Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DAN REMAJA

DENGAN AUTIS

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

1. Andi Mutmainnah ( 1801067) 12. Irmawati (1801106)


2. Dewi Purnamasari (1801084) 13. Muh.Multhazam Umar (1801123)
3. Samsuddin (1801057) 14. Desiana Sampulawa (1801099)
4. Ayu Ashari (1801111) 15. Reski Amelia Anwar (1801100)
5. Rosmia Hasan (1801060) 16. Nurwannah Alauddin (1801101)
6. Astri Safitri Effendi (1801061) 17. Firdayanti Ilyas (1801103)
7. Mirawati (1801062) 18. Nisaul Magfirah (1801124)
8. Nurhikma (1801063) 19. Risnayanti (1801129)
9. Syamsuddin Natsir (1801064) 20. Reski Ida Hastuti (1801069)
10. Muliati Haya (1801065) 21. Gusnawati (1801119)
11. Hadijah (1801066) 22. Heriyanti (1801116)

S1 KEPERAWATAN KONVERSI
STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim, dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wata’ala


yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang. Kami panjatkan segala Puji dan syukur atas
kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat meyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan anak dan remaja
dengan Autis.

Makalah asuhan keperawatan anak dan remaja dengan autis ini telah kami susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami meyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah Asuhan
keperawatan anak dan remaja dengan autis ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Makassar, 25 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii


DAFAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C. Tujuan ...................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Autis..................................................................................... 2
B. Jenis-Jenis Autis ................................................................................ 4
C. Klasifikasi Autis ................................................................................ 5
D. Etiologi Dan patofisiologi ................................................................. 6
E. Epidemologi ...................................................................................... 10
F. Cara Mengetahui Autis pada Anak .................................................... 10
G. Manifestasi Klinis .............................................................................. 11
H. Penatalaksanaan ................................................................................ 13
I. Prognosis ........................................................................................... 14
BAB III KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian ........................................................................................ 15
B. Diagnosa ........................................................................................... 15
C. Intervensi .......................................................................................... 16

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 19
B. Saran ....................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami
peningkatan. Dalam penelitian yang dirangkum Synopsis of Psychiatry
awal 1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 :
2.000. Angka ini meningkat di tahun 2000 dalam catatan Sutism
Research Institute di Amerika Serikat sebanyak 1 dari 150 anak punya
kecenderungan menderita autis. Di Inggris, datanya lebih
mengkhawatirkan. Di sana berdasarkan data International Congress on
Autism tahun 2006 tercatat 1 dari 130 anak punya kecenderungan autis.
Di Indonesia sering kali cukup sulit mendapatkan data penderita
auitis, ini karena orangtua anak yang dicurigai mengidap autisme
seringkali tidak menyadari gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya,
mereka merujuknya ke pintu lain di RS. Misalnya ke bagian THT karena
menduga anaknya mengalami gangguan pendengaran dan ke Poli
Tumbuh Kembang Anak karena mengira anaknya mengalami masalah
dengan perkembangan fisik.
Dalam bagian lain tidak bisa menjelaskan apa penyebab makin
banyaknya kasus autisme di Indonesia. Yang bisa dilacak adalah faktor
yang terkait dengan autisme, misalnya genetis dan biologis. Secara
biologis, ada kemungkinan autisme berkaitan dengan gangguan
pencernaan, alergi, gangguan kandungan, maupun polusi.(edy).(
suarasurabaya.net. 13 desember 2008)

B. Tujuan
Mahasiswa mampu menerapkan konsep keperawatan pada anak
dengan autism

C. Rumusan Masalah
Bagaiman asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit autis ?

1
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi Autis
Autisme berasal dari kata autosyang berarti aku. Pada pengertian
non ilmiah kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa semua anak yang
mengarah pada dirinya sendiri disebut dengan autisme (Yuwono,
2009).Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma
(kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial,
kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar. Autisme adalah
suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik
secara berpikir maupun berprilaku.Keadaan ini terjadi sejak usia 2-3
tahun tanpa memandang sosial ekonomi mapan maupun kurang, atau
atau dewasa dan semua etnis (Yatim, 2002).
Autisme sebenarnya bukan hal barudan sudah ada sejak lama,
namun belum terdiagnosis sebagai autis. Menurut cerita terdahulu
sering kali ada anak yang dianggap aneh, anak tersebut sering kali
menunjukkan gejala yang tidak biasa. Mereka menolak bila digendong,
menangis kalau malam dan tidur bila siang hari. Mereka sering kali
bicara sendiri dengan bahasa yang sering tidak dimengerti oleh orang
tuanya. Apabila dalam kondisi marah mereka bisa menggigit,
mencakar, menjambak atau menyerang. Para peneliti kemudian
menyatakan bahwa autisme bukan hanya gangguan fungsional, tetapi
didasari adanya gangguan organik dalam perkembangan otak
(Nugraheni, 2008).
Menurut McCandless (2003) Autistic Spectrum Disorder(ASD)
adalah suatu grup gangguan perkembangan anak yang berkisar dari
autisme klasik seperti Attention Deficit Disorder(ADD), Attantion
Deficit Hyperactivity Disorder(ADHD) dan Perpasive Developmental
Disorder(PDD). PDD adalah diagnosis yang diberikan kepada anak-
anak apabila mereka tidak mencapai tonggak-tonggak seperti
seharusnya dan menunjukkan gejala-gejala autisme. Anak
tersebutmemiliki sedikit kemampuan untuk berbicara dan

2
berkomunikasi. Seorang anak yang didiagnosa dengan ADD memiliki
kesulitan dalam mempertahankan kemampuan memusatkan
perhatiannya. Seorang anak hiperaktif dengan ADD diberi label
ADHD.
Ditingkat lebih atas dari spectrum autis adalah Asperger’s
Syndrome. Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan seorang anak
autistik yang dapat berfungsi pada tingkat yang lebih tinggi. Anak-anak
Asperger sering kali merupakan anak-anak yang luarbiasa cerdas.
Mereka menggunakan dan mengerti perbendaharaan kata secara luas,
tetapi mereka memiliki minat yang sangat sempit dan menunjukkan
banyak kekurangan dari segi sosial. Seorang anak dengan Asperger’s
Syndromebisa sangat ahli mengenai mesin cuci, tapi mesin cuci adalah
satu-satunya hal yang mau ia bicarakan.
Menurut Mujiyanti (2011), ada banyak tingkah laku yang
tercakup dalam anak autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul yaitu :
1. Isolasi social
Banyak anak autis yang menarik diri dari kontak sosial
kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic alones. Hal ini
akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan
bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak ada.
2. Kelemahan kognitif
Anak autis sebagian besar (±70%) mengalami retardasi mental
(IQ <70) disebut dengan autis dengan tuna grahita tetapi anak
autisinfertilsedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan
dengan hal sensor motorik.Anak autis dapat meningkatkan
hubungan sosial dengan temannya, tetapi hal itu tidak berpengaruh
terhadap retardasi mental yang dialami.
3. Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya
hanya mengoceh, merengek, atau menunjukkan ecocalia, yaitu
menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis
mengulang potongan lagu, iklan TV atau potongan kata yang

3
terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata
ganti dengan cara yang aneh.
4. Tingkah laku stereotif
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang
secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar,
berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Gerakan ini dilakukan
berulang-ulang disebabkan karena kerusakan fisik, misalnya ada
gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan
menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering
kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan
tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak
autis juga hanya tertarik pada bagian-bagian tertentu dari sebuah
objek misalnya pada roda mobil-mobilan. Anak autis juga
menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

B. Jenis-jenis Autis
Menurut Yatim (2002), autisme terdiri dari 3 jenis yaitu persepsi,
reaksi dan yang timbul kemudian.
1. Autis persepsi
Autis persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir
dengan gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun
besaryang dapat menimbulkan kecemasan.Misalnya pada ibu hamil
yang mempunyai genetik autisme dia mempunyai kecemasan akan
menurun terhadap janin yang dikandungnya.
2. Autis reaktif
Autisme reaktif ditunjukkan dengan gejala berupa penderita
membuat gerakan-gerakan tertentu yang berulang-ulang dan kadang
disertai kejang dan dapat diamati pada anak usia 6-7 tahun. Anak
memiliki sifat rapuh dan mudah terpengaruh pada dunia luar.
3. Autis yang timbul kemudian.
Jenis autisme ini diketahui setelah anak agak besar dan akan
kesulitan dalam mengubah perilakunya karena sudah melekat atau

4
ditambah adanya pengalaman yang baru atau gejala autis terlihat saat
anak mulai dewasa.
Menurut McCandless (2003) autis dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Autisme klasik
Autis sebelum lahir merupakan bawaan yang diturunkan
dari orang tua ke anak yang dilahirkan atau sering disebut autis
yang disebabkan oleh genetika (keturunan). Kerusakan saraf
sudah terdapat sejak lahir, karena saat hamil ibu terinfeksi virus
seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti
merkuri dan timbalyang berdampak mengacaukanproses
pembentukan sel-sel otak janin.
2. Autisme regresif
Muncul saat anak berusia 12 sampai 24 bulan.
Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun sejak
usia anak 2 tahun perkembangannya merosot. Anak yang tadinya
sudah bisa membuat kalimat beberapa kata berubah menjadi
diam dan tidak lagi berbicara. Anak menjadi acuh dan tidak ada
lagi kontak mata. Kalangan ahli menganggap autism regresif
karena anak terkontaminasilangsung faktor pemicu. Paparan
logam berat terutama merkuri dan timbaldari lingkungan
merupakan faktor yang paling disorot.

C. Klasifikasi Autis
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian
berdasarkan gejalanya. Sering kali pengklasifikasian disimpulkan
setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui
Childhood Autism Rating Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah
sebagai berikut :
1. Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak
mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat
memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan

5
ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah
meskipun terjadinya hanya sesekali.
2. Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak
mata namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil.
Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan
gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit untuk
dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3. Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan
tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis
memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan
terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah,
namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya,
bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang tuanya, anak autis
tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah
merasa kelelahan kemudian langsung tertidur (Mujiyanti, 2011).

D. Etiologi dan Patofisiologi


Menurut Sari (2009) autis merupakan penyakit yang bersifat
multifaktor. Teori mengenai penyebab dari autis diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Faktor genetika
Penelitian faktor genetik pada anak autistikmasih terus
dilakukan. Sampai saat ini ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan
dengan autisme. Namun kejadian autisme baru bisa muncul jika
terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja gejala autismetidak muncul
meskipun anak tersebut membawa gen autisme (Budhiman,
M;Shattock, P; Ariani, E, 2002).Jumlah anak berjenis kelamin laki-
laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal
ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen atau beberapa gen
pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki

6
dua kromosom X, sementara laki-laki memiliki satu kromosom X.
Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X
bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X
yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andilpada
perilaku yang berkaitan dengan autis ( Mujiyanti, 2011).
Menurut laporan Journal Nature Genetics, gen neuroxin yang
ditemukan pada kromosom manusia no.11 merupakan salah satu gen
yang berperan penting dalam terjadinya sindrom autisme. Neuroxin
merupakan protein yang berperan dalam membantu komunikasi sel
saraf. Salah satu protein dari family neuroxin yang dikodekan oleh
gen CNTNAP2 (Contactine Assosiates Protein-like 2) berfungsi
sebagai molekul reseptor pada sel saraf. Pada saat dalam kandungan,
ketika sampel darah janin diambil dan dianalisis, anak autis
mengalami peningkatan protein dalam darah, yaitu tiga kali lebih
tinggi dibanding dengan anak normal (Winarno, 2013).
2. Kelainan anatomis otak
Menurut Winarno (2013) otak anak autis mengalami
pertumbuhan dengan laju kecepatan yang tidak normal, khususnya
pada usia 2 tahun, dan memiliki puzzling sign of inflammation
(peradangan yang membingungkan). Bagian corpus callosum,
biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus
callosummerupakan pita tenunan pengikat yang menghubungkan
hemisphereotak kanan dan otak kiri. Kegiatan crossing bagian otak
yang berbeda menjadi kurang terkoordinir sehingga lalulintas
stimulus tidak harmonis.
Sedangkan menurut Mujiyanti (2011) kelainan stimulus otak
ditemukan khususnya di lobus parietalis dan serebelum. Serta pada
sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai
kelainan di lobus parietalisotaknya, yang menyebabkan anak tampak
acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak
kecil (serebelum), terutama pada nervuske VI dan VII. Otak kecil
bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar

7
berbahasa dan proses atensi (perhatian). Kelainan khas juga
ditemukan pada sistem limbikyang disebut hipokampusdan
amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan kelainan fungsi kontrol
terhadap agresi dan emosi.
3. Disfungsi metabolic
Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan
kemampuan memecah komponen asam amino phenolik. Amino
phenolik banyak ditemukan di berbagaimakanan dan dilaporkan
komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan
tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari lembaga
psikiatri biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas
rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfatsehingga
anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino
phenolik. Komponen animo phenolik merupakan bahan baku
pembentukan neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak
dimetabolismedenganbaik akan terjadi akumulasi katekolaminyang
toksikbagi syaraf. Makanan yang mengandung amino phenolitik itu
adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang dan apel
(Mujiyanti, 2011).
4. Infeksi kandidiasis
Anak-anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan
usus yang meradang sangat mudah diserangoleh jamur khususnya
jamur dari spesies Candida. Kultur feces dan tes-tes laboratorium
lainnya seringkali mengidentifikasi pertumbuhan Candida albicans
yang berlebihan. Ternyata beberapa riset mengidentifikasikan bahwa
beberapa spesies Candida dan jamur lainnya dapat menjadi penyebab
utama dari banyak tingkah laku yang tidak pantas dan masalah
kesehatan yang terlihat pada pasien autistik (McCandless, 2003).
Infeksi Candida Albicansberat bisa dijumpai pada anak yang
banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast
dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida
dapat tumbuh dengan subur. Makanan ini dilaporkan dapat

8
menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya
menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida
Albicansdengan gejala-gejala menyerupai autis seperti gangguan
berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata
(Mujiyanti, 2011).
5. Teori kelebihan opioid dan hubungannya dengan diet protein kasein
dan protein gluten
Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap
persepsi, kognisidan emosi penyandang autis. Peptide tersebut
berasal dari pencernaan makanan yang tidak sempurna khususnya
gluten dan kasein. Gluten berasal darigandum dan biji-bijian (sereal)
seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein berasal dari susu
dan produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut) maka
terjadi peningkatan jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena
adanya peningkatan jumlah peptide yang terbentuk diusus sehingga
yang masuk ke aliran darah pun relative lebih banyak, demikian juga
yang melewati sawar darah otak. Hal ini dapat mengakibatkan
gangguan perilaku yang tampak secara klinis (Nugraheni, 2008).
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak
sempurna. Kedua potein ini hanya terpecah sampai polipeptida.
Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap dalam aliran darah
dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak
lazim kebanyakan ditemukan di membrane saluran cerna pasien
autis, yang menyebabkan masuknya peptide didalam darah. Hasil
metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan
dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan
dengan mooddan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan
casein menurunkan kadar peptide opioid serta dapat mempengaruhi
gejala autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet
merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan
pasien (Mujiyanti, 2011).

9
E. Epidemiologi
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-
4:1. Penyakit sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat
menunjukan gejala seperti austik.

F. Cara Mengetahui Autisme Pada Anak


Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
1. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
2. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
3. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah,
di sekolah, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi
normal.
4. Skrining perkembangan adalah tes autisme singkat untuk menguji
apakah anak anda mengalami keterlambatan perkembangan,
biasanya dilakukan pada usia 9 bulan, dimana pada usia ini
merupakan awal anak muali belajar berbicara, bergerak,
berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan oranglain.
5. Tes laboratorium. Tes autis di laboratorium juga digunakan untuk
menentukan apakah masalah fisik yang menyebabkan gejala autism
pada anak. Biasanya hal ini dilakukan lewat Tes DNA ( genetic).

 Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya:


1. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau
menjadi tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya,
tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau
kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua
perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan
gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau
mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya
sendiri.
2. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati
benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap

10
orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk,
menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif
cuek menghadapi kedua orang tuanya.
3. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa
anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan
sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang
bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang
lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang
menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi
dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki),
tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang,
melukai dan merangsang diri sendiri.
4. Pada usia remaja biasanya punya sedikit teman, keterbatasan
dalam berbahasa, gangguan minat dan perhatian, sulit berempati,
rentang mengalami gangguan tidur, kesulitan menemukan
pasangan, gangguan proses informasi.

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
1. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non
verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena
dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta
kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual
kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan
percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan
ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki
kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat
memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik
mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang
dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk
bermain sendiri.

11
2. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok,
minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
3. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap
pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok
saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
4. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak
untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai
perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari
suatu objek, dan dapat diramalkan .
5. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
6. Kontak mata minimal atau tidak ada.
7. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan
benda, dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan
kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan
hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut
terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya
sensitivitas pada rangsangan lain.
8. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak
pada emosional
9. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara
tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi
yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk
menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar
umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
10. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam
retardasi secara fungsional.
11. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan
mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan
berjalan berjingkat-jingkat.

 Ciri yang khas pada anak yang austik :


1. Defisit keteraturan verbal.

12
2. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
3. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan
atau dipikirkan orang lain).

 Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
1. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
2. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
3. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak
fleksibel dan tidak imajinatif.
4. Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

H. Penatalaksanaan
 Terapi bicara, tujuannya untuk membantu melemaskan otot-otot
mulut anak sehingga dapat berbicara dengan lebih jelas.
 Terapi Okupasi, tujuannya untuk membuat anak dapat
mengandalikan gerakan nya sendiri dan juga melatih ,otorik
halus anak.
 Terapi obat, apabila anak dengan ciri autis menajadi sulit
dikendalikan maka diberikan terapi ini, akan tetapi harus dengan
jenis obat yang tepat dan sesuai dengan aturan minum.Terapi
Anak gangguan autis dengnan gangguan perilaku diberikan
antipsikosis atipikal, karena menurut penelitian penurunan
dopamine dan serotonin akan perbaikan perilaku, pengurangan
dari pergerakan stereotipikal, dan peningkatan interaksi social
serta komunikasi.
 Terapi makanan, pemeberian makanan yang salah bisa memicu
autism anak menjadi semakin berat, karena itu biasanya anak
akan disaranakan untuk berpantang beberapa jenis makanan,
salah satunya adalah pantangan unruk mengkonsumsi makanan
yang mengandung Gluten.
 Terapi perilaku
 Auditori Integartion Itaining (AIT)

13
 Terapi keluarga
 Terapi edukasi

 Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:


1. Mengurangi masalah perilaku.
2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama
bahasa.
3. Anak bisa mandiri.
4. Anak bisa bersosialisasi.

I. Prognosis
Gangguan autism memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan
prognosis yang terbatas. Anak autis dengan IQ diatas 70 dan mereka
menggunakan bahasa komunikatif pada usia 5 sampai 7 tahun memiliki
prognosis baik. Penelitian menunjukkan bahwa 2/3 orang dewasa tetap
mengalami kecacatan parah dan hidup dalam ketergantungan penuh.
Hanya 1 -2% yang mencapai status normal dan mandiri dengan
pekerjaan yang mencukupi, 5-10% mencapai status ambang. Prognosis
membaik jika lingkungan atau rumah adalah supportif dan mamapu
memenuhi kebutuhan anak tersebut yang sangat banyak.

14
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga.
b. Riwayat keluarga yang terkena autisme.
c. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan.
 Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
 Cedera otak
d. Status perkembangan anak.
 Anak kurang merespon orang lain.
 Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian
tubuh.
 Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
 Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
 Keterbatasan Kongnitif.
e. Pemeriksaan fisik
 Tidak ada kontak mata pada anak.
 Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh).
 Terdapat Ekolalia.
 Tidak ada ekspresi non verbal.
 Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek
lain.
 Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda
tersebut.
 Peka terhadap bau.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk percaya pada orang lain.

15
b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan
dengan ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan
reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan.
c. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan
kurang pengawasan.
d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang
anak.

3. Intervensi
a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk percaya pada orang lain.
Tujuan : Klien mau memulai interaksi dengan pengasuhnya
Intervensi: :
1) Batasi jumlah pengasuh jika pada anak.
2) Tunjukan rasa kehangatan/keramahan dan penerimaan pada
klien.
3) Tingkatkan pemeliharaan dan hubungan kepercayaan.
4) Motivasi klien untuk berhubungan dengan orang lain.
5) Pertahankan kontak mata klien selama berhubungan dengan
orang lain.
6) Berikan sentuhan, senyuman, dan pelukan untuk
menguatkan sosialisasi.

b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan


dengan ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan
reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan.
Tujuan : Klien dapat berkomunikasi dan mengungkapkan
perasaan kepada orang lain.
Intervensi :
1) Pelihara hubungan saling percaya untuk memahami
komunikasi klien.

16
2) Gunakan kalimat sederhana dan lambang/maping sebagai
media.
3) Anjurkan kepada orang tua/pengasuh untuk melakukan tugas
secara konsisten.
4) Pantau pemenuhan kebutuhan komunikasi klien sampai
klien menguasai.
5) Kurangi kecemasan klien saat belajar komunikasi.
6) Validasi tingkat pemahaman klien tentang pelajaran yang
telah diberikan.
7) Pertahankan kontak mata dalam menyampaikan ungkapan
non verbal.
8) Berikan reward pada keberhasilan klien.
9) Bicara secara jelas dan dengan kalimat sederhana.
10) Hindari kebisingan saat berkomunikasi.

c. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan


kurang pengawasan.
Tujuan : Klien tidak menyakiti diriya.
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Alihkan prilaku menyakiti diri yang terjadi akibat respon
dari peningkatan kecemasan.
3) Alihkan/kurangi penyebab yang menimbulkan kecemasan.
4) Alihkan perhatian dengan hiburan/aktivitas lain untuk
menurunkan tingkat kecemasan.
5) Lindungi anak ketika prilaku menyakiti diri terjadi.
6) Siapkan alat pelindung/proteksi.
7) Pertahankan lingkungan yang aman.

d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang


anak.
Tujuan : Kecemasan berkurang/tidak berlanjut.

17
Intervensi :
1) Tanamkan pada orang tua bahwa autis bukan aib/penyakit.
2) Anjurkan orang tua untuk membawa anak ke tempat terapi
yang berkwalitas baik serta melakukan secara konsisten.
3) Berikan motivasi kepada orang tua agar dapat menerima
kondisi anaknya yang spesial.
4) Anjurkan orang tua untuk mengikuti perkumpulan orang tua
dengan anak autis, seperti kegiatan Autis Awareness
Festifal.
5) Berikan informasi mengenai penanganan anak/klien autis.
6) Beritahukan kepada orang tua tentang pentingnya
menjalankan terapi secara konsisten dan kontinue.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang
secara klinis ditandai oleh gejala – gejala diantaranya kualitas yang
kurang dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang
kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang
terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa
tujuan (stereotipik). Sampai saat ini penyebab pasti autis belum
diketahui, tetapi beberapa hal yang dapat memicu adanya perubahan
genetika dan kromosom, dianggap sebagai faktor yang berhubungan
dengan kejadian autis pada anak, perkembangan otak yang tidak normal
atau tidak seperti biasanya dapat menyebabkan terjadinya perubahan
pada neurotransmitter, dan akhirnya dapat menyebabkan adanya
perubahan perilaku pada penderita. Dalam kemampuan intelektual anak
autis tidak mengalami keterbelakangan, tetapi pada hubungan sosial dan
respon anak terhadap dunia luar, anak sangat kurang. Anak cenderung
asik dengan dunianya sendiri. Dan cenderung suka mengamati hal – hal
kecil yang bagi orang lain tidak menarik, tapi bagi anak autis menjadi
sesuatu yang menarik.
Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup
dengan normal seperti anak pada umumnya, dan melatih anak untuk
bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

B. SARAN
Diharapkan kepada perawat agar lebih banyak melakukan sosialisi
ataupun penyuluhan mengenai autis pada masyarakat, keluarga ataupun
orang tua , terutama yang mempunyai anak autis agar dapat memahami
cara penanganan dan memperlakukan klien dalam kehidupan sehari-
harinya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Alih Bahasa Prof. DR. Dr. A. Samik Wahab, Sp. A (K), EGC, Jakarta, 1995,
Kesehatan Anak Pedoman Bagi orang Tua, Arcan, Jakarta

Behrman, Kliegman, Arvin, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15,

http://academia.edu/19783735/154217666-makalah-GANGGUAN-
AUTISTIK

http://www.ayahbunda.co.id/balita-gizi-kesehatan/penderita-autis/harus-
hindari-gluten3f

Sacharin, r.m, 1996, Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2, EGC, Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai