Pendahuluan
Tulang adalah organ dan lokasi yang paling sering mengalami metastasis
kanker dan menyebabkan morbiditas yang besar, khususnya dari kanker payudara
dan kanker prostat karena prevalensinya yang tinggi. Pada pemeriksaan otopsi ±
70% dari pasien yang meninggal akibat kedua kanker tersebut terbukti juga telah
mengalami Metastatic Bone Disease (MBD). Karsinoma tiroid, ginjal dan bronkus
juga sering mengalami metastasis ke tulang, dengan insiden pada pemeriksaan
otopsi 30%-40%. Tumor dari saluran pencernaan jarang (±10%) mengalami
metastase ke tulang.
MBD saat ini menjadi isu pada bidang orthopaedi dan traumatologi seperti
halnya pada center onkologi. Berdasarkan pedoman dari British Orthopedic
1
Association (BOA), diperkirakan setiap tahunnya di Inggris terdapat 20.000
kasus, dengan ± 9.000 kasus berhubungan dengan kanker payudara (Cumming D,
dkk, 2008)
2
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.
2.1. Epidemiologi
3
Incidence of bone metastases
Primary tumor (%)
Breast 73
Prostate 68
Thyroid 42
Kidney 35
Lung 36
Gastrointestinal 5
tract
Tabel 1 . insidensi metastasis ke tulang dari berbagai macam kanker.
4
Beberapa faktor mempengaruhi frekuensi terjadinya metastasis ke
tulang. Aliran darah yang sangat tinggi pada daerah sumsum tulang,
menjadi predileksi terjadinya metastasis pada tempat tersebut. lebih jauh
lagi, sel tumor memproduksi molekul adhesive yang mengikat secara erat
ke sel stromal dari sumsum tulang dan matriks tulang. Interaksi tersebut
menyebabkan sel tumor meningkatkan produksi factor angiogenesis dan
bone-resorpsing yang lebih lanjut lagi akan meningkatkan
pertumbuhannya di tulang. Tulang juga merupakan tempat bagi beberapa
factor pertumbuhan, termasuk didalamnya transforming growth factor,
insulin-like growth factor I dan II, fibroblast growth factor, platelet-
derived growth factor, bone morphogenetic proteins, dan kalsium. Factor-
faktor pertumbuhan tersebut, yang dilepaskan dan teraktivasi selama
proses resorpsi tulang, menyediakan tempat yang subur bagi pertumbuhan
sel tumor. Hipotesis “seed and soil” tersebut pertama kali diungkapkan
oleh Stephen Paget pada tahun 1889
2.2.3. Osteoklas
5
stimulating factor dan reseptor activator of nuclear faktork B (RANK)
ligand (RANKL) oleh sel-sel atau osteoblas. RANKL, bagian dari tumor
necrosis factor, diekspresikan dipermukaan osteoblas dan sel-sel stromal
dan dilepaskan oleh sel-sel T teraktivasi. Faktor-faktor yang bersifat
osteopenic, seperti hormone paratiroid, 1,25-dihydroxyvitamin D dan
prostaglandin menginduksi pembentukan dari osteoklas dengan
meningkatkan ekspresi dari RANKL pada sel-sel stromal sumsum tulang
dan osteoblas daripada secara langsung bekerja pada precursor osteoklas.
RANKL mengikat reseptor RANK pada precursor osteoklas dan
menginduksi pembentukan osteoklas melalui sinyal pada nuclear factor kB
dan jalur Jun N-terminal kinase. Bentuk terlarut dari RANKL diproduksi
oleh sel T teraktivasi dapat dideteksi pada cairan sendi hewan dengan
arthritis. Pentingnya peran RANKL pada pembentukan osteoklas
digambarkan secara jelasmelalui tehnik rekombinasi homolog dimana
RANKL atau gen RANK pada tikus yang telah dihapus. Pada hewan coba
tersebut mengalami penurunan osteoklas dan sebagai hasilnya terjadinya
osteopetrosis. Sebagai tambahan, perkembangan dari sel B dan sel T
mengalami penurunan pada hewan coba tersebut. Reseptor untuk RANK,
osteoprotegerin, secara normal berada pada sumsum tulang.
Osteoprotegerin, bagian dari keluarga reseptor tumor nerosis factor,
menghambat terjadinya diferensiasi dan resorpsi osteoklas secara in vitro
dan in vivo. Rasio RANKL terhadap osteoprotegerin mengatur
pembentukan dan aktivitas dari osteoklas. Produksi yang berlebihan dari
osteoprotegerin terbukti mmenyebabkan osteoporosis pada hewan coba,
dimana kurangnya kadar osteoprotegerin menyebabkan osteopenia. Peran
dari RANKL yang penting pada destruksi tulang menyebabkan
pengembangan rekombinan osteoprotegerin dan antibody terhadap
RANKL sebagai pengobatan potensial untuk metastasis tulang. Osteoklas
meresorbsi tulang dengan mensekresi protease yang menguraikan matriks
tulang dan memproduksi asam yang melepaskan mineral tulang ke ruang
ekstraselular dibawah dari perbatasan plasma membrane osteoklas, yang
6
menghadap ke tulang dan merupakan organela yang meresorbsi dari sel.
Perlekatan osteoklas ke permukaan tulang penting untuk proses resorbsi
tulang, karena adanya zat yang mempengaruhi perlekatan osteoklas yang
memblok resorpsi dari tulang. Agen yang mempengaruhi perlekatan
osteoklas ke tulang atau menghambat protease yang diproduksi oleh
osteoklas, seperti cathepsin K, dalam penelitian dan mungkin berguna
untuk terapi metastasis tulang
2.2.4. Osteoblas
7
2.2.5. Metastatik Osteolitik
8
berhubungan dengan meningkatnya aktivitas osteoklas pada myeloma.
Factor-faktor tersebut diantaranya adalah interleukin-1, interleukin-
6,macrophage inflammatory protein, dan RANKL. Interleukin-1
merupakan stimulant poten pada pembentukan osteoklas, tetapi kadar
interleukin-1 yang diproduksi oleh sel myeloma sangatlah rendah.
Beberapa penelitian tidak mendeteksi tingkat dari interleukin-1 pada
beberapa tumor myeloma, menunjukan bahwa interleukin-1 mungkin
bukan merupakan mediator utama dari myeoloma bone disease.
Interleukin-6 merupakan factor pertumbuhan atau paling tidak
merupakan factor yang menghambat terjadinya apoptosis pada sel
myeloma. Factor tersebut terdapat pada sampel plasma sumsum tulang
dari pasien dengan myeloma. Interleukin-6 merupakan stimulator
potensial pada pembentukan osteoklas dan dapat mengubah pengaruh
dari peptide terkait hormone paratiroid pada pembantukan osteoklas
secara in vivo. Tingkat interleukin-6 pada sumsum tulang tidak secara
konsisten berhubungan dengan adanya lesi tulang. Akan tetapi, ketika sel
myeloma menempel pada sel stromal dari sumsum tulang, produksi dari
interleukin-6 oleh sel stromal sumsum tulang meningkat. Interleukin-6
nampaknya memiliki peran yang penting dalam mengubah pertumbuhan
atau memperpanjang survival sel myeloma, tetapi perannya dalam
myeloma bone disease maih belum jelas. RANKL adalah mediator utama
pada myeloma bone disease. Beberapa penelitian menunjukan bahwa sel
myeloma memproduksi RANKL, tetapi tidak jelas jumlah dari RANKL
yang diproduksi oleh sel myeloma cukup untuk menginduksi
pembentukan osteoklas. Sebaliknya, RANKL mencegah terjadinya
apoptosis dari osteoklas. RANKL diproduksi oleh sel-sel stroma sumsum
tulang pada myeloma. Pada kondisi mikro dari tulang pada myeloma,
produksi RANKL meningkat dan produksi osteoprotegerin secara nyata
menurun. Penghambatan terhadap pengikatan RANKL ke reseptor
RANK dengan bentuk soluble dari reseptor RANK atau osteoprotegerin
menghambat destruksi tulang pada tikus dengan myeloma. Semua data
9
tersebut menunjukkan bahwa RANKL adalah mediator utama pada
myeloma bone disease. Macrophage inflammatory protein 1a juga
nampaknya merupakan regulator kunci dari destruksi tulang pada
myeloma. Macrophage inflammatory protein 1a merupakan inductor
poten pembentukan osteoklas secara in vitro, secara independen dari
RANKL, dan mengubah pembentukan osteoklas yang terstimulasi oleh
RANKL dan interleukin-6. Pada sekitar 70% pasien, sel myeloma
memproduksi Macrophage inflammatory protein 1a dan kadar dari
protein tersebut meningkat pada plasma dari sumsum tulang. Kadar
Macrophage inflammatory protein 1a berkorelasi secara kuat dengan
adanya lesi osteolitik, lebih lanjut lagi microanalisis DNA dari sel-sel
myeloma menunjukan bahwa ekspresi dari gen Macrophage
inflammatory protein 1a secara nyata meningkat dan berhubungan
dengan bone disease. Lebih jauh lagi, penghambatan ekspresi dari gen
Macrophage inflammatory protein 1a atau aktivitas dari Macrophage
inflammatory protein 1a pada hewan coba dengan myeloma akan
menurunkan terjadinya destruksi tulang maupun beban dari tumor
myeloma. Macrophage inflammatory protein 1a juga mungubah interaksi
adhesive antaransel-sel myeloma dengan sel-sel stromal secara up-
regulating ekspresi dari b1 integrin pada sel-sel myeloma. Interaksi
adhesive antara sel-sel stromal susmsum tulang dan sel-sel myeloma
meningkatkan produksi dari interleukin-6, RANKL, dan Macrophage
inflammatory protein 1a yang lebih jauh lagi akan meningkatkan
destruksi tulang.
Pasien biasanya berusia 50-70 tahun, sehingga jika terdapat lesi destruksi
pada tulang pada kelompok usia ini diferensial diagnosis metastasis harus
disertakan. Nyeri tulang belakang merupakan keluhan yang paling sering,
bahkan tidak jarang menjadi satu-satunya keluhan. Nyeri tulang belakang dan
10
nyeri paha pada orang tua (terutama seseorang yang diketahui telah pernah
mendapat pengobatan untuk karsinoma) harus selalu dicurigai.
11
8. Rasa nyeri yang meningkat dengan cepat dan menjalar pada band-like
fashion di sekitar dada atau perut bisa menunjukkan kompresi epidural
yang merupakan suatu keadaan emergensi oncologic / neorologis.
Kompresi spinal cord biasanya disertai oleh kehilangan sensorik,
reflek abnormal reflek, kelemahan, dan disfungsi otonom.
9. Nyeri pada pangkal paha atau lutut bisa berasal dari sendi paha .
Karakteristik nyeri pada MBD dapat somatik (muskuloskeletal),
neuropatik (dengan protopathicand atau fitur epicritic, disebabkan oleh iritasi
atau kerusakan saraf akibat serangan tumor) atau nyeri campuran yang lebih
sering terjadi (Buga S dan Sarria JE, 2012).
Beberapa deposit secara klinis tidak memberikan gejala dan ditemukan
secara kebetulan pada saat pemeriksaan x-ray atau bone scanning, atau
setelah fraktur patologis. Jika tidak ada riwayat dan petunjuk klinis yang
mengarah pada karsinoma primer, biopsi pada daerah fraktur sangat penting.
Gejala hypercalcaemia dapat terjadi (dan sering luput) pada pasien dengan
skeletal metastasis. Diantaranya anoreksia, mual, haus, polyuria, nyeri perut,
lemah dan depresi. Pada anak-anak umur dibawah 6 tahun,, lesi metastasis
yang paling sering dari adrenal neuroblastoma (Solomon L, dkk 2010).
Metastatis ke tulang merupakan penyebab morbiditas yang paling sering
pada pasien dengan kanker stadium lanjut. Frekuensi komplikasi ke tulang
(juga dikenal dengan kejadian terkait tulang) pada beberapa tipe tumor yang
mendapat terapi sistemik standar tanpa bifosfonat ditunjukan pada gambar…..
Rata-rata pasien dengan metastasi akan mengalami kejadian terkait tulang
setiap 3-6 bulan. Akan tetapi kejadian dari peristiwa morbiditas tersebut tidak
sering, dengan kejadian terpisah pada sekitar periode dari progresi dan
menjadi lebih sering ketika progresivitas dari penyakitnya menjadi lebih
ekstensive dan pilihan pengobatannya menjadi terbatas
2.3.1. Hiperkalsemia
12
keganasan hematologis khususnya myeloma dan limfoma. Pada
kebanyakan kasus, hiperkalsemia merupakan hasil dari destruksi tulang,
dan metastasis yang bersifat osteolitik terdapat pada 80% kasus. Pada
kanker payudara, terdapat hubungan antara hiperkalsemia dan terdapatnya
metastasis ke hepar. Kaitan tersebut mungkin menggambarkan hubungan
anatara keterlibatan hepar dan produksi atau penurunan metabolisme dari
factor-faktor humoral yang berefek ke tulang seperti peptide terkait
hormon paratiroid atau activator dari reseptor nuclear factor-κB ligand.
Sekresi dari factor humoral dan parakrin oleh sel tumor akan menstimulasi
aktivitas dan proliferasi osteoklas, dan disana terdapat peningkatan nyata
terjadinya turnover tulang. Beberapa penelitian menetapkan peran dari
hormon paratiroid terhadap kejadian hiperkalsemia. Kadar dari hormone
paratiroid meningkat pada dua per tiga pasien dengan metastasis ke tulang
dan pada semua pasien dengan hiperkalsemia humoral. Ginjal juga memilii
peran terhadap terjadinya hiperkalsemia malignan; sebagai hasil dari
penurunan volume dan hormone paratiroid, reabsorbsi kalsium dari
tubulus ginjal meningkat, yang lebih jauh lagi akan meningkatkan kadar
kalsium serum. Tanda dan gejala hiperkalsemia tidak spesifik, dan klinisi
seharusnya memiliki tingkat kecurigaan. Gejala-gejala yang umum
termasuk diantaranya lemas, anoreksia, dan konstipasi. Jika tidak diatasi,
peningkatan progresif dari kadar kalsium serum akan menghasilkan
penurunan dari fungsi ginjal dan status mental. Kematian pada khususnya
terjadi sebagai akibat gagal ginjal dan aritmia jantung
13
yang menentukan terhadap kualitas hidup pasien dengan kanker stadium
lanjut, beberapa usaha sudah dilakukan untuk memprediksikan lokasi dari
fraktur dan untuk mencegah terjadinya fraktur dengan pembedahan
profilaksis. Fraktur paling sering terjadi pada tulang dengan lesi litik yang
digunakan untuk menahan beban. Kerusakan baik pada tulang kortikal
maupun tulang trabekular secaras truktural menjadi penting. Beberapa
gambaran radiologis telah diidentifikasi yang mungkin dapat digunakan
untuk memprediksi terjadinya fraktur, fraktur terjadi jika lesi yang ada
besar dan bersifat litik, dan mengerosi korteks. System scoring
diperkenalkan oleh Mirels berdasarkan lokasi, asal, ukuran dan gejala dari
deposit metastasis. Dengan menggunakan system tersebut, lesi yang
memiliki nilai >7 secara umum akan memerlukan intervensi pembedahan,
nilai >10 memiliki resiko terjadinya fraktur sekitar 50%
14
2.3.4. Instabilitas tulang belakang
2.4.1. X-rays
2.4.2. Radioscintigraphy
15
awal dilakukan pemeriksaan foto plain, jika hasilnya terlihat normal
namun kecurigaan terhadap metastasis masih ada, pemeriksaan CT atau
MRI dianjurkan. Pada metastasis yang osteolitik murni dan berkembang
secara cepat, bone turnover labil, atau lokasinya avaskuler (cold spot),
mungkin diagnosa terhadap lesi tersebut tidak dapat ditegakkan dengan
radioscintigraphy.
16
2.4.4. Pemeriksaan Khusus
17
18
Gambar 2. Algoritma penanganan vertebral bone metastasis (A),
dan nonvertebral metastasis (B).
19
2.5.2. Penatalaksanaan
20
oleh oophorectomy dikombinasikan dengan adrenalectomy atau ablasi
hypophyseal.
21
opioid memerlukan dosis berulang, yang digunakan untuk penanganan
nyeri akut.
22
opioid dan dengan adanya bidang khusus yang mespesialisasi yang
dampak besar dalam penggunaan tangga analgetik WHO untuk
manajemen pasien yang mengalami nyeri terkait kanker yang ringan
sampai parah.
Namun pada faktanya terdapat kegagalan dalam penanganan nyeri
pada 10 %- 20% dari pasien. Pada banyak kasus, tangga analgetik
digambarkan sebagai sebuah penyederhanaan dari sebuah masalah yang
kompleks. Untuk itu teknik interventional pada kasus yang tidak berhasil
ditangani dengan analgetik sistemik, baik karena nyeri yang tidak
terkendali dan /atau efek samping dari obat, disebut sebagai langkah
keempat dari tangga analgetik (gambar B) Kegagalan penggunaan
analgetik sistemik terkait erat dengan generator nyeri yang spesifik dan
terjadi pada kebanyakan keganasan. Nyeri yang berasal dari neuropatik
misalnya, disebut sebagai suatu hal yang responnya rendah pada
penggunaan opiat dan terapi adjuvant konvensional. Teknik intervensi
nyeri dapat digunakan pada kondisi ini, diantaranya prosedur neuroablatif
(radio frequency ablation (RFA), cryoablation, phenol dan alkohol
neurolisis), pengunaan kateter temporer untuk pemberian infus
lokal/regional anestesi, neurostimulasi dan stimulasi spinal cord,infus intra
tekal dengan jalur kateter perkutan penggunaan atau implantable drug
delivery systems (IDDS)
2.5.5. Hiperkalsemia
23
2.5.6. Penanganan pada fraktur
24
Prinsip-prinsip dari fiksasi sama dengan penanganan fraktur pada
umumnya. Radionuklida scanning pre operatif menunjukkan apakah
terdapat lesi lain pada tulang tersebut, sehingga memerlukan fiksasi yang
lebih ekstensif dan radioterapi pasca-operasi.
25
terdapat gejala dan tanda kompresi yang hebat, maka penanganannya
bersifat urgent.
2.6 Prognosis
Bauer (1995) telah membuat kriteria yang berguna untuk menilai prognosis :
3. Pasien dengan hanya 1 atau tidak ada kriteria, mayoritas bertahan selama
kurang dari 6 bulan dan tidak ada yang hidup setelah 1 tahun.
26
Daftar Pustaka
27
12. Yu HHM, dkk, Overview of Diagnosis and Management Of Metastatic
Disease to Bone, Cancer Control, 2012, vol 19, No2, hal : 84-91.
28