Pembimbing :
dr. Hernawan, Sp.S
Disusun Oleh :
Talitha Nandhika
G4A017053
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Talitha Nandhika
G4A017053
Presentasi kasus bangsal ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan presentasi kasus
bangsal yang berjudul “Stroke Non Hemoragik”. Penulisan presentasi kasus
bangsal ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik di bagian Ilmu Saraf RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Penulis berharap presentasi kasus bangsal ini dapat bermanfaat untuk kepentingan
pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan
sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Terima kasih penulis
ucapkan kepada dr. Hernawan, Sp.S selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan saran dan motivasi dalam penyusunan presentasi kasus bangsal ini.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
presentasi kasus bangsal ini. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat
membangun sangat diharapkan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Vaskularisasi Otak ......................................................... 3
B. Stroke Non Hemoragik
1. Definisi .................................................................................. 4
2. Epidemiologi ......................................................................... 4
3. Faktor Resiko ......................................................................... 5
4. Klasifikasi ............................................................................. 5
5. Patofisiologi ........................................................................... 9
6. Manifestasi Klinis ................................................................. 12
7. Diagnosis ............................................................................... 14
8. Tatalaksana ............................................................................ 20
III. KESIMPULAN ................................................................................... 24
iv
I. PENDAHULUAN
1
neuroprotektor. Salah satu obat neuroprotektor yang sering digunakan pada kasus
stroke adalah sitikoline (Kanyal, 2015 ; Overgaard, 2011) . Sitikoline merupakan
obat neuroprotektor yang telah banyak diteliti dan digunakan untuk pengobatan
berbagai gangguan neurologis termasuk SNH. Berdasarkan informasi di atas,
penulis menyusun referat tentang penyakit Stroke Non Hemoragik (SNH).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
a. Sistem Karotis
Pembuluh darah utama ialah arteri carotis kommunis yang
mempercabangkan selain arteri karotis eksterna juga arteri karotis interna
3
yang akan banyak mendarahi bangunan intrakranial terutama dalam hal ini
ialah hemisfer serebri. Cabang-cabang besar arteria karotis interna adalah: a.
oftalmika, a. komunikans posterior, a. khoroidal anterior, a. serebri anterior,
a. komunikans anterior, dan a. serebri media (Aliah, et al, 2003).
b. Sistem Vertebrobasiler
Dengan sepasang arteri vertebralis yang kemudian bersatu menjadi
arteri basilaris, akan mendarahi batang otak dan serebellum dengan tiga
kelompok arteri yakni: median, paramedian, dan arteri sirkumferensial.
Arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang a. serebri posterior (Aliah,
et al, 2003).
2. Epidemiologi
Di Jakarta diperkirakan prevalensinya 0,5% sedangkan di daerah
pedesaan insedenya sekitar 50 per 100.000 penduduk. Stroke merupakan
penyakit yang yang sering menimbulkan morbidias dan mortalitas, dimana
stroke merupakan penyebab kecacatan no 1 dan penyebab kematian no 3
setelah penyakit jantung koroner dan kanker.
4
Insedensi di Amerika Serikat mencapai sekitar 500 ribu tiap tahunnya
dan menyumbangkan peranan 1 dari tiap 15 kematian. Pada tahun 2005,
biaya yang dikeluarkan untuk mengbati stroke mencapai 56,8 miliar dollar.
Tingkat kejadian stroke infark jauh lebih tinggi dibanding stroke
lainnya (85%). Stroke infak sendiri dibagi menjadi infark aterotrombotik
(80%) dan ifark emboli (20%).
3. Faktor Resiko
Resiko stroke meningkat seiring dengan berat dan banyaknya faktor resiko,
terdiri dari (Goldstein, et al, 2006) :
Tidak dapat Dapat dimodifikasi
dimodifikasi Mayor Minor
Usia (>65 tahun) Hipertensi Hiperkolestrol
Jenis kelamin (Lk>Pr) Penyakit jantung Hematokrit tinggi
Herediter Diabeter melitus Obesitas
Ras Riwayat stroke Kadar fibrinogen tinggi
Perokok Kadar asam urat tinggi
Polisitemia
4. Klasifikasi
Stroke iskemik dibagi menjadi beberapa tipe menurut
penyebabnya, yaitu (Andi, 2012) :
A. Trombosis
Trombosis adalah bekuan darah. Stroke trombosis adalah
stroke yang terjadi karena adanya sumbatan di pembuluh darah besar di
otak oleh karena adanya gumpalan/plak yang terbentuk akibat proses
aterosklerotik (pengerasan arteri). Stroke karena trombosis ini
merupakan stroke yang paling sering terjadi (hampir 40% dari seluruh
stroke). Plak aterosklerotik tersebut akan menyumbat suatu pembuluh
darah tertentu di otak yang pada akhirnya daerah otak yang seharusnya
mendapat pasokan oksigen dan nutrisi tersebut menjadi kekurangan
nutrisi dan oksien (iskemia) dan akhirnya menjadi mati (infark). Plak
aterosklerotik biasanya menyumbat pembuluh darah besar di sekitar
leher ataupun di dasar otak.
5
Proses aterosklerosis itu sendiri dipercepat oleh berbagai
faktor, seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterol, dan faktor-
faktor lainnya. Aterosklerosis terjadi oleh karena penimbunan lipid
termasuk kolesterol di bawah lapisan intima pembuluh darah. Plak
aterosklerotik sering dijumpai di kelokan-kelokan atau percabangan
arteri besar, seperti misalnya arteri karotis leher. Setelah umur 65 tahun,
tampaknya ada kecenderungan bahwa arteri-arteri serebral yang kecil
juga terkena proses aterosklerosis. Penyempitan yang disebabkan oleh
plak aterosklerotik bisa mencapai 80-90% dari diameter pembuluh
darah, tanpa menimbulkan gangguan pada daerah yang diperdarahi
arteri yang bersangkutan. Namun, arteri-arteri yang sudah mempunyai
plak aterosklerotik itu cenderung mendapat komplikasi berupa
trombosis.
B. Lakunar
Stroke lakunar adalah stroke yang terjadi pada pembuluh-
pembuluh darah kecil yang ada di otak. Terjadi pada sekitar 20% kasus
dari seluruh stroke. Stroke lakunar ini disebabkan oleh adanya sebuah
lesi/luka yang kecil, berbatas jelas berukuran kurang lebih 1,5 cm yang
biasanya terletak di daerah subkortikal, kapsula interna, batang otak,
dan serebelum. Stroke lakunar ini berkaitan kuat dengan hipertensi dan
juga dihubungkan dengan perubahan mikrovaskular yang timbul
karena hipertensi kronis dan diabetes mellitus. Penyumbatan pada
pembuluh darah kecil ini biasanya tidak memberikan dampak stroke
yang parah.
C. Emboli Serebral
Stroke emboli adalah stroke yang terjadi oleh karena adanya
gumpalan darah/bekuan darah yang berasal dari jantung dan kemudin
terbawa aliran darah sampai ke otak, kemudian menyumbat pembuluh
darah di otak. Bekuan darah dari jantung ini biasanya terbentuk akibat
denyut jantung yang tidak teratur (misalnya fibrilasi atrium), kelainan
katup jantung, infeksi di dalam jantung, dan juga operasi jantung.
6
Selanjutnya berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke non
hemoragis masih dapat dikelompokkan menjadi :
A. TIA (Transient Ischemic Attack)
TIA atau yang disebut serangan iskemik sesaat adalah serangan
pada pembuluh darah otak karena terjadi gangguan akut dari fungsi
fokal serebral dengan tanda dan gejala yang hampir sama dengan
stroke, tetapi semua gejala kelumpuhan dan defisit neurologis tersebut
akan hilang kurang dari 24 jam biasanya disebabkan karena emboli atau
trombosis. Sebanyak 50% dari TIA telah sembuh dalam waktu 1 jam
dan 90% telah sembuh dalam waktu 4 jam. Dengan demikian pada
umumnya setelah 4 jam sudah dapat dibedakan antara TIA dengan
stroke (komplit). Oleh karena otak mendapat darah dari dua sistem,
yaitu sistem karotis dan sistem vertebrobasilaris, maka TIA dibedakan
menjadi :
1) TIA yang disebabkan oleh gangguan dari sistem karotis
Gejala – gejala :
7
Gangguan penglihatan pada satu mata tanpa disertai rasa nyeri
(amaurosis fugax), terutama bila disertai atau bergantian
dengan :
Kelumpuhan lengan atau tungkai atau kedua-duanya, pada
sisi yang sama
Defisit sensorik atau motorik dari wajah saja, wajah dan
lengan atau tungkai saja secara unilateral
Kesulitan untuk mengerti bahasa dan atau berbicara (afasi)
Pemakaian dari kata-kata yang salah atau diubah.
8
B. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Seperti halnya pada TIA, gejala neurologis yang ada pada RIND juga
akan menghilang, hanya saja waktunya lebih dari 24 jam, namun
kurang dari 21 hari.
C. Progressing stroke atau Stroke in evolution
Pada bentuk ini kelainan yang ada masih terus berkembang ke arah
yang lebih berat.
D. Completed stroke
Completed stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada
sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi.
5. Patofisiologi
Lesi parenkim di otak disebabkan oleh gangguan suplai darah otak
yang persisten, biasanya baik oleh blokade pembuluh darah yang
9
memberikan suplai (arterial) atau yang lebih jarang, oleh hambatan aliran
vena yang menyebabkan stasis di otak. Sistem saraf pusat memiliki
kebutuhan energi yang sangat tinggi yang hanya dapat dipenuhi oleh suplai
substrat metabolik yang terus menerus dan tidak terputus yang semata-mata
berasal dari metabolism aerob glukosa dalam keadaan normal. Otak tidak
memiliki persediaan energi untuk digunakan saat terjadi potensi gangguan
penghantaran substrat. Fungsi neuron akan menurun dalam beberapa detik
apabila tidak mendapatkan oksigen dan glukosa dalam jumlah yang cukup
(Baehr dan Frotscher, 2014).
Otak membutuhkan sejumlah energi yang berbeda agar jaringan otak
tetap hidup (intak secara struktural) dan untuk membuatnya tetap berfungsi.
Kebutuhan minimal untuk memelihara strukturnya adalah 5-8 ml per 100g
per menit (pada jam pertama iskemia), sedangkan kebutuhan aliran darah
minimal untuk berlanjutnya fungsi adalah 20 ml per 100g per menit. Karena
itu, dapat terlihat adanya defisit fungsional tanpa terjadinya kematian
jaringan (infark). Apabila aliran darah yang terancam kembali pulih dengan
cepat, seperti oleh trombolisis spontan atau secara terapeutik, jaringan otak
tidak rusak dan berfungsi kembali seperti sebelumnya. Hal ini merupakan
rangkaian kejadian pada Transient ischemic attack (TIA), yang secara klinis
didefinisikan sebagai defisit neurologi yang sementara dengan durasi tidak
lebih dari 24 jam. Defisit neurologis akibat iskemia kadang–kadang dapat
berkurang meskipun berlangsung selama lebih dari 24 jam. Keadan seperti
ini disebut sebagai Prolonged reversible ischemic neurologic deficit atau
PRIND (Baehr dan Frotscher, 2014).
Hambatan N𝑎 + / K + -ATPase, defisiensi energi menyebabkan
penimbunan Na+ dan Ca2+ di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K +
ekstrasel sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan
penimbunan Cl− di dalam sel, pembengkakan sel, dan kematian sel
(Silbernagl dan Lang, 2014). Kematian sel akan terjadi apabila hipoperfusi
menetap lebih lama daripada yang dapat ditoleransi oleh jaringan otak.
Stroke iskemik tidak reversible. Kematian sel dengan kolaps sawar darah-
otak mengakibatkan influx cairan kedalam jaringan otak yang infark
10
(disertai edema serebri). Dengan demikian infark dapat mulai membengkak
dalam beberapa jam setelah kejadian iskemik, membengkak maksimal
dalam beberapa hari kemudian, dan kemudian perlahan-lahan kembali
mengecil (Baehr dan Frotscher, 2014).
Gambar 3.1 Efek dari perfusi otak yang abnormal (Silbernagl dan Lang,
2014)
Perjalanan dan luasnya edema perenkim otak pada suatu saat tidak
hanya bergantung pada patensi pembuluh darah yang normalnya
menyuplai region otak yang beresiko, tetapi juga ketersediaan sirkulasi
kolateral melalui jalur lain. Secara umum, arteri – arteri otak adalah end
artery fungsional: jalur kolateral normalnya tidak dapat menyediakan
darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan jaringan otak di
distal arteri yang tiba – tiba teroklusi. Kolateral sering dapat “dibuat” oleh
hipoksia jaringan ringan yang kronik hingga dapat dapat mencukupi
kebutuhan energi yang dibutuhkan jaringan bahkan jika suplai arteri utama
terhambat untuk periode yang relatif lama. Akibatnya, infark dapat terlihat
lebih kecil, dan lebih sedikit neuron yang hilang, daripada yang terlhat jika
arteri yang sama tiba-tiba teroklusi dari keadaan patensi normal. Pada
umumnya, sirkulasi kolateral lebih baik di bagian perifer infark daripada
di bagian tengahnya. Jaringan yang iskemik di perifer yang berisiko
mengalami kematian sel (infark), tetapi karena adanya sirkulasi kolateral,
11
belum mengalami kerusakan yang ireversibel disebut sebagai penumbra
(half-shadow) infark. Tujuan semua bentuk terapi stroke akut, termasuk
terapi trombolitik adalah menyelamatkan area ini (Baehr dan Frotscher,
2014).
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen
akibat perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan:
1. Lapisan inti (ischemic-core)
Daerah di tengah yang sangat iskemik karena CBF paling
rendah sehingga terlihat sangat pucat. Tampak degenerasi neuron,
pelebaran pembuluh darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam
laktat tinggi dengan PO2 rendah. Daerah ini akan nekrosis
2. Lapisan penumbra (ischemic penumbra)
Daerah di sekitar ischemic core yang CBF-nya juga rendah,
tetapi masih lebih tinggi daripada CBF di ischemic core. Walaupun sel
neuron tidak mati, tetapi fungsi sel terhenti dan terjadi functional
paralysis. Kadar asam laktat tinggi, PO2 rendah dan PCO2 tinggi.
Daerah ini masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan
manajemen yang tepat, sehingga aliran darah kembali ke daerah
iskemia tidak terlambat, sehingga neuron penumbra tidak mengalami
nekrosis. Komponen waktu yang tepat untuk reperfusi, disebut
therapeutic window yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron
penumbra sehingga neuron dapat diselamatkan.
3. Lapisan perfusi berlebihan (luxury perfusion)
Daerah di sekeliling penumbra yang tampak berwarna
kemerahan dan edema. Pembuluh darah berdilatasi maksimal, PCO2
dan PO2 tinggi dan kolateral maksimal. Sehingga CBF sangat
meninggi.
6. Manifestasi Klinis
Stroke iskemik akut pada umumnya mengalami gangguan neurologi
fokal secara mendadak, terjadi setelah bangun tidur dengan stroke komplit.
12
Sebagian diantaranya menunjukkan gejala yang semakin memberat
(progressing stroke atau stroke in evolution) satu sampai dengan dua hari
setelah serangan stroke, dengan kesadaran tetap baik. Penurunan kesadaran
dapat dijumpai pada beberapa pasien dengan infark hemisfer yang sangat
luas, oklusi arteria basilaris, dan infark serebelar dengan edema yang
mengakibatkan kompresi batang otak. Gejala klinis stroke tergantung dari
arteri apa yang mengalami oklusi/sumbatan, sistem anterior atau sistem
posterior. Dua pertiga dari stroke lakunar adalah asimtomatik. Hemiparesis
berat terjadi 60% kasus, menengah 20% kasus, dan minimal 20% kasus.
Afasia broka lebih sering terjadi dibandingkan afasia wernik, tetapi bila
arteri serebri media terserang stroke akan menyebabkan afasia global
(Bahrudin, 2013).
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi
menyebabkan kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit
sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral presentralis dan
postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi ocular akibat kerusakan area
motorik penglihatan, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik
(area bicara broca dan wernicke dari hemisfer dominan), gangguan persepsi
sparsial, apraksia dan hemineglect (lobus parietalis) (Silbernagl dan Lang,
2014).
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan
defisit sensorik kontralateral (akibat kehilangan girus presentralis dan post
sentralis bagian medial), kesulitan berbicara (kerusakan area motorik
tambahan) serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan
hubungan dari hemisfer dominan korteks motorik kanan terganggu.
Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis
karena kerusakan dari sistem limbic (Silbernagl dan Lang, 2014).
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia
kontralateral parsial (korteks visual primer) dan kebutaan pada
penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori (lobus
temporalis bagian bawah) (Silbernagl dan Lang, 2014)..
13
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit
di daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior sehingga
ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus
optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada arteri komunikans
posterior di thalamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik
(Silbernagl dan Lang, 2014).
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua
ekstremitas (tetraplegia) dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada
cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum,
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Efek yang ditimbulkan
tergantung dari lokasi kerusakan (Silbernagl dan Lang, 2014):
- Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf
vestibular)
- Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan
tetraplegia (traktus piramidal)
- Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anesthesia) di bagian
wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus dan
traktus spinotalamikus)
- Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarius), singultus (formasio retikularis)
- Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom horner, pada
kehilangan persarafan simpatis).
- Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus), paralisis otot lidah
(saraf hipoglosus) mulut yang jatuh (saraf fasial), strabismus (saraf
okulomotorik, saraf abdusens)
- Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun
kesadaran tetap dipertahankan.
7. Diagnosis
Dalam mendiagnosis stroke harus terlebih dahulu dipastikan apakah
benar-benar stroke ataukah penyakit lain, setelah itu kita pastikan stroke
tersebut adalah stroke iskemik atau pendarahan. Dalam penegakkan
14
diagnosis stroke iskemik atau pendarahan perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan jika perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
(Bahrudin, 2013).
1. Anamnesis
Anamnesis untuk mengetahui bahwa serangan yang dialami adalah
stroke meliputi :
a) Menanyakan tentang permulaan serangan, akut atau mendadak,
subakut, ataukah kronis
b) Menanyakan tentang ada tidaknya defisit neurologis fokal seperti
lumpuh separuh badan, kesemutan separuh badan, gangguan
berbicara, gangguan penglihatan, dan lain-lain.
c) Menanyakan tentang banyaknya serangan yang dialami. Seperti
sebelumnya mengalami serangan dan sembuh dalam waktu kurang
dari 24 jam, kemudian muncul serangan kembali dan setiap serangan
semakin berat.
d) Menanyakan tentang faktor resiko penyakit vaskular seperti DM,
hipertensi, dyslipidemia, dll serta riwayat trauma pada pasien
Untuk memastikan termasuk stroke iskemik atau pendarahan dapat
dianamnesis sebagai berikut:
a) Menanyakan tentang riwayat stroke pendarahan yang dialami pasien.
b) Menanyakan tentang permulaan serangan ketika baru bangun tidur
(stroke iskemik) atau serangan pertama terjadi saat melakukan
aktivitas (stroke pendarahan).
c) Menanyakan tentang perjalanan gejala, semakin bertambah buruk
atau semakin berkurang.
d) Menyakan ada tidaknya mual dan muntah
e) Menayakan disertai tidaknya kejang
f) Menanyakan tentang ada tidaknya penurunan kesadaran pada pasien
15
Tabel 1.1. Tabel perbandingan stroke iskemik dan pendarahan
Gejala Stroke Pendarahan Stroke Iskemik
Permulaan Akut Subakut
Waktu serangan Aktivitas Bangun pagi
Peringatan - ++
sebelumnya
Nyeri kepala ++ -
Muntah ++ -
Kejang ++ -
Penurunan ++ +/-
kesadaran
Bradikardi +++ (dari hari + (Hari ke-4)
pertama muncul
serangan)
Pendarahan retina ++ -
Papiledema + -
Meningeal sign ++ -
Ptosis ++ -
Lokasi Subkortikal Kortikal/subkortikal
16
b) Alogaritma Gajah Mada
2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mengetahui penyebab
stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan serangan lain yang
menyerupai stroke, dan menentukan beratnya deficit neurologis yang
dialami, pemeriksaan neurologis terdiri dari (Swartz, M.H, 2002):
a) Status mental
- Tingkat kesadaran - Bicara
- Orientasi - Abstraksi
- Pertimbangan - Daya ingat
- Kosakata - Berhitung
- Respon emosional - Pengenalan benda
- Praksis (integrasi aktivitas motorik)
b) Nervus kranialis
c) Fungsi motorik
17
Massa otot dengan inspeksi
Kekuatan otot, dengan memerintahkan pasien untuk bergerak
secara aktif melawan tahanan, dibandingkan dengan sisi yang
lain. Skala yang digunakan adalah 0 : tidak terdapat kontraksi, 1 :
hanya terdapat sedikit kontraksi tetapi gerak sendi -, 2 : gerakan
sendi + tetapi tidak dapat melawan gravitasi, 3 : dapat melawan
gravitasi dan tahanan ringan, 4 : dapat melawan gravitasi dan
tahanan cukup, 5 : normal
Tonus otot, dengan membandingkan gerakan pasif otot tersebut
kanan dan kiri di semua sendi lower maupun upper.
d) Fungsi sensorik
Sensasi raba
Sensasi nyeri
Sensasi getar
Sensasi posisi
Lokalisasi taktil
e) Refleks
Terdapat dua jenis refleks yang di periksa yaitu refleks
fisiologis dan refleks patologis. Refleks fisiologis meliputi
biceps, triceps, patella, dan achiles yang dinilai berdasarkan skala
yaitu 0 : apabila tidak terdapat respon, +1 : jika berkurang, +2 :
normal, +3 : meningkat, +4 : hiperaktif. Untuk refleks patologis
terdapat Babinski, Chaddock, Oppenheim, Schaefer, dan juga
Hoffman serta Trommer di ekstremitas atas.
f) Fungsi serebelum
Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan
melewati sasaran secara terus menerus dan terkadang disertai
tremor
Tes tumit ke lutut, pasien diminta untuk menggeserkan tumit
ekstremitas bawah lainnya dengan dimulai dari lutut
Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat
18
Tes Romberg dengan cara meminta pasien berdiri di depan
pemeriksa dengan kaki dirapatkan sehingga kedua tumit dan
jari-jari kaki saling bersentuhan, tes positif jika pasien mulai
bergoyang-goyang dan harus memindahkan kakinya untuk
keseimbangan.
Gaya berjalan. Pada pasien dengan hemiplegi cenderung
menyeret kakinya
3. Pemeriksaan Penunjang
a) CT (Computed Tomography) Scan
Pada infark hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT Scan
biasanya tidak sensitive mengidentifikasi infark serebri karena
terlihat normal pada >50% pasien, tetapi cukup sensitif untuk
mengidentifikasi pendarahan intracranial akut atau lesi lain yang
merupakan kriteria eksklusi terapi trombolitik (Grotta, J.C, 2016).
Pada infark akut (6-24 jam), perubahan CT Scan non
kontras akibat iskemia makin jelas. Hilangnya batas substansia
alba dan substansia grisea, pendangkalan sulkus srebri dll tampak
lebih jelas (Grotta, J.C, 2016).
Pada infark subakut dan kronis (1-7 hari), edema meluas
didapatkan efek massa menyebabkan pergeseran jaringan infark.
Edema dan efek massa memuncak pada hari ke -1 sampai ke -2,
kemudian berkurang. Infark kronis ditandai dengan gambaran
hipodensitas dan berkurangnya efek massa (Grotta, J.C, 2016).
b) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut
dalam beberapa saat setelah serangan apabila dengan CT Scan
belum tampak. Akan tetapi apabila digunakan untuk stroke
pendarahan akan memerluka waktu yang lama (Feigin V, 2011).
c) Ultrasonografi dan MRA (Mganetic Resonance Angiography)
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi
(menggunakan gelombang suara), MRA digunakan untuk mencari
kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di arteri utama,
19
MRA khususnya bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma
intracranial dan malformasi pembuluh darah otak (Feigin V, 2011).
d) EKG (Elektrokardiografi)
Elektrokardiografi digunakan untuk mengetahui apakah
pasien memiliki penyerta penyakit jantung yang menyebabkan
stroke ((Bahrudin, 2013).
e) Gula darah
Pemeriksaan kadar gula darah diperlukan untuk mengetahui
adakah faktor resiko diabetes mellitus pada pasien yang dapat
memperburuk prognosis (Bahrudin, 2013).
f) Elektrolit dan faal ginjal
Pemeriksaan ini berkaitan dengan terapi yang akan diberikan
yaitu kemungkinan diberikannya obat osmoterapi seperti manitol
(Bahrudin, 2013).
g) Darah lengkap
Diperlukan untuk mengetahui keadaan hematologic yang
mempengaruhi stroke iskemik seperti anemia, polisitemia vera, dan
keganasan (Bahrudin, 2013).
h) Faal hemostasis
Berkaitan dengan pemberian terapi berupa obat antikoagulan
dan trombolitik sehingga diperlukan mengetahui jumlah trombosit,
waktu protrombin, dan tromboplastin (aPTT) (Bahrudin, 2013).
8. Tatalaksana
Terapi darurat untuk kedua tipe stroke berbeda, karena terapi untuk
pembentukan trombus dapat memicu perdarahan pada stroke hemoragik.
Pendekatan pada terapi darurat memiliki tiga tujuan: 1) Mencegah cedera
otak akut dengan memuliihkan perfusi kedaerah iskemik non infark; 2)
Membalikkan cedera saraf sedapat mungkin; dan 3) Mencegah cedera
neurologik lebih lanjut dengan melindungi sel dari daerah penumbra iskemik
dari kerusakan lebih lanjut (Alilah dkk, 2005).
20
a. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat
dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa atau salin dalam H2O. Dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan
otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah
trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah
(termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan
lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental
kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang (PERDOSSI, 2007 dalam Setyopranoto, 2011).
b. Stadium Akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik
maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan
psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak
stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang
dapat dilakukan keluarga (PERDOSSI, 2007 dalam Setyopranoto, 2011).
Penatalaksanaan khususnya di antaranya:
1) Pengendalian Tekanan Darah
1. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan
selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal
jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau
antagonis kalsium.
2. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik
≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan
500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
21
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
2) Terapi trombolitik
Pemberian terapi trombolitik bertujuan untuk melisiskan
trombus yang menyumbat aliran darah. Akan tetapi, tidak semua
penderita stroke infark dapat diberikan trombolitik, penderita tersebut
harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
Inklusi Ekslusi
Onset <3 jam Penggunaan obat antikoagulan
oral/waktu protombin >15s (INR >1,7)
Usia 18-75 tahun Penggunaan heparin dalam 48 jam
Diagnosis Trombosit <100.000/mm
didukung dengan
ct-scan
Persetujuan Stroke atau trauma kapitis 3 bulan
keluarga belakangan
Operasi besar dalam 14 hari
TDS >185 mmHg atau TDD >110
mmHg
GDS <50 mg/dl atau >400 mg/dl
3) Terapi antikoagulan
Terapi anti koagualan dapat diberikan untuk prevensi maupun
terapi stroke. Prevensi ditunjukan pada penderita pasca TIA atau pasca
stroke iskemik yang memiliki resiko tinggi untuk emboli otak berulang
yang terbukti bersumber dari jantung maupun pembuluh darah besar.
Obat yang dapat digunakan berupa heparin, LMWH, atau warfarin.
4) Terapi antiagregasi platelet
Obat anti agregasi platelet berfungsi untuk mencegah terjadinya
agregasi trombosit sehingga menghambat pembentukan trombus.
Pemberian antiplatelet ini terutama berguna untuk mencegah terjadinya
stroke ulang.
5) Neuroprotektan
Pemberian neuroprotektan dapat bermanfaat dalam memperbaiki defisit
neurologi yang terjadi (PERDOSSI, 2011).
22
c. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan,
terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat
perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus
intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien,
mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan
sekunder. Terapi fase subakut sebagai berikut:
1. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya
2. Penatalaksanaan komplikasi
3. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi
wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi
4. Prevensi sekunder
5. Edukasi keluarga dan Discharge Planning
(PERDOSSI, 2007 dalam Setyopranoto, 2011).
23
III. KESIMPULAN
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya
fungsi sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat ( dalam detik
atau menit). Gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian,
berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun
infeksi.
Pada stroke iskemik terjadi iskemia akibat sumbatan atau penurunan aliran
darah otak (Hassmann, 2013) Berdasarkan perjalanan klinis, dikelompokkan
menjadi :
1. TIA (Transient Ischemic Attack)
2. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
3. Stroke in Evolution
4. Completed Stroke Kelainan
Prinsip terapi pada pasien dengan SNH adalah pembukaan pada sumbatan
arteri. Terapi umum yang dapat diberikan adalah head up position, pemberian
oksigen, pemberian obat antihipertensi, dan menjaga asupan cairan serta nutrisi.
Sedangkan terapi khususnya adalah pemberian antiplatelet atau trombolitik rt-PA
(recombinant tissue Plasminogen Activator), dan bisa diberikan obat
neuroprotektor.
24
DAFTAR PUSTAKA
Aliah A., Kuswara FF., Limoa RA., Wuysang. Gangguan Peredaran Darah Otak.
Dalam: Kapita Selekta Neuorologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 2003: 79-102.
Dinata CA, Safrita Y, Sastri S, 2013,Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke
Pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten
Solok Selatan Periode 1 Januari 2010-31 Juni 2012. J Kes Andalas; Vol 2,
Hal : 57-61.
25