Protocol Kyoto
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB
untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca
lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah
atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan
global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-
rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.
Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations
1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16
Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November
2004.
perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan
adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk
mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-
rata selama masa lima tahun antara 2008-20012. Target nasional berkisar dari
Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk
Islandia."(Anonim, 2010).
Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada
Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC
tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak
Terdapat tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa Joint
antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development
negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara
berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan
sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. Emission Trading
No. 17 tahun 2004. Indonesia akan menerima banyak keuntungan dari Protokol
Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta ton dan
diperkirakan bernilai US$ 1,26 miliar. Kegiatan CDM lainnya yang tengah
Protokol Kyoto. Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh
pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy Carter,
Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor Harrison
Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001. Alasan yang
Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, Protokol Kyoto telah
diratifikasi oleh 141 negara yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Rusia juga
sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini sempat
membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara
tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak
dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55% dari seluruh emisi
karbon dioksida pada 1990 dari pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat
tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi.
Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan
termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara
anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah
(tidak berminat untuk meratifikasi) dan Kazakstan. Pada awalnya AS, Australia,
persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember 2007
Protokol Kyoto memberikan izin adanya pembentukan sistem berbasis pasar untuk
belum menggunakan sisa kuotanya, atau kredit karbon yang dihasilkan oleh
tahun 1990 dalam jangka waktu Komitmen tahun 2008 hingga tahun 2012.
emisi CO2 lebih lanjut akan disepakati bersama antar negara-negara anggota
protokol Kyoto.
(penyimpanan karbon). Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa
dicermati apakah nilai tukar yang ditawarkan oleh negara-negara emisi sudah
Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO2 ini
yang diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang
senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan asumsi 4 – 6 USD untuk setiap ton
(Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana terdapat areal hutan seluas
100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga USD 5 /ton.
Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun
adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka
ini cukup besar, apalagi dengan luasan hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa
(Razak, A, 2008).
dunia. Puluhan juta rakyat Indonesia secara langsung bergantung pada hutan-
hutan ini untuk kehidupan mereka, entah itu mengumpulkan hasil hutan untuk
adalah rumah bagi banyak flora dan fauna yang tak tertandingi di negara dengan
ukuran yang sebanding manapun. Bahkan saat ini, hampir setiap ekspedisi ilmiah
yang dilakukan di hutan tropis Indonesia kembali dengan penemuan spesies baru.
Temuan ini tidak menyediakan dasar untuk optimisme yang cukup kuat,
kebijakan saat ini berhasil, sangat jelas bahwa Indonesia berada dalam masa
transisi dari negara yang kaya akan hutan ke negara yang miskin akan hutan,
Jutaan hektar bekas hutan sekarang tertutup sisa-sisa hutan yang telah
pendapatan, dan jasa ekosistem. Lahan hutan yang rusak dapat ditanami kembali
dan dikelola oleh manusia untuk menyediakan kayu, hasil kebun, buah-buahan,
tawar dan retensi tanah dapat dikembalikan. Bagian dari tragedi di hutan
Indonesia adalah bahwa saat ini program hutan tanaman industri dan sistem
keputusan dalam sektor kehutanan tidak lagi berorientasi pada pembukaan dan
konversi lahan tetapi, dalam kenyataannya, pembukaan dan konversi masih terus
pembangunan perkebunan baru di wilayah lahan kritis yang sudah tersedia untuk
jalan di mana banyak sumber daya alam yang telah hancur atau rusak, tapi masih
banyak juga yang terjaga. Pengembangan lahan perkebunan untuk memasok
kayu dan ekspor tanaman berharga adalah bagian penting dari strategi ekonomi
negara.
alam yang tersisa, dan memberikan keuntungan bagi pengembang dengan profit
besar secara cuma-cuma. Jalan yang lebih sulit namun berkelanjutan adalah
merebut kembali lahan yang saat ini menganggur dan melestarikan hutan primer
yang masih tersisa. Enam puluh empat juta hektar hutan telah ditebang selama 50
tahun terakhir. Tidak ada pembenaran ekonomi maupun etika untuk membiarkan
64 juta hektar lagi hilang selama 50 tahun ke depan (Barber dkk, 2014).
Jadi intinya keadaan hutan di Indonesia saat ini sangat lah memperhatikan dan
dalam keadaan yang kritis luasnya, karena terus mengalami penyusutan setiap
tahunnya. Setiap tahun terjadi penyusutan hutan karena untuk perkebunan kelapa
nya penebangan liar atau illegal logging karena aktivitas nya yang tidak sah. Di
data departemen kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak tidak dapat
berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar
kawasan hutan di Indonesia. Bila keadaan seperti ini terus terjadi, maka Sumatera
dan Kalimantan akan kehilangan kawasan hutan,tentu nya kita semua tidak ingin
itu terjadi. Penyebab lain kerusakan hutan bukan hanya karna perkebunan sawit,
kan oleh lemah nya pemantapan hutan yang di tandai dengan buruk nya
pengelolaan sumber daya hutan. Pemerintah juga belum tegas menentukan areal
hutan mana yang harus di alih fungsikan. Harus nya hutan yang di lindungi atau
di alih fungsikan janganlah di utak-atik atau tersentuh oleh tangan manusia, tapi
kenyataan nya hutan ang di lindungi malah di jadikan perkebunan kelapa sawit
petumbuhan ekonomi saja,bukan untuk kelestarian alam. Pada hal ini lah kita
sebagai generasi muda harus sadar dan peduli terhadap hutan yang sudah hampir
“botak” ini agar tidak mementingkan diri sediri tapi juga mementingkan
Juni 2019.
Barber CV dkk. 2014. Kondisi Hutan Indonesia. Pusat Teritorial Angkatan Darat.
Simarmata, Dj.A. 1994. Ekonomi Publik & External LPFE. Universitas Indonesia.
Depok.
A. Peluang Usaha dari Adanya Polusi
Polusi udara merupakan peristiwa di mana udara yang bersih dicemari berbagai
polutan seperti gas dan debu. Untuk kehidupan yang sehat manusia dan mahluk
hidup lainnya seperti hewan darat dan tumbuhan memerlukan udara dengan
kualitas tertentu. Ada ambang batas terjadinya polusi udara, artinya sampai kadar
atau tingkat tertentu masih bisa ditolelir oleh mahluk hidup. Dengan kata lain
polusi udara yang terjadi tidak sampai menimbulkan gangguan pernafasan atau
ruang terbuka hijau (RTH). Luas RTH saat ini baru mencapai 9,8 persen dari luas
daratan Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 661,52 kilometer persegi. Namun
Pengelolaan Hutan Kota, idealnya sebuah kota harus memiliki 30 persen RTH.
Jadi kalau Jakarta mau berudara sehat dan bersih, harus memiliki RTH sekitar
198,46 kilometer persegi. Sama dengan kasus di Jakarta, kota-kota besar lainnya
pun mengalamai keterbatasan RTH. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun
kualitas udara bersih jika partikel debu maksimal 60 mikrogram per meter kubik.
Saat ini kondisi udara di Jakarta jauh sudah mencapai 150 mikrogram per meter
kubik, berate sudah jauh melampaui ambang batas. Apalagi kalau mengacu pada
standar WHO, yang memberi batas kandungan partikel debu 20 mikrogram per
meter kubik. Selain debu material polutan lainnya seperti sulfur dioksida,
nitrogen dioksida, dan hydro karbon, yang dibeberapa lokasi kadarnya sudah
Dari berbagai masalah pencemaran udara dapat melahirkan gagasan bisnis. Yang
masker penyaring debu secara masal dapat terjadi jika pencemaran asbut (asap-
kabut) atau smog (smoke-fog) melanda kota-kota di negara kita. Hal itu pernah
kalangan bisnispun bisa ikut serta dalam pengadaan kendaraan bermotor yang
diterapkan. Semua kendaraan baru yang diproduksi sejak Januari 1990 harus
dilengkapi dengan alat katalisator, yaitu untuk menekan emisi atau buangan gas
ke udara. Pemda DKI Jakarta telah menerapakan aturan sejak tahun 1990, antara
Polusi udara yang disebabkan asap pabrik bisa memacu pengembangan teknologi
dan bisnis alat peredam polutan. Selain itu bisa mendorong pengambangan
industri bahan baku dan mesin yang ramah lingkungan. Begitu pula untuk
industri kompor gas yang lebih rendah tingkat polusinya. Begitu pula dalam
RTH maka akan memacu bisnis tanaman dan pertamanan pada umumnya.
Usaha pembibitan tanaman peneduh, tanaman hias dan tanaman produktif makin
terbuka dan membuka peluang usaha bagi sebagian masyarakat. Mungkin inilah
mampu memberikan manfaat bisnis yang besar. Dalam upaya menekan polusi
setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun,
hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang
satu dari pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA
polusinya 100 ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola
Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik
tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik
dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak dilanggar. Jadi,
kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu
Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara
sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang
berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-
pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu,
karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan
menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal
menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika
biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar
hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan
lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apa pun alokasi
awal tersebut.
kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap
harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian,
perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada
pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin
dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang
akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah
Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi.
Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan
kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan
bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan
biayanya relatif rendah). Selanjutnya pada panel (a) diperlihatkan EPA, dalam
akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada panel (b) EPA secara
polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat
polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan
mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi
Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dari itu pada
penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi
limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA
memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target
tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin
polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan