rp105.000.000,- = Rp31.500.000,- Rp126.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 19,46%
Contoh 2
Tuan Anas memiliki usaha perdagangan bahan-bahan bangunan. Peredaran usaha pada tahun 2014
tidak melebihi Rp4,8 miliar. Selama tahun 2015 laporan laba/rugi usaha tuan Anas tersebut adalah:
Peredaran usaha Rp5.200.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp3.700.000.000,-
Laba Bruto Rp1.500.000.000,-
Biaya Operasi Rp850.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp650.000.000,-
Karena peredaran usaha Tuan Anas pada tahun 2014 tidak melebihi Rp4,8 miliar, sesuai ketentuan
PP No 46/2013 pada tahun 2015 Tuan Anas harus menghitung PPh nya sebesar 1% dari peredaran
usaha, sehingga besarnya PPh terutang Tuan Anas dihitung dengan cara:
Peredaran usaha Rp5.200.000.000,-
PPh Terutang (1% x peredaran usaha) Rp52.000.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 8%
Kelebihan
Kekurangan
1. kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari sekutu aktif yang bertindak
sebagai sekutu pemimpin CV
2. tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh terhadap semangat
untuk memajukan perusahaan
3. kewajiban sekutu yang tidak terbatas
4. perlindungan hukumnya masih dianggap minim
Contoh 3
CV Aurora bergerak dalam usaha perdagangan besar, laba rugi tahun 2015 menunjukkan informasi
sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp5.200.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp3.700.000.000,-
Laba Bruto Rp1.500.000.000,-
Biaya Operasi (tidak termasuk gaji para sekutu) Rp850.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp650.000.000,-
Kelebihan dan kelemahan PT sebagaimana diuraikan oleh Santoso dan Rahayu (2013:100-101)
adalah sebagai berikut:
Kelebihan
Kekurangan
1. sama seperti CV, PT juga merupakan subjek pajak dalam negeri berbentuk badan
2. PT juga wajib menyelenggarakan pembukuan
3. PT harus mendaftarkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP atas nama PT
4. Pengenaan pajak pada PT terjadi dua kali, yaitu pada saat diakui sebagai laba usaha oleh PT
dan pada saat laba usaha tersebut dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk
dividen, dikenai PPh Final sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan Pasal 17 ayat (2c) sebesar 10%
5. Gaji yang dibayarkan kepada para pemegang saham dan komisaris dapat dibiayakan oleh PT
6. Penghitungan PPh terutang mengikuti tarif Pasal 17 UU PPh atau Pasal 31E UU PPh.
Contoh 4
PT Angkasa bergerak sebagai distributor mainan anak yang terbuat dari bahan yang aman dan
berkualitas. Laba/rugi PT Angkasa tahun 2015 menunjukkan informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp5.200.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp3.700.000.000,-
Laba Bruto Rp1.500.000.000,-
Biaya Operasi Rp850.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp650.000.000,-
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para pemegang saham, dikenai PPh atas dividen sebesar
10%, yaitu:
Laba usaha yang akan dibagikan sebagai dividen Rp650.000.000,-
PPh atas dividen (Pasal 17 ayat(2c) UU PPh Rp65.000.000,-
Sehingga total pajak terutang oleh PT dan persentasenya terhadap peredaran usaha dapat dihitung
sebagai berikut:
Jumlah PPh terutang Rp146.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 22,5%
Kesimpulan
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat kita bandingkan besarnya PPh terutang yang harus
ditanggung oleh masing-masing bentuk usaha sebagai berikut:
Uraian Usaha Perorangan CV PT
Peredaran Usaha Rp5.200.000.000,- Rp5.200.000.000,- Rp5.200.000.000,-
Laba Usaha Rp650.000.000,- Rp650.000.000,- Rp650.000.000,-
PPh Terutang Rp126.500.000,- Rp81.250.000,- Rp146.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 19,46% 12,5% 22,5%
Berdasarkan tabel di atas, dapat kita simpulkan bahwa pemilihan bentuk usaha CV memberikan
benefit pajak yang lebih tinggi dibandingkan usaha perorangan atau usaha PT, namun baiknya hal ini
tidak dijadikan satu-satunya dasar pengambilan keputusan karena tentu saja harus
mempertimbangkan hal lainnya. Tingginya beban pajak yang ditanggung oleh usaha perorangan
disebabkan karena tarif progresif yang berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Sebagai catatan,
penghitungan PPh di atas atas CV dan PT menggunakan tariff Pasal 31E UU PPh yang memberikan
fasilitas pengurangan tariff hingga 50%. Dalam hal pasal ini tidak dipergunakan, maka kita akan
memperoleh hasil sebagai berikut:
Uraian Usaha Perorangan CV PT
Peredaran Usaha Rp5.200.000.000,- Rp5.200.000.000,- Rp5.200.000.000,-
Laba Usaha Rp650.000.000,- Rp650.000.000,- Rp650.000.000,-
PPh Terutang Rp126.500.000,- Rp162.500.000,- Rp227.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 19,46% 12,5% 35%
Apabila tarif Pasal 31E tidak dipergunakan, ternyata tetap bentuk usaha CV memberikan benefit
pajak yang paling maksimal dibandingkan dua bentuk usaha yang lainnya. Semoga bermanfaat.