Anda di halaman 1dari 20

REFERAT MEI 2019

TRAUMA GINJAL

Oleh :
RIFKA ULFA ROSYIDA
N 111 17 092

PEMBIMBING KLINIK
dr. ARISTO, Sp. U

DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM UNDATA
PALU
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Secara anatomis sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga


ekstraperitoneal (kecuali genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot-otot dan organ-
organ lain. Oleh karena itu jika didapatkan cedera organ genitalia, harus diperhitungkan
pula kemungkinan adanya kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar
cedera organ urogenitalia bukan cedera yang mengancam jiwa, kecuali cedera berat
pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang cukup luas dan
kerusakan atau terputusnya pembuluh darah ginjal.1
Insiden cedera traktus urinarius yang disertai dengan trauma abdominal adalah
10%. Trauma ginjal sendiri terjadi 1-5% dari semua kasus trauma. Ginjal adalah organ
genitourinarius yang paling sering cedera, rasio laki-laki banding perempuan adalah
3:1. Meskipun trauma ginjal secara akut dapat mengancam jiwa, namun
penanganannya dapat secara konservatif. Selama 20 tahun terakhir, kemajuan dalam
hal pencitraan dan strategi penatalaksanaannya dapat menurunkan tindakan intervensi
operasi dan meningkatkan perbaikan pada ginjal.2
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering
terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma
abdominal. Trauma tumpul langsung disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olahraga,
kecelakaan kerja, atau perkelahian. Cedera ginjal umumnya menyertai trauma berat
yang terjadi bersamaan dengan cedera organ lain, tetapi tidak jarang trauma ringan atau
terjatuh menyebabkan cedera ginjal yang serius. Trauma tidak langsung, misalnya
jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan pergerakan ginjal
secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Keadaan ini dapat menyebabkan
avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menyebabkan
trombosis.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi
cekungnya menghadap ke medial. Cekungan ini disebut sebagai hilus renalis,
yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat
ginjal, yakni pembuluh darah, sistem limfatik, dan sistem saraf. Ginjal kanan
biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi
tempat lobus hepar kanan yang besar. Ginjal dipertahankan dalam posisi
tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan
lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
guncangan.4

Gambar 1. Anatomi Ginjal 4


Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis
cairan tubuh. Ginjal terletak dalam rongga abdomen, retroperitoneal primer kiri
dan kanan kolumna vertebralis yang dikelilingi lemak dan jaringan ikat di
belakang peritoneum. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke-11 dan ginjal kanan
setinggi iga ke-12 dan batas bawah ginjal kiri setinggi vertebrae lumbalis ke-3.
Setiap ginjal memiliki panjang 11-25 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2,5 cm. ginjal
kiri lebih panjang dari ginjal kanan. Berat ginjal pada pria dewasa 150-170 gram
dan wanita dewasa 115-155 gram dengan bentuk seperti kacang, sisi dalamnya
menghadap ke vertebrae thorakalis, sisi luarnya cembung dan di atas setiap ginjal
terdapat sebuah kelenjar suprarenal.4
Fungsi ginjal adalah
1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun.
2. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
4. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin
dan amoniak
5. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang
6. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah
7. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah
merah. 4
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak
kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut
papilla renalis. 4
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis
berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi
dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi
dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga
yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks
dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila
atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk
dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.4
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah kira-kira
1,3 juta buah pada tiap ginjal. Pada dasarnya nefron terdiri dari bagian-bagian
sebagai berikut:4
A. Glomerulus
Bagian ini mengandung anyaman kapiler yang terletak di dalam kapsul
bowman dan menerima darah dari arteriola aferen dan meneruskan darah
kesistem vena melalui arteriol aferen. Glomerulus berdiameter 200mm,
dibentuk oleh invaginasi suatu anyaman kapiler yang menempati kapsula
bowman dimana cairan difiltrasikan.
1) Filtrasi glomerulus
- Cairan yang difiltrasikan melalui glomerulus ke dalam kapsula
bowman disebut filtrat glomerulus
- Lapisan pada membran glomerulus
 Lapisan endotel kapiler
 Membrane basalis
 Lapisan sel epitel yang diilustrasikan pada permukaan luar
kapiler glomerulus.
Tetapi permeabilitas kapiler membrane glomerulus 100-1000 kali
permeabilitas kapiler biasa.
2) Laju filtrasi glomerulus
- Adalah jumlah filtrate glomerulus yang dibentuk setiap menit dalam
semua nefron kedua ginjal
- Pada orang normal sekitar 125 ml/mnt, tetapi dalam berbagai
keadaan dapat berubah sampai 200 ml/mnt.
- Filtrasi glomerulus terjadi dengan cara yang hamper sama seperti
merembesnya cairan pada kapiler yang bertekanan tinggi ke dalam
tubuh, yaitu tekanan di dalam kapiler glomerulus menyebabkan
filtrasi cairan melalui membrane kapiler kedalam kapsula bowman.
Sebaliknya tekanan osmotic koloid di dalam darah dan tekanan di
dalam kapsula bpwman menentang filtrasi tersebut. Tekanan
kapsula bowman sekitar 18 mmHg, tekanan osmotic koloid sekitar
32 mmHg.
- Tekanan filtrasi adalah tekanan netto yang memaksa cairan keluar
melalui membrane glomerulus, dan ini sama dengan tekanan
glomerulus dikurangi jumlah tekanan osmotic koloid glomerulus
dan tekanan kapsula, sehingga tekanan filtrasi normal sekitar 10
mmHg.

GFR = tekanan filtrasi x Kf

Kf. Normal adalah 12,5 ml permenit per mmHg.


- Faktor yang mempengaruhi LFG (GFR)
a) Tekanan arteri, bila tekanan arteri meningkat, akan
meningkatkan tekanan di dalam glomerulus sehingga LFG
meningkat.
b) Efek kontriksi arteriol aferen, pada LFG kontriksi arteriol aferen
menurunkan kecepatan aliran darah kedalam glomerulus.
c) Efek kontriksi arteri eferen, dapat meningkatkan tahanan
terhadap aliran keluar dari glomerulus dan meningkatan LFG,
tetapi bila penyempitan arteri terlalu besar dan aliran darah
sangat terhalang maka LFG juga menurun.
d) Efek aliran darah glomerulus atas laju filtrasi glomerulus, bila
arteriol aferen dan eferen berkontraksi, maka jumlah darah yang
mengalir ke glomerulus tiap menitnya akan menurun. Kemudian
karena cairan filtrasi dari glomerulus maka konsentrasi protein
plasma dan tekanan osmotic koloid plasma di dalam glomerulus
akan meningkat.
B. Tubulus
 Filtrasi glomerulus yang memasuki tubulus nefron mengalir 1) melalui
tubulus proksimal, 2) ansa henle, 3) tubulus distalis, 4) duktus
koligentes, kedalam pelvis ginjal.
 Sepanjang perjalanan ini zat di reabsorbsi dan di sekresi secara selektif
oleh epitel tubulus, dan cairan yang dihasilkan memasuki pelvis ginjal
sebagai urin.
Vaskularisasi ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra
lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kava inferior yang
terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus,
arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara
piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola
interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini
kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus.4

Gambar 2. Vaskularisasi Ginjal


Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang
membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler
peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan
kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena
interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal
dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-
25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal
berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran
darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen
mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon
terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan
aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan.4

2.2. Trauma Ginjal


A. Definisi Trauma Ginjal
Trauma ginjal dapat disebabkan karena luka penetrasi atau trauma
tumpul (trauma tertutup). Trauma ginjal dapat disebabkan dari trauma
multiple dan dapat muncul karena trauma lainnya. Trauma ginjal yang paling
sering adalah trauma tertutup dan kerusakan pada ginjal bisa disebabkan oleh
kompresi dari tulang rusuk atau kolumna vertebra. 5
B. Epidemiologi Trauma Ginjal
Trauma ginjal terjadi sekitar 1-5% dari semua kasus trauma. Trauma
ginjal sering terkait dengan usia muda dan yang berjenis kelamin laki-laki,
insiden yang terjadi sekitar 4.9 per 100,000. Sekitar 85-90% trauma ginjal
terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalu
lintas. 2,5
C. Etiologi Trauma Ginjal
Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik
pada jaringannya. Cedera ginjal dapat terjadi secara (1) langsung akibat
benturan yang mengenai daerah pinggang atau (2) tidak langsung, yaitu
merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di
dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat
merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Goncangan ginjal di
dalam rongga retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal
sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan
memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat
menimbulkan thrombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera
ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal,
antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.3
Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu
1. Trauma tajam
2. Trauma iatrogenik
3. Trauma tumpul
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 %
penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada
abdomen bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang
disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal. 3
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi
atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde
pyelography, percutaneous nephrostomy dan percutaneous lithotripsy.
Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik-teknik di atas,
insidens trauma iatrogenik semakin meningkat, tetapi kemudian menurun
setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma
ginjal.3
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan
lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan,
kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.3
D. Patofisiologi Trauma Ginjal
Secara patologis, trauma pada ginjal dapat dibagi atas kontusio, laserasi,
dan cedera pedikel. Mekanisme trauma dapat berupa trauma tumpul atau
trauma tembus (penetrating injury). Trauma ginjal tumpul diklasifikasikan
sesuai keparahan luka dan yang paling sering ditemukan adalah kontusio
ginjal. Kontusio ginjal terdapat pada sekitar 80% trauma tumpul ginjal.
Terdapat perdarahan di parenkim ginjal tanpa adanya kerusakan kapsul,
kematian jaringan maupun kerusakan kaliks. Penting untuk mengetahui
informasi yang berkenaan dengan riwayat trauma adalah besarnya proses
decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan
kerusakan pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh
darah vena, atau avulsi pedicle ginjal. 2
Laserasi ginjal yang disertai dengan trauma pada vaskularisasi, hanya
terjadi sekitar 10%-15% dari seluruh trauma tumpul ginjal. Laserasi ginjal
terjadi karena adanya robekan parenkim, mulai dari kapsul ginjal berlanjut
sampai pelviokaliks. Cedera pedikel ginjal dapat berupa cedera pada arteri
maupun vena utama ginjal ataupun cabang segmentalnya. Laserasi yang
mengenai pelvis biasanya disertai hematuria. 2,3
E. Klasifikasi Trauma Ginjal
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi
trauma ginjal menjadi lima derajat sesuai dengan tingkat keparahan cedera.
Trauma ginjal diklasifikasikan dari derajat I-V. 6
Tabel 1. Penderajatan Trauma Ginjal
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal
dibedakan menjadi cedera minor, cedera major dan cedera pada pedikel atau
pembuluh darah ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan
cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera major (derajat III dan
IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.6

Gambar 3. Derajat Trauma Ginjal 6


F. Diagnosis Trauma Ginjal
Penilaian awal pasien trauma harus meliputi jalan napas, mengontrol
pendarahan yang tampak, resusistasi syok jika diperlukan. Pada kasus
multiple trauma resusistasi harus segera dilakukan. Pada banyak kasus
pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan dengan stabilisasi pasien. Dada,
perut dan pinggang tidak boleh luput dari pemeriksaan. Ketika trauma pada
ginjal dicurigai maka diperlukan evaluasi lebih lanjut. 1
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan pada pasien yaitu riwayat
trauma, kencing berdarah (gross hematuria), nyeri/jejas pada daerah
pinggang, dan mekanisme deselerasi yang cepat, seperti pada: jatuh dari
ketinggian atau kecelakaan bermotor dengan kecepatan tinggi, serta
trauma langsung pada region flank. 5,9
Pada riwayat penyakit sebelumnya perlu ditanyakan apakah
kemungkinan adanya disfungsi organ sebelum terjadinya trauma.
Terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa riwayat penyakit
ginjal seperti hidronefrosis, batu ginjal, kista, atau tumor daoat
memperberat trauma. 5
Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan stabilitas hemodinamik
karena merupakan kriteria utama dalam penatalaksanaan semua trauma
ginjal. Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus
pada region flank, lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus,
panjangnya luka tidak secara kurat mengambarkan dalamnya penetrasi.
Penemuan berupa; hematuri, jejas dan nyeri pada pinggang, patah tulang
iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai adanya trauma pada
ginjal. 5
Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat 7
1. Trauma di daerah pinggang,punggung, dada sebelah bawah, dan
perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya
jejas pada daerah itu
2. Hematuria
3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus
spinosus vertebra
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau
kecelakaan lalu lintas
b) Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium penting dilakukannya pemeriksaan
urinalisa, darah rutin, dan kreatinin. Urinalisa merupakan pemeriksaan
dasar untuk mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria
mikroskopis pada pasien trauma dapat didefenisikan sebagai adanya >5
sel darah merah per-lapang pandang besar, sementara pada gross
hematuria telah dapat dilihat langsung pada urin. Hematuria merupakan
poin diagnostic penting untuk trauma ginjal, tetapi hematuria tidak
berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma
ginjal yang berat seperti robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel
ginjal, atau pedikel ginjal dapat terjadi tanpa disertai adanya hematuria.8
c) Pemeriksaan Radiologi
Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang
dicurigai menderita trauma ginjal, yaitu: 8
1) Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan
yang tepat dan menentukan prognosisnya
2) Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma
3) Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral
4) Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya
Cara-cara pemeriksaan traktus urinarius dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu: foto polos abdomen, pielografi intravena, urografi
retrograde, arteriografi translumbal, angiografi renal, tomografi,
sistografi, computed tomography (CT-Scan), dan nuclear Magnetic
resonance (NMR). 8
Indikasi dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal
antara lain adalah:
1) Trauma tumpul dan gross hematuria. Gross hematuria adalah
indikasi paling banyak untuk trauma saluran kemih. Derajat
hematuria tidak ada hubungannya dengan beratnya trauma.
2) Trauma tumpul, hematuria mikroskopik dan syok. Hematuria
mikroskopik yang signifikan adalah >5 RBC/HPF. Dikatakan syok
jika tekanan darah pada sistolik didapatkan <90 mmHg.
3) Trauma deselerasi mayor. Ginjal hanya dapat diperbaiki oleh 2 poin,
yaitu ureter dan vaskularisasi.
4) Mikroskopik atau hematuria setelah trauma abdomen
5) Trauma pasien anak dengan mikroskopik yang signifikan atau
hematuria.
Jenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis dan
fasilitas yang dimiliki oleh klinik yang bersangkutan. Pemeriksaan
pencitraan dimulai dari IVU (dengan menyuntikan bahan kontras, dosis
tinggi 2 ml/kgBB) guna menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat
keadaan ginjal kontralateral. Pembuatan IVU dikerjakan jika diduga ada
(1) luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal, (2) cedera tumpul
ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik, dan (3)
cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
mikroskopik dengan disertai syok. 1,8
Pada dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda
hematuria mikroskopik tanda disertai syok melakukan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) sebagai pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan
USG ini diharapkan dapat menemukan adanya kontusio parenkim ginjal
atau hematoma subkapsuler. Dengan pemeriksaan ini dapat pula
diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal. USG doppler dapat
digunakan untuk menilai aliran darah yang menuju ke ginjal. Pada USG
dengan kontras, pencitraan dengan baik dapat dilihat pada posisi pasien
1,8
supine atau dekubitus kontralateral.
Keuntungan pemeriksaan ini adalah:
1. non-invasif,
2. dapat dilakukan bersamaan dengan resusitasi, dan
3. dapat membantu mengetahui keadaan anatomi setelah trauma.
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah:
1. memerlukan pengalaman sonografer yang terlatih,
2. pada pemeriksaan yang cepat sulit untuk melihat mendeskripsikan
anatomi ginjal, dimana kenyataannya yang terlihat hanyalah cairan
bebas,
3. trauma bladder kemungkinan akan tidak dapat digambarkan.
Jika IVU belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada
ginjal non visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan atau
arteriografi. Computed Tomography (CT) merupakan gold standar
pemeriksaan radiologi pada pasien trauma ginjal dengan hemodinamik
stabil. CT scan lebih akurat untuk menilai lokasi trauma, mendeteksi
kontusio dengan jelas, memberikan gambaran retroperitoneum dan
hematom, dan secara simultan memberikan gambaran abdomen dan
pelvis.
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah:
1. pemeriksaan ini memerlukan kontras untuk mendapatkan informasi
yang maksimal mengenai fungsi, hematoma dan perdarahan;
2. pasien harus dalam keadaan stabil untuk melakukan pemeriksaan
scanner; dan
3. memerlukan waktu yang tepat untuk melakukan scanning untuk
melihat bladder dan ureter.

G. Penatalaksanaan Trauma Ginjal


Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan
membutuhkan penilaian yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan
prioritas yang telah ditetapkan oleh American College of Surgeons Acute
Trauma Life Support Program meliputi; A, airway dengan proteksi servikal
collar; B, Breathing; C, Circulation dan mengontrol pendarahan; D, disability
atau status neurologis; dan E, exposure and environment. 5,8
Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah
meminimalisir morbiditas dan mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena itu
eksplorasi ginjal harus dipastikan dengan sangat selektif. Derajat trauma
ginjal, kondisi pasien secara keseluruhan, dan kebutuhan akan transfusi
merupakan faktor prognosis untuk nefrektomi dan hasil akhir secara
keseluruhan. 5,8
Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal
merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik pada
trauma tumpul maupun trauma tembus. Indikasi lain untuk dilakukannya
eksplorasi adalah hematom perirenal yang pulsatile dan ekspanding
(berdenyut dan meluas). 5
Gambar 4. Algoritma Trauma Ginjal
1) Manajemen non-operatif / konservatif
Manajemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan untuk
pasien-pasien trauma ginjal. Semua kasus trauma ginjal grade 1 dan 2
dapat dirawat secara konservatif baik pada trauma tumpul atau trauma
tembus. Terapi pada trauma ginjal grade 3 telah menjadi kontroversi
selama bertahun-tahun. Mayoritas pasien dengan trauma ginjal grade 4
dan 5 datang dengan trauma penyerta dan akhirnya menjalani eksplorasi
dan tingginya angka nefrektomi. 5,8
Pasien trauma ginjal grade 4 dan 5 dapat dirawat konservatif dengan
syarat kondisi hemodinamik stabil. Ekstravasasi urin bukan indikasi
mutlak untuk dilakukan eksplorasi, dan umumnya dapat sembuh dengan
sendirinya. Jika derajat ekstravasasi makin berat dalam 48 jam dapat
dipertimbangkan insersi JJ stent. Pasien dengan hemodinamik stabil harus
dilakukan penilaian derajat trauma dengan lengkap untuk memastikan
luasnya trauma. Kasus luka tembak dengan kecepatan peluru yang rendah
atau luka tusuk kecil dapat dirawat dengan hasil yang dapat diterima.
Pendekatan klinis yang sistematis berdasarkan pada temuan klinis,
laboratorium, dan penunjang radiologi dapat meminimalisir angka negatif
eksplorasi. 8
2) Manajemen eksplorasi
Tujuan utama eksplorasi adalah untuk mengontrol pendarahan dan
menyelamatkan ginjal. Mayoritas ahli menganjurkan pendekatan
transperitoneal (laporatomi). Akses pada pedikel ginjal lebih baik
dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal poterior, dengan insisi
di atas aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.1,8
Indikasi eksplorasi renal dibagi menjadi indikasi absolut dan relatif.
Perdarahan ginjal yang terus menerus, ditandai dengan hematoma yang
meluas di daerah atas retroperitoneal atau hematoma yang paliatif dan
konsisten, serta berhubungan dengan laserasi parenkim renal mayor atau
pembuluh darah ginjal merupakan indikasi absolut eksplorasi renal.5
Sedangkan adanya ekstravasasi urin oleh karena laserasi pelvis renal
avibat ekstensi laserasi parenkim hingga sistem pengumpul adalah
indikasi relatif. Indikasi relatif lainnya adalah ditemukannya nonviable
tissue, incomplete staging dan adanya trombosis arteri yang biasanya
menyertai perdarahan dan kombinasi dari kombinasi hal-hal di atas.8
Salah satu prinsip yang menyebabkan dilakukannya nefrektomi
setelah trauma adalah perdarahan ginjal, kerusakan masif. Sedangkan
kerusakan ginjal lainnya dapat dilakukan repair atau rekonstruksi.
Prinsip-prinsip repair pada trauma ginjal :
a) total renal exposure penting untuk mengamati cedera secara penuh,
b) debridement,
c) hemostasis,
d) collecting system closure dengan cara-cara seperti penutupan defek
(defect coverage), nefrektomi parsial, dan renorrhaphy.

H. Komplikasi
1. Komplikasi Awal: 9
a. Delayed bleeding
b. Ekstravasasi urin
c. Abses
d. Sepsis
e. Fistel urina
f. Hipertensi
2. Komplikasi Lanjut 9
a. Hipertensi
b. Fistel arteriovena
c. Hidronefrosis
d. Batu
e. Pielonefritis

I. Prognosis
Hasil yang didapatkan dari pengobatan bervariasi tergantung pada
penyebab dan luasnya trauma (ruptur). Kerusakan kemungkinan ringan dan
reversible, kemungkinan membutuhkan penanganan yang sesegera mungkin
dan munkin juga menghasilkan komplikasi.1
Dengan pengawasan yang baik biasanya cedera ginjal memiliki prognosis
baik. Pengawasan ketat tekanan darah, follow up ekskresi urografi dapat
mendeteksi adanya hidronefrosis atau hipertensi. 1,9
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, B.B. Trauma Urogenitalia dalam Dasar-dasar Urologi Edisi Ketiga.


Jakarta. Sagung Seto : 2011
2. Kitrey, N.D. et al. Guidelines on Urological Trauma. European Association of
Urology: 2016
3. Sjamsuhidajat, R. et al. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta. EGC: 2010.
4. Setiadi. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Edisi Pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu :
2007.
5. Scott, R. et al. Urology Illustrated. New York. Churchill Livingstone : 2003
6. Patel, P. et al. Management of Renal Injuries in Blunt Abdominal Trauma. Vol.2.
Journal of Research in Medical and Dental Science. Department of General
Surgery. Gujarat : 2014
7. Hashim, H. et al. Urological Emergency in Clinical Practice. Briston Urological
Institute Southmead Hospital. Briston : 2005
8. Brandes, S.B. et al. Renal Trauma: A Practical Guide Evaluation and Management.
The Scientific World Journal. The Department of Urology University of Calofornia
San Fransisco School of Medicine. San Fransisco : 2004
9. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2010

Anda mungkin juga menyukai