Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthetos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa", secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan
pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur
anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan
pemulihan. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan
secara total. Seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan
sadar. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis
yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan
pemakainya tetap sadar.
Secara umum anestesi dibagi menjadi dua, yang pertama anestesi umum,
yaitu hilangnya kesadaran secara total dan anestesi regional yaitu hilangnya rasa
pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal
atau saraf yang berhubungan dengannya.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI UMUM
A. Definisi

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara


sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi
umum dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya
rasa sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi
lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum yang
terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan
kesadaran (Soenardjo, 2010).

B. Komponen Anestesia
Komponen anestesia yang ideal (trias anestesi) terdiri dari :
1) Hipnotik. Hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran).
2) Analgesia. Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID
tertentu.
3) Muscle Relaxant, Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya
tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.

C. Stadium Anestesia
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu:
1) Stadium I (analgesi) dimuai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini.

2
2) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada
stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur,
kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat,
inkontinensia urin dan alvi dan muntah. Stadium ini harus cepat dilewati
karena dapat menyebabkan kematian.
3) Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi
ditengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksaai otot lurik hampir sempurna (tonus
otot semakin menurun).
Plana 4 : pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks
sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna
(tonus otot sangat menurun).
4) Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan
darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.

D. Persiapan Pre-anestesia :

3
1) Persiapan mental dan fisik pasien
a. Anamnesis
1. Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
2. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi,
diabetes mellitus, penyakit paru kronik, penyakit jantung dan
hipertensi, penyakit hati dan penyakit ginjal.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
4. Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan
selang waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat
itu.
5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya
anestesi misalnya merokok, alkohool, obat-obat penenang atau
narkotik.
b. Pemeriksaan fisik
1. Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
2. Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah,
frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
3. Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas,
tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus,
persendian temporo mandibula.
4. Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau
ortopnu, sianosis, hipertensi
5. Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat
menyebabkan regurgitasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
1. Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa
pembekuan, masa perdarahan, hitung jenis leukosit
2. Urine : protein, reduksi, sedimen
3. Foto thoraks
4. EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan
adanya iskemia miokard
5. Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
6. Fungsi hati pada pasien ikterus
7. Fungsi ginjal pada pasien hipertensi

4
8. Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif

2) Perencanaan anastesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

3) Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

4) Persiapan pada hari operasi


Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
a. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama
puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2
jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka
dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
b. Pengosongan kandung kemih
c. Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
d. Pemeriksaan fisik ulang

5
e. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
f. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau
secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi

E. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya :
1) Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
2) Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
3) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas atropine
dan hiosin
4) Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
5) Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
6) Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
7) Mengurangi isi lambung
8) Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya atracurium, sulfas
atropine

Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :


1) Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin
2) Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya diazepam
dan midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anesthesia
3) Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
4) Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
5) Antihistamin, misal prometazine
6) Antasida, misal gelusil
7) H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine. Ranitidine
diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi

F. Persiapan Induksi Anestesi


Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :
1) S : Scope (stetoskop, laringoskop),
a. Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

6
b. Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih
luas serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis,
pita suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
1. Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada
laringoskopi dewasa.
2. Blade lurus.
2) T : Tube (pipa endotraceal, LMA),
a. Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam
trakea.
b. Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face
mask atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-
pasien dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang
membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
LMA terdiri dari 2 macam : :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus

3) A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa


oropharing),
a. Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)

7
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari
dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih
bernapas spontan, alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan
lendir dan mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT)

Oral pharyngeal airway Nasopharyngeal airway

b. Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)


Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu
jalan napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin
memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang
mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).
c. Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara/gas
anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan nafas pasien.
4) T : Tape (plaster)
Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi supaya
tidak terlepas.
5) I : Inducer (stilet/ forceps Magill),
Stilet (mandren) digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mc gill)
digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.
6) C : Connection.
Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan
sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain,

8
7) S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot lendir,
ludah, dan lain-lainnya.

G. Induksi Anestesi
Induksi anestesi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium
anestesi setelah induksi.
Cara pemberian anestesi umum:
1) Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang
singkat atau induksi anestesi. Untuk tindakan yang lama anestesi
parenteral dikombinasikan dengan cara lain.
a. Anestesi intravena
1. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak dengan
jepekatan 1 % (1ml = 10 mg). suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri sehingga sebelumnya dapat diberikan lidokain
1-2 mg/kg IV. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis
rumatan 4-2 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0,2mg/kg.Propofol dapat menurunkan tekanan darah selama
induksi anestesi karena menurunnya resistensi arteri perifer dan
venodilatasi.
2. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesic dan anestetik. Ketamin
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersaliva, nyeri kepala,
dan mual muntah. Dosis bolus iuntuk induksi intravena ialah 1-2
mg/kg dan untuk intramuscular 3 – 10 mg.
3. Tiopental
Tiopental hanya dapat digunakan secara intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg. Larutan ini sangat berifat alkalis sehinga dapat
menyebabkan nekrosis jaringan bila keluar dari vena.

9
4. Opioid (morfin, fentanil, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler, sehingga
digunakan untuk induksi oasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesi digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/ menit.
b. Anestesi intramuscular
Hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuscular.

2) Per rektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat. Yang termasuk induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut,
miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi
tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat menyebabkan
kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda- tanda vital.
3) Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik
melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran
gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentuka
kekuatan daya anestesi. Zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan
parsial yang rendah sudah dapat member anestesi yang adekuat.
- N2O (nitrous oksida) gas ini bersifat anestetik lemah,. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 % untuk menghindari hipoksia
difusi.
- Halotan, halotan sering dikombinasikan dengan N2O. pada nafas spontan
rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada afas kendali sekitar 0,5 – 1
vol %. Kontraindikasi pemakaian halotan adalah penderita gangguan
hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang 3 bulan atau pasien yang
terlalu gemuk.

10
- Enfluran, pada EEG dapat menimbulkan tanda-tanda epileptic. Enfluran
lebih iritatik dibanding halotan.
- Isofluran, isofluran dapat meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial, serta efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal.
- Sevofluran, sevofluran memiliki efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil
dan jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan,
sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh.
H. Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika
konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya
jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal.
Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan
pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan intravena dengan menggunakan opioid dosis tinggi fentanil
10- 50 µg/ kgBB. Rumatan inhalasi bisanya menggunakan campuran N2O dan
O2 3:1 ditambah halotan 0,5- 2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-
4% atau sevofluran 2-4% tergantung pernapasan pasien spontan, dibantu atau
dikendalikan.

I. Obat Pelumpuh Otot


Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan cedera pada tindakan
laringoskop dan intubasi trakea, membuat relaksasi otot selama pembedahan,
serta menghilangkan spasme laring dan refleks jalan nafas.
1) Atrakurium
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Keunggulan obat
ini adalah metabolism terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan
ginjal. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna, Dosis intubasi yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot
yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dan dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB/iv.

11
2) Suksametonium (succinyl choline)
Indikasi dari suksametonium adakan sebagai pelumpuh otot jangka
pendek, dosis untuk intubasi ialah 1-2 mg/kgBB/iv.

J. Tatalaksana nyeri
Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik
golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid
(NSAID) untu nyeri sedang atau ringan.

1) Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2
mg/kgBB dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2
mg intravena dan diulang sesuai keperluan.
2) Petidin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. petidin menyebabkan kekeringan
mulut, kekaburan pandangan dan takikardi.
3) Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek
analgesianya. Dosis 1-3 µg/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung 30
menit.
4) Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya
digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan
dosisi 1-2 µg/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit.

K. Teknik Anestesi
1) Teknik Anestesi spontan dengan sungkup muka
Indikasi :

12
a. Untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam)
b. Keadaan umum pasien cukup baik
c. Lambung harus kosong
Urutan tindakan :
1. Periksa peralatan yang digunakan
2. Pasang infus
3. Persiapkan obat-obat
4. Induksi dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,
sungkup muka ditempatkan pada muka
6. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam
anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka sampai 1 % dan sedikit
demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 % tergantung reaksi tubuh penderita
7. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring
8. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan beberapa
menit sebelum operasi selesai
9. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 beberapa
menit
2) Teknik Anestesi spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi :
a. Operasi lama
b. Kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan
sungkuo muka.
Urutan tindakan :
1. Induksi dengan propofol
2. Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit, kalau
perlu nafasi dibantu dengan menekan balon nafas secara periodic
3. Sesudah reflex mata menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-
1.5 mg/kgBB, nafas dikendalikan dengan menekan balon nafas yang
diisi dengan aliran O2 2L.
4. Sesudah fasikulasi menghilang pasien diintubasi.
5. Pipa guedel dimasukan dimulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit.
Kemudian difiksasi dengan plester
6. Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering
7. Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat
anestesi. N2O dibuka 3-4 L/menit dan O2 2 L/menit kemudian halotan

13
dibuka 1 vol %dan cepat dinaikkan sampai 2 vol %. Nafas pasien
dikendalikan dengan menekan balon nafas.
8. Halotan dikurangi sampai 0,5-1.5 % untuk pemeliharaan anestesi
9. Nafas dapat dibiarkan spontan kalau usaha nafas cukup kuat
10. Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O dan O2
masing-masing 2 l/menit, serta halotan 1.5-2 vol %
3) Teknik anestesi pipa endotrakeal dan nafas kendali
a. Teknik anestesi dan intubasi sama seperti diatas
b. Setelah pengaruh suksinil kolin mulai habis, diberi obat pelumpuh otot
jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB
c. Nafas dikendalikan dengan ventilator atau secara manual. Konsentrasi
halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan dipertahankan dengan 0.5-1
%.
d. Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis apabila pasien
tampak ada usaha mulai bernafas sendiri
e. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O
dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
f. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali. O2
diberi terus selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.

L. Monitoring Perianestesia
Dalam tindakan anestesi harus dilakukan monitoring terus menerus
tentang keadaan pasien.
1) Kardiovaskuler
a. Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan karena gangguan
sirkulasi sering terjadi selama anestesi.
b. Tekanan darah
c. Banyaknya perdarahan
2) Respirasi
Respirasi dinilai dari jenis nafasnya, apakah ada retraksi interkostal atau
supraklavikula.
3) Suhu tubuh
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh. Obat anestesi
mendepresi pusat pengatur suhu, sehingga mudah turun naik dengan suhu
lingkungan.
4) Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal

14
5) Monitoring blockade neuromuscular
Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah
selesai anestei apakah tonus otot sudah kembali normal
6) Monitoring sistem saraf
Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya,
respon terhadap trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah
relaksasi cukup atau tidak.

BAB III
KESIMPULAN

Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai


hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesia
yang ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksai otot.

15
Sebelum dilakukan anestesi, perlu dilakukan persiapan pre-anestesi, yaitu
persiapan mental dan fisik pasien yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, selain itu juga perencanaan anastesia, merencanakan
prognosis, serta persiapan pada hari operasi.
Cara pemberian anestesi umum dapat berupa parenteral yaiu melalui
intramuscular atau intravena, per rektal, dan melalui inhalasi. Teknik anestesi ada
bermacam-macam yaitu teknik anestesi spontan dengan sungkup muka, teknik
anestesi spontan dengan pipa endotrakel, serta teknik anestesi pipa endotrakeal
dan nafas kendali.

16

Anda mungkin juga menyukai