Anda di halaman 1dari 13

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil bahwa umur pasien TB paling banyak umur 35 – 60

tahun dengan jumlah 40 orang (40,8%), umur 20 - 34 tahun sebanyak 30 orang

(30,6%), umur 13 - 19 tahun sebanyak 13 orang (13,3%), umur >60 tahun dengan

jumlah 8 orang (8,2), umur 7 - 12 tahun sebanyak 5 orang (5,1%), dan umur 4 – 6

tahun sebanyak 2 orang (2%).

Hasil analisis yang dilakukan peneliti bahwa umur 35-60 tahun paling

banyak terkena TB karena pada usia ini merupakan usia produktif usia yang masih

aktif bekerja dan aktif bersosialisasi antara individu satu dengan individu yang lain.

Pada saat berinteraksi dengan orang yang terdagnosa TB disertai dengan kontak

yang lama dan intens membuat penularan TB lebih mudah dari penderita ke orang

yang sehat dan rentan. Mudahnya cara penularan TB melalui percikan dahak, ludah

penderita TB, pemakaian alat makan bersamaan menjadikan penyakit TB sebagai

penyakit menular penyebab kematian. Usia dewasa muda (20-34 tahun) adalah

masa peralihan dari remaja kedewasa. Dalam tahap ini hubungan antara satu

individu dengan yang alinnya sangat dekat, senang bermain, dan berkumpul,

memiliki resiko tertular karena kebiasaan makan makanan secara bersama-sama,

memakai peralaan makan bersama, serta tinggal di kosan bersama, tanpa

44
45

mengetahu bahwa ada salah satu temannya yang terkena TB begitu juga usia remaja

13-19 tahun karakteristiknya sama dengan usia dewasa muda masih senang

kumpul-kumpul, yang diutamakan adalah gaya berpakaian, makanan mereka

sangat kurang memperhatikan kesehatan, merasa tidak tertarik dengan upaya-upaya

pencegahan penyakit. Usia >60 bisa terjadi penyakit TB karena pada usia ini

imunitas sudah menurun, pergerkan sudah terbatas. Pada usia ini kadang-kadang

sudah tidak bisa mengurus rumah apalagi diri sendiri. Sudah tidak mampu

memperhatikan kebersihan baik dirinya maupun lingkungan sehingga ketiaka

imunitas menurun, kebersihan diri kurang, lingkungan kotor, kontak dengan

penderita sering sehingga penularanpun terjadi. Usia sekolah (7-12 tahun) memiliki

persentase kejadian tifoid kecil hal ini karena pada usia ini merupakan masa

intelektual atau masa keserasian sekolah. Pada masa ini tunduk terhadap aturan-

aturan sehingga sikap dan perilaku anak usa ini tergantung pada aturan didalam

keluarga dan sekolah jika pendidikan didalam keluarganya tentang kesehatan baik

maka anak ini akan mudah diberikan pengarahnya. Umur 4 -6 tahun memiliki

presentase terendah diantara rentang usia di atas dikarenakan sumber pencemaran

TB pada usia tersebut masih kurang dominan. Faktor yang paling mendukung

adalah lingkungan rumah dan keluarga terutama ibu, sehingga pada usia 4-6 tahun

sumber pencemarannya hanya terbatas pada keluarga yang terdiagnosa TB.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pertiwi (2012)

menyatakan bahwa usia produktif (15-55 tahun) merupakan usia paling banyak

terkena tuberkulosis. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Sihotang,
46

(2015) yang menyatakan bahwa klien tuberkulosis paru berada pada kelompok

umur roduktif (17-65 tahun).

Susilayanti, (2012) menyatakan bahwa usia terbanyak penderita TB adalah

usia dewasa muda anara 22 sampai dengan 35 tahun sebanyak 30.5%. Dari uraian

diatas dapat disimpulkan bahwa umur usia yang paling banyak terkena TB adalah

pada usia produktif dari segi penularan berbahaya sebab mempunyai aktivitas dan

mobilitas tinggi, sering berinteraksi dengan orang lain sehingga meningkatkan

resiko penularan dan menjadikan penanggulangan semakin sulit.

B. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil bahwa jenis kelamin pasien TB paling banyak pada

laki – laki sebanyak 50 orang (51%), dan perempuan sebanyak 48 orang (49%).

Hasil analisis yang dilakukan peneliti bahwa jenis kelamin paling banyak terjadi

TB adalah laki-laki karena merokok merupakan hal yang sudah biasa dan menjadi

kebutuhan utama bagi laki-laki. Kandungan beberapa zat yang berbahaya

mempengaruhi status kesehatan seseorang sehingga menurunkan sistem

pertahanan tubuh. Seseorang yang memiliki kekebalan yang kurang akan mudah

terkena berbagai penyakit terutama penyakit TB yang sangat mudah dalam cara

penularannya. Selain dari faktor merokok TB juga ditularkan karena aktivitas

laki-laki berada diluar rumah, aktif dalam bersosialisasi, serinnya kumpul-

kumpul membuat penularan TB semakin cepat karena dengan semakin eringnya

kontak dengan penderita TB semakin inggi resiko tertular karena penyebarannya


47

melalui udara menjadikan penyakit yang cukup mudah dalam penlarannya.

Presentase pasien TB berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan yang memiliki

persentase cukup tinggi karena perempuan biasanya malu ketika akan

memeriksakan kesehatannya sehingga pengobatan awal TB terlambat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sitompul, (2014) yang

menyatakan bahwa kriteria penderita TB berdasarkan jenis kelamin paling

banyak adalah laki-laki sebesar (54,3%) lebih banyak terpapar penyakit

tuberkulosis dibanding jenis kelamin perempuan (45,2%). Hal ini juga sejalan

dengan hasil penelitian Randung (2010) yang menyatakan bahwa proporsi TB

berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebesar (54,5%), edangkan

perempuan sebesar (45.5%).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin yang paling

banyak terkena TB adalah laki-laki karena faktor gaya hidup yaitu kebiasaan

merokok dan seringnya kontak dengan penderita TB melalui sosialisasi.

C. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Berdasarkan Status Pasien

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil bahwa status pasien TB terbanyak adalah pasien baru

sebanyak 94 orang (95,9%), pasien kambuh sebanyak 1 orang (1%), pasien gagal

sebanyak 1 (1%), pasien pindahan sebanyak 1(1%), dan pasien sebanyak 1 orang

(1%).

Hasil analisis yang dilakukan peneliti bahwa status pasien paling

banyak adalah pasien baru, hal yang dapat mempengaruhi terjadinya TB baru
48

yaitu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang TB, pola hidup seseorang yang

merasa telah baik maksudnya banyak orang yang merasa dirinya telah sehat dan

jika diberikan penyuluhan merasa tidak perlu, lingkungan yang mendukung

penyebaran TB yaitu lingkungan yang jauh dari sinar matahari, lembab, dan

jarang dibersihkan, cara seorang penderita TB dalam etika batuk dengan tidak

menutup mulut dan cara perawatan TB dirumah. Pasien dapat kambuh, dana

gagal dikarenakan mereka tidak patuh dalam pengobatan yang telah ditentukan,

perasaan yang merasa sudah sehat, sudah tidak merasakan gejala TB sehingga

memutuskan untuk berhenti minum obat.

Menurut Panjaitan (2011) dalam penelitiannya dapat diketahui bahwa

status pasien tuberkulosis paling banyak adalah kasus baru sebesar 28 oang dari

45 orang penderita tuberkulosis. Hasil penelitian Sukoco (2014) menunjukkan,

91% (CR)/263 orang sembuh, 2.2% meninggal, 4.5% DO, 2.08 gagal. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Laily (2012) menyaatakan bahwa

seluruh pasien TB merupakan tipe pasien dengan kasus baru sebanyak 100%.

Tidak terdapat pasien dengan tipe relaps, default, failure, transfer in, dan kasus

lain.

Dari uraian diatas penderita TB paru paling banyak adalah pasien TB

kasus baru, karena pasien-pasien yang telah melakukan pengobatan telah

dinyatakan sembuh dan tidak ada yang gagal. Kasus baru disebabkan karena

pencegahan penularan TB masih kurang.


49

D. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Berdasarkan Panduan OAT

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil bahwa pasien TB paru berdasarkan panduan OAT

yang terbanyak adalah kategori I dengan jumlah 89 orang (90,8%), dan kategori

IV dengan jumlah 6 orang(6,1%). kategori II dengan jumlah 3 orang(3,1%).

Hasil analisis yang dilakukan peneliti bahwa status pasien paling

banyak adalah kategori I yaitu pasien baru dengan BTA (+) sehingga belum

mendapatkan pengobatan sebelumnya. Banyaknya jumlah penderita yang belum

mendapatkan pengobatan ini juga disebabkan anamnesa yang kurang teliti,

penderita cenderung menyembunyikan riwayat pengobatan karena takut dimarahi

oleh petugas. Faktor yang berpengaruh dalam hal ini yaitu sering terlambatnya

penderita untuk memeriksakan diri sehingga bakteri telah berkembang lebih

banyak. Orang yang memiliki tanda gejala TB merasa dirinya tidak sakit, hanya

merasa tidak enak badan biasa dan batuk yang biasa sehingga ketika dites orang

tersebut sudah positif terjangkit TB. Kasus TB yang berat disebabkan karena

ketidakpatuhannya seseorang terhadap pengobatan TB, kurang sosialisasinya

cara perawatan TB dirumah. Kasus TB kategori IV merupakan kategori kronis

hal ini disebabkan karena ketidakpatuhan dalam pengobatan sehingga

menyebabkan kuman TB resisten dan sulit diobati. Seperti hal nya kategori II ini

disebabkan karena penderita merasa dirinya sudah sembuh, gaya hidup tidak

dijaga, sedangkan kuman TB masih ada didalam tubuhnya, sehingga ketika

imunitasnya berkurang, mkan kuman TB akan muncul kembali.


50

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Laily, (2012)

menyatakan bahwa sebanyak 100% pasien termasuk pengobatan kategori I.

Susilayanti, (2012) menyatakan bahwa berdasarkan riwayat pengobatan OAT,

dapat dilihat bahwa dari penderita TB Paru BTA positif didapatkan 125 orang

(11,27%) yang pernah mendapatkan pengobatan dengan OAT sebelumnya.

Sedangkan 984 orang (88,73%) tidak pernah mendapatkan pengobatan

sebelumnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pasien TB di Puskesmas

Sukarame termasuk kedalam pengobatan kategori I karena terlambat dalam

memeriksakan kesehatnnya dipengaruhi oleh prinsip kesehatan dari setiap

penderita TB.

E. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Berdasarkan Rujukan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil bahwa pasien TB berdasarkan rujukan paling banyak

adalah inisiatif pasien/keluarga sebanyak 94 orang (95.9), rujukan oleh anggota

masyarakat sebanyak 2 orang (2%), rujukan oleh fasilitas kesehatan dan dokter

praktek mandiri masing-masing sebanyak 1 orang (1%).

Hasil analisis yang dilakukan peneliti bahwa paling banyak pasien TB

sumber rujukannya adalah pasien/ keluarga karena orang yang tau dan dekat

dengan penderita adalah dirinya dan keluarga. Orang yang telah merasa bahwa

dirinya terkena penyakit TB biasanya akan malu membicarakannya kepada orang

lain dan memilih untuk mengecek kesehatannya sendiri atau dengan orang yang
51

terdekat. Sedangkan rujukan oleh dokter atau perawat dilakukan ketika pasien

sudah parah, tidak dapat dilakukan perawatan diempatnya maka akan dirujuk ke

fasilitas kesehatan yang lebih memadai.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Susilayanti, (2012)

yang menyatakan bahwa 99% pasien di rujuk oleh Puskesmas. Hasil penelitian dari

Munir, (2010) menyatakan bahwa pasien TB berobat berdasarkan rujukan dari

rumah sakit negeri dan pemda sebanyak 71%. Dari uraian diatas dapat disimpulkan

bahwa pasien TB berobat ke pelayanan kesehatan berdasarkan inisiatif sendiri yang

diantar oleh keluarga dekat.

F. Karakteristik Pasien TB Berdasarkan Hasil Laboratorium

1. Hasil Pemeriksaan Diagnostik Sebelum Pengobatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil bahwa hasil dahak sebelum pengobatan paling

banyak negatif sebanyak 65 orang (66.3%), positif sebanyak 17 orang (17.3%),

tidak diperiksa sebanyak 16 orang (16.3%). Hasil foto thorak sebelum

pengobatan positif sebanyak 76 orang (77.6%), tidak diperiksa sebanyak 22

orang (22.4%).

Hasil analisis yang dilakukan peneliti bahwa hasil dahak negative

lebih besar dan hasil foto thorak postif hal ini menunjukan bahwa didalam

dahak penderita kuman TB tidak terdeteksi secara mikroskopis, faktor

pendukung hasil dahak negatif juga bisa dipengaruhi oleh cara pengambilan

sampel dahak dan cara pemeriksaannya. Hasil thorak positif menunjukan


52

didalam paru-paru sudah tersebar kuman TB dan merupakan pemeriksaan

diagnostik yang akurat juga faktor sering terlambatnya penderita memeriksakan

diri juga bisa mengakibatkan kuman berkembang lebih banyak. Hasil penelitian

ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Danastri (2013), pemeriksaan dahak

positif sebanyak 47 orang (62.6%), dan hasil foto thoraks positif sebanyak 69

orang (92%). Penelitian ini juga didukung oleh Susilayanti, (2012) bahwa

penderita TB Paru BTA positif yang memiliki derajat kepositifan BTA

terbanyak adalah BTA derajat positif tiga (+3) sebanyak 490 orang (44,2%).

Dari uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan

dahak dan foto thorak sebelum pengobatan hasilnya adalah positif yang

disebabkan oleh faktor

2. Hasil Dahak Intensif (Pengobatan pada bulan ke-2)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil bahwa hasil intensif paling banyak negatif 77 orang

(78.6%), Tidak diperiksa sebanyak 20 orang (20.4%), positif sebanyak 1 orang

(1%). Hasil pengobatan intensif 78.6% telah negatif hal ini meunjukan bahwa

pengobatan TB sudah efektif dan bekerja secara adekuat didalam tubuh pasien

sehingga bakteri TB dapat berkurang. Penilaian ini juga bermanfaat untuk

mendeteksi dini kegagalan terapi. ,mungkin dipengaruhi oleh imunitas (daya

tahan tubuh) pasien dan atau karena faktor kuman TB itu sendiri. Bahwa infeksi

berkembang menjadi penyakit bergantung pada seberapa besar dosis infeksi

(seberapa banyak TB yang terhirup napas) dan pertahanan tubuh orang yang
53

terinfeksi (daya tahan seseorang). Pada beberapa kasus, infeksi dapat cepat

berkembang menjadi penyakit. Pada kasus TB yang lain mungkin kuman

tinggal ‘tertidur’, dengan adanya beberapa basil ‘tertidur’ yang dikendalikan

oleh daya tahan tubuh. Akan tetapi, kemudian di saat terjadi suatu penurunan

daya tahan pasien, misalnya karena kurang gizi, malnutrisi, karena peny lain

atau hanya usia tua, ada kemungkinan TB yang tertidur dijadikan

berkembangbiak dengan menimbulkan penyakit. 20.4% pemeriksaan dahak

pada dua bulan sedang pengobatan tidak dilakukan karena kurangnya informasi

dan sikap penderia yang merasa tidak perlu di cek dahak kembali. Penderita

yang mengalami dahak positif hal ini dapat menunjukkan adanya kesalahan

dalam pengobatannya sehingga kuman TB tidak dapat dibunuh.

Hasil penelitian ini di dukung oleh hasil penelitian pengetahuan dan

tingkat pendidikan penderita, peran penyuluhan kesehatan, ketersediaan obat,

Pengawas Menelan Obat (PMO), keteraturan berobat, efek samping obat dan

merasa sehat. Munir (2010) bahwa sebanyak 52 orang (85.2%) hasil

pengobatannya adekuat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil

pengobatan intensif pengobatan pada bulan ke 2 hasilnya adalah positif.

Berdasarkan buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun

2002, pengobatan penderita TB Paru diberikan dalam dua tahap yaitu tahap

intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita harus minum OAT

setiap hari sebanyak 8 butir dari 4 jenis OAT (HRZE) selama dua bulan (60

hari). Kemudian akhir bulan kedua dievaluasi berupa pemeriksaan dahak


54

penderita sehingga dapat diketahui BTA dahak penderita telah konversi (dari

BTA positif berubah menjadi BTA negative) atau mengalami kegagalan

konversi (dari BTA positif tetap BTA positif). Hasil evaluasi akhir bulan kedua

tersebut menentukan paket OAT penderita fase lanjutan, menghitung cakupan

angka konversi dan menilai kinerja petugas TB paru Puskesmas dan kota.

3. Hasil Dahak bulan ke-5

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil dahak bulan ke-5 paling banyak negatif sebanyak

62 orang (63.3%), tidak diperiksa sebanyak 3 orang (36.7%). Hasil analisis

yang dilakukan peneliti bahwa hasil pemeriksaan dahak paling banyak negatif

ini menunjukan bahwa upaya pengobatan TB berhasil dilakukan. Pasien

memiliki kepatuhan yang tinggi dalam pengobatannya selama 5 bulan

kebelakang. Hal ini juga didukung oleh peran keluarga dalam upaya

perawatannya dirumah, mendukung penderita untuk mematuhi pengobatan,

memberikan makanan yang bergizi, menjaga lingkungan yang baik yang

mendukung terhadap kesembuhan penderita TB. Keteraturan berobat amat

penting dalam penanganan TB, karena jika tidak tuntas berobat, masih ada

kuman yang hidup. Kuman ini akan menjadi kebal terhadap obat TB (resisten),

sehingga obat TB tidak dapat membunuhnya. Bila terjadi hal itu, akan

diperlukan obat-obat lain yang lebih mahal dan jangka waktu pengobatannya

bertambah lama, bahkan bisa dibutuhkan operasi guna mengangkat bagian paru

yang rusak berat, atau harus minum obat seumur hidupnya. Kondisi pasien juga
55

akan jauh lebih buruk, keluhan batuk, sesak dan lemah badan akan sering terjadi

karena fungsi parunya sudah menurun drastis. Beberapa penderita TB tidak

melakukan pengecekan kembali dahaknya karena didukung oleh pengetahuan

penderita dan PMO (Pengawas Minum Obat).

Hasil penelitian ini didukung oleh Danastri (2013) menyatakan

bahwa 50% hasil pemeriksaan dahak pada bulan ke-5 dari uraian diatas dapat

disimpulkan upaya pengobatan yang dilakukan di Puskesmas Sukarame

berhasil sehingga hasilnya negatif.

4. Hasil Dahak Pada Akhir Pengobatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas

Sukarame didapatkan hasil dahak pada akhir pengobatan paling banyak negatif

sebanyak 73 orang (74.5%), tidak diperiksa sebanyak 25 orang (25.5%). Hasil

analisis yang dilakukan peneliti bahwa hasil dahak negatif pada akhir

pengobatan merupakan pencapaian yang sangat baik dalam pengobatan TB.

Peran serta semua pihak baik penderita, keluarga, masyarakat dan petugas

kesehatan menjadi faktor keberhasilan dalam pengbatan. Motivasi penderita

sangat baik sehingga patuh dalam pengobatan TB yang haru dilakukan secara

rutin dan tidak boleh terlewat satu waktu. Faktor penunjang kelangsungan

berobat adalah mengenal bahaya penyakit TB paru yang gampang menular

kesisi rumah, terutama pada anak, cara keluarga menyelesaikan pengobatannya

dan penjelasan petugas kesehatan kalau pengobatan gagal akan diobati dari

awal lagi menjadi motivasi yang aik bagi keluarga.


56

Hasil penelitian ini sejalan dengan Susilayanti (2012) menyatakan

bahwa hasil pemeriksaan dahak pada akhir pengobatan sebanyak 46% negatif.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan upaya pengobatan yang dilakukan di

Puskesmas Sukarame berhasil sehingga hasilnya negatif.

Anda mungkin juga menyukai