Anda di halaman 1dari 28

BAB I

Pendahuluan

Tulang adalah organ dan lokasi yang paling sering mengalami metastasis
kanker dan menyebabkan morbiditas yang besar, khususnya dari kanker payudara
dan kanker prostat karena prevalensinya yang tinggi. Pada pemeriksaan otopsi ±
70% dari pasien yang meninggal akibat kedua kanker tersebut terbukti juga telah
mengalami Metastatic Bone Disease (MBD). Karsinoma tiroid, ginjal dan bronkus
juga sering mengalami metastasis ke tulang, dengan insiden pada pemeriksaan
otopsi 30%-40%. Tumor dari saluran pencernaan jarang (±10%) mengalami
metastase ke tulang.

Pada penelitian di bidang kanker, dapat dilihat bahwa kejadian kanker


pada tulang terjadi rata-rata setiap 3 sampai 6 bulan. Selain itu, metastasis kanker
ke tulang membatasi fungsi skeletal, sehingga menyebabkan penurunan kualitas
hidup dan bahkan kematiannya yang hampir seluruhnya diakibatkan oleh
komplikasinya. Prognosis penyakit MBD tergantung pada lokasi kanker
primernya, kanker payudara dan kanker prostat mempunyai kelangsungan hidup
yang diukur dalam tahun dibandingkan dengan kanker paru-paru, di mana
kelangsungan hidup rata-rata hanya dengan hitungan bulan (Plunkett TA dan
Rubens RD, 2005) .

Adanya penyakit ekstraosseous dan penyebaran serta lamanya bone


disease merupakan prediktor prognosis yang kuat. Dewasa ini morbiditas skeletal,
progresi penyakit dasar MBD, atau bahkan kematian telah dapat diperkirakan
melalui pemeriksaan bone-spesific marker. Pemahaman yang lebih terhadap
prediksi dan prognosis dapat memberikan penanganan yang lebih personal
terhadap pasien dan pembiayaan yang lebih efektif dari sumber daya kesehatan
(Jacofsky DJ, dkk 2004).

MBD saat ini menjadi isu pada bidang orthopaedi dan traumatologi seperti
halnya pada center onkologi. Berdasarkan pedoman dari British Orthopedic

1
Association (BOA), diperkirakan setiap tahunnya di Inggris terdapat 20.000
kasus, dengan ± 9.000 kasus berhubungan dengan kanker payudara (Cumming D,
dkk, 2008)

2
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.

2.1. Epidemiologi

Sekitar 1,2 juta pasien menderita kanker setiap tahunnya di Amerika


Serikat, dari jumlah tersebut sekitar 600 ribu orang mengalami metastasis ke
tulang. Sebagai perbandingan, hanya sekitar 2.700 pasien menderita sarcoma
tulang setiap tahun. Kisaran usia pasien dangan sarcoma berbeda dengan
pasien yang menderita metastasis kanker ke tulang. Kebanyakan pasien
dengan metastasis ke tulang berusia diatas 50 tahun, sementara kebanyakan
penderita sarcoma merupakan orang dewasa muda dengan usia dibawah 30
tahun.

Metastasis ke tulang yang paling sering adalah berasal dari karsinoma


payudara, selanjutnya secara berurutan karsinoma prostat, ginjal, paru-paru,
tiroid, buli dan traktus gastrointestinal. Sekitar 10 persen dari kasus
metastasis tersebut tidak ditemukan adanya tumor primer.

Lokasi yang paling sering terjadinya metastasis tulang adalah pada


vertebra, pelvis, femur proksimal, dan humerus. Penyebaran biasanya melalui
aliran darah, tetapi kadang-kadang, tumor visceral menyebar secara langsung
ke tulang yang berdekatan (misalnya pelvis atau costa). Metastasis biasanya
osteolitik, dan sering terjadi fraktur patologis. Resorbsi tulang terjadi karena
efek langsung dari sel-sel tumor atau dari tumor-derived faktor yang
menstimulasi aktivitas osteoklastik. Lesi osteoblastic jarang terjadi, biasanya
terjadi pada carcinoma prostat.

3
Incidence of bone metastases
Primary tumor (%)
Breast 73
Prostate 68
Thyroid 42
Kidney 35
Lung 36
Gastrointestinal 5
tract
Tabel 1 . insidensi metastasis ke tulang dari berbagai macam kanker.

2.2. Mekanisme terjadinya MBD

2.2.1. Tipe dari MBD

Metastasis ke tulang memiliki dua macam karakteristik yakni


osteolytic dan osteoblastic. Klasifikasi tersebut menggambarkan suatu
keadaan dimana terjadinya disregulasi dari proses remodeling tulang yang
normal. Pasien dapat mengalami baik metastasis osteolytic dan
osteoblastic atau lesi campuran yang mengandung kedua elemen tersebut.
Kebanyakan pasien dengan kanker payudara akan mengalami metastasis
tipe osteolytic, walaupun sedikitnya sekitar 15-20% diantaranya akan
mengalami metastasis tipe osteoblastic. Sebagai tambahan, pembentukan
tulang sekunder terjadi sebagai respon dari adanya proses destruksi tulang.
Proses reaktif tersebut sangat mudah untuk dideteksi dengan menggunakan
scanning tulang, yang mengidentifikasi tempat terjadinya pembentukan
tulang secara aktif. Hanya pada multiple myeloma terjadi proses tulang
lytic secara murni. Lesi yang terjadi pada metastasis kanker prostat secara
dominan merupakan lesi osteoblastik, tetapi juga terjadi peningkatan
resorpsi tulang pada lesi osteoblastic kanker prostat tersebut.

4
Beberapa faktor mempengaruhi frekuensi terjadinya metastasis ke
tulang. Aliran darah yang sangat tinggi pada daerah sumsum tulang,
menjadi predileksi terjadinya metastasis pada tempat tersebut. lebih jauh
lagi, sel tumor memproduksi molekul adhesive yang mengikat secara erat
ke sel stromal dari sumsum tulang dan matriks tulang. Interaksi tersebut
menyebabkan sel tumor meningkatkan produksi factor angiogenesis dan
bone-resorpsing yang lebih lanjut lagi akan meningkatkan
pertumbuhannya di tulang. Tulang juga merupakan tempat bagi beberapa
factor pertumbuhan, termasuk didalamnya transforming growth factor,
insulin-like growth factor I dan II, fibroblast growth factor, platelet-
derived growth factor, bone morphogenetic proteins, dan kalsium. Factor-
faktor pertumbuhan tersebut, yang dilepaskan dan teraktivasi selama
proses resorpsi tulang, menyediakan tempat yang subur bagi pertumbuhan
sel tumor. Hipotesis “seed and soil” tersebut pertama kali diungkapkan
oleh Stephen Paget pada tahun 1889

2.2.2. Remodelling Tulang Normal

Tulang manusia secara berkelanjutan mangalami pergantian dan


remodeling melalui aktivitas yang melibatkan osteoklas dan osteoblas pada
permukaan trabekular dan system haversian. Pada tulang yang normal,
terdapat keseimbangan dari rangkaian proses remodelling tersebut yakni :
resorpsi tulang oleh osteoklas, dan kemudian pembentukan tulang oleh
osteoblas

2.2.3. Osteoklas

Osteoklas berasal dari sel-sel precursor monosit dan makrofag


yang berdiferensiasi menjadi osteoklas inaktif. Osteoklas yang
teraktivasimeresorbsi tulang dan mengalami apoptosis. Kedua sel tersebut
memproduksi sitokin dan hormone sistemik yang meregulasi pembentukan
dan aktivasi osteoklas. Lingkungan mikro dari tulang memainkan peranan
penting dalam pembentukan osteoklas melalui produksi macrofag colony

5
stimulating factor dan reseptor activator of nuclear faktork B (RANK)
ligand (RANKL) oleh sel-sel atau osteoblas. RANKL, bagian dari tumor
necrosis factor, diekspresikan dipermukaan osteoblas dan sel-sel stromal
dan dilepaskan oleh sel-sel T teraktivasi. Faktor-faktor yang bersifat
osteopenic, seperti hormone paratiroid, 1,25-dihydroxyvitamin D dan
prostaglandin menginduksi pembentukan dari osteoklas dengan
meningkatkan ekspresi dari RANKL pada sel-sel stromal sumsum tulang
dan osteoblas daripada secara langsung bekerja pada precursor osteoklas.
RANKL mengikat reseptor RANK pada precursor osteoklas dan
menginduksi pembentukan osteoklas melalui sinyal pada nuclear factor kB
dan jalur Jun N-terminal kinase. Bentuk terlarut dari RANKL diproduksi
oleh sel T teraktivasi dapat dideteksi pada cairan sendi hewan dengan
arthritis. Pentingnya peran RANKL pada pembentukan osteoklas
digambarkan secara jelasmelalui tehnik rekombinasi homolog dimana
RANKL atau gen RANK pada tikus yang telah dihapus. Pada hewan coba
tersebut mengalami penurunan osteoklas dan sebagai hasilnya terjadinya
osteopetrosis. Sebagai tambahan, perkembangan dari sel B dan sel T
mengalami penurunan pada hewan coba tersebut. Reseptor untuk RANK,
osteoprotegerin, secara normal berada pada sumsum tulang.
Osteoprotegerin, bagian dari keluarga reseptor tumor nerosis factor,
menghambat terjadinya diferensiasi dan resorpsi osteoklas secara in vitro
dan in vivo. Rasio RANKL terhadap osteoprotegerin mengatur
pembentukan dan aktivitas dari osteoklas. Produksi yang berlebihan dari
osteoprotegerin terbukti mmenyebabkan osteoporosis pada hewan coba,
dimana kurangnya kadar osteoprotegerin menyebabkan osteopenia. Peran
dari RANKL yang penting pada destruksi tulang menyebabkan
pengembangan rekombinan osteoprotegerin dan antibody terhadap
RANKL sebagai pengobatan potensial untuk metastasis tulang. Osteoklas
meresorbsi tulang dengan mensekresi protease yang menguraikan matriks
tulang dan memproduksi asam yang melepaskan mineral tulang ke ruang
ekstraselular dibawah dari perbatasan plasma membrane osteoklas, yang

6
menghadap ke tulang dan merupakan organela yang meresorbsi dari sel.
Perlekatan osteoklas ke permukaan tulang penting untuk proses resorbsi
tulang, karena adanya zat yang mempengaruhi perlekatan osteoklas yang
memblok resorpsi dari tulang. Agen yang mempengaruhi perlekatan
osteoklas ke tulang atau menghambat protease yang diproduksi oleh
osteoklas, seperti cathepsin K, dalam penelitian dan mungkin berguna
untuk terapi metastasis tulang

2.2.4. Osteoblas

Osteoblas merupakan sel pembentuk tulang. Osteoblas berasal


dari sel-sel mesenkimal, yang membentuk osteoblas, adiposit, dan sel-sel
otot. Faktor transkripsi yang penting untuk diferensiaasi osteoblas adalah
Runx-2, atau core-binding factor a1 (CBFA1). CBFA1 mengatur ekspresi
semua gen yang berhubungan dengan diferensiasi osteoblas. Pada hewan
coba tikus, yang mengalami kekurangan gen CBFA1 tulang tidak
terbentuk. Diferensiasi osteoblas kurang begitu dipahami daripada
diferensiasi osteoklas. Terdapat precursor awal osteoblas yang
memproduksi alkaline phosphatase dan precursor yang lebih
terdiferensiasi yang memproduksi sejumlah osteokalsin dan matriks yang
terkalsifikasi. Osteoblas kemudian menjadi osteosit . Bone Morphometric
proteins merupakan factor yang penting yang menstimulasi pertumbuhan
dan diferensiasi dari osteoblas. Seperti ditunjukan pada gambar 2B,
banyak factor dapat mengubah pertumbuhan dan diferensiasi osteoblas,
termasuk platelet-derived growth factor, fibroblast, factor pertumbuhan,
dan transforming growth factor b.

7
2.2.5. Metastatik Osteolitik

Pada metastasis osteolitik, destruksi dari tulang lebih dimediasi


oleh osteoklas daripada oleh sel tumor itu sendiri. Akan tetapi, factor-
faktor yang bertanggung jawab terhadap aktivasi osteoklas sangat
bervariasi tergantung dari jenis tumornya. Pada Multiple Myeloma,
osteoklas terakumulasi hanya pada permukaan tulang yang teresorbsi
berdekatan dengan sel-sel dari myeloma tersebut, tidak didapatkan
osteoklas di area lain dari tulang yang terbebas dari tumor tersebut.
sebagai tambahan dari meningkatnya resorbsi tulang, proses
pembentukan tulang mengalami supresi sehingga lesi tulang pada pasien
dengan myeloma hanya bersifat litik. Beberapa factor osteoklastogenik

8
berhubungan dengan meningkatnya aktivitas osteoklas pada myeloma.
Factor-faktor tersebut diantaranya adalah interleukin-1, interleukin-
6,macrophage inflammatory protein, dan RANKL. Interleukin-1
merupakan stimulant poten pada pembentukan osteoklas, tetapi kadar
interleukin-1 yang diproduksi oleh sel myeloma sangatlah rendah.
Beberapa penelitian tidak mendeteksi tingkat dari interleukin-1 pada
beberapa tumor myeloma, menunjukan bahwa interleukin-1 mungkin
bukan merupakan mediator utama dari myeoloma bone disease.
Interleukin-6 merupakan factor pertumbuhan atau paling tidak
merupakan factor yang menghambat terjadinya apoptosis pada sel
myeloma. Factor tersebut terdapat pada sampel plasma sumsum tulang
dari pasien dengan myeloma. Interleukin-6 merupakan stimulator
potensial pada pembentukan osteoklas dan dapat mengubah pengaruh
dari peptide terkait hormone paratiroid pada pembantukan osteoklas
secara in vivo. Tingkat interleukin-6 pada sumsum tulang tidak secara
konsisten berhubungan dengan adanya lesi tulang. Akan tetapi, ketika sel
myeloma menempel pada sel stromal dari sumsum tulang, produksi dari
interleukin-6 oleh sel stromal sumsum tulang meningkat. Interleukin-6
nampaknya memiliki peran yang penting dalam mengubah pertumbuhan
atau memperpanjang survival sel myeloma, tetapi perannya dalam
myeloma bone disease maih belum jelas. RANKL adalah mediator utama
pada myeloma bone disease. Beberapa penelitian menunjukan bahwa sel
myeloma memproduksi RANKL, tetapi tidak jelas jumlah dari RANKL
yang diproduksi oleh sel myeloma cukup untuk menginduksi
pembentukan osteoklas. Sebaliknya, RANKL mencegah terjadinya
apoptosis dari osteoklas. RANKL diproduksi oleh sel-sel stroma sumsum
tulang pada myeloma. Pada kondisi mikro dari tulang pada myeloma,
produksi RANKL meningkat dan produksi osteoprotegerin secara nyata
menurun. Penghambatan terhadap pengikatan RANKL ke reseptor
RANK dengan bentuk soluble dari reseptor RANK atau osteoprotegerin
menghambat destruksi tulang pada tikus dengan myeloma. Semua data

9
tersebut menunjukkan bahwa RANKL adalah mediator utama pada
myeloma bone disease. Macrophage inflammatory protein 1a juga
nampaknya merupakan regulator kunci dari destruksi tulang pada
myeloma. Macrophage inflammatory protein 1a merupakan inductor
poten pembentukan osteoklas secara in vitro, secara independen dari
RANKL, dan mengubah pembentukan osteoklas yang terstimulasi oleh
RANKL dan interleukin-6. Pada sekitar 70% pasien, sel myeloma
memproduksi Macrophage inflammatory protein 1a dan kadar dari
protein tersebut meningkat pada plasma dari sumsum tulang. Kadar
Macrophage inflammatory protein 1a berkorelasi secara kuat dengan
adanya lesi osteolitik, lebih lanjut lagi microanalisis DNA dari sel-sel
myeloma menunjukan bahwa ekspresi dari gen Macrophage
inflammatory protein 1a secara nyata meningkat dan berhubungan
dengan bone disease. Lebih jauh lagi, penghambatan ekspresi dari gen
Macrophage inflammatory protein 1a atau aktivitas dari Macrophage
inflammatory protein 1a pada hewan coba dengan myeloma akan
menurunkan terjadinya destruksi tulang maupun beban dari tumor
myeloma. Macrophage inflammatory protein 1a juga mungubah interaksi
adhesive antaransel-sel myeloma dengan sel-sel stromal secara up-
regulating ekspresi dari b1 integrin pada sel-sel myeloma. Interaksi
adhesive antara sel-sel stromal susmsum tulang dan sel-sel myeloma
meningkatkan produksi dari interleukin-6, RANKL, dan Macrophage
inflammatory protein 1a yang lebih jauh lagi akan meningkatkan
destruksi tulang.

2.3. Gambaran Klinis MBD

Pasien biasanya berusia 50-70 tahun, sehingga jika terdapat lesi destruksi
pada tulang pada kelompok usia ini diferensial diagnosis metastasis harus
disertakan. Nyeri tulang belakang merupakan keluhan yang paling sering,
bahkan tidak jarang menjadi satu-satunya keluhan. Nyeri tulang belakang dan

10
nyeri paha pada orang tua (terutama seseorang yang diketahui telah pernah
mendapat pengobatan untuk karsinoma) harus selalu dicurigai.

Kejadian metastasis tulang dapat diketahui melalui pencatatan riwayat


penyakit yang akurat, melakukan pemeriksaan fisik secara rinci, dan
pemeriksaan radilogis yang sesuai. Riwayat nyeri harus menyertakan
keterangan tentang nyeri yang harus dinilai oleh dokter, seperti: onsetnya,
radiasi, faktor pemicu dan yang meringankan nyeri, laporan pasien akan
intensitas nyerinya,. Terdapat beberapa metode untuk menggambarkan
intensitas nyeri, diantaranya: Numerical Rating Scale (yang paling umum
digunakan), Visual Analog Scale , Iowa Pain Termometer Scale dan Face
Pain Scale. Beberapa faktor dapat menjadi petunjuk yaitu:
1. Nyeri pada MBD onsetnya bertahap, secara progresif menjadi semakin
hebat, dan biasanya nyeri bersifat lokal dan sering muncul di malam
hari dan/atau saat weight-bearing.
2. MBD mayoritas berasal dari kanker payudara, paru-paru, prostat,
tiroid dan ginjal.
3. Lokasi penyebaran pada skeletal yang paling umum diantaranya
vertebra, pelvis, kosta, tengkorak, humerus dan femur.
4. Meskipun sekitar 80% dari metastasis mengenai multilevel vertebral,
tetapi cenderung lebih sering ditemui pada regio torakal, diikuti oleh
lumbosacral dan cervikal.
5. Nyeri yang berlokasi di daerah occipital atau nuchae menjalar ke
posterior tengkorak dan mengalami eksaserbasi saat leher dalam
keadaan fleksi, dapat berhubungan dengan destruksi atlas (C1).
6. Nyeri yang mengarah pada regio interscapular dapat berhubungan
dengan sindrom C7-T1 akibat invasi tumor dari vertebra.
7. Nyeri di crista iliaka atau sacroiliac joint bisa berasal dari level T12
atau L1, sedangkan rasa nyeri di daerah bokong atau paha belakang
yang bertambah ketika berbaring dan pulih ketika berdiri mungkin
merupakan nyeri alih segmen sakral.

11
8. Rasa nyeri yang meningkat dengan cepat dan menjalar pada band-like
fashion di sekitar dada atau perut bisa menunjukkan kompresi epidural
yang merupakan suatu keadaan emergensi oncologic / neorologis.
Kompresi spinal cord biasanya disertai oleh kehilangan sensorik,
reflek abnormal reflek, kelemahan, dan disfungsi otonom.
9. Nyeri pada pangkal paha atau lutut bisa berasal dari sendi paha .
Karakteristik nyeri pada MBD dapat somatik (muskuloskeletal),
neuropatik (dengan protopathicand atau fitur epicritic, disebabkan oleh iritasi
atau kerusakan saraf akibat serangan tumor) atau nyeri campuran yang lebih
sering terjadi (Buga S dan Sarria JE, 2012).
Beberapa deposit secara klinis tidak memberikan gejala dan ditemukan
secara kebetulan pada saat pemeriksaan x-ray atau bone scanning, atau
setelah fraktur patologis. Jika tidak ada riwayat dan petunjuk klinis yang
mengarah pada karsinoma primer, biopsi pada daerah fraktur sangat penting.
Gejala hypercalcaemia dapat terjadi (dan sering luput) pada pasien dengan
skeletal metastasis. Diantaranya anoreksia, mual, haus, polyuria, nyeri perut,
lemah dan depresi. Pada anak-anak umur dibawah 6 tahun,, lesi metastasis
yang paling sering dari adrenal neuroblastoma (Solomon L, dkk 2010).
Metastatis ke tulang merupakan penyebab morbiditas yang paling sering
pada pasien dengan kanker stadium lanjut. Frekuensi komplikasi ke tulang
(juga dikenal dengan kejadian terkait tulang) pada beberapa tipe tumor yang
mendapat terapi sistemik standar tanpa bifosfonat ditunjukan pada gambar…..
Rata-rata pasien dengan metastasi akan mengalami kejadian terkait tulang
setiap 3-6 bulan. Akan tetapi kejadian dari peristiwa morbiditas tersebut tidak
sering, dengan kejadian terpisah pada sekitar periode dari progresi dan
menjadi lebih sering ketika progresivitas dari penyakitnya menjadi lebih
ekstensive dan pilihan pengobatannya menjadi terbatas
2.3.1. Hiperkalsemia

Hiperkalsemia paling sering terjadi pada pasien dengan kanker paru


sel squamosa, kanker payudara, dan kanker ginjal, dan pada beberapa

12
keganasan hematologis khususnya myeloma dan limfoma. Pada
kebanyakan kasus, hiperkalsemia merupakan hasil dari destruksi tulang,
dan metastasis yang bersifat osteolitik terdapat pada 80% kasus. Pada
kanker payudara, terdapat hubungan antara hiperkalsemia dan terdapatnya
metastasis ke hepar. Kaitan tersebut mungkin menggambarkan hubungan
anatara keterlibatan hepar dan produksi atau penurunan metabolisme dari
factor-faktor humoral yang berefek ke tulang seperti peptide terkait
hormon paratiroid atau activator dari reseptor nuclear factor-κB ligand.
Sekresi dari factor humoral dan parakrin oleh sel tumor akan menstimulasi
aktivitas dan proliferasi osteoklas, dan disana terdapat peningkatan nyata
terjadinya turnover tulang. Beberapa penelitian menetapkan peran dari
hormon paratiroid terhadap kejadian hiperkalsemia. Kadar dari hormone
paratiroid meningkat pada dua per tiga pasien dengan metastasis ke tulang
dan pada semua pasien dengan hiperkalsemia humoral. Ginjal juga memilii
peran terhadap terjadinya hiperkalsemia malignan; sebagai hasil dari
penurunan volume dan hormone paratiroid, reabsorbsi kalsium dari
tubulus ginjal meningkat, yang lebih jauh lagi akan meningkatkan kadar
kalsium serum. Tanda dan gejala hiperkalsemia tidak spesifik, dan klinisi
seharusnya memiliki tingkat kecurigaan. Gejala-gejala yang umum
termasuk diantaranya lemas, anoreksia, dan konstipasi. Jika tidak diatasi,
peningkatan progresif dari kadar kalsium serum akan menghasilkan
penurunan dari fungsi ginjal dan status mental. Kematian pada khususnya
terjadi sebagai akibat gagal ginjal dan aritmia jantung

2.3.2. Fraktur Patologis

Destruksi dari tulang yang mengalami metastasis akan menurunkan


kemampuan menahan beban dari tulang dan akan menghasilkan mikro
fraktur, yang akan menyebabkan nyeri. Fraktur terjadi paling sering di
tulang-tulang costae dan vertebra. Fraktur yang terjadi pada tulang panjang
atau perluasan epidural tumor ke tulang belakang yang paling sering
menyebabkan disabilitas. Kejadian fraktur tulang panjang memiliki efek

13
yang menentukan terhadap kualitas hidup pasien dengan kanker stadium
lanjut, beberapa usaha sudah dilakukan untuk memprediksikan lokasi dari
fraktur dan untuk mencegah terjadinya fraktur dengan pembedahan
profilaksis. Fraktur paling sering terjadi pada tulang dengan lesi litik yang
digunakan untuk menahan beban. Kerusakan baik pada tulang kortikal
maupun tulang trabekular secaras truktural menjadi penting. Beberapa
gambaran radiologis telah diidentifikasi yang mungkin dapat digunakan
untuk memprediksi terjadinya fraktur, fraktur terjadi jika lesi yang ada
besar dan bersifat litik, dan mengerosi korteks. System scoring
diperkenalkan oleh Mirels berdasarkan lokasi, asal, ukuran dan gejala dari
deposit metastasis. Dengan menggunakan system tersebut, lesi yang
memiliki nilai >7 secara umum akan memerlukan intervensi pembedahan,
nilai >10 memiliki resiko terjadinya fraktur sekitar 50%

2.3.3. Kompresi dari saraf spinal atau cauda equine.

Kompresi dari saraf spinal merupakan kegawatan, dan kasus-kasus


terduga memerlukan evaluasi dan penaganan. Nyeri terjadi hamper pada
semua pasien, bersifat local pada area dibawah dari tumor, dan sering
mengalami perburukan dengan aktivitas yang meningkatkan tekanan
intradural seperti batuk, bersin,dll. Nyeri sering menjadi lebih buruk pada
malam hari, yang mana menrupakan pola yang berlawanan dengan nyeri
akibat penyakit degenerasi. Mungkin juga akan terdapat nyeri radikular
yang menjalar ke anggota tubuh atau sekitar dada dan perut. Nyeri local
biasanya mendahului nyeri radikular dan mungkin akan mendahului
munculnya tanda neurologis lainnya. Kebanyakan pasien dengan kompresi
saraf spinal akan mengalami kelemahan dan paralisis. Perubahan sensoris
seperti kesemutan dan kebas pada distal dari lesi. Retensi urin,
inkontinensia, dan impotensi biasanya merupakan manifestasi akhir dari
kompresi saraf spinal. Akan tetapi, lesi pada tingkat conus medularis dapat
muncul dengan terjadinya disfungsi autonomic dari kandung kemih,
rectum, dan genitalia.

14
2.3.4. Instabilitas tulang belakang

Nyeri merupakan gejala paling sering pada pasien dengan kanker


stadium lanjut dan pada 10% kasus terjadi karena instabilitas tulang
belakang. Nyeri dapat teramat parah berasal dari proses kerusakan
mekanis, dan sering kali pasien merasa nyaman ketika berbaring.
Pembedahan untuk menstabilkan kembali tulang belakang seringkali
diperlukan untuk meredakan nyeri., dan walaupun pembedahan tersebut
sering dikaitkan dengan tingkat morbiditas maupun mortalitas yang tinggi,
hasil yang baik dapat dicapai dengan pemilihan pasien yang tepat.

2.4. Gambaran Radiologis MBD

2.4.1. X-rays

Umumnya skeletal deposit berupa osteolytic dan muncul sebagai


rarified area di daerah medula atau moth-eaten appearance pada korteks.
Kadang–kadang dapat menjadi penanda destruksi tulang, dengan atau
tanpa fraktur patologis. Deposito osteoblastik dicurigai sebagai karsinoma
prostat; pelvis dapat menunjukkan peningkatan densitas yang harus
dibedakan dengan Paget’s disease atau limfoma

2.4.2. Radioscintigraphy

Scanning tulang dengan radionukleotida, biasanya yang digunakan


99m
Tc-methylen diphosponate (99mTc-MDP). Distribusi radioaktifitasnya
direkam dengan menggunakan kamera gamma. Radionukleotida
diabsorbsi ke dalam kalsium hidroksiapatit yang dipengaruhi oleh
peningkatan aliran darah lokal dan aktiftas osteoblastik. Merupakan
metode yang paling sensitif (95%) untuk mendeteksi deposit metastasis
pada tulang, namun spesifisitasnya kurang. Perubahan degenerative,
infeksi, dan fraktur dapat menjadi positif palsu. Oleh karena itu diperlukan
pencitraan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosa. Pada pemeriksaan

15
awal dilakukan pemeriksaan foto plain, jika hasilnya terlihat normal
namun kecurigaan terhadap metastasis masih ada, pemeriksaan CT atau
MRI dianjurkan. Pada metastasis yang osteolitik murni dan berkembang
secara cepat, bone turnover labil, atau lokasinya avaskuler (cold spot),
mungkin diagnosa terhadap lesi tersebut tidak dapat ditegakkan dengan
radioscintigraphy.

Gambar 1. Bone scintigraphy .Pemeriksaan staging bone scintigraphy


pada pasien kanker prostat, tampak metastasis pada costa 6 posterior kiri,
costa 5 dan 6 lateral kanan, Thorakal 6, prosesus spinosus lumbal 2,
sacrum dan kedua tulang iliaka, dan superior asetabulum kanan.

2.4.3. Pet Scan

PET / CT scan dapat dilakukan sebelum pengobatan untuk


membantu dokter menentukan pengobatan yang paling tepat , dan setelah
pengobatan untuk membantu menentukan efektivitas pengobatan , gambar
respon tumor terhadap terapi dan untuk mendeteksi kekambuhan pada lesi
diobati

16
2.4.4. Pemeriksaan Khusus

ESR dapat meningkat dan konsentrasi hemoglobin biasanya


rendah. Konsentrasi serum alkali fosfatase sering meningkat, dan pada
karsinoma prostat acid fosfatase juga meningkat. Pasien dengan kanker
payudara dapat diskrening dengan pemeriksaan tumor marker associated
antigen.

2.5. Penatalaksanaan MBD

2.5.1. Manajemen umum vertebral dan nonvertebral MBD

Manajemen MBD dan interfensi biasanya bersifat individual. Pada


algoritma berikut dijelaskan mengenai manajemen MBD pada vertebral
dan non vertebral. Kebanyakan pasien ditangani secara paliatif, dan tujuan
dari penaganan adalah untuk mengurangi nyeri, meningkatkan fungsi, dan
mencegah komplikasi seperti kompresi spinal cord dan fraktur patologis.
Kombinasi pemberian analgetik / manajemen nyeri, penanganan sistemik,
radioterapi, dan penanganan operatif dengan pendekatan multidisiplin
dapat memberikan peluang untuk tercapainya tujuan dari penanganan pada
masing-masing pasien. Terapi medis termasuk penggunaan bisphosponat
dan RANKL inhibitor. Manajemen nyeri dipertimbangkan penggunaannya
sesuai kebutuhan akan analgetik (NSAIDs, opioid, kortikosteroid).

17
18
Gambar 2. Algoritma penanganan vertebral bone metastasis (A),
dan nonvertebral metastasis (B).

External-beam radiation therapy (EBRT) merupakan terapi paliatif


yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan yang tepat untuk
pasien dengan gejala lokal metastasis skeletal. Radioterapi dapat
mengurangi nyeri dengan menghancurkan sel tumor dan membantu proses
osifikasi pada lesi litik. Sementara stereotactic body radiation therapy
(SBRT) merupakan alat yang digunakan untuk penanganan pasien dengan
vertebral metastasis dan secara khusus dapat membantu seting
reirradiation. Teknologi ini dapat memberikan dosis radiasi high ablation
melalui penggunaan radiasi pada target yang tepat dengan dosis minimal
pada spinal cord melalui teknik penyesuaian yang tinggi.

19
2.5.2. Penatalaksanaan

Kadang-kadang, pengobatan radikal (kombinasi kemoterapi,


radioterapi dan pembedahan) yang diberikan pada deposit sekunder soliter,
juga memberi manfaat bagi lesi primer dan dianggap sebagai terapi kuratif.
Hal ini terutama untuk renal cell carcinoma soliter, metastasis tumor
payudara dan tiroid; Tapi pada sebagian besar kasus, dan pada kasus
sekunder multipel, sepenuhnya diberikan pengobatan simtomatik. Untuk
alasan itu, pencarian tumor primer secara teliti dapat dihindari, meskipun
mungkin ada manfaatnya untuk tumor yang memerlukan manipulasi
hormonal.

2.5.3. Terapi Paliatif

Meskipun prognosisnya buruk, pasien tetap harus dilakukan dengan


nyaman, dapat menikmati sisa hidup, dan meninggal dengan tenang dan
damai. Penanganan secara aktif metastasis skeletal mnafaatnya tidak
terlalu besar. Selain itu, pasien memerlukan konselling simpatik dan
bantuan praktis dalam aktifitasnya

2.5.4. Kontrol nyeri dan aktifitas metastasis

Kebanyakan pasien memerlukan analgesik, tetapi analgetik


narkotika yang kuat perlu diberikan pada nyeri yang hebat. Radioterapi
digunakan untuk mengontrol rasa sakit dan mengurangi perkembangan
proses metastasis, kecuali jika ada kontraindikasi secara khusus.
Radioterapi sering dikombinasikan dengan penanganan lain (misalnya :
internal fiksasi). Sekunder deposit dari payudara atau prostat dapat
dikontrol dengan terapi hormon: stilboestrol dan obat-obatan androgenic
untuk sekunder dari prostat atau oestrogens untuk karsinoma payudara.
Penyebaran sekunder dari karsinoma payudara kadang-kadang dilakukan

20
oleh oophorectomy dikombinasikan dengan adrenalectomy atau ablasi
hypophyseal.

Tangga penggunaan analgetik menurut World Helath Organization


(WHO) paling banyak digunakan untuk pengobatan nyeri pada kanker,
dimana terdapat langkah berdasarkan pada tingkat keparahan dari nyeri
(gambar 2A). Langkah 1 terdiri dari analgetik nonopioid pada nyeri yang
ringan. Anti inflamasi non steroid (NSAID) dan COX-2 inhibitor,
asetaminofen, ajuvan dan senyawa analgesik topikal termasuk dalam
kelompok ini. Banyak kontroversi mengenai pengguanaan NSAID
disarankan penggunaannya harus hati-hati, terutama pada orang tua.
Ajuvan biasanya berupa obat-obatan yang bukan analgetik, tetapi dapat
digunakan dalam keadaan khusus pada penanganan nyeri. Beberapa
antiepilepsi dan antidepresan masuk dalam terapi lini pertama dalam
pengelolaan nyeri neuropatik, dimana yang paling sering digunakan
meliputi gabapentin, pregabalin, dan tricyclic antidepresan (misalnya,
amitriptyline, nortriptyline).
Langkah 2 dengan penggunaan opiod lemah seperti hidrokodon,
kodein, dan oxykodon dosis rendah pada nyeri ringan sampai sedang.Obat
lainnya agonis μ reseptor dengan mekanisme aksi ganda seperti tramadol
dan tapentadol. Obat ini mengurangi banyak efek samping dari opioid
murni dan telah menambah efek pada nyeri neuropatik. Propoxyphene
(Darvocet Darvon) telah ditarik dari pasaran karena efek aritmia jantung
Langkah 3 terdiri dari opioid kuat seperti morfin, hydromorphone,
fentanyl, oxycodone dosis tinggi, meperidine, dan methadone. Pada pasien
dengan nyeri kanker kronis, kombinasi short-acting dan long-acting opioid
dianjurkan. Long-acting opioid, baik secara farmakologi long-acting
(seperti metadon atau levorphanol) atau sediaan long-acting (sistem slow
release seperti morfin, oxycodone, oxymorphone atau hydromorphone),
digunakan untuk terapi dasar nyeri kanker kronis. Opioid short-acting

21
opioid memerlukan dosis berulang, yang digunakan untuk penanganan
nyeri akut.

Gambar 3 (A) : 3 langkah penggunaan analgetik oleh WHO :1986, (B)


proposal langkah ke 4 oleh Miguel R. Interventonal treatment of cancer
pain; the fourth step in WHO analgesi ladder:2000.
Tangga analgetik WHO dimulai pada tahun 1982 sebagai program
kesehatan masyarakat untuk menanganai masalah nyeri kanker yang tidak
teratasi, terutama pada tahap akhir kehidupan. Sebelum pedoman ini
dirilis pada tahun 1986, terdapat anyak hambatan yang mencegah
efektiftitas pengobatan nyeri pada kanker, dan deskripsi pasien meninggal
dengan nyeri digambarkan sebagai suatu hal yang kejam dan tidak
berperasaan. Sehingga dengan kemajuan dalam pemahaman analgesik

22
opioid dan dengan adanya bidang khusus yang mespesialisasi yang
dampak besar dalam penggunaan tangga analgetik WHO untuk
manajemen pasien yang mengalami nyeri terkait kanker yang ringan
sampai parah.
Namun pada faktanya terdapat kegagalan dalam penanganan nyeri
pada 10 %- 20% dari pasien. Pada banyak kasus, tangga analgetik
digambarkan sebagai sebuah penyederhanaan dari sebuah masalah yang
kompleks. Untuk itu teknik interventional pada kasus yang tidak berhasil
ditangani dengan analgetik sistemik, baik karena nyeri yang tidak
terkendali dan /atau efek samping dari obat, disebut sebagai langkah
keempat dari tangga analgetik (gambar B) Kegagalan penggunaan
analgetik sistemik terkait erat dengan generator nyeri yang spesifik dan
terjadi pada kebanyakan keganasan. Nyeri yang berasal dari neuropatik
misalnya, disebut sebagai suatu hal yang responnya rendah pada
penggunaan opiat dan terapi adjuvant konvensional. Teknik intervensi
nyeri dapat digunakan pada kondisi ini, diantaranya prosedur neuroablatif
(radio frequency ablation (RFA), cryoablation, phenol dan alkohol
neurolisis), pengunaan kateter temporer untuk pemberian infus
lokal/regional anestesi, neurostimulasi dan stimulasi spinal cord,infus intra
tekal dengan jalur kateter perkutan penggunaan atau implantable drug
delivery systems (IDDS)

2.5.5. Hiperkalsemia

Dapat mempunyai konsekuensi yang serius, termasuk renal


asidosis, nephrocalcinosis penurunan kesadaran dan koma. Penanganan
harus dengan memastikan hidrasi yang adekuat, mengurangi asupan
kalsium dan, jika perlu diberikan bifosfonat (Solomon L, dkk 2010)

23
2.5.6. Penanganan pada fraktur

Pada fraktur diafisis harus selalu harus dilakukan internal fiksasi


dan (jika diperlukan) dilapisi dengan semen methylmethacrylate. Jika
terdapat multipel fraktur harus di fiksasi pada waktu yang sama, walaupun
harus dipikirkan juga bahwa dengan multipel intra medullary nailing
risiko fat emboli meningkat. Rasa nyeri berkurang dengan cepat,
perawatan menjadi lebih mudah dan pasien dapat menjalani pengobatan
lain tanpa rasa tidak nyaman.

Dalam kebanyakan kasus, intramedullary nailing adalah metode


yang paling efektif; pada fraktur dekat sendi (misalnya distal femur atau
proksimal tibia). Kadang memerlukan fiksasi dengan plate atau blade-
plate, dan kadang-kadang penggunaan endoprosthesis. Penanganan fraktur
collum femur paling baik dengan replacement prosthetic :
hemiarthroplasty jika pelvis intak, atau total joint replacement jika
acetabulum terlibat. Jika dinding pelvis hancur, dapat direkonstruksi
dengan large bone graft, kandang rekonstruksi dengan prosthesis custom
made. Penyinaran pasca operasi sangat penting untuk mencegah perluasan
metastasis yang lebih lanjut.

2.5.7. Fiksasi Profilaksis

Deposit yang besar dan beresiko mengakibatkan fraktur harus


dilakukan fiksasi internal meskipun tulang masih intak. Jika 50 persen
dari korteks tunggal dari tulang panjang (dalam pemeriksaan radiologis)
telah hancur, fraktur patologis harus dianggap sebagai hal yang tak
terhindari. Selain itu, avulsi trochanter minor merupakan indikasi akan
terjadinya fraktur tulang pinggul. Mirels menyusun sistem penilaian untuk
mengevaluasi risiko fraktur dan juga sebagai sebagai arahan apakah
fraktur harus difiksasi atau tidak. Skor ≥ 8 menunjukkan risiko tinggi dan
memerlukan internal fiksasi sebelum radioterapi .

24
Prinsip-prinsip dari fiksasi sama dengan penanganan fraktur pada
umumnya. Radionuklida scanning pre operatif menunjukkan apakah
terdapat lesi lain pada tulang tersebut, sehingga memerlukan fiksasi yang
lebih ekstensif dan radioterapi pasca-operasi.

Tabel 2. Sistem Skoring Mirel’s pada MBD

2.5.8. Penanganan MBD pada tulang belakang

MBD pada tulang belakang 40 kali lebih sering dibandingkan


semua tumor primer tulang belakang sendiri . Antara 41-70 % dari semua
tumor ganas bermetastasis ke tulang belakang, terutama pada regio torakal,
dan mengenai body vertebra. Tujuan dari penanganan adalah untuk
mengurangi rasa sakit, mempertahankan kemampuan untuk berjalan,
mempertahankan kontinensia urin dan alvi, serta memperpanjang harapan
hidup.

Fraktur patologis biasanya memerlukan beberapa bentuk support.


Jika tulang belakang masih sepenuhnya stabil, well-fitting brace dianggap
sudah cukup. Namun, ketidakstabilan tulang belakang dapat menyebabkan
nyeri yang hebat, sehingga pasien tidak dapat duduk atau berdiri dengan
atau tanpa brace. Keadaan ini merupakan indikasi untuk operasi
stabilisasi. Penilaian sebelum operasi harus mencakup CT atau MRI untuk
menentukan apakah menegnai spinal cord. Jika tulang belakang
memerlukan dekompresi harus dikerjakan pada waktu yang sama. Jika

25
terdapat gejala dan tanda kompresi yang hebat, maka penanganannya
bersifat urgent.

Intervensi operasi dilakukan untuk memberikan hasil fungsional


yang lebih baik daripada radioterapi. Pasien dapat berjalan dann
kontinensia untuk jangka waktu yang lebih lama dan tingkat kelangsungan
hidupnya dalam 5 tahun ± 18 %. Secara umum, radioterapi saja dilakukan
untuk pasien dengan kompresi jaringan lunak dan sebagai paliatif untuk
kasus-kasus yang tidak dapat dioperasi. Perlu diingingat bahwa pemberian
radioterapi tambahan sebelum operasi, telah menunjukkan peningkatan
angka infeksi pascaoperasi.

2.6 Prognosis

Bauer (1995) telah membuat kriteria yang berguna untuk menilai prognosis :

Tabel 3. Kriteria positif Bauer’s untuk survival

Kemampuan survival pada 1 tahun adalah sebagai berikut :

1. Pasien dengan 4 atau 5 kriteria bauer’s, 50 persen masih hidup.

2. Pasien dengan 2 atau 3 kriteria bauer’s, 25 persen masih hidup.

3. Pasien dengan hanya 1 atau tidak ada kriteria, mayoritas bertahan selama
kurang dari 6 bulan dan tidak ada yang hidup setelah 1 tahun.

26
Daftar Pustaka

1. Aston. W, Timothy B, Louis S. Tumours. In : Louis S, Selvadurai N, David


W, editors Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth Edition.
Boca Raton : Taylor and Francis Group, LLC ; 2010. P. 216-218
2. Buga S, dan Sarria JE, The Management of Pain in Metastatic Bone
Disease, Cancer Control, 2012, vol 19, No 2, hal: 156-166.
3. Plunkett TA dan Rubens RD. 2005. Textbook of bone Metastases. Clinical
Features and Prognosis of Bone Metastases. John Wiley and Sons. West
Sussex. Hal:65-75
4. Capanna R dan Campanacci DA. 2005. Textbook of bone Metastases.
Indications for the Surgical treatment of Long Bone Metastases. John
Wiley and Sons. West Sussex. Hal:135-145
5. Coleman RE, Clinical Features of Metastatic Bone Disease and Risk of
Skeletal Morbidity, Clinical Cancer Research, 2006;12:6243s-6249s. 135-
146.
6. Cumming D, dkk. Metastatic bone disease: the requirement for
improvement in amultidisciplinary approach,International Orthipaedics
(SICOT), 2009:33:493-496.
7. Jacofsky DJ, dkk, MetastaticDisease to Bone. Hospital Physician,
2004:21-28.
8. Lipton A, Patophysiologi of Bone Meastases: How This Konowledge May
Lead to Therapeutic Intervention. Journal of Supportive Oncology,
2004;2:205-220.
9. Rajarubendra N dan Lawrentschuk N. 2010. Bone Cancer progression and
Therapeutic Approaches, Imaging of Bone Metastases. Edisi 1. Elsevier.
San Diego, hal: 269-281.
10. Schirrmeister H dan Arslandemier C. 2010. Bone cancer Progression and
Therapeutic Approach.Edisi 1.Diagnosis of Skeletal Metastases in
Malignant Extraskeletal Cancers. Springer. Leipzig. Hal:283-293.
11. Solomon L. dkk. 2010. Apleys System of Orthopaedics and Fractures,
Metastatic Bone Disease, Edisi 9. Hodder Arnold. London., hal:216-218

27
12. Yu HHM, dkk, Overview of Diagnosis and Management Of Metastatic
Disease to Bone, Cancer Control, 2012, vol 19, No2, hal : 84-91.

28

Anda mungkin juga menyukai