TESIS
TESIS
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
anugerah dan berkat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sekaligus
pendidikan saya di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Saya menyadari apa yang telah saya capai sampai saat ini, baik selama
menjalani proses pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan
selama mengerjakan tesis ini adalah tidak terlepas dari bantuan, bimbingan,
dukungan, kerjasama serta doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
izinkanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih saya yang sebesar-besarnya
kepada :
Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, KEMD sebagai Ketua Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, sekaligus anggota dewan penguji ujian tesis
terbuka saya dan Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, KGer,
M.Epid, FACP sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
terdahulu atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk dapat
mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
dr. Aida Lydia, Ph.D, SpPD,KGH selaku Ketua Program Studi saat ini
dan kepada Dr. dr. Aru W Sudoyo, SpPD, KHOM, FACP selaku Ketua
Program Studi terdahulu, serta kepada para staf koordinator pendidikan,
atas bimbingan dan perhatian yang diberikan selama masa pendidikan.
dr. Arya Govinda Roosheroe, SpPD, KGer selaku Ketua Divisi Geriatri
yang telah memberikan kesempatan, kemudahan dan dukungan bagi saya
untuk melakukan penelitian di Divisi Geriatri.
Prof. Dr. dr. Siti Setiati, SpPD, KGer, MEpid; dr. Sally Aman
Nasution, SpPD. KKV; selaku pembimbing penelitian saya yang telah
banyak memberikan saran, ide, arahan, dukungan dan waktu diskusi yang
sangat berharga selama saya menjalankan penelitian ini.
dr. Esthika Dewiasty, SpPD, MSc selaku pembimbing statistik penelitian
saya yang telah sabar dan banyak sekali memberikan bimbingan, masukan,
v Universitas Indonesia
vi Universitas Indonesia
ix Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..............................x
ABSTRAK ............................................................................................................. xi
ABSTRACT .......................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN ........................................................... xviii
RINGKASAN ........................................................................................................50
SUMMARY ...........................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................54
xv Universitas Indonesia
RR Relative Risk
SE Standar Error
1 Universitas Indonesia
signifikan pada pasien usia lebih dari 70 tahun sebesar 19% dibandingkan pasien
usia kurang dari 60 tahun sebesar 2,8%.7
Pasien STEMI usia lanjut mempunyai luaran yang lebih buruk
dibandingkan pasien STEMI usia muda. Keadaan ini disebabkan oleh banyaknya
penyakit penyerta (komorbiditas) pada usia lanjut seperti hipertensi, diabetes
mellitus, gangguan ginjal, gangguan elektrolit dan anemia yang menyebabkan
tingginya mortalitas pada pasien yang diberikan terapi medikamentosa maupun
terapi reperfusi. Penyebab lainnya yaitu kurangnya evidence based mengenai
tatalaksana STEMI pada populasi usia lanjut, presentasi klinis yang atipikal
sehingga terlambat mendapatkan terapi yang tepat, serta kurangnya fasilitas
kateterisasi di rumah sakit setempat.8
Sampai saat ini penelitian mengenai pemilihan terapi pada STEMI di
populasi usia lanjut masih kontroversi. Penelitian-penelitian yang setuju dilakukan
terapi reperfusi pada pasien STEMI usia lanjut antara lain, penelitian yang
dilakukan oleh Wu,dkk menunjukkan mortalitas enam bulan meningkat pada
pasien STEMI usia lanjut yang tidak mendapat terapi reperfusi (50% vs 0%),9
penelitian Berger dkk menunjukkan mortalitas 30 hari pada pasien yang
mendapatkan terapi reperfusi 13% sedangkan tidak reperfusi 20,6%, penurunan
ini terjadi juga pada mortalitas satu tahun (19,3% vs 36,9%,).10 Penelitian lain,
mortalitas selama perawatan di rumah sakit pasien yang mendapat terapi reperfusi
dibandingkan yang tidak reperfusi pada usia lebih dari 75 tahun sebesar 48% vs
81% (risiko relatif (RR) 0,43, p=0,0002).11 Penelitian Zhang dkk menunjukkan
major adverse cardiac events (MACE) satu tahun yang menurun signifikan pada
pasien usia lebih dari 75 tahun yang mendapat terapi reperfusi (21.3% vs 45,2%,
p=0,029).12
Sedangkan beberapa penelitian yang mengatakan bahwa terapi reperfusi
meningkatkan mortalitas yaitu penelitian Global Utilization of Streptokinase and
TPA for Occluded Coronary Arteries (GUSTO) yang menunjukkan terapi
reperfusi berisiko terjadinya stroke dan perdarahan besar pada usia lanjut.13
Penelitian controlled Abciximab and Device Investigation to Lower Late
Angioplasty Complications (CADILLAC) menunjukkan pasien yang mendapat
terapi reperfusi mortalitas satu tahun meningkat tujuh kali lipat pada pasien usia
Universitas Indonesia
lanjut (1,6% menjadi 11%) dibandingkan pasien usia muda.14 Penelitian lain
menemukan terdapat 17% risiko terjadinya ruptur dinding jantung dan 90%
kematian pada pasien usia lanjut yang mendapat terapi reperfusi.15 Penelitian the
Gruppo Italiano per lo Studio Della Sopravvivenza nell’Infarto Miocardico II
(GISSI-2) menunjukkan terapi reperfusi menyebabkan kematian mendadak
disebabkan ruptur jantung sebanyak 86% pada usia lanjut dibandingkan pasien
19% pada usia muda.7 Penelitian Thiemann dkk menunjukkan bahwa terapi
reperfusi pada pasien dengan STEMI usia lanjut tidak bermanfaat mengurangi
mortalitas.16 Penelitian lain yang menunjukkan tidak reperfusi menunjukkan
mortalitas menurun (2,7% vs 0,5%) dan resiko perdarahan lebih rendah.17
Penelitian Collins dkk menunjukkan pasien usia lanjut yang dicurigai STEMI dan
tidak mendapat terapi reperfusi terjadi penurunan mortalitas sebesar 25%. 18
Kontroversi pemilihan terapi yang ada saat ini disebabkan beberapa uji
klinis menyatakan meningkatnya mortalitas bila diberikan terapi reperfusi karena
efek samping seperti stroke, perdarahan, ruptur jantung, adanya komorbid (seperti
hipertensi, diabetes melitus, gangguan ginjal, gangguan elektrolit dan anemia),
coronary artery disease (CAD) yang berat, fungsi ventrikel kiri yang menurun,
juga terdapat presentasi klinis yang tidak khas menyebabkan pasien datang
terlambat.15,19 Studi Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE)
menunjukkan 30% pasien STEMI dengan keluhan gejala nyeri dada terjadi selama
kurang dari 12 jam, namun tidak diberikan terapi reperfusi, hal ini disebabkan
gejala klinis yang tidak khas, usia lebih dari 75 tahun (odds ratio [OR] 2,63
interval kepercayaan [IK]95% 2,04-3,38), jenis kelamin wanita, dan pada pasien
congestive heart failure (CHF).20 Sementara itu di Indonesia sendiri masalah yang
dihadapi adalah keterlambatan pasien datang ke rumah sakit yang disebabkan
banyak hal, salah satunya karena takut datang ke rumah sakit, pasien tidak tahu
kalau mendapat serangan jantung, tidak mempunyai biaya dan kemacetan
lalulintas.21
Tujuan pengobatan pada pasien STEMI adalah untuk mencapai reperfusi
secepat mungkin. Semakin dini reperfusi terjadi, semakin cepat miokard jantung
dapat diselamatkan sehingga prognosis lebih baik. Pasien STEMI mempunyai
risiko yang tinggi sehingga memerlukan reperfusi dengan tepat, baik dengan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
7 Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
8
Universitas Indonesia
adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel
pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 (VCAM-1)),
Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi
menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif
endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami
differensiasi menjadi makrofag.35 Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang
juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya
membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat
kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor
necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin
mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel
otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler)
pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika
media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis
yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh
darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim
yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.35
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos
dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan
kecenderungan untuk mengalami ruptur.35 LDL yang termodifikasi meningkatkan
respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik,
menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya
mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan
memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain,
sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis,
merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah
terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada
plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini
menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses
antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas
plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang
Universitas Indonesia
terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses
penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika
bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen
pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami ruptur. Kebanyakan plak
aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu.
Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-
80%. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan
terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang
diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus.37
Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit,
pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi
plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan
bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit.36 STEMI
terjadi bila disrupsi plak dan trombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi
iskemia transmural dan nekrosis.
Pada usia lanjut seperti yang sudah dijelaskan diatas terjadi perubahan
sistem kardiovaskular akibat proses degenerasi, sehingga menyebabkan denyut
jantung basal menurun, respon terhadap stress menurun, compliance ventrikel kiri
menurun akibat proses remodelling sehingga terjadi hipertrofi, senile amyloidosis,
terjadinya kelainan katup karena sklerosis dan kalsifikasi yang berujung disfungsi
katup, disamping itu juga terjadi perubahan sistem konduksi jantung akibat
fibrosis, compliance pembuluh darah perifer menurun, sehingga terjadi
peningkatan afterload dan terjadi proses aterosklerotik. Fungsi kognitif, fisik,
penyakit komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, gagal
jantung, gagal ginjal, riwayat stroke, sepsis, serta metabolisme obat juga diketahui
bervariasi pada usia lanjut dan dapat menutupi gejala klinis STEMI yang khas
menjadi tidak khas, begitupula respon terhadap terapi.
Diagnosis STEMI yaitu adanya nyeri dada iskemik, gambaran EKG
menunjukkan segmen ST-elevasi baru di J-point dalam 2 lead yang berdekatan
dengan titik cut-off dari ≥ 0.2 mV pada pria atau ≥ 0,15 mV pada wanita di lead
V2 dan V3 dan atau ≥ 0,1 mV di lead lain.38 Apabila terdapat gambaran EKG left
bundle branch block (LBBB) baru dapat dipikirkan STEMI, dan gambaran ini
Universitas Indonesia
yang sering terlihat pada usia lanjut. Biomarker jantung meningkat pada STEMI
tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis awal. Reperfusi harus segera diberikan
berdasarkan presentasi klinis dan temuan EKG dan tidak boleh ditunda sampai
terdapat hasil biomarker jantung. Nilai biomarker jantung seringkali normal pada
awal sampai beberapa jam setelah serangan STEMI. Terapi utama STEMI adalah
reperfusi dengan cepat dalam waktu kurang dari 12 jam setelah timbul gejala,
Semakin cepat reperfusi semakin baik outcome. Reperfusi dapat dilakukan baik
dengan PCI primer bila tersedia maupun trombolitik bila tidak ada kontraindikasi.
Trombolitik dapat diberikan sampai 24 jam setelah timbul gejala, adanya gejala
yang menetap, dan gambaran EKG ST-elevasi pada 2 lead EKG yang berdekatan,
LBBB baru atau dianggap baru, atau infark miokard posterior.20
2.3 Perbandingan Terapi Reperfusi dan Tidak Reperfusi pada STEMI Usia
Lanjut
Berkembangnya pengobatan dengan terapi reperfusi dan tidak reperfusi pada
pasien STEMI meningkatkan hasil klinis pada pasien STEMI. Namun STEMI
pada pasien usia lanjut mempunyai risiko yang tinggi untuk dilakukan terapi
reperfusi maupun tidak reperfusi. Kurangnya evidence based dalam pemberian
terapi STEMI pada usia lanjut menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan
untuk memberikan tindakan yang tepat. Guidelines merekomendasikan terapi
reperfusi pada pasien STEMI usia lanjut, namun kenyataannya proporsi pasien
usia lanjut yang mendapat terapi reperfusi berkurang dengan bertambahnya usia.
Usia berhubungan dengan variasi terapi reperfusi baik prosedur invasif ataupun
trombolitik.39
Terapi reperfusi adalah upaya mengembalikan perfusi miokard menjadi
normal kembali. Karena yang menyumbat adalah trombus, upaya reperfusi
dilakukan dengan cara menghancurkan atau mengeluarkan trombus.
Menghancurkan trombus dilakukan dengan menggunakan obat. Mengeluarkan
trombus dilakukan dengan menggunakan alat atau tindakan. Metode
menghancurkan trombus dengan obat dikenal sebagai terapi trombolitik.
Trombolitik bekerja dengan merubah proenzim plasminogen menjadi enzim
plasmin aktif melalui pelepasan ikatan peptida aginin-valin. Plasmin melisiskan
Universitas Indonesia
bekuan fibrin dan merupakan suatu serum protease nonspesifik yang mampu
merusak plasminogen dari faktor V dan VIII, juga dapat bertindak sebagai
penghambat agregasi trombosit pada stenisis arterial.40 Metode mengeluarkan
trombus dengan alat atau tindakan dikenal dengan istilah PCI primer.41 Apabila
fasilitas PCI tersedia, PCI harus dilakukan dalam 90 menit sejak pasien datang ke
rumah sakit (door-to-balloon time). Apabila fasilitas PCI tidak tersedia dapat
diberikan trombolitik dalam waktu 30 menit setelah pasien datang ke rumah sakit
(door-to-needle time). Pada pasien usia lanjut transfer dari fasilitas PCI yang tidak
tersedia ke fasilitas PCI yang tersedia harus dilakukan bila pasien mempunyai
kontraindikasi dilakukan trombolitik, gagal dengan terapi trombolitik, atau PCI
tidak dapat dilakukan dalam waktu 90 menit.25 Rescue PCI didefinisikan sebagai
tindakan PCI pada pasca trombolisis tetapi arteri koroner tetap tersumbat. PCI
dipertimbangkan jika terdapat tanda-tanda gagal trombolisis didasarkan pada data
gejala klinis, resolusi segmen ST < 50%, adanya infark yang luas dan jika PCI
dapat dilakukan dalam 12 jam setelah mulai keluhan nyeri dada.42
Data sebelumnya menunjukkan, pasien usia lanjut yang dapat dilakukan
PCI dalam waktu 90 menit setelah datang ke rumah sakit hanya 4%-5% kasus.43
Pasien STEMI usia lanjut memiliki komorbiditas seperti diabetes mellitus, fungsi
ginjal menurun, penyakit serebrovaskular, gagal jantung, terbatas kapasitas
fungsional dan demensia, sehingga hal ini menjadi pertimbangan dalam
memutuskan terapi yang akan dilakukan pada pasien. Disamping itu Efek
samping obat lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut karena perbedaan dalam
penyerapan obat, metabolisme, distribusi, dan ekskresi. Oleh karena itu, perhatian
khusus harus diarahkan untuk menghindari interaksi obat yang merugikan serta
memastikan penyesuaian dosis obat yang tepat sesuai dengan fungsi ginjal.6
Meskipun terapi reperfusi sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir,
namun di dalam beberapa penelitian tidak memasukkan populasi usia lanjut
karena manfaat dan komplikasi terapi reperfusi masih kontroversi dilakukan pada
usia lanjut.44 Meskipun manfaat dari terapi trombolitik baik diberikan pada pasien
STEMI usia kurang dari 75 tahun, namun pada usia lebih dari 75 tahun masih
kontroversi.45 Penting untuk menyoroti hal ini, karena faktanya pasien STEMI
usia lanjut tidak mendapatkan terapi reperfusi sama sekali. Bahkan usia lanjut
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pasien STEMI usia lanjut banyak yang tidak memenuhi syarat untuk
diberikan terapi reperfusi, hal ini disebabkan karena komplikasi dan tidak pastinya
manfaat.53 Komplikasi yang paling berat terdapat ruptur dinding jantung pada
17,1 % pasien STEMI usia lanjut yang mendapat terapi reperfusi dibandingkan
7,9% pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi. Ruptur dinding jantung
meningkatkan 50 % kematian setelah diberikan terapi reperfusi.52
Pemberian terapi yang kurang adekuat dan lambat serta tidak ada
konsistensi dalam menangani STEMI pada pasien usia sangat lanjut, dan
keinginan untuk memberikan terapi selain daripada terapi reperfusi, menimbulkan
beberapa studi multisenter melakukan evaluasi luaran jangka pendek dan jangka
panjang pada pasien usia sangat lanjut yang mendapat terapi PCI. Penelitian-
penelitian tersebut mengevaluasi semua pasien dalam fase akut yang di rawat dan
diberikan terapi sesuai rekomendasi, hasilnya terdapat 19% kematian di rumah
sakit, sesuai dengan perkiraan pada pasien usia sangat lanjut dengan STEMI.53
Dari hasil tersebut kita dapat melakukan hipotesa, bahwa terapi reperfusi baik
dengan PCI primer ataupun trombolitik dibandingkan tidak mendapat terapi
reperfusi memberikan keuntungan jangka panjang pada terapi STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
CO2↓
Hipertrofi
Suplai O2↑
Ventrikular
Perfusi sistemik ↓
Gagal
Jantung/edema
paru
Kesintasan
Universitas Indonesia
16 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
18
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
19
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
20
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
21
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
22
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB IV
METODE PENELITIAN
23 Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
24
Untuk median dipilih 6 bulan, dengan perbedaan waktu kesintasan selama 6 bulan
yang dianggap bermakna, sehingga:
λ= -ln (0,5)/median
λ2 - λ1 = 0,058
n = jumlah subyek
normal = 1,282
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
25
0,0582
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
26
Kriteria penerimaan
Pengumpulan data:
1. karekteristik demografis dan klinis : usia, jenis
kelamin, pekerjaan, anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium, pemeriksaan penunjang
2. jenis terapi yang didapatkan : reperfusi ( PCI
primer, trombolitik) atau medikamentosa
3. data outcome : meninggal atau hidup
Data didapatkan dari penelusuran rekam medis, telepon dan
mendatangi rumah pasien atau keluarga pasien.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
27
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 5
HASIL PENELITIAN
28 Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
29
N: 855 pasien
N: 274 pasien
N: 185 pasien
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
30
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
31
Killip
Kelas 1 47 (54,7) 33 (33,3) 80 (43,2)
Kelas 2 15 (17,4) 26 (26,3) 41 (22,2)
Kelas 3 6 (7,0) 9 (9,1) 15 (8,1)
Kelas 4 18 (20,9) 31 (31,3) 49 (26,5)
Angiografi Koroner
Satu-Vessel 20 (23,3) 69 (69,7) 89 (48,1)
Multi-vessel 66 (76,7) 30 (30,3) 96 (51,9)
Gangguan fungsi Ginjal
Ya 51 (59,3) 67 (67,7) 118 (63,8)
Tidak 35 (40,7) 32 (32,3) 67 (36,2)
Anemia
Ya 26 (30,2) 30 (30,3) 56 (30,3)
Tidak 60 (69,8) 69 (69,7) 129 (69,7)
Perdarahan aktif
Ya 0 (0,0) 1 (1,0) 1 (0,5)
Tidak 86 (100,0) 98 (99,0) 184 (99,5)
Meninggal dalam 1 tahun
Ya 8 (9,3) 46 (46,5) 54 (29,2)
Tidak 78 (90,7) 53 (53,5) 131 (70,8)
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
32
Tabel 5.3 Hubungan antara Terapi Reperfusi dengan Kesintasan Satu Tahun
Status
Variabel HR (IK 95%)
Hidup Meninggal P
Terapi Reperfusi
Ya 78 (90,7) 8 (9,3) 0,16 < 0,001
Tidak 53 (53,5) 46 (46,5) (0,07-0,33)
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
33
Gambar 5.2 Analisis Kesintasan Kaplan-Meier STEMI pada Usia Lanjut Pada
Kelompok Reperfusi dengan Kelompok Tidak Reperfusi
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
34
Tabel 5.5 Hubungan antara Variabel Perancu dengan Kesintasan Satu Tahun
Status
Variabel HR (IK 95%)
Hidup Meninggal P
Usia
>75 Tahun 8 (47,1) 9 (52,9) 2,35 (1,14-4,82) 0,019
60-75 tahun 123 (73,2) 45(26,8)
Gangguan ginjal
Ya 80 (67,8) 38 (32,2) 1,69 (0,93-3,08) 0,082
Tidak 52 (77,6) 15 (22,4)
Perdarahan aktif
Ya 0 (0,0) 1 (100,0) 4,35 (0,59-3,74) 0,109
Tidak 131 (71,2) 53 (28,8)
CVD hemoragik
Ya 0 (0,0) 0 (0,0) Tidak bisa dinilai
Tidak 185 (100) 0 (0,0)
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
35
Tabel 5.6. Crude HR dan Adjusted HR dengan IK 95% untuk Variabel Perancu
Terhadap Terapi Reperfusi
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 6
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif terhadap 185 pasien usia
lebih atau sama dengan 60 tahun yang dirawat di ICCU RSCM dalam kurun
waktu Januari 2007 sampai dengan Mei 2013 dengan diagnosis STEMI yang
datang ke rumah sakit kurang dari 12 jam setelah onset (golden period).
Pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu pasien usia 60-75
tahun sebanyak 90,8 % dengan median usia pasien 64 tahun dan pasien usia lebih
dari 75 tahun sebanyak 9,2 % dengan median usia 79 tahun. Pasien termuda
dengan usia 60 tahun dan paling tua usia 90 tahun. Hasil penelitian ini serupa
dengan penelitian Dzavik V dkk ( 2003) bahwa pasien usia kurang dari sama
dengan 75 tahun sebanyak 68% dengan median usia 63 tahun dan pasien usia
lebih dari 75 tahun sebanyak 32% dengan median usia 81 tahun.11 Thiemann DR
dkk (2000) melakukan penelitian dan mendapatkan pasien ≤ 75 tahun sebanyak
32% dengan median usia 70 tahun, dan usia > 75 tahun sebanyak 30% dengan
median usia 80 tahun.16 Begitupula penelitian Guagliumi G dkk (2004) dengan
jumlah pasien ≤ 75 tahun sebanyak 22,6% dengan median usia 69 tahun, dan usia
> 75 tahun sebanyak 13,1% dengan median usia 79 tahun.14 Penelitian Wenaweser
P dkk (2007) terdapat pasien ≤ 75 tahun sebanyak 86,5% dengan median usia 65
tahun, sedangkan usia > 75 tahun sebanyak 13,5% dengan median usia 82 tahun.58
Dan penelitian yang dilakukan oleh Lim HS dkk (2009) membagi pasien dalam
dua grup yaitu kelompok usia ≤ 75 tahun sebanyak 78,6% dengan median usia 65
tahun dan usia ≥ 75 tahun sebanyak 75,6% dengan median usia 82 tahun.59 Jumlah
pasien usia > 75 tahun pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan penelitian
lain, kemungkinan ini disebabkan oleh usia harapan hidup yang lebih rendah di
Indonesia jika dibandingkan negara-negara maju lainnya. Usia harapan hidup di
Indonesia pada tahun 2012 menurut world health organization (WHO) adalah 71
36 Universitas Indonesia
tahun, sedangkan usia harapan hidup di Amerika Serikat 79 tahun dan di Inggris
81 tahun.60
Pada penelitian ini terdapat 34,6% pasien yang tidak mempunyai jaminan,
keadaan tersebut sesuai dengan data di Indonesia tahun 2010 bahwa penduduk
yang memiliki jaminan kesehatan 54,8% sedangkan yang tidak memiliki jaminan
kesehatan 40,9 %.61 Keadaan ini juga akan mempengaruhi tatalaksana pada pasien
STEMI terutama pemberian terapi reperfusi. Thabrany dkk mengemukakan bahwa
pendapatan penduduk yang rendah, edukasi yang kurang, akses geografi yang
sulit, perbedaan kurtural, jumlah perusahaan asuransi yang masih terbatas,
merupakan faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan asuransi
kesehatan di Indonesia.62
Penelitian Yi dkk menunjukkan sebagian besar pasien dalam kelompok
terapi reperfusi memiliki asuransi kesehatan (OR=2,42, p=0,004), pendapatan
ekonomi yang lebih tinggi, (OR=1,52, p=0,032) dan latar belakang pendidikan
yang baik (OR=1,42, p=0,049). Pasien dengan asuransi kesehatan dan pendapatan
yang lebih tinggi bisa menerima terapi reperfusi tepat waktu dan efektif, hal ini
menunjukkan pembayaran yang tepat waktu untuk biaya medis juga merupakan
faktor yang mempengaruhi penerimaan terapi reperfusi pada pasien usia lanjut
dengan STEMI. Temuan ini berdampak pada sistem asuransi kesehatan untuk
pengelolaan pasien usia lanjut dengan STEMI. 63
Subjek penelitian terbesar berjenis kelamin pria, pada usia 60-75 tahun
sebanyak 74,4% sedangkan usia > 75 tahun sebanyak 64,7%. Hal ini sesuai
dengan sebagian besar penelitian sebelumnya, seperti penelitian Thiemann DR
dkk mendapakan jenis kelamin pria lebih banyak yaitu 63% pada usia ≤ 75 tahun
dan berkurang di usia > 75 tahun yaitu 49%.16 Penelitian Lim HS dkk
mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75 tahun sebesar 77,6% dan usia > 75 tahun
sebesar 53%.59 Penelitian Wenaweser dkk mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75
tahun sebesar 80,1% sedangkan usia >75 tahun sebesar 63%.58 Penelitian
Guagliumi dkk mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75 tahun sebesar 65,1%,
sedangkan usia >75 tahun sebesar 51,3%.14 Begitu juga dengan penelitian Dzavik
V dkk mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75 tahun sebesar 67,7% sedangkan
usia > 75 tahun sebesar 53,4%.11 Dari penelitian ini dan beberapa penelitian di
Universitas Indonesia
atas dapat dilihat usia > 75 tahun kejadian STEMI pada pria berkurang sementara
pada wanita terjadi peningkatan, hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
mengatakan bahwa STEMI pada wanita terjadi 10 tahun lebih lambat
dibandingkan pada laki-laki.64 Hal ini juga dihubungkan dengan status menopause,
yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infark, yang bukan saja
mempengaruhi profil lipoprotein namun menurunnya kadar estrogen yang akan
mempengaruhi mikrovaskularisasi dari pembuluh darah koroner.65 Douglas, dkk
juga mengelompokkan status menopause sebagai faktor risiko mayor SKA pada
perempuan bersama dengan angina tipikal, diabetes mellitus dan penyakit arteri
perifer.66
6.2 Perbedaan Karakteristik Subyek pada Pasien STEMI Usia Lanjut yang
Mendapat Terapi Reperfusi dengan Tidak Reperfusi
Jenis kelamin pria yang mendominasi pada penelitian ini, dengan presentasi
kelompok reperfusi dan tidak reperfusi hampir sama yaitu 76,7% dan 70,7%.
Mayoritas jenis kelamin laki-laki juga ditemui pada penelitian Thiemann dkk
dengan presentasi 59,3% pada kelompok reperfusi dan 56,8% kelompok tidak
reperfusi.16
Alasan yang menyebabkan presentasi perempuan lebih rendah, sesuai
dengan studi Jneid dkk bahwa wanita seringkali datang dengan keluhan nyeri
dada atipikal sehingga tidak diberikan terapi reperfusi, dan bila diberikan sudah
terlambat..67
Progresivitas aterosklerosis koroner meningkat dengan bertambahnya usia
yang menyebabkan bertambah beratnya STEMI, keadaan ini membutuhkan
tindakan reperfusi segera. Namun sebaliknya, pada penelitian ini persentasi
subyek yang menjalani terapi reperfusi menurun seiring dengan pertambahan usia,
hal ini terlihat pada usia ≤ 75 tahun terdapat 93,0% pasien yang menjalani
reperfusi dan pada usia >75 tahun menurun menjadi 7,0%. Hasil ini hampir sama
dengan penelitian Thiemann dkk yaitu usia ≤ 75 tahun yang mendapat reperfusi
sebanyak 72,6% dan menurun menjadi 26,3% pada usia > 75 tahun.16 Studi
Hochman dkk menunjukkan bahwa reperfusi awal menunjukkan manfaat yang
Universitas Indonesia
signifikan pada pasien usia <75 tahun, sedangkan terapi medikamentosa terbukti
lebih baik pada pasien usia >75 tahun.68
Guidelines merekomendasikan dilakukan terapi reperfusi pada kelompok
usia lanjut, namun proporsi pasien usia lanjut yang menerima terapi reperfusi
menurun seiring dengan bertambahnya usia.69,70 Keadaan ini disebabkan adanya
kontroversi beberapa penelitian, adanya komorbid serta fungsi ventrikel kiri yang
menurun, dan presentasi yang tidak khas pada usia lanjut. Sementara yang harus
dipikirkan adalah tingginya cardiac event pada usia > 75 tahun yang
menyebabkan kematian mencapai 60%.44 Penelitian CADILLAC menunjukkan
pasien yang mendapat terapi reperfusi terjadi peningkatan tujuh kali lipat
mortalitas satu tahun pada pasien usia lebih dari 65 tahun (1,6% menjadi 7,1%,
p<0,001) dibandingkan pasien usia kurang dari 55 tahun.14 Sebaliknya Studi Klein
dkk menunjukkan bahwa pasien yang > 75 tahun akan mendapatkan keuntungan
secara substansial dari terapi reperfusi. Pengobatan dini meningkatkan outcomes
pada populasi ini, seperti pada pasien yang lebih muda, meskipun risiko tinggi
terhadap komplikasi.71
Faktor risiko terbesar yang ditemukan pada kelompok yang dilakukan
reperfusi adalah hipertensi 76,7%, merokok 58,1%, dislipidemia 44,2 %, diabetes
mellitus 43,0 %, riwayat infark 29,1 %, obesitas 22,1 %, riwayat penyakit jantung
koroner pada keluarga terdapat (riwayat PJK pada keluarga) 16,5 %. Hal ini
hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Qi Z dkk (2006) mendapatkan empat faktor risiko terbesar adalah
hipertensi 70,6%, merokok 31,4%, dislipidemia 18,6 %, diabetes mellitus
21,5%.12 Penelitian Schuler J dkk (2006) juga mendapatkan faktor risiko yaitu
hipertensi 62,5%, merokok 39,1%, dislipidemia 43,1 %, diabetes mellitus 27,7%,
riwayat infark 18,2 %, obesitas 25,8 %.72 Penelitian Wenaweser P dkk (2007)
yang mendapatkan faktor risiko terbesar pada populasi penelitiannya adalah
dislipidemia 65,9%, merokok 60,8%, hipertensi 52,4%, riwayat PJK pada
keluarga terdapat 35,5 %, diabetes mellitus 19,6%.58 Begitupula penelitian Yi G
dkk (2014) mendapatkan faktor risiko hipertensi 62%, merokok 34,4 %,
dislipidemia 22 %, diabetes mellitus 25 %.63
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sampai saat ini tidak diketahui.85 Penelitian Bedotto dkk pada 1649 pasien usia
lebih dari 65 tahun dengan multi-vessel disease, hanya 52% pasien yang mendapat
terapi reperfusi dengan tingkat keberhasilan yang didapatkan mencapai 96% dan
komplikasi mayor 3,2%.86
Selama perawatan pasien killip 1 dan 2 yang dilakukan terapi reperfusi
sebanyak 72,1 %, sedangkan pada killip 3 dan 4 sebanyak 27,9 %, hal ini sesuai
dengan penelitian Qi Z dkk yang mendapatkan pasien killip 1 dan 2 sebanyak 83,4
% dan killip 3 dan 4 sebanyak 16,7%.12 sedangkan penelitian Yi dkk mendapatkan
pasien killip ≥ 2 sebanyak 18,2%.63 Kondisi ini dihubungkan dengan mortalitas
pasien STEMI meningkat seiring dengan meningkatnya kelas killip, yaitu: killip I
8,0%, killip II 13,1%, killip III 18,8%, dan killip IV 50,5%.87 Klasifikasi killip,
masih efektif digunakan sebagai stratifikasi risiko dan evaluasi prognostik pasien
dengan STEMI pada dekade terakhir ini terutama secara digunakan di era
reperfusi.88 Syok kardiogenik (Killip kelas IV) terjadi pada 5 sampai 15% pada
pasien STEMI, dan laporan kematian pada pasien ini berkisar 50-80%. Beberapa
laporan terbaru menunjukkan bahwa reperfusi agresif dapat mengurangi angka
kematian pada syok kardiogenik sebesar < 40%.88
Fungsi ginjal yang menurun pada saat pasien dirawat terjadi pada
kelompok pasien yang dilakukan terapi reperfusi sebesar 59,3%. Dewiasty dkk
telah menunjukkan bahwa penurunan fungsi ginjal (eGFR < 60 ml/men) saat awal
perawatan merupakan prediktor independen mortalitas pasien SKA selama
perawatan ICCU ( OR 2,96; IK 95% 1,72-5,10).89 Lebih dari 30% pasien STEMI
memiliki chronic kidney disease (CKD). Di sisi lain, setengah dari kematian pada
pasien CKD disebabkan penyakit kardiovaskular terutama STEMI.90 Penelitian
Skrzypczyk dkk (2013) menjelaskan bahwa terjadinya perdarahan besar
berhubungan dengan fungsi ginjal. Setiap penurunan eGFR 10 ml / menit / 1,73
m2 meningkatkan risiko perdarahan besar (HR 1,6; IK95% 1,3-2,1, p<0,0005).
Kematian meningkat dengan meningkatnya stadium CKD.91 Prosedur reperfusi
koroner, menunjukkan hasil yang lebih buruk pada pasien CKD dibandingkan
pada pasien dengan fungsi ginjal normal.7 Hal ini sebagian dijelaskan oleh adanya
CKD dan aterosklerosis, seperti sebagian besar faktor risiko lain yaitu: usia,
diabetes, hipertensi, obesitas, merokok dan dislipidemia.92 Untuk membuatnya
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dkk (2002) menunjukkan kesintasan satu tahun yang lebih tinggi yaitu 93,5%,
lebih baik daripada pasien tanpa dilakukan reperfusi yaitu kesintasan satu tahun
40%.99
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
lebih memilih pengobatan tradisional yang lebih murah dan bila tidak tertolong
dengan pengobatan tersebut pasien datang ke rumah sakit dengan kondisi
penyakitnya sudah lanjut.
Pada analisis multivariat, didapatkan crude HR 0,16 (IK95%: 0,07-0,33),
untuk variabel reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia
lanjut. Analisis multivariat dilakukan untuk variabel reperfusi dan variabel
perancu dengan nilai p < 0,25, sehingga diperoleh adjusted HR untuk reperfusi
terhadap kesintasan. Setelah dilakukan penyesuaian (adjustment) secara bertahap
terhadap variabel-variabel lain yang mempengaruhi kesintasan yaitu usia, gagal
ginjal, dan perdarahan aktif didapatkan perubahan adjusted HR yang tidak
bermakna. Hal tersebut menunjukkan reperfusi merupakan faktor independen
terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
dihubungi, namun pada penelitian ini sampel yang diambil memenuhi jumlah
sampel yang diinginkan.
Pada bagian akhir dari pembahasan ini, akan sedikit diulas mengenai seberapa
jauh hasil penelitian ini bisa diaplikasikan pada populasi yang lebih luas. Sesuai
dengan prinsip representasi sampel terhadap populasi dan teknik pengambilan
sampel, maka penilaian generalisasi dilakukan terhadap validitas interna serta
validitas eksterna I dan II.
Penilaian terhadap validitas interna dilakukan dengan memperhatikan
apakah subjek yang menyelesaikan penelitian (actual study subjects) dapat
merepresentasikan sampel yang memenuhi kriteria pemilihan subjek (intended
sample). Pada penelitian ini, subjek yang berhasil direkrut hingga tulisan ini
dibuat sebanyak 185 orang atau melebihi dari jumlah sampel minimal yang
dibutuhkan yaitu 162 orang yang diambil dari rekam medis ICCU RSCM periode
januari 2007-mei 2013. Pasien yang dipilih adalah pasien STEMI usia ≥ 60 tahun
yang datang ke rumah sakit sebelum 12 jam setelah onset (golden periode). Pasien
yang drop out pada penelitian ini tidak ada. Pasien dihubungi untuk mengetahui
outcome setelah dilakukan reperfusi atau tidak reperfusi selama satu tahun setelah
pemberian terapi. outcome yang dimaksud adalah pasien yang hidup atau
meninggal selama satu tahun setelah pemberian terapi. Atas dasar ini, validitas
interna dari penelitian ini diperkirakan baik.
Untuk validitas eksterna I, penilaian dilakukan terhadap representasi
subjek yang direkrut sesuai dengan kriteria pemilihan (intended sample) terhadap
populasi terjangkau (accessible population). Populasi terjangkau penelitian ini
adalah pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU RSCM. Teknik perekrutan
subjek (sampling) dari populasi terjangkau diambil secara konsekutif sejak januari
2007- mei 2013 yang memenuhi kriteria penelitian. Teknik sampling ini
merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik untuk
merepresentasikan populasi terjangkau. Pasien STEMI usia lanjut juga tidak
Universitas Indonesia
dipengaruhi waktu atau musim tertentu. Berdasarkan alasan ini, maka validitas
eksterna I dari penelitian ini dianggap cukup baik.
Untuk validitas eksterna II, penilaian dilakukan secara common sense dan
berdasarkan pengetahuan umum yang ada. Dalam hal ini, perlu dinilai adalah
apakah populasi terjangkau dari penelitian ini merupakan representasi dari
populasi target (pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU di Indonesia).
Dengan mempertimbangkan bahwa populasi terjangkau adalah pasien yang
dirawat di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo dimana ICCU RSCM merupakan
rumah sakit pusat rujukan, dan mortalitas dapat terjadi pada pasien STEMI usia
lanjut yang dirawat di semua ICCU rumah sakit di Indonesia, maka dapat
diasumsikan bahwa generalisasi hasil penelitian ini dapat dilakukan pada semua
pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU rumah sakit di Indonesia
sehingga peneliti menilai bahwa validitas eksterna II dari penelitian ini cukup baik.
Berdasarkan uraian diatas, maka generalisasi hasil dari penelitian ini dapat
dilakukan pada pasien STEMI usia lanjut yang berobat ke Rumah Sakit di
Indonesia.
Universitas Indonesia
7. 1 Simpulan.
7. 2 Saran
49 Universitas Indonesia
50 Universitas Indonesia
terhadap kelompok tidak reperfusi untuk terjadinya kesintasan satu tahun, dengan
memasukkan variabel-variabel perancu sebagai kovariat.
Selama penelitian telah dilakukan pendataan rekam medik pasien STEMI
usia lanjut yang dirawat di ICCU RSCM sejak tahun 2007 sampai dengan tahun
2013. Dari data 7 tahun tersebut dilakukan tehnik sampling konsekutif diambil
185 subyek, yang terdiri dari 86 pasien STEMI dengan terapi reperfusi dan 99
pasien STEMI dengan tidak reperfusi. Dari data demografis pada penelitian ini
terlihat bahwa pasien STEMI lebih banyak berjenis kelamin pria (73,5 %), dengan
usia 60 tahun sampai dengan 75 tahun sebanyak 90,8 %, usia lebih dari 75 tahun
sebanyak 9,2 %. Dengan faktor risiko adalah hipertensi 70,3%, merokok 58,9%,
dislipidemia 41,1%, diabetes mellitus 38,9%, riwayat infark 19,5%, obesitas
17,3%, riwayat penyakit jantung koroner pada keluarga terdapat 15,2 %, dan
riwayat CVD 9,2%, riwayat PCI 7,6%, riwayat CABG 1,6%.
Hasil yang di peroleh adalah terapi reperfusi menurunkan mortalitas pada
pasien STEMI usia lanjut dengan crude HR 0,16 (IK95% 0,07-0,33), p value
<0,001, dengan kesintasan kumulatif satu tahun pasien STEMI usia lanjut yang
dilakukan terapi reperfusi yaitu 91% (SE 3,1%), sedangkan kelompok tidak
reperfusi 54% (SE % 5,0%). Rerata kesintasan pada kelompok terapi reperfusi
339,38 hari, dan kelompok tidak reperfusi 216,71 hari. Analisis multivariat
menunjukkan terapi reperfusi merupakan prediktor independen terjadinya
kesintasan satu tahun (Adjusted HR 0,17; IK95% 0,08-0,37).
Simpulan dari penelitian ini adalah Terapi reperfusi memperbaiki
kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
52 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. Centers for Disease Control and Prevention. Trends in aging: United States
and worldwide. MMWR. 2003;52:101–6.
2. Murray CJ, Lopez AD. Mortality by cause for eight regions of the world:
Global Burden of Disease Study. Lancet. 1997;349:1269 –76.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Departemen Kesehatan,
Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan
4. Makmun LH, Alwi I, Ranitya R. Panduan Tatalaksana Sindrom Koroner
Akut Dengan Elevasi segemen ST. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam. 2009;1-55.
5. Alwi I. Tatalaksana Infark miokard akut dengan elevasi ST. In: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid III.4th ed. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2006;1630-40.
6. Alexander KP, Newby LK, Armstrong PW, Cannon CP, Gibler WB, Rich
MW, et al. Acute coronary care in the elderly (Part 2) ST-segment
elevation myocardial infarction. A Statement for healthcare professionals
from the Acute Cardiac Care Subcommittee, Council on Clinical
Cardiology, American Heart Association, in Collaboration with the Society
of Geriatric Cardiology. Endorsed by the European Society of Cardiology.
Circ. 2007;115:2570–89.
7. Maggioni AP, Maseri A, Fresco C, Franzosi M, Mauri F, Santoro E, et al.
Age-related increase in mortality among patients with first myocardial
infarctions treated with thrombolysis. The Investigators of the Gruppo
Italiano per lo Studio della Sopravvivenza nell’Infarto Miocardico (GISSI-
2). New Engl J Med. 1993;329:1442–8.
8. Alexander KP, Newby LK, Cannon CP, Armstrong PW, Gibler WB, Rich
MW, et al. Acute coronary care in the elderly (Part 1):non–ST-segment
elevation acute coronary syndromes. A Statementfor healthcare
professionals from the Acute Cardiac CareSubcommittee, Council on
54 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
17. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, Afzal R, Pogue J, Granger CB, et al.
OASIS-6 Trial Group. Effects of fondaparinux on mortality and
reinfarction in patients with acute ST-segment elevation myocardial
infarction: the OASIS-6 Randomized Trial. JAMA. 2006;295:1519-30.
18. Collins R, MacMahan S, Flather M, Baigent C, Remvig, Mortensen S, et al.
Clinical effects of anticoagulant therapy in suspected acute myocardial
infarction. BMJ. 1996; 313: 652–9.
19. Klein LW, Block P, Brindis RG, McKay CR, McCallister BD, Wolk MW,
et al. Percutaneous coronary interventions in octogenarians in the American
College of Cardiology National Cardiovascular Data Registry. J Am Coll
Cardiol. 2002;40:394–402.
20. Eagle KA, Goodman SG, Avezum A, Budaj A, Sullivan CM, Lopez-
Sendon J. GRACE Investigators. Practice variation and missed
opportunities for reperfusion in ST-segment–elevation myocardial
infarction: findings from the Global Registry of Acute Coronary Events
(GRACE). Lancet. 2002;359:373-77.
21. Hanafi BT. Perkembangan terbaru intervensi koroner perkutan primer
sebuah upaya meminimalkan mortalitas infark jantung akut. Pidato upacara
pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam ilmu penyakit dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
22. Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous
thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review
of 23 randomised trials. Lancet. 2003;361:13-20.
23. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Halasyamani
LK, et al. Focused Update of the ACC/AHA 2004 Guidelines for the
Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction: a report
of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines: developed in collaboration With the
Canadian Cardiovascular Society endorsed by the American Academy of
Family Physicians: 2007 Writing Group to Review New Evidence and
Update the ACC/AHA 2004 Guidelines for the Management of Patients
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Universitas Indonesia
Ureum : Kreatinin :
SGOT/SGPT : Asam urat :
GDS : A1c :
Elektrolit (Na/K/Cl) :
Kolesterol total/trigliserida/HDL/LDL :
CK/CKMB/Troponin T:
FotoToraks :
EKG :
Echocardiography:
LVH : +/-
Corangiografi:
PTCA:
Pemeriksaan Penunjang lainnya a.
b.
Masalah : 1. 4.
2. 5.
3. 6.
Terapi : 1. 4.
2. 5.
3. 6.
Lama perawatan:
waktu terjadinya mortalitas :
Universitas Indonesia
Baiklah bapak/ibu Terimakasih atas waktu dan keterangan yang sudah diberikan.
Selamat pagi/siang/sore
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia