Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Syok Kardiogenik

Disusun Oleh:
Sadam Husen I4061172056

Pembimbing:
dr. Nizam, Sp. JP

SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG RUMAH SAKIT TINGKAT II


DUSTIRA CIMAHI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TANJUNGPURA 2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

Syok Kardiogenik

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, Juni 2019

Pembimbing Penulis

dr. Nizam, Sp. JP Sadam Husen

2
BAB I
PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn.D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 53 Tahun
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Jl. Ibu sangki, gg. Ujani
Masuk RS via IGD : 17 Juni 2019 Pukul 14:00

B. Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang:
Nyeri dada dirasakan sejak 3 bulan lalu yang dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan
seperti tertindih beban berat dan tidak menjalar, nyeri timbul saat pasien
beraktifitas/bekerja. Pasien juga mengeluhkan sering berkeringat dingin saat timbul nyeri.
Nyeri dada disertai sesak nafas. Nyeri dan sesak agak sedikit berkurang saat pasien
baring dengan bantal tinggi. Mual tidak ada. Muntah tidak ada. Demam tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Diabetes mellitus 17 tahun lalu
- Jantung 3 bulan lalu

3
Riwayat Penyakit Keluarga:
Orang tua menderita Diabetes mellitus
Riwayat Sosial:
Pasien perokok aktif 1-2 bungkus/hari

C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran Berat : Compos Mentis (E4M6V5)
Tinggi Badan : 168 cm
Berat Badan : 75 cm
Status Gizi : Kelebihan berat badan (BMI : 26,6)
Tekanan Darah : 100/80 mmHg
Denyut Nadi : 150x/menit, reguler, lemah
Napas : 30 x/menit
Temperatur : 36,2 0C
Saturasi O2 : 99% (Nasal canul)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 3
mm/3 mm, reflex cahaya langsung dan tak langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-), aurikula hiperemis (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-),mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah (-)
Hidung : Sekret (-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), hepatojugular reflex (-), JVP 5+3 cmH2O
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri baik statis maupun dinamis,retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil paru kanan dan kiri sama, massa (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis ICS V linea axilaris anterior, trhill (-)
Perkusi : Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra, batas
jantung kanan pada ICS III linea parasternalis dextra, batas jantung kiri
pada ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi : SI/SII regular, murmur (-), S3 gallop (-), ekstrasistol (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal, 8 kali per menit
Palpasi : Soepel, massa (-), nyeri tekan (+), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Dingin, edema piting peritibial -/-, CRT >2 detik

5
D. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin (17/06/2019)
Hemoglobin : 12,8 g/dl MCV : 82,8 fl
6
Eritrosit : 4,5 x 10 /µl MCH : 28,6 pg
Leukosit : 12.300/µl MCHC : 34,6 g/dl
Hematokrit : 37%
Trombosit : 346.000/µl

Kimia Klinik (17/06/2019)


GDP : 112 mg/mL
Troponin I : 0,23 ng/mL

Electrocardiography
17/06/2019 14:30

Interpretasi
Irama : Sinus Takikardi
Frekuensi : 150 bpm regular
Axis : Normal axis
Gelombang P : Normal (lebar <3 mm, tinggi <2,5 mm)
Interval P-R : Normal (lebar 3-5 mm)
Gelombang QRS : Normal (0,08 detik)
Segmen ST : elevated ST segment pada sadapan V2-V5
Gelombang T : tidak ada T inverted
QT interval
: 0,24 s
: Sinus takikardi, dengan frekuensi 125 bpm regullar, normo axis
Kesimpulan dengan Infark miokad antero apical
Resume Medis
E. Resume
Pasien datang ke IGD dengan keluhan Nyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak 3 bulan
lalu yang dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti tertindih beban berat dan
tidak menjalar, nyeri timbul saat pasien beraktifitas/bekerja. Pasien juga mengeluhkan
sering berkeringat dingin saat timbul nyeri. Nyeri dada disertai sesak nafas. Nyeri dan
sesak agak sedikit berkurang saat pasien baring dengan bantal tinggi. Mual tidak ada.
Muntah tidak ada. Demam tidak ada. Pasian memiliki riwayat penyakit Diabetes
mellitus sejak 17 tahun lalu dan memiliki penyakit jantung sejak 3 bulan lalu. Serta
pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak 1-2 bungkus sehari. Riwayat penyakit
keluarga, ibu pasien mendira penyakit diabetes mellitus.

F. Diagnosa
Diagnosis klinis : Acute Coronary Syndrome (CAD 3VD)
Diagnosis anatomis : Infark miokard antero apical
Diagnosis etiologi : Atherosklerosis
Diagnosis tambahan : Diabetes Melitus Tipe 2

G. Penatalaksanaan
Non medikamentosa:
a. Bed rest, posisi kepala elevasi 30’
b. Pro ICU

Medikamentosa:

Terapi awal di IGD:

- IVFD RL asnet
- Inj. Arixtra 1 x 2,5 mg (im)
- Inj.Furosemide 40 mg (iv)
- Po. Brilinta 180 mg
- Po. Nitrokaf 2 x 2,5 mg
- Po. Rosufer 1 x 20 mg
- Po. Ramipril 1 x1,25 mg
- Po. Cpz 1 x25 mg
H. FOLLOW-UP
18/06/2019 (ICU)
S : Nyeri dada (+), cegukan (+)
O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 100/70 mmHg, HR: 150x/menit, SpO2: 98%
(nasal canul), RR: 30x/menit, S1S2 Regullar, Murmur (-), Gallop (-), Rhonki +/+,
Wheezing-/-, Akral dingin, CRT>2detik. GDS: 170 mg/dl, HbA1C: 9,9 %,

A:- Syok Kardiogenik


- ACS ulang pada CAD 3VD
- DM tipe 2

P : - Inj.Arixtra 1 x 2,5 mg (im)


- Dobutamin 15 micro/kgBB/menit
- Levosol 0,2 micro/kgBB/menit
- Po. Brilinta 1 x 90 mg
- Po. Rosufer 1 x 20 mg
- Po. Aptor 1 x 100 mg
- Po. ISDN prn
- Po. CPZ 1 x 25 mg

19/06/2019 (ICU)
S : Keluhan nyeri dada (+), Cegukan (+).
O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 119/70 mmHg, HR: 180x/menit, RR:32x/menit
SpO2: 97% (Nasal canul), GDP: 320mg/dl, S1S2 Regullar, Murmur (-), Gallop(-),
Rhonki +/+, Wheezing-/-, Akral dingin, CRT>2detik. GDS:246 mg/dl,
A:- Syok Kardiogenik
- ACS ulang pada CAD 3VD
- DM tipe 2
P : - Drip Dobutamin 15 mg/kgBB/menit
- Drip Levosol 0,2 mg/kgBB/menit
- Inj. Arixtra 1 x 2,5 mg (im)
- Po. Aptor 1 x 100 mg
- Po. Brilinta 1 x 90 mg
- Po. Resufer 1 x 20 mg
- Po. ISDN prn
- CPZ 1 x 25 mg prn

20/06/2019 (ICU)
S : Nyeri dada berkurang.
O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 120/80 mmHg, HR: 142x/menit, RR:26x/menit
SpO2: 98% (nasal canul), S1S2 Regullar, Murmur (-), Gallop(-), Rhonki +/+,
Wheezing-/-, Akral Dingin, CRT>2detik. Elektrolit ( Na: 130 nmol/L, K: 4,3
nmol/L, clorida: 99 nmol/L), Fungsi ginjal (Ureum: 30 mg/dl, Creatinin: 1.0
mg/dl)

A: - Syok Kardiogenik
- ACS ulang pada CAD 3VD
- DM tipe 2

P: - Drip Dobutamin 3 micro/kgBB/menit


- Drip Levosol 0,2 mg/kgBB/menit
- Inj. Arixtra 1 x 2,5 mg (iv)
- Po. Aptor 1 x 100 mg
- Po. Brilinta 2 x 90 mg
- Po. Rosufer 1 x 20 mg
- Po. Furosemide 1 x 40 mg
- Po. ISDN prn
- Po. CPZ 1 x 25 mg

21/06/2019 (ICU)
S: Nyeri dada (-), Sesak (-), Cegukan (-)

O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 100/66 mmHg, HR: 93x/menit, RR:20x/menit


SpO2: 98% (nasal canul), S1S2 Regullar, Murmur (-), Gallop(-), Rhonki -/-,
Wheezing-/-, Akral Dingin, CRT>2detik. GDS: 152 mg/dl

A: - Syok Kardiogenik (perbaikan klinis)


- ACS ulang pada CAD 3VD
- DM tipe 2

P: - Po. Aptor 1 x 100 mg


- Po. Brilinta 2 x 90 mg
- Po. Rosufer 1 x 20 mg
- Po. Bisoprolol 1 x 0,625 mg
- Po. Furosemide 1 x 40 mg prn

22/06/2019 (R.Ceremai)
S: Tidak ada Keluhan

O: O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 100/70 mmHg, HR: 98x/menit, RR:20x/menit


SpO2: 97%, S1S2 Regullar, Murmur (-), Gallop(-), Rhonki -/-, Wheezing-/-, Akral
hangat, CRT>2detik. Lemak (Kolesterol total: 72 mg/dl, Trigleserida: 130 mg/dl,
LDL: 35 mg/dl, HDL: 18 mg/dl)

A: - Syok Kardiogenik (perbaikan klinis)


- ACS ulang pada CAD 3VD
- DM tipe 2

P: - Po. Brilinta 2 x 90 mg
- Po. Aptor 1 x 100 mg
- Po. Rosufer 1 x 20 mg
- Po. Ramipril 1 x 1,25 mg
- Po. Bisoprolol 1 x 0,625 mg
- Po. Furosemide 1 x 40 mg
- Po. ISDN prn
BAB II
PEMBAHASAN

Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang pasien di diagnosis
menderita Acute Coronery Syndrome (ACS) karena Coronery Artery Disease tree Vassel
Disease (CAD 3VD), serta mengalami syok kardiogenik dan Diabetes mellitus.
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu definisi operasional yang menggambarkan
spektrum kondisi terjadinya iskemia dan atau infark miokardium yang disebabkan
pernurunan aliran darah koroner yang bersifat tiba-tiba.1 SKA merupakan suatu masalah
kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit (RS) dan
angka kematian yang tinggi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, SKA dibagi menjadi:2
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMA-EST)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (IMA-NEST)
3. Angina Pektoris tidak stabil (APTS)
Penilaian awal pasien dengan dugaan sindrom koroner akut. Penilaian awal didasarkan
pada integrasi kemungkinan rendah atau kemungkinan tinggi yang berasal dari keadaan
klinis (yaitu, gejala, tanda vital), EKG 12-lead, dan troponin jantung.Untuk diagnosis
berdasarkan penemuan klinis yaitu "Luar jantung" meliputi miokarditis, kardiomiopati, Tako-
Tsubo, atau takiaritmia. "Non-jantung" mengacu pada penyakit toraks seperti pneumonia atau
pneumotoraks. Troponin jantung harus diinterpretasikan sebagai penanda kuantitatif, semakin
tinggi levelnya, semakin tinggi kemungkinan adanya infark miokard. Pada pasien dengan
serangan jantung atau hemodinamik yang tidak stabil diduga berasal dari kardiovaskular.3

Gambar 1.
Diagnosis STEMI didasarkan pada gejala yang konsisten dengan iskemia miokard (yaitu
nyeri dada persisten) dan tanda ST elevasi pada EKG. Petunjuk penting adalah riwayat CAD
dan radiasi nyeri pada leher, rahang bawah, atau lengan kiri. Beberapa pasien datang dengan
gejala yang kurang khas seperti sesak napas, mual / muntah, kelelahan, jantung berdebar, atau
sinkop. Pengurangan nyeri dada setelah pemberian nitrogliserin (glyceryl trinitrate) dapat
menyesatkan dan tidak direkomendasikan sebagai manuver diagnostik. Dalam kasus
pengurangan gejala setelah pemberian nitrogliserin, EKG 12-lead lain harus diperoleh.
Normalisasi lengkap dari elevasi segmen-ST setelah pemberian nitrogliserin, bersama dengan
penyembuhan gejala yang lengkap, menunjukkan adanya spasme koroner, dengan atau tanpa
MI terkait.3
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang
tinggi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi 3 yaitu
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial
infarction), Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction) dan Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina
1
pectoris).

Infark miokard didefinisikan secara patologis sebagai kematian sel miokardial


akibat iskemia yang berkepanjangan. Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut
(STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya baik secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
1
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk trombus yang
kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh darah
koroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
1
mengalami nekrosis (infark miokard).

13
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien
dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina
1
Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
1
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan Keluhan atipikal ini lebih
sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun),

14
wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit jantung koroner (PJK). Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina
ekuivalen sebagai keluhan SKA, maka terminologi angina ini lebih mengarah pada
1
keluhan nyeri dada tipikal.
Adapun keluhan pasien ini lebih mengarah kepada keluhan angina tipikal, yaitu
terdapat nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan seperti tertimpa benda berat, menjalar
hingga ke punggung. Nyeri terjadi tiba-tiba, berdurasi lebih dari 20 menit dan tidak
membaik saat dibawa istirahat. Keluhan tersebut disertai dengan tidak enak badan,
terasa meriang dan keringat dingin, tidak nafsu makan, mual dan pusing. Pada 2 hari
yang lalu pasien mengeluh perut yang tidak nyaman, sulit BAB dan BAK. Pasien
mempunyai riwayat penyakit hiperkolestrolemia dan diabetes melitus yang terkontrol
sejak 2 tahun yang lalu dan sudah menggunakan insulin sejak 1,5 tahun.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau
edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Namun tidak sedikit juga
1
ditemukan pemeriksaan fisik yang normal pada pasien dengan SKA. Pada pasien ini
ditemukan tanda-tanda vital masih dalam batas normal kecuali tekanan darah yang
rendah yaitu 90/60 mmHg serta frekuensi nadi yang cepat yaitu 120x/menit.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di
IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 10 menit harus dilakukan untuk
1
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)

15
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (=20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST
elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai
ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada
sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia =40 tahun adalah =0,2 mV, pada pria usia
<40 tahun adalah =0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen
ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah =0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah =0,05 mV, kecuali pria
usia <30 tahun nilai ambang =0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan
V7-V9 adalah =0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan
dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI
kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat
segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan
LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen S =1 mm pada
sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST=1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan, dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.

16
Pada EKG pasien didapatkan hasil sinus takikardi, debgan frekuensi 125
bpm regullar, normo axis dengan adanya iskemik anterolateral.

Pemeriksaan marka jantung. Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T


merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark
miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab
nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti

17
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli
paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin
T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis
miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis
miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal
dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah
awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-
MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam).
Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. Pada pasien ini, nilai
troponin I meningkat yaitu >10,00 ng/ml.

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di


ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak

18
boleh menunda terapi SKA. Pada pasien ini didapatkan leukositosis, monositosi,
hiperglikemia dan hiperkolestrolemia.
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk
diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah
saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain
sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga
seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan. Sebisa mungkin, penanganan pasien
STEMI sebelum di rumah sakit dibuat berdasarkan jaringan layanan regional yang
dirancang untuk memberikan terapi reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila
fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan
yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan
pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer
sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan


untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)
baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,

19
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap
pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki
fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit
tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih
dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan


dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila

20
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan
awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti
balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada
arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien
stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila
pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual
antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-
eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS). Pasien yang
akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT)
berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi
(Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat
dikonsumsi secara oral (160-320mg).
Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali
sehari) (Kelas I-B).
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading
600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
diindikasikontrakan (Kelas I-C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer, dengan
pilihannya antara lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih
dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas IIb-B).
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B).
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan
untuk IKP primer (Kelas III-A).

21
Koterapi antikogulan
1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama
rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama
terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia
dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8
hari pemberian (Kelas IIa-B)
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau
fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan pasien yang
mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut
ini merupakan rekomendasi dosis:

22
a. Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan
untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah
diberikan (Kelas II-C).
b. Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam
8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12
jam, maka ditambahkan enoxaparin intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
c. Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIIa
(Kelas II-C)
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C).

Pada pasien ini dilakukan tatalaksana awal di IGD berupa bed rest, posisi kepala
elevasi 30’, IVFD Nacl 0,9% microdrip asnet. Pasien datang pada pukul 09.05 WIB
kemudian direncanakan dilakukan terapi reperfusi pada pukul 10.00 WIB berupa IKP
Primer. Pada pasien ini diberikan SC Lovenox (Enoxaparin Na) 0,3cc, Brilinta
(Ticagleror) 2 x 90mg, Aspilet (Acetylsalicylic acid) 1 x 80mg hal ini sesuai dengan
rekomendasi pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena
(Kelas I-C). Kemudian diberikan Recansa (Rosuvastatin) 1 x 20mg, hal ini telah
sesuai dengan rekomendasi ESC untuk memulai terapi statin intensitas tinggi seperti
atorvastatin 40 – 80 mg atau rosuvastatin 20 – 40 mg sedini mungkin, kecuali
dikontraindikasikan dan mempertahankan terapi ini dalam jangka panjang (kelas I
3
level A). Kemudian diberikan ISDN (Isosorbit dinitrat) 1 x 5mg prn (tunda jika
tekanan sistole 90 atau lebih rendah) diberikan bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Kemudian diberikan alprazolam 1 x 0,25mg prn biasanya diberikan jika
pasien gelisah. Dan diberikan Novorapid 3 x 6U secara

23
subcutan dikarenakan nilai GDS tinggi yaitu 360 mg/dl. Setelah dilakukan terapi
IKP Primer dengan pemasangan 1 stent BMS 2,75x33 mm di Proximal-Mid LAD
pasien dirawat di ruang HCU untuk dilakukan observasi, kemudian dipindahkan
ke ruangan biasa keesokan harinya dan diizinkan pulang.
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien
yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular
selanjutnya dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran
dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat
pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya
hidup sebelum pasien dipulangkan. Terapi jangka panjang yang disarankan setelah
pasien pulih dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-
A). Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi =40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia (Kelas I-B).

24
Pada pasien ini diberikan terapi jangka panjang berupa, Brilinta (Ticagleror)
jangka panjang dengan dosis pemeliharaan 2x90 mg (Kelas I-C), Aspilet
(Acetylsalicylic acid) 1 x 80 mg merupakan terapi antiplatelet dengan aspirin
dosis rendah (75-100 mg) yang diindikasikan tanpa henti (Kelas I-A), Recansa
(Rosuvastatin) 1 x 20 mg sebagai statin perlu diberikan atau dilanjutkan tanpa
memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A), Concor (Bisoprolol) 1 x 2,5 mg,
Lisinopril (ACE inhibitor) 1 x 2,5 mg sebaiknya diberikan pada semua pasien
(kelas II-A), ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI
dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior
(Kelas I-A) dan ISDN 3 x 5 mg p.r.n. Untuk prognosis pada pasien ini di nilai
menggunakan score Killip, yaitu termasuk ke dalam killip 1 yaitu tidak terdapat
gagal jantung (tidak terdapat ronki maupun S3) dengan nilai mortalitas 6%.

25
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis berupa nyeri dada yang tipikal, disertai dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan STEMI
anteriolateral dan dilakukan primary PCI, serta prognosis killip 1 dengan
mortalitas sebesar 6%.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat.


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2018
2. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD;
Writing Group on the Joint ESC/ACC/AHA/WHF Task Force for the
Universal Definition of Myocardial Infarction. Fourth universal definition
of myocardial infarction. Eur Heart J 2018.
3. ESC Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in
Patients Presenting with ST-segment Elevation. European Heart Journal.
2017
4. Nagam MR, Vinson DR, Levis JT. ECG Diagnosis: Right ventricular
myocardial infarction. Prem J. 2017; 21:16-105.
5. Kusumoto F, et al. ECG Interpretation: From Pathophysiology to Clinical
Application. New York: Springer Science+Business Media LLC; 2009.
6. Lily LS, et al. Pathophysiology of Heart Disease: Collaborative project of
medical students and faculty. Edition 6th. China: Wolters Kluwer; 2016.
th
7. Fuster V, et al. Hurst’s The Heart. Edition 14 . New York: McGraw-Hill
Education; 2017.
8. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E. Braunwald’s
Heart Disease: A textbook of cardiovascular medicine. Edition 10th.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.
9. Hashmi KA, Shehzad A, Hashmi AA, Khan A. Atrioventricular block
after acute myocardial infarction and its association with other clinical
parametes in Pakistani patients: an institutional perspective. BMC Res
Notes. 2018; 11:329.
10. Kusumoto FM, Schoenfeld MH, Barrett C, dkk. 2018 ACC/AHA/HRS
Guidline on the evaluation and management of patients with bradycardia
and cardiac conduction delay. Journal of the American college of
cardiology. 2018

27

Anda mungkin juga menyukai