Anda di halaman 1dari 7

TUGAS UJIAN ANESTESI

Oleh : Yaumil Agisna Sari


NIM : H1A 012 063
Penguji : dr. Hijrineli, Sp.An

I. KETAMIN
Ketamin adalah satu-satunya anestetik intravena yang selain bersifat analgesik kuat juga
mampu merangsang sistem kardiovaskuler sesuai dengan dosis pemberiannya. Frekuensi
jantung, tekanan darah arteri, dan curah jantung meningkat secara bermakna dari nilai
dasarnya. Puncak peningkatan variabel-variabel tersebut terjadi 2-4 menit setelah pemberian
bolus intravena dan menurun secara perlahan pada nilai normalnya setelah 10- 20 menit.
Peningkatan plasma, epineprin dan norepineprin terjadi dalam 2 menit pertama setelah
pembersihan bolus intravena dan kadarnya akan kembali pada kadar dasar pada waktu
kurang dari 15 menit.
Ketamin bekerja nyata untuk meningkatkan darah ke otak, konsumsi oksigen dan tekanan
intrakaranial. Ketamin menurunkan frekuensi pernafasan, tonus otot saluran nafas akan
terkontrol dengan baik dan reflek-reflek saluran nafas biasanya tidak terganggu. Penggunaan
ketamin telah dikaitkan dengan kondisi disorientasi paska operasi, ilusi penginderaan,
persepsi dan gambaran mimpi yang seolah hidup (yang disebut fenomena awal sadar /
emergence phenomena).
Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/KgBB IV atau 3-5 mg/KgBB IM. Stadium depresi
dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesia dapat diberikan dosis 25- 100
mg/KgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit. Mekanisme kerja ketamin
bekerja sebagai antagonis nonkompetitif pada reseptor NMDA yang tidak tergantung pada
tegangan akan mempengaruhi ikatan pada tempat ikatan fensiklidin. Reseptor NMDA adalah
suatu reseptor kanal ion (untuk ion na+, ca2+, dan k+) maka blockade reseptor ini berarti
bahwa pada saat yang sama, ada blockade aliran ion sepanjang membrane neuron sehingga
terjadi hambatan pada depolarisasi neuron di SSP. Mekanisme kerja ketamin mungkin
dengan cara menghambat efek membrane eksitatori neurotransmitter asam glutamat pada
suptipe reseptor NMDA. Ketamin merupakan obat yang sangat lipofilik dan didistribusikan

1
dengan cepat ke dalam organ-organ yang kaya vaskuler, termasuk otak, hati dan ginjal
kemudian obat ini di distribusikan kembali kedalam jaringan-jaringan yang kurang
vaskularisasinya, bersamaan dengan metabolismenya di hati untuk selanjutnya dibuang ke
urin dan empedu.
Ketamin memberikan efek pada sistem kardiovaskuler melalui rangsangan dari sistem
simpatis pusat dan sebagian kecil melalui hambatan pengambilan noreprineprin pada
terminal saraf simpatis. Kenaikan Tekanan darah dan frekuensi jantung sekitar 30 % serta
peningkatan Noradrenalin di dalan tubuh. Pada tahap pemulihan dapat timbul mimpi buruk
dan halusinasi. Persepsi ilusi ini dapat berulang kembali pada tahap lanjutan sampai beberapa
jam, bahkan setelah beberapa hari. Kejadian seperti ini dapat dicegah dengan pramedikasi
dengan benzodiazepin. Serta produksi saliva yang bertambah banyak. Ketamin tidak
menimbulkan nyeri dan tidak menimbulkan iritasi, obat ini dapat merangsang kardiovaskuler
yaitu dipertahankannya tekanan darah pada penderita dengan risiko buruk dan sebagai
bronkodilator.Ketamin juga sering digunakan untuk pasien anak karena efek anestesia dan
analgesia dapat dicapai dengan pemberian injeksi intramuskular. Ketamin juga dapat
digunakan pada pasien geriatric yang beresiko tinggi mengalami syok, karena dapat
memberikan stimulasi jantung. Namun demikian, pada pemberian ketamin telah dilaporkan
beberapa efek samping antara lain: transien erythema, keadaan mimpi buruk, halusinasi, dan
delirium dapat disertai dengan fonasi dapat terjadi pada anestesi ketamin ringan.

II. JENIS CAIRAN INFUS


1. Cairan hipotonik
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah
dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum.
Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip
cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-
sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien
cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah
tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan
tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan

2
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl
45% dan Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen
darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).
Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal
jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal
saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi dan
disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi dari kristaloid
hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular.
Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya karena
perbaikan preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek
inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi
kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek
samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia.
Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5%
dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL.

III. OPIOID
1. KLASIFIKASI
Golongan opioid antara lain ialah: (a) obat yang berasal dari opium-morfin ; (b) senyawa
semisintetik morfin ; (c) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. 3 Di dalam klinik
opioid dapat digolongkan menjadi (a) lemah (kodein) dan (b) kuat (morfin). Akan tetapi
pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya
pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat
menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.
Penggolongan opioid lain adalah (a) opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan
tebain), (b) semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan (c) sintetik
(petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

3
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat
digolongkan menjadi (a) agonis opioid; (b) antagonis opioid; dan (c) Agonis-antagonis opioid
(campuran).
a) Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,
tertama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh; morfin, papaveretum, petidin
(meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

b) Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan
pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.
c) Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada
beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh
pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.

2. OBAT- OBAT GOLONGAN OPIOID YANG SERING DIGUNAKAN DALAM ANESTESI

A. MORFIN
a. Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos.
Efek morfin pada sistem syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.
Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif reflek spinal,
konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH).
b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin
juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui
janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam
tinja dan keringat.

4
c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan
nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Apabila nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan juga semakin besar. Morfin sering digunakan untuk meredakan
nyeri yang timbul pada infark miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi
akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner, perikarditis akut, pleuritis dan
pneumotorak spontan, nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca
bedah.
d. Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan,
nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan
pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.
e. Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan
diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi
nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan
dapat diulang sesuai yang diperlukan.

B. PETIDIN
a. Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor µ. Seperti
halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi
nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah
dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis
3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin
1) Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2) Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat
dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari
10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.

5
3) Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia.
4) Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5) Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.
6) Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
c. Farmakokinetik

Absorbsi meperidin dengan cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma
biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi.
Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2
jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin
dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia
meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian
mengalami konjugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.
Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-
demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan
intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat
masuk ke fetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
d. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan
klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat
preanestetik.
e. Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong
dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
f. Efek samping

6
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,
berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,
palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

3. FENTANIL
a. Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,
fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama
aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan
dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf
tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang
tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi.
Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.
b.Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
c. Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg BB
analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia
pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk
induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan
inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.
d.Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah
dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.

Anda mungkin juga menyukai