Anda di halaman 1dari 20

A.

Protocol Kyoto

Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB

tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai

pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen

untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca

lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah

atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan

global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-

rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.

Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations

Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi

Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Persetujuan tersebut dinegosiasikan

di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret

1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16

Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November

2004.

Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara

perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif

sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan

adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk

mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan,

nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-

rata selama masa lima tahun antara 2008-20012. Target nasional berkisar dari

pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk

Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk

Islandia."(Anonim, 2010).

Menurut Murdiyarso (2003), Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi

Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada

Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC

dapat menandatangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar

tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak

Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan

Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam

Annex I dalam UNFCCC.

Terdapat tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa Joint

Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM), dan Emission

Trading (ET). Joint Implementation (implementasi bersama) adalah kerja sama

antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development

Mechanisme (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah win-win solution antara

negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara

berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan
sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. Emission Trading

(Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar negara maju.

Desember 2004, Indonesia pada akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU

No. 17 tahun 2004. Indonesia akan menerima banyak keuntungan dari Protokol

Kyoto. Melalui dana yang disalurkan Indonesia akan bisa meningkatkan

kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Lewat CDM,

Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta ton dan

diperkirakan bernilai US$ 1,26 miliar. Kegiatan CDM lainnya yang tengah

dipersiapkan di Indonesia adalah mengganti pembangkit listrik batubara dengan

geoterma dan efisiensi energi untuk produksi di pabrik Indocement.

Tahun 2001, Amerika Serikat berkeputusan untuk menarik dukungannya terhadap

Protokol Kyoto. Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh

pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy Carter,

Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor Harrison

Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001. Alasan yang

dipakai pemerintahan Bush adalah pengurangan emisi akan mengguncang dan

mengganggu stabilitas perekonomian Amerika Serikat.

Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, Protokol Kyoto telah

diratifikasi oleh 141 negara yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Rusia juga

sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini sempat

membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara

internasional karena tidak memenuhi persyaratannya. Menurut syarat-syarat


persetujuan protokol, Protokol Kyoto mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah

tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak

dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55% dari seluruh emisi

karbon dioksida pada 1990 dari pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat

ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan". Dari kedua syarat

tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi.

Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan

menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005.

Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut,

termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara

anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah

menandatangani namun belum meratifikasi protokol tersebut: Amerika Serikat

(tidak berminat untuk meratifikasi) dan Kazakstan. Pada awalnya AS, Australia,

Italia, Tiongkok, India, dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk

melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau

persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember 2007

Australia akhirnya ikut serta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi

pergantian pimpinan di negara tersebut (Anonim, 2010).

Protokol Kyoto memberikan izin adanya pembentukan sistem berbasis pasar untuk

memperdagangkan sisa kuota karbon atau ‘Certified Emission Reduction’ (CERs).

Perdagangan karbon memungkinkan perusahaan yang menyebabkan polusi


mencapai targetnya dengan membeli emisi karbon dari perusahaan lain yang

belum menggunakan sisa kuotanya, atau kredit karbon yang dihasilkan oleh

proyek pengurangan emisi. Secara khusus, Protokol Kyoto menyetujui hal-hal

berikut: (Murdiyarso, 2003)

1. Menentukan target emisi yang mengikat secara hukum untuk negara

industri untuk mengurangi emisi CO2 kolektif hingga 5% di bawah level

tahun 1990 dalam jangka waktu Komitmen tahun 2008 hingga tahun 2012.

2. Menentukan periode komitmen lima tahun berikutnya dimana pengurangan

emisi CO2 lebih lanjut akan disepakati bersama antar negara-negara anggota

protokol Kyoto.

3. Mendefinisikan sistem perdagangan internasional dimana sisa kuota emisi

karbondioksida dan kredit dari komitmen dapat dibeli atau dijual.

4. Menyetujui sistem akreditasi dimana kredit karbon dapat dikeluarkan pada

negara non industri berdasarkan Clean Development Mechanism (CDM) atau

pada negara industri berdasarkan Joint Implementation Mechanism (JI).

5. Menentukan CO2 sebagai unit standar perdagangan, menentukan potensi

pemanasan global pada setiap gas rumah kaca non-CO2.

6. Promosi kerjasama antar pemerintah, meningkatkan efisiensi energi, reformasi

energi dan kebijakan transportasi, energi terbarukan dan mengelola endapan

karbon seperti hutan dan lahan pertanian


B. Mekanisme Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu

membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pemilik industri yang menghasilkan

CO2 ke atmosfer memiliki kewajiban oleh hukum untuk menyeimbangkan

emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon

(penyimpanan karbon). Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa

menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam

pepohonan di hutan mereka.. Perdagangan karbon yang memiliki makna yaitu

melindungi karbon dan menjualnya kepada negara-negara emisi.

Negara-negara emisi memberikan kompensasi dana untuk pembangunan bagi

negara-negara yang telah mempertahankan karbon mereka. Namun perlu juga

dicermati apakah nilai tukar yang ditawarkan oleh negara-negara emisi sudah

pantas terhadap negara yang telah mempertahankan karbon mereka. Dan

pertanyaan mendasar bahwa mampukan program perdagangan karbon ini

mengurangi perubahan iklim global, sehingga terjadi keseimbangan antara

negara penghasil emisi dengan negara penghasil emisi.

Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO2 ini

yang diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang

senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan asumsi 4 – 6 USD untuk setiap ton

karbon. Sebagai wacana bahwa aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan di


Wana Riset Semboja (kalimantan), kerjasama Gibon Indonesia dan BOS

(Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana terdapat areal hutan seluas

100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga USD 5 /ton.

Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun

adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka

ini cukup besar, apalagi dengan luasan hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa

dibayangkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan karbon ini

(Razak, A, 2008).

C. Kondisi Hutan Di Indonesia

Indonesia diberkahi dengan hutan-hutan tropis terluas dan beragam hayati di

dunia. Puluhan juta rakyat Indonesia secara langsung bergantung pada hutan-

hutan ini untuk kehidupan mereka, entah itu mengumpulkan hasil hutan untuk

kebutuhan sehari-hari atau bekerja di sektor pengolahan kayu. Hutan-hutan ini

adalah rumah bagi banyak flora dan fauna yang tak tertandingi di negara dengan

ukuran yang sebanding manapun. Bahkan saat ini, hampir setiap ekspedisi ilmiah

yang dilakukan di hutan tropis Indonesia kembali dengan penemuan spesies baru.

Temuan ini tidak menyediakan dasar untuk optimisme yang cukup kuat,

meskipun tanda-tanda yang jelas dari perubahan di Indonesia. Donor bilateral

dan multilateral utama sekarang bekerja secara aktif dengan pemerintah

Indonesia untuk mengembangkan strategi dan rencana aksi untuk melakukan


reformasi. Kementerian Kehutanan Indonesia berkomitmen untuk menerapkan

tindakan spesifik di tingkat nasional dan baru-baru ini mengesahkan rencana

berskala besar untuk memerangi penebangan liar. Namun walaupun reformasi

kebijakan saat ini berhasil, sangat jelas bahwa Indonesia berada dalam masa

transisi dari negara yang kaya akan hutan ke negara yang miskin akan hutan,

seperti yang telah terjadi di Filipina dan Thailand.

Jutaan hektar bekas hutan sekarang tertutup sisa-sisa hutan yang telah

terdegradasi, semak belukar, dan rumput alang-alang disana-sini. Dengan

hilangnya hutan, Indonesia kehilangan keanekaragaman hayati, pasokan kayu,

pendapatan, dan jasa ekosistem. Lahan hutan yang rusak dapat ditanami kembali

dan dikelola oleh manusia untuk menyediakan kayu, hasil kebun, buah-buahan,

dan produk-produk non-kayu lainnya. Jasa ekosistem seperti pengaturan air

tawar dan retensi tanah dapat dikembalikan. Bagian dari tragedi di hutan

Indonesia adalah bahwa saat ini program hutan tanaman industri dan sistem

konversi hutan ke perkebunan belum memberikan kontribusi untuk pengelolaan

hutan yang berkelanjutan dan justru mempercepat deforestasi. Secara resmi,

keputusan dalam sektor kehutanan tidak lagi berorientasi pada pembukaan dan

konversi lahan tetapi, dalam kenyataannya, pembukaan dan konversi masih terus

dipraktekkan. Sistem ini harus direstrukturisasi dengan mengharuskan

pembangunan perkebunan baru di wilayah lahan kritis yang sudah tersedia untuk

penanaman. Persyaratan ini harus ditegakkan. Indonesia berada di persimpangan

jalan di mana banyak sumber daya alam yang telah hancur atau rusak, tapi masih
banyak juga yang terjaga. Pengembangan lahan perkebunan untuk memasok

kayu dan ekspor tanaman berharga adalah bagian penting dari strategi ekonomi

negara.

Dalam tahun-tahun mendatang, jalan termudah adalah dengan terus mengizinkan

operasi penebangan dan perkebunan serta membiarkan semakin banyak tanah

disia-siakan seiring pengembangannya kemudian terus merambah ke hutan-hutan

alam yang tersisa, dan memberikan keuntungan bagi pengembang dengan profit

besar secara cuma-cuma. Jalan yang lebih sulit namun berkelanjutan adalah

merebut kembali lahan yang saat ini menganggur dan melestarikan hutan primer

yang masih tersisa. Enam puluh empat juta hektar hutan telah ditebang selama 50

tahun terakhir. Tidak ada pembenaran ekonomi maupun etika untuk membiarkan

64 juta hektar lagi hilang selama 50 tahun ke depan (Barber dkk, 2014).

Jadi intinya keadaan hutan di Indonesia saat ini sangat lah memperhatikan dan

dalam keadaan yang kritis luasnya, karena terus mengalami penyusutan setiap

tahunnya. Setiap tahun terjadi penyusutan hutan karena untuk perkebunan kelapa

sawit, pertambangan, dan pemukiman penduduk. Apalagi di tambah dengan ada

nya penebangan liar atau illegal logging karena aktivitas nya yang tidak sah. Di

perkirakan hutan di Indonesia menyusut 1,5 juta hektar pertahunnya. Menurut

data departemen kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak tidak dapat

berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar

kawasan hutan di Indonesia. Bila keadaan seperti ini terus terjadi, maka Sumatera
dan Kalimantan akan kehilangan kawasan hutan,tentu nya kita semua tidak ingin

itu terjadi. Penyebab lain kerusakan hutan bukan hanya karna perkebunan sawit,

pertambangan, pemukiman, atau illegal logging, kerusakan hutan juga di sebab

kan oleh lemah nya pemantapan hutan yang di tandai dengan buruk nya

pengelolaan sumber daya hutan. Pemerintah juga belum tegas menentukan areal

hutan mana yang harus di alih fungsikan. Harus nya hutan yang di lindungi atau

di alih fungsikan janganlah di utak-atik atau tersentuh oleh tangan manusia, tapi

kenyataan nya hutan ang di lindungi malah di jadikan perkebunan kelapa sawit

dan pemukiman penduduk. Saat ini pemerintah hanya mementingkan

petumbuhan ekonomi saja,bukan untuk kelestarian alam. Pada hal ini lah kita

sebagai generasi muda harus sadar dan peduli terhadap hutan yang sudah hampir

“botak” ini agar tidak mementingkan diri sediri tapi juga mementingkan

kelestarian hutan yang kita punya.

D. Kontribusi Hutan Terhadap PDRB Indonesia dan Provinsi


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Protokol Kyoto. http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/1673.php. 13

Juni 2019.

Anonim. 2010. Global Warming. http://priyadi.net/archives/2005/02/14/protokol-

kyoto/. 13 Juni 2019.

Murdiyarso, Daniel., Protokol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara Berkembang.


Penerbit buku Kompas, Jakarta, 2003.

Razak, A. Kelayakan Kompensasi Yang Ditawarkan Dalam Perdagangan Karbon.

Makalah Manajemen Hutan Lanjutan (KTMK 612). Program Pasca Sarjana /

S2 - Program Studi Manajemen Konservasi Sumber Daya Aalam dan

Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Barber CV dkk. 2014. Kondisi Hutan Indonesia. Pusat Teritorial Angkatan Darat.

Bogor. https://www.pusterad.mil.id/kondisi-hutan-indonesia/. (Diakses Pada

Tanggal 13 Juni 2019 Pukul 17.00 WIB).

Guritno M. 1991. Ekonomi Publik, Edis Ketiga. BPFE. Yogyakarta.

Yakin, Addinul. 1997. Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan. Akademika Presindo.


Jakarta.

Simarmata, Dj.A. 1994. Ekonomi Publik & External LPFE. Universitas Indonesia.
Depok.
A. Peluang Usaha dari Adanya Polusi

Polusi udara merupakan peristiwa di mana udara yang bersih dicemari berbagai

polutan seperti gas dan debu. Untuk kehidupan yang sehat manusia dan mahluk

hidup lainnya seperti hewan darat dan tumbuhan memerlukan udara dengan

kualitas tertentu. Ada ambang batas terjadinya polusi udara, artinya sampai kadar

atau tingkat tertentu masih bisa ditolelir oleh mahluk hidup. Dengan kata lain

polusi udara yang terjadi tidak sampai menimbulkan gangguan pernafasan atau

gangguan kesehatan pada umumnya. Bisnis sarana transportasi dapat

menimbulkan pencemaran udara terutama kendaraan-kendaraan bermotor dengan

sistem pembakaran yang kurang sempurna.

Di daerah perkotaan selain dari kendaraan bermotor, pencemaran udara juga

disebabkan banyaknya industri, buangan rumah penduduk dan makin langkanya

ruang terbuka hijau (RTH). Luas RTH saat ini baru mencapai 9,8 persen dari luas

daratan Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 661,52 kilometer persegi. Namun

kalau mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2002 tentang

Pengelolaan Hutan Kota, idealnya sebuah kota harus memiliki 30 persen RTH.

Jadi kalau Jakarta mau berudara sehat dan bersih, harus memiliki RTH sekitar

198,46 kilometer persegi. Sama dengan kasus di Jakarta, kota-kota besar lainnya
pun mengalamai keterbatasan RTH. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun

1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menyebutkan, bahwa indikator

kualitas udara bersih jika partikel debu maksimal 60 mikrogram per meter kubik.

Saat ini kondisi udara di Jakarta jauh sudah mencapai 150 mikrogram per meter

kubik, berate sudah jauh melampaui ambang batas. Apalagi kalau mengacu pada

standar WHO, yang memberi batas kandungan partikel debu 20 mikrogram per

meter kubik. Selain debu material polutan lainnya seperti sulfur dioksida,

nitrogen dioksida, dan hydro karbon, yang dibeberapa lokasi kadarnya sudah

melampaui ambang batas.

Dari berbagai masalah pencemaran udara dapat melahirkan gagasan bisnis. Yang

paling sederhana dengan mendirikan industry pembuatan masker penyaring debu.

Industrinya akan berkembang jika penggunaan masker telah dilegalisasi

sebagaimana penggunaan helm untuk pengendara motor. Anjuran oenggunaan

masker penyaring debu secara masal dapat terjadi jika pencemaran asbut (asap-

kabut) atau smog (smoke-fog) melanda kota-kota di negara kita. Hal itu pernah

terjadi di Tokyo dan beberapa kota di Inggris. Dengan adanya peraturan

mengenai pembatasan jenis kendaraan yang menyebabkan polusi udara, maka

kalangan bisnispun bisa ikut serta dalam pengadaan kendaraan bermotor yang

dianggap lebih ramah udara.

Mulai awal tahun 1990-an ketentuan mengenai pengurangan emisi mulai

diterapkan. Semua kendaraan baru yang diproduksi sejak Januari 1990 harus
dilengkapi dengan alat katalisator, yaitu untuk menekan emisi atau buangan gas

ke udara. Pemda DKI Jakarta telah menerapakan aturan sejak tahun 1990, antara

lain menyangkut penanganan polusi ambient (disumbernya) maupun emisinya

(pencemaran diatmosfer), mengatur penggunaan bahan bakar gas (BBG) dan

pelaksanaan clean air programme. Bukankah dari berbagai usaha penanganan

pencemaran udara tersebut akan mengundang kalangan bisnis untuk secara

langsung memberikan andil, umpamanya dengan mendirikan industri pembuatan

alat katalisator dan pemasaran BBG.

Polusi udara yang disebabkan asap pabrik bisa memacu pengembangan teknologi

dan bisnis alat peredam polutan. Selain itu bisa mendorong pengambangan

industri bahan baku dan mesin yang ramah lingkungan. Begitu pula untuk

menekan emisi dari rumah tangga, maka akan mendorong pengembangan

industri kompor gas yang lebih rendah tingkat polusinya. Begitu pula dalam

pengelolaan sampah yang biasanya dilakukan dengan cara pembakaran, bisa

digantikan dengan mengembangan mesin-mesin pemilah dan pengelolaan

sampah, sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Sedangkan untuk memperluas

RTH maka akan memacu bisnis tanaman dan pertamanan pada umumnya.

Usaha pembibitan tanaman peneduh, tanaman hias dan tanaman produktif makin

terbuka dan membuka peluang usaha bagi sebagian masyarakat. Mungkin inilah

yang dimaksudkan sebagai bahasa bisnis yang menekankan faktor keuntungan

(profit gain) dan peluang bisnisnya (business opportunity), hingga terbukanya


mata pengusaha bahwa upaya pemeliharaan keutuhan lingkungan ternyata

mampu memberikan manfaat bisnis yang besar. Dalam upaya menekan polusi

udara ternyata prinsip dan praktek bisnis bisa diterapkan.

B. Penerapan Izin Polusi Berbasis Pasar di ndonesia

EPA (Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi

wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi

berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.

Apabila EPA mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan

pendekatan formal maka EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan

setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun,

hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang

satu dari pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA

untuk mengajukan suatu usulan. Pabrik baja perlu menaikkan ambang

polusinya 100 ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola

pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik

pabrik baja memberikan kompensasi $5 juta, dan permintaan ini sudah

disanggupi oleh pemilik pabrik baja.

Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik

tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik

itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela


menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan

dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak dilanggar. Jadi,

kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu

melakukan jual-beli hak berpolusi.

Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara

sukarela, dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA

memangmengizinkan hal itu, maka sesungguhnya EPA telah menciptakan

sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang

memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan

berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-

kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan

pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu,

karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan

investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya,

perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk

menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal

itu akan meberinya pendapatan cuma-cuma.

Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah

alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan

menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika

yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema


Coase. Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan

menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan

biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar

hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan

lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apa pun alokasi

awal tersebut.

Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda

kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari

kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap

harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian,

perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada

pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin

polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. (Bahkan

perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar

dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang

akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah

pasar terbuka). Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin

polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa

perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.

Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi.

Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan
kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan

bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan

polusi (artinya perusahaan-perusahaan akan lebih leluasa berpolusi, karena

biayanya relatif rendah). Selanjutnya pada panel (a) diperlihatkan EPA, dalam

rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara

memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak

berpolusi bersifat elastis sempurna (karena perusahaan-perusahaan dapat

berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan). Disini, kurva permintaan

akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada panel (b) EPA secara

langsung membatasi kuantitas polusi dengan cara menerbitkan sejumlah izin

polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat

inelastis sempurna (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas

polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan

akan menentukan harga polusi.


Dalam kedua kasus ini, terlepas dari posisi kurva permintaannya, EPA dapat

mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi

melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung membatasi kuantitas

polusi melalui penerbitan izin polusi terbatas.

Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dari itu pada

penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi

limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA

tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat

memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target

tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin

polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan

seperti halnya pajak Pigovian.

C. Aturan-aturan Pemerintah yang Mengatur Tentang Penanganan Polusi

Anda mungkin juga menyukai