Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311379623

REVITALISASI KAYU sebagai BAHAN MATERIAL KONSTRUKSI melalui RISET dan


PENGAJARAN – Studi Kasus di Jurusan Teknik Sipil UPH

Conference Paper · November 2012

CITATIONS READS

0 6,762

1 author:

Wiryanto Dewobroto
Universitas Pelita Harapan
28 PUBLICATIONS   10 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Writing a book regarding Castellated Beam design View project

ANALISIS STABILITAS PERANCAH BERTINGKAT dengan ADVANCE ANALYSIS dan D.A.M View project

All content following this page was uploaded by Wiryanto Dewobroto on 04 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012
Kamis 29 November 2012, Gedung 502, Kampus UPH Karawaci, Tangerang

REVITALISASI KAYU sebagai BAHAN MATERIAL KONSTRUKSI


melalui RISET dan PENGAJARAN – Studi Kasus di Jurusan Teknik Sipil UPH
Wiryanto Dewobroto1
1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang
email: wiryanto.dewobroto@uph.edu

ABSTRAK
Kayu dikenal sejak lama oleh masyarakat sebagai bahan material konstruksi. Seiring meningkatnya
pemahaman pentingnya kelestarian lingkungan hidup, khususnya menghadapi ancaman pemanasan
global, kayu diyakini sebagai bahan material konstruksi yang rendah kadar emisi CO2 -nya. Bahkan
pada proses fotosintesis, kayu mengubah CO2 menjadi oksigen. Faktanya, banyak ditemui bangunan
rumah kayu di negara-negara maju (Amerika, Kanada dan Jepang). Situasi di Indonesia berbeda,
bangunan rumah kayu tidak populer, dianggap bangunan sementara atau non-permanen. Pada dunia
pendidikan tinggi, pembelajaran tentang kayu juga tidak lebih baik kondisinya. Bayangkan porsi
kuliah struktur kayu yang diajarkan relatif kecil dibanding porsi yang diajarkan pada kuliah struktur
beton atau baja, kira-kira hanya 1/3-nya. Ini penyebab, mengapa konstruksi kayu tidak populer
dibanding konstruksi beton atau baja. Untuk mengatasinya dan agar bangsa ini tidak tertinggal dari
negara maju, maka revitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi sudah saatnya, dan itu perlu
dilakukan semua pihak. Bagi perguruan tinggi, itu dapat ditempuh melalui peningkatan kuantitas
dan kualitas riset serta pengajaran terkait kayu, misal memberdayakan uji eksperimental pada kayu.
Makalah ini akan menyampaikan upaya revitalisasi yang dimaksud di Jurusan Teknik Sipil UPH,
berupa [1] riset (skripsi), dan [2] praktikum wajib mata kuliah Struktur Kayu. Meskipun kuantitas
dan kualitasnya masih dalam tahap pemula, tetapi diharapkan dengan berjalannya waktu akan terjadi
peningkatan. Adanya pengalaman uji eksperimental kayu bagi para calon engineer akan memberi
wawasan baru lebih baik dalam menyongsong era perkembangan konstruksi kayu di masa datang.
Kata kunci: bahan material konstruksi, kayu, riset eksperimen, skripsi, praktikum

1. PENDAHULUAN
Berbicara tentang perkembangan bahan material kayu untuk konstruksi bangunan, cukup menarik. Ada beberapa
pendapat, yang mungkin bisa berbeda tergantung latar belakang yang menyampaikannya. Sebagai praktisi rekayasa,
sekaligus pengajar di perguruan tinggi, penulis tertarik meninjau perkembangan konstruksi kayu di Indonesia dari
sisi pembelajarannya. Dari sana dapat dikaitkan dengan kesiapan s.d.m yang menangani nanti. Semakin maju dunia
konstruksi kayu, tentu memerlukan kesiapan s.d.m semakin tinggi, yaitu kompetensi engineer dalam perencanaan
dan pelaksanaan konstruksi dengan struktur kayu. Fakta saat ini, pelan tetapi pasti, mata kuliah struktur kayu tidak
lagi favorit di fakultas teknik di Indonesia. Era tahun 90-an, saat penulis mahasiswa S-1, mata kuliah struktur kayu
ada dua, Struktur Kayu I dan Struktur Kayu II. Hal itu dapat dimaklumi karena mata kuliah sejenis, struktur baja dan
struktur beton juga diberikan lebih banyak. Masyarakat umum waktu itu juga berpendapat, bahwa yang termasuk
material konstruksi untuk struktur bangunan adalah material baja, beton dan kayu. Jadi agar disebut ahli struktur
bangunan perlu menguasai ke tiga jenis bahan material tadi. Jadi belajar ilmu struktur kayu adalah wajib hukumnya.
Seiring perjalanan waktu ternyata terjadi banyak perubahan. Hasil pengamatan pada kota-kota besar di Indonesia,
saat ini jarang sekali dijumpai bangunan baru berukuran besar yang mempergunakan material kayu sebagai elemen
struktur utama. Bangunan seperti itu umumnya berupa bangunan publik, seperti yang dahulu pernah digunakan pada
konstruksi rangka atap bangunan lama Pasar Gede, di kota Solo, yang terbuat dari konstruksi kayu memakai balok-
balok berukuran besar. Sayang sekali bangunan yang dimaksud sudah musnah terbakar. Saat ini sebagai gantinya
dibangun bangunan baru dengan konstruksi atap dari rangka baja (tidak memakai kayu lagi). Kalaupun ada
bangunan lain yang memakai konstruksi kayu, umumnya bangunan semi-permanen yang relatif kecil ukurannya.
Bangunan seperti itu, proses pembuatannya cukup ditangani tukang kayu, dan keberadaan engineer tidak diperlukan.
Situasi yang terjadi pada renovasi bangunan Pasar Gede kota Solo, dimana konstruksi kayu yang lama diganti jadi
konstruksi baja telah jamak terjadi. Jadi pelan tetapi pasti, pemakaian bahan material kayu untuk struktur bangunan
semakin lama semakin jarang, akibat dapat digantikan bahan lain yang relatif lebih murah dan mutu tidak kalah.
Kebutuhan menguasai ilmu perancangan struktur kayu juga semakin surut, toh jarang dapat diaplikasikan. Kalaupun
ada, volumenya kecil dan umumnya cukup ditangani oleh tukang kayu tanpa peran serta engineer.

1
Sisi lain, material kayu mutu tinggi harganya semakin tidak terjangkau, bahkan jika dipaksa memakai kayu maka
dengan anggaran yang sama, bahan kayu yang diperoleh akan bermutu rendah. Jadi bisa saja dari segi kekuatan atau
kekakuan terpenuhi, tetapi dari segi keawetan dipertanyakan. Maklum material kayu juga rentan terhadap bahaya
rayap. Dari situasi seperti itu, ditinjau dari sisi harga, kekuatan dan bebas rayap, maka material pengganti, seperti
baja cold-formed atau baja ringan lebih berhasil di pasaran. Bahan itu yang jadi alternatif konstruksi atap bangunan.
Popularitas kayu sebagai bahan konstruksi semakin turun. Hal itu berdampak di dunia pendidikan tinggi, khususnya
bidang rekayasa. Bobot materi mata kuliah struktur kayu di jurusan teknik sipil dikurangi, hingga hanya satu kali
saja dengan bobot 3 sks. Bahkan, di Jurusan Teknik Sipil UPH, mata kuliah kayu hanya diberi bobot 2 sks. Bobot
minimum suatu mata kuliah. Untung mata kuliahnya wajib. Jika tidak, bisa saja mahasiswa tidak ada yang memilih.
Maklum kayu saat ini tidak populer lagi di masyarakat konstruksi. Oleh karena itu, jika tidak ada usaha yang
tertentu dan hanya sekedar mengandalkan mekanisme pasar, maka dapat diramalkan perkembangan konstruksi kayu
di Indonesia akan semakin menurun atau hilang sama sekali.

Gambar 1. Jembatan Kayu Sungai Rena, Norway (Abrahamsen 2008)


Padahal di sisi lain, negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Jepang atau Norway, pemakaian konstruksi kayu
semakin populer, dijumpai di mana-mana, bahkan tidak terbatas pada bangunan rumah tinggal, tetapi juga bangunan
infrastruktur kelas berat seperti terlihat pada Gambar 1, yaitu jembatan kayu sungai Rena, Norway. Jembatan terdiri
dari 6 bentang, dengan bentang terpanjang 45 m, keseluruhan panjang jembatan 158 m. Jembatan direncanakan
tidak sekedar untuk jembatan pejalan kaki, atau lalulintas ringan, tetapi direncanakan juga terhadap iring-iringan
kendaraan militer yang berat kendaraannya saja mencapai 109 ton (Abrahamsen 2008).

2. KAYU DAN FAKTOR LINGKUNGAN SERTA ENERGI


Opini tentang perkembangan konstruksi kayu di Indonesia dan manca negara telah diungkap. Selanjutnya akan
menimbulkan pertanyaan, masih adakah motivasi lain: “mengapa calon insinyur tetap perlu belajar dan bahkan
mengembangkan ilmu struktur kayu itu sendiri ”. Bila tidak bisa dijawab secara mantap, penyusunan materi baru
tentang struktur kayu di level perguruan tinggi akan sia-sia. Jika mengikuti silabus lama, akan out-of-date, kuno atau
ketinggalan jaman. Bahkan mencari jawaban dari sumber-sumber dalam negeripun, diduga tidak menggembirakan.
Arus pendapat umum dalam negeri menyatakan fakta sebagaimana telah diungkapkan, bahwa kayu tidak populer.
Sedangkan informasi dari manca negara berbeda, konstruksi kayu di luar negeri semakin berkembang. Itu ditandai
dari banyaknya buku-buku baru tentang kayu yang diterbitkan (Kermany 1999, Thelandersson dan Larsen 2003,
Ozelton dan Baird 2006, Breyer et. al. 2007, Aghayere dan Vigil 2007, Porteous and Kermani 2007, Kolb 2008,
Kermany 1999, dan FPL 2010). Alasannya, jika tulisan dapat dianggap produk intelektual yang akan mengarahkan
pada kemajuan, maka banyaknya publikasi tentang kayu tentu penting diperhatikan. Pasti ada sesuatu yang menye-
babkan “penulisnya” produktif, bertekun dan mau mengembangkan kayu sebagai material konstruksi abad modern
ini. Sesuatu itu tentu patut diketahui terlebih dulu, bahkan penting dan utama. Dapat diduga bahwa “sesuatu” itu
tentunya belum ada pada materi kuliah struktur kayu yang ada selama ini (lama). Untuk itu patut jika dapat dibahas
struktur kayu dari sudut pandang lain yang berbeda.
Ulasan struktur kayu yang ada, didasarkan pemahaman umum tentang bahan material bangunan, yaitu tinjauan dari
segi kekuatan, kekakuan, keawetan dan segi ekonomi. Dari semuanya, kayu tidak lebih menonjol dibanding material
baja atau beton, yang sekarang mendominasi industri konstruksi, khususnya bangunan gedung dan jembatan.
Tetapi jika kayu dikaitkan dengan faktor “keberlanjutan lingkungan dan ketersediaan energi”, maka cerita menjadi
lain. Jika hal itu tidak diperhatikan mulai dari sekarang, maka itu semua dapat menjadi pemicu terjadinya krisis bagi
negara. Dari sisi ini diketahui bahwa pemilihan material konstruksi dapat dikaitkan dengan faktor pemicu kerusakan
lingkungan dan krisis enerji. Untuk memahami perlu tahu dulu tentang “pemanasan global” atau “efek rumah kaca”.

2 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


3. EFEK RUMAH KACA DAN PEMANASAN GLOBAL
Berbicara tentang efek rumah kaca, ada baiknya mengingat sosok Joseph Fourier yang tahun 1824 menyampaikan
ide tentang fenomena terjadinya pemanasan suhu pada permukaan bumi akibat pengaruh peningkatan kandungan
karbon dioksida (CO2) maupun gas-gas lain di atmosfir. Efeknya seperti yang terjadi pada rumah kaca, yang biasa
dipakai di barat agar tanaman didalamnya dapat tetap tumbuh dan hidup meskipun musim dingin.
Dalam kasus ini, kondisi di dalam rumah kaca dapat disamakan seperti kondisi atmosfir bumi dengan komposisi
gas-gasnya. Kenyataannya memang tidak semua radiasi panas matahari akan diteruskan ke permukaan bumi, sekitar
25% radiasi dipantulkan awan dan partikel atmosfir, sekitar 25% diserap awan. Itulah mengapa jika kondisi
langitnya tidak berawan, udara akan terasa lebih panas. Selanjutnya 50% yang akhirnya jatuh ke permukaan bumi,
sekitar 45% diserap, sedangkan sekitar 5% akan dipantulkan kembali ke angkasa. Meskipun demikian sebagian
radiasi inframerah yang dipancarkan bumi akan tertahan “rumah kaca” dan dikembalikan balik ke permukaan bumi.
Inilah faktor yang menimbulkan pemanasan dan bahkan perubahan iklim di bumi.
Pada kondisi alami, efek pemanasan memang diperlukan untuk mencegah suhu ekstrim antara siang dan malam.
Permasalahan saat ini, akibat perilaku manusia modern sejak adanya revolusi industri telah menyebabkan
peningkatan komposisi gas CO2 dan gas lain-lainnya di atmosfir. Itu yang memicu timbulnya efek rumah kaca yang
berlebihan. Konsentrasi tinggi gas CO2 dan lainnya, menjebak lebih banyak energi inframerah di atmosfer dibanding
jika terjadi secara alami. Panas tambahan yang ada tidak sekedar menghangatkan atmosfir permukaan bumi, tetapi
ternyata menimbulkan pemanasan yang ekstrim dan bersifat global.
Terjadinya peningkatan kandungan gas CO2 dan gas-gas "rumah-kaca" akan menyerap lebih banyak enerji panas di
atmosfir dari kondisi alaminya. Terjadi peningkatan suhu bumi secara global yang berlebihan. Itulah yang disebut
pemanasan global. Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila
kecenderungan terjadi peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pema-
nasan global antara 1.5 – 4.5 °C sekitar tahun 2030.
Terjadinya peningkatan suhu permukaan bumi, menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem. Akibatnya, hutan dan
ekosistem akan terganggu fungsinya sehingga tugasnya dalam menyerap karbon dioksida agar dapat diubah menjadi
oksigen, akan berkurang. Pemanasan global akan mencairkan gunung-gunung es di kutub sehingga menimbulkan
kenaikan permukaan air laut. Kondisi ini akan berakibat buruk pada negara-negara kepulauan dimana wilayah
negaranya sangat terpengaruh oleh ketinggian air laut. Pulau-pulau di wilayah seperti itu beresiko untuk tenggelam.
Kesadaran akan adanya bahaya pemanasan global, tidak mudah dicerna berdasarkan panca inderawi semata. Apalagi
bagi yang tidak memahami bahwa perbuatan manusia nun jauh di sana, juga mengakibatkan dampaknya di sini.
Lihat saja bagi penduduk di pulau Jawa, tentu tidak merasakan dampak secara langsung adanya kebakaran hutan di
pulau Sumatera atau Kalimantan. Maklum, asap yang ditimbulkannya hanya dirasakan oleh wilayah disekitarnya,
penduduk yang berada di pulau Jawa hanya tahu adanya kebakaran hutan tersebut akibat berita-berita yang beredar.
Padahal adanya kebakaran hutan tersebut menimbulkan peningkatan kadar CO2 atmofir yang merupakan pemicu
terjadinya pemanasan global semakin intensif.

Gambar 2. Bukti nyata pemanasan global (www.koshland-science-museum.org)


Pemanasan global adalah kenyataan yang saat ini sedang berlangsung. Hanya karena pengaruh kejadiannya adalah
sedikit-demi sedikit dan tak terasakan, maka perlu suatu pengamatan yang bahkan perlu waktu bertahun-tahun untuk
mencari bukti-buktinya. Gambar 2 memperlihatkan terjadinya perubahan kondisi gletser yang dulu disebut es abadi
di puncak gunung di Washington, USA, yang berhasil direkam oleh para ilmuwan.

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 3


4. AKTIFITAS MANUSIA DAN GAS-RUMAH-KACA (WIKIPEDIA)
Aktivitas manusia sejak terjadinya revolusi industri (1760-1830) telah meningkatkan jumlah kandungan gas-rumah-
kaca atmosfer, yaitu CO2, metana, ozon troposfer, CFC dan asam nitrat. Konsentrasi CO2 dan metana meningkat
sebesar 36% dan 148% masing-masing sejak 1750. Tingkat ini jauh lebih tinggi dari kondisi apapun selama 800.000
tahun terakhir, periode yang datanya dapat diandalkan telah diekstraksi dari inti es. Bukti geologi secara langsung
menunjukkan bahwa nilai-nilai CO2 yang lebih tinggi dari itu, terakhir sekitar 20 juta tahun lalu. Pembakaran bahan
bakar fosil menghasilkan sekitar tiga perempat peningkatan CO2 dari aktivitas manusia selama 20 tahun terakhir.
Sisanya sebagian disebabkan oleh perubahan tata guna lahan, terutama penggundulan hutan (deforestasi).
Laporan tahun 2001 dari Intergovernmental Panel on Climate Change (www.ipcc.ch) membuat kesimpulan bahwa
suhu udara global meningkat 0.6° Celsius (1° Fahrenheit) sejak 1861. IPCC juga mengemukakan bahwa pemanasan
terjadi terutama oleh aktivitas manusia yang meningkatkan gas-gas rumah kaca atmosfer. IPCC memperkirakan ada
peningkatan suhu rata-rata global sekitar 1.1 sampai 6.4°C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
Peringatan yang perlu diperhatikan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer pada tahun 2100 tidak bertambah
lagi, tetapi iklim tetap akan menghangat terus selama beberapa periode lagi, akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya. Dalam hal ini, karbon dioksida akan tetap ada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih, sampai alam
mampu menyerapnya lagi.
Jika emisi gas-rumah-kaca terus meningkat, dan tidak ada usaha real untuk menguranginya, maka para ahli juga
memprediksi bahwa konsentrasi karbondioksioda atmosfer akan meningkat hingga tiga kali lipat di awal abad ke-22,
bila dibandingkan masa sebelum era industrialisasi. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim dramatis. Walaupun
sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah bumi. Hanya saja manusia
akan menghadapi masalah ini dengan risiko karena populasinya yang sangat besar.

5. KAYU BUDIDAYA HUTAN, MATERIAL ECOLABEL DAN HEMAT ENERJI


Meskipun disadari bahwa aktifitas pasca revolusi industri memberi sumbangan terbesar peningkatan CO2 sehingga
akhirnya memicu pemanasan global. Tetapi untuk menghindarinya dengan cara menutup kegiatan industri tentunya
tidak mudah. Bencana sosial nanti menghadang. Jadi sikap seperti itu bukan suatu keputusan bijak. Adapun negara-
negara di dunia yang peduli, mereka melakukan kebijakan yang berorientasi ramah lingkungan atau ecolabel, yaitu
suatu pemilihan kebijakan untuk menghasilkan emisi gas CO2 yang rendah. Seperti kampanye kegiatan Lembaga
Ekolabel Indonesia (www.lei.or.id). Jika faktor yang berorientasi pada ramah lingkungan dipakai untuk tolok ukur
mengevaluasi material bahan konstruksi, tidak sekedar tolok ukur yang biasanya, seperti kekuatan, keawetan dan
faktor ekonomis, maka kayu akan menonjol dibanding material lainnya.
Tentu saja material kayu yang dipakai adalah bukan hasil produk deforestasi atau penebangan hutan untuk diambil
kayunya, tetapi harus dari hasil budidaya industri tanaman kayu yang terencana. Jika kayu untuk material konstruksi
tersebut diambil dari hutan alam dan tidak dilakukan penghutanan kembali, maka jelas kayu seperti itu tidak bisa
digolongkan sebagai produk ecolabel. Material kayu hasil pembalakan hutan secara illegal tidak patut dipromosikan
untuk industri konstruksi. Bagaimanapun juga, hutan kayu tanaman industri sebagai bahan material konstruksi
masih jarang atau bahkan belum ada di Indonesia. Umumnya hutan tanaman industri atau hutan buatan yang ada,
dipakai untuk industri kelapa sawit, pulp dan kertas.
Usaha membudidayakan tanaman kayu secara berkesinambungan merupakan sumber daya alam yang terbarukan.
Untuk mewujudkannya itu hanya perlu ketersediaan lahan, sinar matahari dan curah hujan. Dua syarat yang terakhir
itu jelas melimpah di negeri ini. Jika demikian, kayu hanya perlu sedikit energi untuk menghasilkannya dibanding
memproduksi bahan bangunan yang lain (beton atau baja). Menurut John Kissock (2012), produksi baja perlu ± 24
kali energi untuk menghasilkan produk kayu, sedangkan beton menghasilkan sekitar 140 kg CO2 per meter kubik-
nya. Jika dilakukan penanaman pohon bahkan dapat menghasilkan oksigen untuk bernafas, hampir 75% dari 1 ton
oksigen dihasilkan pertumbuhan kayu setiap meter kubiknya. Suatu kondisi dimana tidak ada bahan material lain
yang dapat menyamai. Saat tumbuhpun, pohon juga menyerap gas beracun CO2. Itu berarti kayu merupakan bahan
material konstruksi yang bebas emisi gas karbon dan sangat ramah lingkungan.
Pohon bermanfaat bagi lingkungan hidup selama siklus pertumbuhan, maklum karena kemampuannya yang dapat
menyerap gas beracun C02 dan menggantikannya dengan gas O2 atau oksigen yang adalah gas kehidupan. Bahkan
keuntungannya itu tidak berakhir saat pohon ditebang. Sebagai material bahan bangunan kayu juga memiliki sifat
insulasi thermal yang terbaik dibandingkan bahan konstruksi lainnya, kira-kira lima (5) kali lebih baik dari beton,
sepuluh (10) kali lebih baik dari batu bata, bahkan 350 kali lebih baik dari baja. Itu terjadi karena kayu mempunyai
massa termal yang rendah, yang berarti memiliki kemampuan mengisolasi terhadap termal (panas atau dingin). Jadi
jika kayu dipakai sebagai bahan material bangunan, untuk daerah dingin mampu mempertahankan panas lebih lama,
berarti penghematan enerji pemanas. Jika dipakai di daerah beriklim panas, akan mampu membuat ruangan lebih

4 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


sejuk karena pelindung yang baik dari panas matahari. Ini tentunya akan mengurangi energi untuk pendingin udara.
Jadi bangunan kayu tidak memerlukan enerji tinggi untuk pengaturan suhunya. Padahal enerji umumnya dihasilkan
dari pembakaran bahan bakar organik, cenderung menghasilkan emisi gas CO2 yang tinggi, yang memicu terjadinya
pemanasan global.

Gambar 3. Budidaya tanaman kayu industri di New Zealand (www.forestlands.co.nz)


Dapat dipahami jika bahan material kayunya diperoleh dari hasil budidaya tanaman kayu industri, yang diusahakan
khusus secara berkesinambungan, bukan dari menebang hutan alam, dan kemudian dapat dipakai secara mayoritas
sebagai bahan material bangunan, pastilah akan berdampak positip bagi pengurangan emisi gas CO2. Jadi sosialisasi
pemakaian struktur kayu dengan cara tersebut pada berbagai aspek kehidupan di dunia ini merupakan langkah
strategi yang berorientasi pada kelestarian alam dan juga untuk menghindari terjadinya bencana akibat pemanasan
global.

6. REVITALISASI KAYU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI


Umum
Jika memilih bahan material konstruksi berdasarkan pertimbangan teknis dan biaya belaka, tentu tidak menemukan
keunggulan yang signifikan dari material kayu. Tetapi jika yang dipertimbangkan adalah kepentingan lingkungan
hidup, khususnya bahan yang dapat mengurangi resiko terjadinya pemanasan global dan krisis enerji, maka dapat
digantikannya bahan material konstruksi sebanyak mungkin dengan material kayu tentu membantu mewujudkannya.
Ini tentunya dengan cara pandang, bahwa material kayu yang digunakan berasal dari hasil budidaya khusus, bukan
hasil pembalakan (illegal logging) hutan alam yang ada. Karena jika itu dilakukan maka akan terjadilah kerusakan
alam, seperti erosi, kekeringan yang akan bermunculan.
Agar konstruksi kayu dapat kembali populer, diperlukan revitalisasi khusus kayu sebagai bahan material konstruksi.
Usaha itu memerlukan keterlibatan semua pihak, mulai dari unsur pemerintahan maupun swasta terkait, tidak lupa
juga tentunya dari unsur perguruan tinggi. Unsur pemerintah sangat besar perannya, khususnya dalam menetapkan
kebijakan, seperti misalnya menetapkan program budidaya hutan produksi kayu konstruksi. Tanpa ada campur
tangan pemerintah, rasanya akan sulit terwujud. Maklum karena hal itu menyangkut hak guna tata lahan yang luas.
Bagaimanapun juga, program budidaya hutan industri bukan sesuatu yang baru di Indonesia, tetapi yang ada
umumnya bukan untuk industri konstruksi tetapi industri lainnya. Selanjutnya jika itu dapat diwujudkan, maka perlu
dukungan pemerintah untuk memberikan kebijakan hilir dalam pemakaian konstruksi kayu, misalnya adanya
insentif bagi pihak swasta untuk pengerjaan proyek skala besar jika memakai bahan material kayu.
Sejatinya, usaha revitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi di Indonesia bukan tugas ringan, tetapi tidak
berarti itu tidak memungkinkan. Bagaimanapun juga, jika semua pihak sadar bahwa penggunaan kayu sebagai bahan
material konstruksi dapat berujung pada keuntungan lingkungan maka tentunya situasi akan berubah.

Peran perguruan tinggi, revitalisasi kayu dan riset eksperimental


Usaha revitalisasi kayu memerlukan keterlibatan semua pihak. Perguruan tinggi juga tidak bisa diabaikan perannya,
bahkan bersifat sentral karena dapat memberikan sosialisasi akan kesadaran pentingnya revitalisasi kayu yang
nantinya akan bermuara pada keselamatan lingkungan hidup, yaitu mengurangi resiko terjadinya pemanasan global
dan krisis enerji.

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 5


Bagi perguruan tinggi, sosialisasi yang paling penting adalah bagi mahasiswa, anak didiknya sendiri. Bagaimanapun
merekalah calon engineer yang nantinya akan terlibat langsung dalam memanfaatkan bahan material konstruksi
kayu pada masa depan. Keputusan-keputusan yang akan mereka ambil, menentukan kesuksesan proses revitalisasi
tersebut. Tetapi sosialisasi ke mahasiswa sekedar mengandalkan proses pembelajaran tentang kayu tentunya akan
mendapatkan kendala, maklum porsi pembelajaran struktur kayu relatif terbatas dibandingkan porsi materi struktur
beton atau baja, sehingga diperlukan strategi khusus yang tertentu.
Berpijak pada pengalaman penulis saat menyelesaikan disertasinya, diperoleh pemahaman bahwa pelaksanaan riset
eksperimental jika dilakukan secara benar, dapat menumbuhkan proses pembelajaran mandiri dalam memahami
fenomena yang terjadi pada sampel uji yang diamati. Jadi jika mahasiswa di level S1 juga mendapat kesempatan
seperti itu, yaitu melakukan riset eksperimental dengan objek material kayu, maka diharapkan mereka akan lebih
mengenal bahan material kayu tersebut secara lebih baik dibandingkan jika hanya membaca informasi teoritis buku.
Adanya kondisi ini diharapkan akan menstimulasi mahasiswa, calon engineer untuk lebih tertarik menggeluti bidang
teknologi dan struktur kayu, dan mau melakukan penelitian lanjutan. Jadi apabila ditambah kreatifitas dan inovasi
maka diharapkan terjadinya kemajuan dalam memanfaatkan kayu sebagai bahan material konstruksi. Bagaimanapun
jika kayu dapat dimanfaatkan dengan baik, maka bangunan kayu yang dihasilkannya tidak kalah dengan luar negeri.
Jika itu terjadi maka tujuan revitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi dapat dianggap berhasil.

Riset eksperimental dan implementasinya


Adanya riset eksperimental memang ideal, tetapi untuk mengerjakan memerlukan modal tidak sedikit, salah satunya
adalah ketersediaan alat uji yang memadai, yaitu UTM (Universal Testing Machine). Selain itu penyiapan sampel
uji juga memerlukan biaya tidak sedikit. Jika kedua hal itu dapat diatasi, maka selanjutnya perlu dipikirkan caranya
agar dapat diimplementasikan secara langsung bagi mahasiswa di perguruan tinggi yang terkait.
Selaku dosen yang bekerja di Jurusan Teknik Sipil UPH, maka adanya ide di atas dapat langsung diaplikasikan
sebagai upaya partisipasinya dalam merevitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi. Apalagi perannya adalah
dosen pembimbing tugas akhir (skripsi) dan sekaligus penanggung jawab mata kuliah Struktur Kayu.
Riset eksperimental kayu yang dijadikan topik penelitian tugas akhir atau skripsi, bersifat opsional. Hanya diberikan
bagi mahasiswa yang berminat saja. Ini tentu tidak mudah, maklum penyiapan bahan material kayu sebagai sampel
uji memerlukan anggaran khusus. Dalam beberapa kasus adanya dukungan dana dari universitas yang disalurkan
melalui LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UPH sangat membantu. Topik riset yang sifatnya
opsional ini dapat bervariasi, tergantung peminatan dosen – mahasiswa, tentunya dengan pertimbangan waktu, biaya
dan kemampuan mahasiswanya.
Selain yang sifatnya opsional seperti di atas, diperlukan juga riset eksperimental yang wajib diikuti oleh mahasiswa
sehingga mau tidak mau mereka akan punya pengalaman langsung dengan material kayu. Untuk mewujudkannya
itu, di Jurusan Teknik Sipil UPH di implementasikan sebagai tugas praktikum dalam mata kuliah struktur kayu.
Karena dijadikan sebagai tugas praktikum mata kuliah struktur kayu, maka materi riset eksperimentalnya bersifat
tetap, yaitu pengujian bahan kayu berdasarkan PKKI atau ASTM yang terkait. Adapun variabel yang diteliti adalah
macam-macam kayu yang berbeda-beda untuk setiap grup tugas praktikum.
Adapun detail riset eksperimental pada skripsi dan tugas praktikum di Jurusan Teknik Sipil UPH yang dilakukan
dengan motivasi untuk mensukseskan revitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi, akan dijabarkan secara
detail pada bab berikutnya.

7. RISET SKRIPSI– PENELITIAN KAYU


Umum
Skripsi tentang penelitian kayu sifatnya opsional, tergantung minat dosen dan mahasiswanya. Tanpa ada keyakinan
kuat bahwa kayu punya masa depan baik, maka topik penelitian ini umumnya jarang diambil. Juga bukan menjadi
rahasia lagi, dosen dengan peminatan kayu yang menguasai betul, relatif sedikit. Maklum ada anggapan bahwa
bangunan kayu adalah bangunan sementara saja (sekunder), bukan utama, sehingga tidak keren jika menggelutinya.
Terlepas keren atau tidak, penelitian eksperimental pada material kayu relatif murah dibandingkan beton atau baja.
Jadi besar kemungkinan untuk dikerjakan mahasiswa. Bagaimanapun pengalaman uji eksperimen bagi mahasiswa
yang nantinya akan jadi engineer adalah sangat penting, karena membantu mengubah teori jadi pengalaman empiris,
yang menyebabkan lebih mudah dipahami mahasiswa. Bahkan tidak akan cepat untuk dilupakan dibanding sekedar
menghapalkan teori dari diktat kuliah. Selain itu, kemampuan menyelesaikan permasalahan yang dijumpai pada saat
penelitian akan meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa untuk mengatasi masalah penelitian yang lebih besar.

6 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


Penelitian eksperimental kayu di Jurusan Teknik Sipil UPH dapat dilaksanakan karena didukung keberadaan alat uji
Universal Testing Machine berkapasitas 5 ton, milik Laboratorium Industri, Fakultas Teknologi Industri, UPH.
Mesin uji tersebut dapat merekam otomatis secara berkesinambungan proses pembebanan dan besarnya deformasi
yang terjadi sejak awal pembebanan sampai keruntuhan terjadi.
Topik masalah penelitian yang dikerjakan bervariasi, mulai dari konstruksi bambu-semen pada tangki air (Setiawan
2004), perbandingan perilaku sambungan kayu dengan baut, paku dan lem (Jimmy 2008), sampai juga teknik
laminasi bambu menjadi elemen struktur solid (Nugraha 2012). Ide yang berkembang bisa didapat dari adanya
kegiatan pengabdian masyarakat yang dikerjakan di sekitar kampus UPH, tetapi juga karena peminatan mahasiswa
tanpa ada latar belakang khusus ketertarikan sebelumnya.
Terlepas kepentingan revitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi bagi keberlangsungan lingkungan hidup
atau tidak, umumnya mahasiswa yang memilih skripsi tentang penelitian kayu, tidak terlalu memperdulikan hal itu.
Mereka memilih penelitian eksperimen kayu karena dianggap pelaksanaannya relatif sederhana dan murah jika
dibandingkan memakai material baja atau beton. Alasan murah ini tentu relatif, tergantung jenis kayu yang dipakai,
yang jelas bahan material kayu maupun bambu mudah diperoleh di sekitar kampus UPH yang terletak di Karawaci,
kawasan pinggiran ibukota Jakarta. Adapun anggapan bahwa penelitian kayu dianggap relatif sederhana, mungkin
karena terpengaruh persepsi masyarakat awam, bahwa bangunan kayu dianggap hanya bangunan sementara atau
sekunder sifatnya. Padahal kalau mau membaca hasil pertemuan ahli-ahli kayu di dunia, seperti World Conference
on Timber Engineering 2012 di Auckland, New Zealand ( http://www.conference.co.nz/wcte2012 ), maka topik
penelitian yang dipresentasikan terkait kayu sudah tidak sederhana lagi. Maklum penelitian kayu di negara-negara
maju, banyak yang telah memanfaatkan teknologi terkini. Oleh karena itu, agar dapat tetap dianggap sederhana
sehingga para mahasiswa mau mengambil topik penelitian kayu, maka peran dosen pembimbing harus proaktif,
yaitu dapat menerjemahkan ide-ide penelitian menjadi langkah-langkah kerja yang dimengerti mereka. Jadi kerja
sama antara dosen dan mahasiswa adalah sangat penting. Beberapa penelitian skripsi oleh mahasiswa-mahasiswa di
Jurusan Teknik Sipil, Universtas Pelita Harapan dapat dirangkum dan disampaikan sebagai berikut :
Tangki Penampungan Air dari Bambu-Semen (Setiawan 2004)
Setiawan (2004) meneliti potensi Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz) yang mudah dilenturkan (Morisco 1994)
untuk dibuat bilah bambu melingkar yang cocok dipakai sebagai tulangan tarik pada tangki penampungan air dari
beton. Karena bilah bambu melingkar harus kontinyu (menerus) maka penelitiannya juga mencakup [1] kuat tarik
maksimum bambu Tali bagian ruas dan buku, [2] sistem sambungan bilah bambu yang digunakan sebagai tulangan
dan [3] uji lekatan beton dan bambu untuk mengetahui interaksi keduanya. Untuk pengujian tarik dipakai Universal
Testing Machine LLOYD-LR 10K kapasitas 10 kN atau 1 ton (maksimum), milik Laboratorium Industri, FTI UPH.
Pada uji tarik bambu utuh, dipilih bagian yang ada ruas saja, dan bagian dengan buku. Selanjutnya masing-masing
diuji sebanyak 48 sampel, terbagi atas pangkal (16), tengah (16) dan ujung (16). Selanjutnya tegangan putus masing-
masing sampel ditampilkan dalam bentuk grafik sebagai berikut.
5000

4500

4000

3500 Ruas-pangkal

3000 Ruas-tengah
kg/cm2

2500 Ruas-ujung

2000 Buku-pangkal

1500 Buku-tengah
1000 Buku-ujung
500

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
No sampel

Gambar 4. Hasil Uji Tarik Bambu Tali bagian Ruas dan Buku (Setiawan 2004)
Pada sampel bambu dengan buku, maka bagian buku akan putus terlebih dahulu dibanding bagian lain. Hal ini
menunjukkan bahwa kuat tarik yang dimiliki oleh bagian buku lebih kecil dibanding kuat tarik bagian ruas. Bambu
bagian pangkal juga lebih kecil kekuatannya dibanding bagian ujung. Dari hasil uji tarik sampel bambu dengan buku
pangkal maka kuat tarik ultimate rata-ratanya adalah 672 kg/cm2 , dengan kisaran data dari 552 – 851 kg/cm2.

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 7


(a). Sdr. Setiawan dan UTM di Lab. FTI-UPH (b). Bentuk Sampel Uji
Gambar 5. Uji eksperimental Material dan Sambungan pada Bambu Tali (Setiawan 2004)
Dari berbagai cara menyambung bilah bambu, maka sambungan tipe 3-3-3 yang dipilih. Pada sistem tersebut ada
tiga bagian bambu yang dicoak kecil (± 5 mm) tiap jarak 3 – 4 cm dan dililit dengan tiga lilitan kawat sebagaimana
terlihat di Gambar 2b kanan. Dari hasil uji tarik diketahui bahwa pada bagian sayap, yaitu bagian yang tegak lurus
coakan terjadi pembelahan oleh kawat. Bambu mengalami kerusakan geser. Jadi semakin jauh jarak antar coakan
maka kekuatan sambungan akan meningkat. Dari hasil uji, diperoleh kekuatan sambungan untuk bilah bambu lebar
20 mm adalah sekitar 297 kg/cm2, dengan kisaran data sekitar 190 – 355 kg/cm2.
Ternyata kekuatan sambungan (297 kg/cm2) relatif kecil dibanding kekuatan material bambu (672 kg/cm2). Kondisi
keruntuhan sambungan adalah terjadinya geser pada bilah bambu akibat lilitan kawat dibagian tercoak. Kondisi
nyata, bilah bambu nantinya dipakai sebagai tulangan tarik dan tertanam mortar. Harapannya kuat lekatan mortar
membantu meningkatkan kinerja sambungan. Untuk membuktikan, dibuat pengujian sambungan bilah bambu yang
tertanam mortar. Untuk meningkatkan lengkatan bilah bambu, dilapisi colt-bond dan dikeringkan terlebih dahulu.
Perbandingan adukan mortar adalah semen : pasir hitam (lolos ayakan ½ cm) : air : colt-bond = 1 : 2 : 0.75 : 0.05
dalam perbandingan volume. Setelah pengecoran, didiamkan selama 7 hari sebelum diuji tarik sampai putus.

(a). Uji tarik tertanam mortar (b). Sampel Uji dengan Lekatan Mortar
Gambar 6. Uji eksperimental Sambungan Bambu tertanam Mortar (Setiawan 2004)
Hasil uji tarik sambungan bambu 3-3-3 tertanam mortar ± 20 cm sebesar 535 kg/cm2, atau 1.8 kali lipat sambungan
3-3-3 terbuka. Jadi tertanamnya sambungan pada mortar efeknya positip. Meskipun demikian perencanaan tangki air
berdasarkan kuat sambungan 3-3-3 terbuka dengan S.F = 5 sehingga untuk disain pakai tegangan ijin 59.3 kg/cm2.
Perencanaan tangki didasarkan pada kondisi elastis, hasil hitungan untuk tangki air φ 140 cm, tinggi 170 cm dan
tebal dinding 6 cm, maka untuk anyaman horizontal bilah bambu tebal 2 mm (min.) dan lebar 1 cm perlu dipasang 3
bilah tiap 10 cm tinggi dinding tangki.

8 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


Implementasi hasil riset bambu pada pembuatan tangki bambu-semen dapat dilihat pada dokumentasi berikut :

(a). Kerangka dasar (b) Merangkai bilah bambu (c) Anyaman bilah bambu dinding tangki

(e) Penyiapan bekisting triplek

(d) Pembuatan man hole (f) Pembongkaran bekisting

(h) Pembuatan tutup

(g) Dinding tangki (i) Tangki bambu-semen


Gambar 7. Proses pembuatan tangki bambu-semen penampung air di masjid Al-Ikhlas, Tangerang
Pembangunan tangki bambu-semen untuk penampungan air wudhu mesjid Jami Al-Iklas, Sari Bumi Indah, Binong,
Tangerang, dapat selesai dikerjakan. Keseluruhan menghabiskan 19 batang bambu Tali @ 6m, biaya ± Rp 3 juta
yang dikerjakan oleh 3 (tiga) pekerja yang terdiri 1 tukang dan 2 pembantu tukang.

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 9


Eksperimen Perilaku Sambungan Kayu dengan Baut, Paku dan Lem (Jimmy 2008)
Penelitian untuk melihat perilaku sambungan dengan baut, paku dan lem. Jenis lem yang dipakai adalah Epoxy, juga
diuji sambungan baut dengan pengisi (filler) Epoxy di dalam lubang bautnya. Jenis kayu Meranti Putih (nama suku
Dipterocarpaceae) atau nama botani Shorea dan Parashorea. Dari 70 potongan kayu ukuran 250x65x10 mm yang
disiapkan, berdasarkan pemilihan visual dipilih 4 potong untuk diukur BJ dan kadar-airnya, sebagai berikut:
Tabel 1. Parameter BJ dan Kadar air kayu Meranti Putih

BJ Kering Udara (gr/cm3) Berat Awal (gr) Berat Oven (gr) Kadar Air (%)
0.375 61.0 54.332 10.931
0.440 71.5 67.224 5.980
0.368 59.8 49.252 17.639
0.425 69.0 50.535 26.761
0.402 Rata-rata 15.328

Kadar air kayu rata-rata 15 % (sesuai kadar air kayu kering udara Indonesia), berat jenis rata-rata 0.4 gr/cm3. Dari
Tabel 2.1 PKKI kayu Meranti Putih dikategorikan dalam kayu kelas kuat III dengan σt ijin // = 60 kg/cm2.
Selanjutnya dilakukan uji tarik (tidak mengacu ASTM), hanya didasarkan ukuran kayu di atas, dari 8 sampel kayu
diperoleh beban tarik putus antara 5874 - 9926 N atau rata-rata 7184 N, jadi tegangan tarik putus rata-rata 11 MPa
atau 110 kg/cm2. Karena kayu itu pula yang disambung, maka beban tarik 9926 N dijadikan acuan batas desain.
Spesifikasi lem, Epoxy merk DEVCON (25 ml/unit) warna putih, daya rekat 2 ton atau 2500 psi (brosur). Setting
time 30 menit setelah dua bagian dicampur, tahan air dan tidak mudah terbakar. Lem bekerja dengan baik pada suhu
-600°F – 2000°F (-150°C – 930°C). Lem dipilih karena memuat spesifikasi kekuatan yang jelas, merupakan lem
buatan Amerika diproduksi oleh ITW Performance Polymers Consumer Division (www.itwconsumer.com).
Selanjutnya dibuat desain sambungan sedemikian sehingga kegagalan terjadi pada sambungan, jadi daya dukung
rencana < 5874 N. Konfigurasi sambungan yang dibuat dan kuat rencananya adalah sebagai berikut :

Gambar 8. Sambungan 1 baut φ3/8” daya dukung rencana P = 559 N

Gambar 9. Sambungan 4 paku φ2.26 mm daya dukung rencana P = 667 N

Gambar 10. Sambungan lem Epoxy daya dukung rencana P = 2907 N

10 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


Meskipun ukuran sambungannya minimum, tetapi karena luas bidang geser memakai lem lebih efektif maka kuat
rencana sambungan dengan lem Epoxy lebih tinggi dari alat sambung yang lain. Selain ke tiga tipe sambungan di
atas, Epoxy juga digunakan sebagai filler pada sistem sambungan baut. Ini menjadi tipe sambungan ke-4 yang diuji,
adapun konfigurasi sambungannya sama dengan sambungan baut yang telah dibuat (Gambar 8). Tipe ini dibuat
dengan harapan akan terjadi peningkatan kekakuan dibanding baut biasa karena tidak ada slip.
Uji tarik sambungan sampai putus dengan UTM (Universal Machine Testing). Masing-masing dibuat 5 sampel
untuk tiap tipe sambungan. Hasil uji untuk sambungan baut, diperoleh beban ultimate berkisar 3975 – 4807 N (mean
4362 N) atau kira-kira SF = 7.8 dari kuat rencana (559N). Perilaku gaya – deformasinya adalah sebagai berikut:

(a). Perilaku beban-deformasi sambungan (b). Sambungan baut


Gambar 11. Hasil pengujian tarik sambungan baut

Uji tarik sambungan paku, beban ultimate 2671 – 4266 N (mean 3380 N) atau SF = 5.1 dari kuat rencana (667 N).
Perilaku gaya – deformasi sambungan adalah sebagai berikut:

(a). Perilaku beban-deformasi sambungan (b). Sambungan paku


Gambar 12. Hasil pengujian tarik sambungan paku
Dari dua tipe sambungan, baut dan paku, jika mengacu beban ultimate maka sepintas dapat diketahui kinerja 1 baut
φ3/8” (9.525 mm) setara kinerja 4 paku φ2.3 mm. Pernyataan itu bisa mengecoh orang awam, maklum meninjau
dari segi kekuatannya saja, padahal dari kurva beban-deformasi (Gambar 11 dan 12) diketahui deformasi saat beban
ultimate ternyata berbeda. Pu maksimum sambungan baut 4807 N dengan deformasi 6 mm, sedangkan Pu maksimum
sambungan paku 4266 N dengan deformasi 12 mm, atau 2 x lipat sambungan baut.
Adanya ketidaksamaan deformasi itulah yang menyebabkan mengapa pada satu detail sambungan yang sama, tidak
boleh dipakai gabungan berbagai macam alat sambung. Itu terjadi karena mekanisme kerja alat-alat sambungnya,
berbeda-beda. Seharusnya sambungan paku lebih kaku dari baut, karena tidak ada slip, tetapi hasil uji berkata lain.

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 11


Itu terjadi karena ada proses distribusi gaya ke alat-alat sambung. Itulah mengapa sambungan 1 baut lebih kaku dari
pada sambungan 4 paku meskipun gaya ultimate kira-kira sama besar. Proses distribusi gaya memakai mekanisme
plastifikasi, yaitu terjadinya penambahan deformasi yang relatif besar pada masing-masing alat sambung sedangkan
peningkatan gaya relatif kecil sampai kondisi ultimate. Itu berarti, pemakaian alat sambung yang minimal akan lebih
baik dari segi deformasi (lebih kaku). Hanya saja alat sambung yang sedikit berarti gaya yang dipikul alat sambung
akan bertambah besar. Itu berarti konsentrasi tegangan pada kayu juga akan bertambah besar pula.
Selanjutnya sambungan lem, beban tarik ultimate berkisar 4061 – 7532 N (rata-rata 5663 N) atau SF = 1.9 dari kuat
rencana (2907 N). Perilaku gaya – deformasi sambungan adalah sebagai berikut:

(a). Perilaku beban-deformasi sambungan (b). Sambungan paku


Gambar 13. Hasil pengujian tarik sambungan lem
Gaya ultimate sambungan lem terjadi pada deformasi sekitar 1.5 mm, bandingkan baut 6 mm dan paku 12 mm. Itu
berarti kondisi sambungan sangat kaku dibandingkan baut dan paku. Hanya saja perilaku keruntuhannya getas (tiba-
tiba) atau non-daktail. Ini tentu tidak baik jika digunakan pada struktur dengan beban tak terduga, seperti gempa.
Karakter lem Epoxy cukup unik, kekuatannya lebih tinggi dari kayu, dan dapat dipakai sebagai pengisi (filler). Hal
ini akan diaplikasikan pada sambungan baut. Maklum, pemasangan baut perlu lubang berdiameter lebih besar dari
diameter baut, untuk tujuan kemudahan pemasangan. Lubang yang lebih besar mempengaruhi perilaku sambungan,
yaitu terjadi slip. Diharapkan dengan mengisi celah antara lubang dan baut maka slip akan hilang.
Hasil pengujian sambungan baut dengan filler Epoxy, gaya tarik ultimate berkisar 3813 – 6578 N (rata-rata 4742 N).
Jika dibandingkan dengan baut biasa (tanpa filler Epoxy) maka terjadi peningkatan sebesar 109 %.

(a). Perilaku beban-deformasi sambungan (b). Sambungan baut + filler Epoxy


Gambar 14. Hasil pengujian tarik sambungan baut dengan filler Epoxy

12 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


Karena Epoxy dan baut lebih kuat dari kayu maka kerusakan terjadi pada kayu. Pemberian filler Epoxy memberi
pengaruh seperti memperbesar diameter baut, sebesar diameter lubang. Oleh karena itu besarnya tidak signifikan,
sebesar selisih diameter lubang dan baut. Meskipun demikian dari segi deformasi ada perbedaan cukup signifikan,
yaitu tidak terjadi driop kekuatan akibat tidak ada slip yang merugikan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sistem sambungan lem memberikan kinerja paling tinggi dari segi kekuatan
dan kekakuan, meskipun demikian perilaku keruntuhannya bersifat getas atau non-daktail sehingga tidak baik jika
digunakan pada sistem struktur dengan beban tak terduga, misalnya gempa. Selanjutnya sambungan baut dengan
pengisi Epoxy menghasilkan sambungan yang bebas slip dan daktail. Ini sangat cocok dipakai struktur tahan gempa.
Perilaku Mekanik Balok Laminasi Bambu Petung (Nugraha 2012)
Nugraha (2012) melakukan penelitian perilaku mekanik balok laminasi dari Bambu Petung (Dendrocalamus Asper)
dan perekat urea formaldehyde berbentuk bubuk merk dagang ”One-Step” produksi PT. Intan Wijaya International,
Jakarta. Dimensi balok laminasi uji 50x50x760 mm. Meskipun relatif kecil, tetapi adanya teknik laminasi membuat
penelitian ini menarik. Seperti diketahui bambu ukurannya tertentu akan diubah menjadi balok pejal yang besar. Itu
dapat dibuat karena teknik laminasi, yang merupakan salah satu temuan yang mendorong kemajuan teknologi kayu
modern. Salah satu aplikasi teknik laminasi adalah Jembatan Kayu Sungai Rena, Norway (lihat Gambar 1).
Teknik laminasi pada dasarnya teknik yang dapat menyatukan material kayu berukuran kecil jadi berukuran besar
memakai lem (adhesive). Selain memperbesar, juga dapat menggabungkan bahan baku yang tidak seragam mutunya
sehingga dapat dihasilkan komponen struktur yang efisien dan efektif dalam memikul tegangan-tegangan.
Dalam pembuatan balok laminasi ini juga dilakukan uji tarik sejajar serat dari 20 benda uji dan diperoleh tegangan
tarik ultimate berkisar 128 – 277 MPa. Dari olahan statistik diperoleh tegangan ultimate rata-rata 196 MPa yang
dianggap mewakili 35% percobaan dengan tingkat kepercayaan 75%. Jika dibandingkan hasil penelitian terdahulu
pada Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz), kuat tarik ultimate-nya 672 kg/cm2 atau ± 67 MPa (Setiawan 2004).
Itu berarti kuat tarik Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) hampir 3 kali lipat kuat tarik Bambu Tali.
Proses pembuatan benda uji laminasi bambu dapat dilihat pada dokumentasi berikut:

a). Bambu Petung, Baturaja, Sumsel b). Urea Formaldehyde c). Bambu dipotong menghilangkan nodia

d). Bilah bambu dengan mesin Planner e). Perekatan bilah f). Bambu dipotong menghilangkan nodia
Gambar 15. Proses pembuatan laminasi bambu
Dari dokumentasi foto tentang proses pembuatan laminasi bambu, dapat diketahui bahwa diperlukan ketrampilan
dan peralatan khusus tertentu agar dapat dihasilkan bilah-bilah bambu yang rapi, presisi dalam bentuk penampang
segi empat. Itu diperlukan karena bilah-bilah tersebut akan disusun menjadi elemen yang lebih besar dengan teknik
perekatan lem (laminasi). Pada penelitian ini, bambu sengaja dipotong per-ruas untuk menghilangkan bagian nodia
yang dianggap lemah (Setiawan 2004). Karena panjang ruas terbatas, maka hanya dapat dihasilkan elemen-elemen
bilah bambu yang pendek dan untuk penyusunan balok memerlukan sambungan ujung-ke-ujung.

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 13


Ada dua jenis benda uji, yaitu [1] sampel kecil (ASTM D143) dan [2] balok lentur. Proses pembuatannya sama. Uji
kinerja laminasi bambu menurut ASTM D143 perlu untuk mendapatkan perilaku mekanik, terdiri [a] uji tarik tegak
lurus, [b] uji geser sejajar serat. Dokumentasi benda uji dan hasil pengujiannya adalah sebagai berikut:

a). Benda uji b). Konfigurasi alat uji c). Bentuk keruntuhan
Gambar 16. Uji tarik tegak lurus bambu laminasi

a). Benda uji b). Konfigurasi alat uji c). Bentuk keruntuhan
Gambar 17. Uji geser sejajar arah serat bambu laminasi
Berdasarkan dua macam pengujian di atas dapat diketahui bahwa keruntuhan mayoritas pada material, bukan pada
bagian perekat. Sehingga dapat disimpulkan kesatuan bilah-bilah bambu dengan perekat Urea Formaldehyde dapat
menghasilkan bambu laminasi yang diharapkan, khususnya untuk sampel kecil.
Uji sampel besar berbentuk balok laminasi ukuran 50x50x760 mm. Perbedaan pokok balok dan sampel kecil adalah
bahwa balok memerlukan sambungan ujung-ke-ujung. Maklum bilah bambunya telah menghilangkan nodia. Untuk
uji balok lentur perlu memakai laboratorium di luar UPH, yaitu Laboratorium Bahan di Puskim, Bandung.

a). Mesin UTM di Puskim b). Konfigurasi alat uji c). Bentuk keruntuhan
Gambar 18. Uji lentur balok laminasi bambu

14 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


Hasil uji sampel kecil (Gambar 16 dan Gambar 17) terhadap bambu laminasi menunjukkan bahwa teknik laminasi
sampel ukuran kecil dapat berhasil baik. Indikasinya adalah bahwa keruntuhan terjadi pada material dan bukan pada
lem atau perekatnya. Adapun hasil uji balok lentur (Gambar 18) hasilnya tidak memuaskan, kerusakan terjadi pada
sambungan ujung-ke-ujung (Gambar 18c). Berarti teknik laminasi sambungan ruas bambu ujung-ke-ujung dengan
scarf joint atau sambungan miring, lebih lemah kekuatannya dibanding material bambu, meskipun dalam hal ini cara
penempatannya telah dibikin untuk saling overlapping.
Beberapa kesimpulan hasil penelitian balok laminasi bambu adalah sebagai berikut:
1. Kuat tarik ultimate material bambu Petung (Dendrocalamus Asper) relatif tinggi, yaitu rata-rata 196 MPa.
Itu berarti lebih kuat dari kuat tarik kayu kelas I (sekitar 650 kg/cm2 atau 65 MPa). Jadi kalau bisa dibuat
balok solid dari bambu dengan teknik laminasi maka tentu akan bersaing dengan balok kayu dengan mutu
terbaik.
2. Kecuali teknik laminasi ujung-ke-ujung, maka teknik laminasi memakai lem Urea Formaldehyde mampu
menyatukan kepingan-kepingan material bambu menjadi satu kesatuan, dan kekuatannya ditentukan oleh
bahan materialnya sendiri.
3. Sambungan ujung-ke-ujung dari teknik laminasi adalah bagian yang terlemah. Sistem scarf joint atau
sambungan miring tidak memadai untuk menghasilkan balok laminasi bambu yang sempurna.
4. Usaha memotong bambu ruas demi ruas sekedar menghilangkan nodia yang dianggap bagian yang lemah
mendapat kendala dengan sistem sambungan ujung-ke-ujung yang digunakan. Bisa jadi kekuatan bambu
dengan nodia lebih baik dari sistem sambungan ujung-ke-ujung yang dipakai pada teknik laminasi ini.
5. Penggunaan ruas-ruas bambu yang lebih panjang, meskipun ada nodia, bisa jadi menghasilkan balok
laminasi bambu yang lebih baik.
6. Jika dapat digunakan sistem sambungan ujung-ke-ujung antar ruas-ruas bambu yang sekuat bahan maka
tentunya dapat dihasilkan balok solid dari bambu. Bentuk sambungan ujung-ke-ujung yang belum dicoba
adalah sambungan finger-joint.

8. PENGAJARAN – PRAKTIKUM KAYU


Umum
Skripsi dengan tema kayu sifatnya opsional, hanya diberikan bagi siswa yang berminat. Adapun praktikum kayu
bersifat wajib karena menjadi materi penilaian mata kuliah Struktur Kayu (2 sks). Belajar dari pengalaman riset
skripsi tentang kayu sebelumnya, maka praktikum dibuat mencakup beberapa modul, dan dikerjakan sejak awal
kuliah. Proses pembelajaran dan praktikum dilaksanakan paralel, sehingga siswa pada tahap tertentu perlu belajar
mandiri. Tugas yang dikerjakan tiap-tiap siswa pada dasarnya sama, yaitu uji kayu berdasarkan PKKI atau ASTM.
Perbedaan tugas terjadi pada jenis kayu yang dipilih, dalam hal ini tiap-tiap kelompok tidak boleh sama.
Tema tugas dibedakan antara sebelum dan sesudah UTS. Pada tema sebelum UTS, fokus pada pengenalan material
kayu, cara identifikasi mutu dan akhirnya menentukan tegangan ijin perencanaan. Tema setelah UTS siswa diminta
mempelajari perilaku sambungan kayu dengan cara perencanaannya, sekaligus menguji kekuatannya sampai runtuh.
Praktikum Pra-UTS: Mengenal Kayu sebagai Bahan Material Konstruksi
Modul praktikum pra-UTS disusun sedemikian rupa sehingga mahasiswa dapat belajar secara mandiri tentang kayu,
mampu mengidentifikasi mutu berdasarkan pemeriksaan visual dan berat jenisnya. Adapun modul praktikum yang
diminta adalah sebagai berikut :
1. Mutu dan Kadar air kayu, mengikuti standar PKKI NI5 dan ASTM D4442-07 Standard Test Methods for
Direct Moisture Content Measurement of Wood and WoodBase Materials
2. Berat jenis kayu, mengikuti standar PKKI NI5 dan ASTM D2395-07 Standard Test Methods for Specific
Gravity of Wood and Wood-Based Materials.
3. Tegangan tekan sejajar arah serat, mengikuti standar ASTM D143-09 Standard Test Methods for Small
Clear Specimens of Timber.
4. Tegangan tekan tegak lurus arah serat (ASTM D143-09).
5. Tegangan tarik sejajar arah serat (ASTM D143-09).
6. Tegangan tarik tegak lurus arah serat (ASTM D143-09).
7. Tegangan geser sejajar arah serat (ASTM D143-09).
8. Tegangan Lentur Kayu (belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan alat)
Meskipun materi praktikum pada dasarnya adalah untuk meneliti perilaku mekanik kayu berdasarkan standar ASTM
ternyata dari delapan modul yang umum dilaksanakan di luar negeri, hanya dua yang ada di PKKI, yaitu mutu
(visual), kadar air dan berat jenis kayu. Modul yang lain tidak ada, oleh karena itu mengacu langsung ASTM.

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 15


Praktikum Pasca-UTS: Perilaku Sambungan Kayu
Praktikum ini diperlukan dengan pola pikir bahwa sambungan adalah bagian terlemah elemen struktur kayu, bahkan
PKKI secara tegas memberikan koefisien reduksi kekuatan bila suatu elemen terdapat sambungan. Oleh karena itu,
dapat mengetahui perilaku dan kekuatan suatu sambungan adalah sangat penting dan mutlak jika ingin kompetensi
tentang struktur kayu itu sendiri. Untuk mewujudkan tujuan itu, maka pada penelitian ini akan dibandingkan suatu
sistem sambungan kayu memakai alat sambung berbeda-beda, yaitu : [1] baut; [2] paku; dan [3] lem (adhesive).
Mahasiswa selanjutnya menentukan terlebih dahulu kuat rencana sambungan, didasarkan pada ketersediaan alat uji
yang ada. Selanjutnya mahasiswa mendesain detail sambungan berdasarkan teori umum untuk ke-tiga sambungan.

Gambar 19. Konfigurasi pengujian sampai runtuh sambungan kayu


Setiap grup tugas perlu membuat tiga sistem sambungan dengan alat sambung yang berbeda-beda: baut, paku dan
lem, masing-masing jenis sebanyak tiga buah benda uji. Selanjutnya dilaksanakan uji tekan sampai runtuh dua buah
benda uji, adapun yang satu akan disimpan untuk dokumentasi laboratorium. Jika uji beban selesai, mahasiswa
diminta membandingkan hasil rencana dan aktual, sekaligus memberikan penjelasan tentang perilaku sambungan
dan pelaksanaan penelitian pada Laporan Hasil secara tertulis.
Laporan Hasil
Pelaksanaan praktikum dilakukan dalam modul-modul dan diawasi asisten. Pada tiap modul praktikum yang selesai,
mahasiswa langsung menyusun laporan yang berisi langkah-langkah pengerjaan dan hasilnya. Laporan diperiksa
asisten. Keberadaan asisten sesuai jadwal praktimum yang tersedia, dua jam perminggu. Bila waktunya dirasakan
kurang, mahasiswa boleh berinisiatif menambah jam praktikum di Laboratorium dengan ijin petugas Laboran. Jadi
kemandirian dalam hal ini menjadi faktor penting. Untuk evaluasi pelaksanaan praktikum secara keseluruhan cukup
berdasarkan laporan praktikum final yang dibuat. Kelemahan karena dibuat berkelompok, maka ada kemungkinan
hanya beberapa anggota saja yang aktif dalam melaksanakan praktikum dan membuat laporan. Kondisi ini diatasi
dengan evaluasi akhir berupa presentasi oral di depan kelas, mahasiswa harus menguasai laporan yang dibuat.

Gambar 20. Laporan Praktikum sekaligus Bank-Data Material Kayu


Adanya laporan tertulis yang dikumpulkan memungkinkan untuk dihasilkan bank data tentang berbagai kayu yang
dijadikan topik praktikum oleh mahasiswa. Hal ini tentu sangat membantu untuk mengenal kayu secara lebih baik,
tidak hanya bagi mahasiswa, dosen tetapi juga peneliti kayu yang lain.

16 Seminar Nasional Desain Teknik Perencanaan 2012


9. KESIMPULAN
Telah disampaikan alasan mengapa revitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi diperlukan, yaitu menjaga
kelestarian lingkungan hidup dengan mencegah terjadinya resiko pemanasan global. Maklum material kayu, satu-
satunya material konstruksi yang ketika diproduksi (sebagai hutan budidaya khusus) menghasilkan kadar karbon
minimum, bahkan dapat mengubahnya menjadi gas oksigen. Dunia konstruksi di negara maju sudah memahaminya
dan masyarakat telah familiar dengan bangunan kayu. Adapun kondisi berbeda terjadi di Indonesia, konstruksi kayu
semakin lama semakin tidak populer.
Itulah perlunya revitalisasi, mempopulerkan kembali kayu sebagai bahan material konstruksi. Adapun revitalisasi
yang dimaksud perlu melibatkan berbagai pihak, salah satunya adalah perguruan tinggi. Adapun strategi yang dapat
dipilih adalah dengan meningkatkan intensitas dan kualitas riset serta pembelajaran tentang kayu, khususnya dengan
penelitian atau uji eksperimental. Hal-hal tersebut, telah diupayakan dilaksanakan di UPH, yaitu melalui riset-skripsi
dan praktikum bagi yang mengambil mata kuliah Struktur Kayu. Pada makalah ini dipaparkan riset-riset dan macam
tugas praktkum yang telah dikerjakan. Meskipun masih sedikit, semoga dapat menginspirasi yang lain.
Akhirnya memang diakui bahwa efektifitas revitalisasi yang dimaksud, tidak mudah dilihat keberhasilannya, karena
yang dituju adalah perubahan pola pikir tentang kayu bagi mahasiswa yang terlibat. Tetapi karena para mahasiswa
tersebut nantinya adalah para engineer yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan tentang proyek-proyek
konstruksi di masa depanm, maka bilamana kebijakan revitalisasi tersebut dapat didukung oleh berbagai perguruan
tinggi lain di Indonesia, keberhasilannya hanya soal waktu belaka.

DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsen, R.B. (2008). “Bridge across Rena River - World's strongest timber bridge”, WCTE 2008 - 10th World
Conference on Timber Engineering - Miyazaki, Japan, June 2-5, 2008
Aghayere, A., and Vigil, J. (2007). "Structural Wood Design - A Practice-Oriented Approach Using The ASD
Method", John Wiley & Sons, Inc.
Berly Amanda Nugraha. (2012). “Penggunaan Urea Formaldehyde untuk pembuatan Balok Laminasi dari Bambu
Petung”, Skripsi di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan, Universitas Pelita Harapan
(unpublished).
Breyer, D. E., Kenneth J. Fridley, Kelly E. Cobeen, David G. Pollock .(2007). “Design of Wood Structures—
ASD/LRFD 6th Ed.”, by The McGraw-Hill Companies, Inc.
Firman Setiawan. (2004). “Perancangan dan Pembangunan Tangki Penampungan Air dari Bambu dan Semen
(Kapasitas 2500 liter)”, Skripsi di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan, Universitas
Pelita Harapan (unpublished).
Mikhael Jimmy. (2008). “Eksperimen Perilaku Sambungan Kayu dengan Baut, Paku dan Lem (Studi Kasus Kayu
Meranti Putih dan Lem Epoxy)”, Skripsi di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan,
Universitas Pelita Harapan (unpublished).
Forest Products Laboratory .(2010). “Wood handbook—Wood as an engineering Material“, U.S. Department of
Agriculture, Madison, Wisconsin, USA
J. Porteous and A. Kermani .(2007). "Structural Timber Design - to Eurocode 5", Blackwell Science Ltd, Oxford
Josef Kolb .(2008). "Systems in Timber Engineering", Birkhauser Verlag AG, Switzerland
John Kissock, Chairman Wood for Good: "Timber: A sustainable super material for our times",
http://www.enviromedia.ltd.uk/features/latest-features/451-timber-a-sustainable-super-material-for-our-times
<< akses 5 Juni 2012>>
Kermany, A. (1999). "Structural Timber Design", Blackwell Science Ltd, London
Ozelton, E. C., and Baird, J. A. (2006). "Timber Designers’ Manual 3rd Ed." , Blackwell Science Ltd, Oxford, UK
Thelandersson, S., and Larsen, H.J. (2003). “Timber Engineering”, John Wiley & Sons, Ltd.
Rittironk, S. & M. Elnieiri. (2008). “Investigating laminated bamboo lumber as an alternate to wood lumber in
residential construction in the United States”, Illinois Institute of Technology, Chicago, (in Modern Bamboo
Structures – Xiao et al. (eds), Taylor & Francis Group, London)

UPH Karawaci – Kamis, 29 November 2012 17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai