Anda di halaman 1dari 5

Nama : Audini Berbasari

NIM : 1308012021

TUGAS ILMU PENYAKIT MATA

23 Oktober 2018

1. Apa yang dimaksud dengan Oftalmia Simpatetik?


2. Jelaskan tipe reaksi hipersensitivitas !

Jawab :

1. Oftalmia simpatika merupakan panuveitis granulomatosa bilateral yang jarang


terjadi. Dapat terjadi karena trauma tembus mata atau setelah operasi intraokular.
Misalnya pada operasi katarak, ada kecelakan terjepitnya jaringan uvea pada saat
penjahitan. Mata yang mengalami trauma ini disebut exciting eye, kemudian 2 minggu
setelahnya mata yang lain juga ikut mengalami uveitis. Mata yang satunya ini disebut
sympathizing eye.
Manifestasi kliniknya tergantung pada segmen mata yang terlibat. Oftalmia
simpatika terutama disebabkan oleh trauma tembus bola mata (65%), sedangkan 25%
lainnya terjadi pada pasca bedah yang membuka bola mata, serta 10% disebabkan oleh
trauma yang lain. Beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya oftalmia
simpatika adalah adanya jaringan uvea dan kapsul lensa yang terjepit luka, retensi benda
asing di dalam bola mata, uveitis yang rekurensi pada exciting eye, dan badan silier yang
ikut terkena trauma. Apabila inflamasi awalnya terjadi pada badan siliar, gambaran
klinis paling awal yang terjadi pada sympathizing eye adalah adanya sel-sel pada
ruang retrolental (belakang lensa). Apabila inflamasi yang terjadi menjadi semakin
parah dan kronis, kedua mata akan menunjukkan adanya nodul-nodul Koeppe dan
presipitat keratik (KP) dengan bentuk mutton fat. Jika tidak segera diterapi dengan
midriatikum, dapat timbul sinekia posterior. Di segmen posterior perubahan yang
terjadi adalah bintik-bintik noda kecil, dalam berwarna putih kekuningan, sama seperti
nodul Dalen Fuchs; yang letaknya tersebar di kedua fundus. Edema nervus optikus
dan edema subretina juga sering terjadi.

Histopatologi:
Terdapat perubahan dominan sel T helper CD4+ (Pada stadium awal penyakit) menjadi
sel T sitotoksik CD8+ (Pada stadium lanjut). Pada sebanyak 25-35% kasus timbul nodul
Dalen fuchs (Paling sering pada koroid, dekat RPE). Pada nodul ini awalnya terdapat
makrofag, tetapi lama-kelamaan juga akan diisi oleh epitel retina yang mengalami
depigmentasi atau degenerasi.
Immunopatologi:
Terjadi reaksi antara respon imun yang dimediasi sel dengan fotoreseptor sel retina
(diduga pada S-antigen, rhodopsin, RBP, recoverin, melanin).
Pada mata normal, antigen intraokuler akan terbawa langsung ke peredarah darah dan
juga limfa, tetapi saat terjadi trauma, maka akan terjadi paparan ke konjungtiva sehingga
antigen intraokuler akan masuk ke limfe nodus konjungtiva dan mencetuskan respon
imun dimediasi sel.

Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai patofisiologi oftalmia


simpatika. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa oftalmia simpatika merupakan
proses infeksi dan reaksi hipersensitivitas. Teori yang lebih banyak dianut saat ini adalah
teori hipersensitivitas atau reaksi imun terhadap pigmen uvea. Pengelolaan oftalmia
simpatika pada prinsipnya meliputi terapi konservatif dan operatif. Terapi konservatif
meliputi pemberian terapi steroid maupun terapi agen immunosupresif. Steroid topical
yang digunakan adalah prednisolon asetat 1% tiap 1hingga 2 jam, kemudian injeksi
periokular berupa dexamethasone sub konjungtiva 4 – 5 mg dalam 0,5 ml 2 – 3 kali per
minggu. Prednison per oral 60 – 80 mg diberikan setiap hari bersama anti H2 yaitu
ranitidine 150 mg per oral 2 kali sehari. Terapi imunosupresan dapat digunakan pada
kasus yang parah yang resisten terhadap steroid, misalnya dengan klorambusil,
siklofosfamid atau siklosporin. Pengelolaan secara operatif dengan enukleasi dalam
2 minggu setelah terjadinya trauma pada exciting eye akan mencegah terjadinya
oftalmia simpatika pada kebanyakan kasus.

2. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang


pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Berdasarkan klasifikasi Coombs & Gel, dapat dibagi menjadi:
 Tipe I: Hipersensitivitas anafilaksis (IgE)
 Tipe II: Hipersensitivitasi sitotoksik (IgG atau IgM)
 Tipe III: Hipersensitivitas kompleks imun
 Tipe IV: Hipersensitivitas tipe lambat (Dimediasi sel)
Hipersensitivitas tipe I

Disebut juga tipe cepat, alergi, anafilaksis, IgE-associated immune response. timbul segera
sesudah tubuh terpajan dengan alergen.

Terdiri dari beberapa fase, yaitu:

1. Fase Sensitisasi: yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast/basophil.
2. Fase aktivasi: yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast basophil melepas isinya yang berisi granul yang menimbulkan
reaksi. hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor: yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai mediator-
mediator yang dilepas sel mast/basophil dengan aktivitas farmakologik.
Hipersensitivitas tipe II

Diakibatkan oleh adanya antibody yang bereaksi terhadap antigen pada permukaan sel. Sehingga
terjadi reaksi imunologis yang menghancurkan sel tubuh sendiri. Contoh dari kasus ini adalah
reaksi transfuse, anemia hemolitik autoimun dan purpura trombositopenik.

Hipersensitivitas tipe III

Diakibatkan oleh adanya kompleks imun dalam tubuh yang kemudian bereaksi dengan sel-sel
inflamasi misalnya pada penyakit SLE, RA, alergi obat (Penicillin dan sulfonamide) dan
beberapa penyakit infeksi (meningitis, hepatitis, malaria).

Hipersensitivitas tipe IV

Disebut juga dengan hipersensitivitas tipe lambat. Respons ini tidak melibatkan antibodi. Reaksi
ini terbagi menjadi humoral dan seluler. Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe
IV. Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan
respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam delayed type hypersensitivity yang terjadi melalui sel
CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+. Respons ini akan bekerja
melalui beberapa mekanisme:
1. Apoptosis
2. Pengaktifan makrofag dan NK-cell untuk menghancurkan patogen
3. Pengaktifan sitokin-sitokin proinflamasi

Anda mungkin juga menyukai