Anda di halaman 1dari 33

0

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Semakin kuatnya daya tarik kota ditambah dengan adanya berbagai
keterbatasan secara ekonomi di perdesaan, telah mendorong sebagian besar
warga perdesaan untuk mengadu nasib di perkotaan. Keadaan ini ditunjang
pula oleh masih kentalnya kebijakan pembangunan yang lebih
menguntungkan perkembangan dan pertumbuhan kota ketimbang
perdesaan. Karena daya dukung kota yang relatif terbatas sedangkan
penghuninya terus meningkat dengan tajam, maka beban kota menjadi
bertambah berat terutama di sektor perumahan dan permukiman.
Masyarakat yang membanjiri kota tersebut sebagian besar termasuk
masyarakat pra-sejahtera yaitu masyarakat yang berpendidikan rendah dan
berketerampilan terbatas.
Masyarakat migran prasejahtera tersebut tidak mempunyai banyak
pilihan untuk menentukan tempat tinggalnya di kota karena hanya memiliki
sedikit modal. Mereka biasanya bertahan hidup dengan melakukan kegiatan
di sektor informal dan tinggal tidak jauh dari lokasi pekerjaannya. Mereka
terpaksa tinggal di permukiman kumuh yang sesuai dengan keterjangkauan
keuangan mereka. Jika tidak mampu bermukim di kawasan yang legal
maka mereka akan menempati tempat-tempat tanpa hak yang jelas, baik
menurut status kepemilikan maupun secara fungsi ruang kota yang
umumnya merupakan lahan bukan untuk tempat hunian.
Kawasan semacam ini menurut berbagai kepustakaan1 termasuk ke
dalam kriteria kawasan squatters. Squatters area adalah suatu area hunian
yang dibangun di atas lahan tanpa dilindungi hak kepemilikan atas
tanahnya, dan squatters adalah suatu masyarakat yang mendiami
(bertempat tinggal) di atas lahan yang bukan haknya atau tanpa seijin
pemiliknya, yang karenanya, pada umumnya membawa konsekuensi
terhadap tidak layaknya kondisi hunian masyarakat tersebut, karena tidak
tersedia fasilitas sarana dan prasarana dasar hunian bagi lingkungan
huniannya. Kelompok squatter umumnya merupakan migran dari wilayah

1
Hari Srinivas, www.gdrc.org/uem/define-squatter.html - 19k; Audrey N. Clark The
Penguin Dictionary of Geography Penguin Books, London 1998; Golam Rahman,
Department of Urban and Regional Planning BUET; Departemen Kimpraswil
Indonesia, Ditjen Perumahan dan Permukiman, Jakarta 2002/2003.
1

perdesaan atau pinggiran kota yang bermigrasi ke perkotaan untuk


mengadu nasib (mencari nafkah) di perkotaan.
Kawasan-kawasan yang ditempati squatters umumnya merupakan
lahan yang berfungsi sebagai ”ruang publik” --artinya tidak boleh dikuasai
oleh orang-perorangan ataupun kelompok-kelompok tertentu, dan hanya
dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum (daerah konservasi, bantaran
sungai, ruang pedestrian, badan jalan, taman kota, hutan kota, dan ruang
sejenisnya)-- yang menurut Chappin (1987), suatu lahan (ruang) dengan
fungsi kepentingan publik (disebut ruang publik) adalah ruang yang
keberadaannya diperlukan untuk memenuhi kepentingan bersama
masyarakat.
Adanya fenomena sosial (kawasan squatters) di perkotaan tersebut,
menunjukkan telah terjadi pergeseran makna dan fungsi ruang publik
perkotaan, yang semula secara teoritik dikonsepsikan sebagai ruang yang
keberadaannya disengaja dan diperlukan sebagai fungsi publik, dalam
realitanya ada kecenderungan terus mengalami pergeseran fungsi publik,
menjadi ruang-ruang yang “dikuasai” dan dimanfaatkan untuk kepentingan
perorangan, seperti untuk tempat hunian dan tempat komersial yang
sifatnya “liar” (squat). Ruang fungsi publik tersebut antara lain adalah
ruang pedestrian, taman kota, ruang garis sempadan jalan, sungai, pantai,
ruang terbuka hijau. Fungsi ruang publik tersebut kesemuanya telah diatur
dengan berbagai peraturan perundang-undangan secara jelas.
Penelitian ini dilandasi oleh: (1) kenyataan adanya kecenderungan
pemanfaatan lahan-lahan “terlarang” (illegal) sebagai tempat hunian oleh
para squatter, sehingga dapat memperburuk “citra” lingkungan kota dan
secara fisik menjadi “inhabitable”. Kota mengalami kemunduran
(involusi), sementara penanganan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
squatter cenderung melalui tindakan pembongkaran dan penggusuran
(seringkali timbul konflik-konflik sosial), malah nampaknya belum siap
untuk mengakomodir keberadaan mereka; dan (2) belum adanya informasi
ilmiah yang mendalam mengenai squatters perkotaan baik secara umum di
kota-kota di Indonesia, maupun secara khusus di Kota Bandung. Selain itu,
memahami nilai budaya squatters yang multikulturalisme, yang dicermin-
kan melalui pandangan mereka terhadap makna kehidupan, makna ruang/
lahan yang ditempati, pandangan mereka mengenai peraturan perundangan-
undangan, terhadap fungsi pemerintahan, dan makna mereka terhadap 4 K
2

(kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, dan kesehatan), menjadi hal yang


perlu untuk dikaji.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai squatters (Mansyur, 1999)
menunjukkan bahwa mereka umum termasuk kategori spekulan, yang
memanfaatan situasi, kondisi, dan kelemahan pihak pemerintah sebagai
pengendali masalah pemanfaat ruang. Karena itu, dalam penelitian ini juga
ingin diungkapkan apakah betul mereka semata-mata hanya sebagai
spekulan, atau ada pertimbangan-pertimbangan lain yang menyertainya,
sehingga mereka mau melakukan pelanggaran terhadap peraturan tata
ruang?
Begitu pula dalam hal penanganannya, penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan masalah slum dan squatter areas di Indonesia menunjuk-
kan bahwa upaya-upaya yang dilakukan lebih bersifat politis (Komarudin,
1997:83-112) seperti misalnya kasus Kota Surakarta, Sukohardjo Surabaya,
dan Tanah Abang dan MH. Thamrin, Jakarta, dan hasilnya belum seseuai
dengan harapan. Bahkan realitasnya, banyak nilai-nilai sosial dan budaya
(antropologis) yang terabaikan.
Merujuk pada beberapa penelitian terdahulu, secara khusus mengenai
squatters di Indonesia umumnya, dan di Kota bandung khususnya, nam-
paknya belum pernah dilakukan, terutama kajian ditinjau secara antropologi
yang menyangkut aspek morfologi sosial, struktur, dan dinamika sosial
komunitas squatters perkotaan.
Boleh jadi bahwa secara teoretis, keberadaan squatters di perkotaan
merupakan reaksi terhadap adanya ketimpangan penghidupan (livelihoods)
antara perdesaan dan perkotaan terutama secara sosial, ekonomi,
governance dan enviromental (UNDP, 1997). Beberapa hasil penelitian di
kota-kota besar di Asia seperti India, Filipina, dan Malaysia (Wratten, 1995;
Satterthwaite, 1997; Beall, 1997; dan de Haan, 1997), menunjukkan bahwa
kehidupan yang miskin di perkotaan bagaimanapun ternyata relatif dapat
memberikan kehidupan ekonomi yang baik (secara tunai) dibandingkan
dengan kehidupan ekonomi yang miskin di perdesaan. Adanya konteks
perbedaan ini membawa dampak tidak hanya pada karakter keberlanjutan
penghidupan squatters miskin di perkotaan, tetapi juga mempunyai impli-
kasi untuk melakukan intervensi dan penyusunan kebijakan perkotaan. Hari
Srinivas (1991), mengemukakan bahwa untuk menemukan bentuk model-
model penanganan masalah squatters perlu dilihat paling tidak dari ke-
empat aspek, yaitu fisik, sosial, ekonomi, dan budaya.
3

Karena itu penelitian ini akan mencoba mengidentifikasi profil


masyarakat squatters melalui pemahaman terhadap pola kehidupan dan
dinamika perubahannya termasuk proses transformasi mobilitas sosial,
sehingga dapat ditemukan hal-hal yang secara sosiologi-antropologis dapat
dijadikan sebagai masukan untuk perumusan kebijakan penanganan
squatters di perkotaan. Sangat relevan apabila penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan studi etnografi mengenai pola kehidupan dan transfor-
masi sosial squatters di Kota Bandung, sehingga dapat diinduksikan
mengenai eksistensi dan dinamika squatters sebagai bagian dari dinamika
budaya perkotaan.

1.2 Rumusan dan Identifikasi Masalah


Rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah pola
kehidupan dan proses invasi-suksesi squatters di koridor S. Cikapundung,
transformasi sosial budaya mereka serta eksistensinya sebagai dinamika
budaya perkotaan, termasuk upaya pertahanan diri mereka dalam menjalani
keberlanjutan kehidupannya di Kota Bandung.
Rumusan masalah penelitian dijabarkan ke dalam bentuk pertanyaan
penelitian (identifikasi masalah) sebagai berikut:
1. Bagaimana profil dan karakteristik squatters di Koridor Sungai
Cikapundung Bandung secara lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial
budaya
2. Bagaimana latar belakang sejarah baik secara fisik, ekonomi, sosial
budaya, dan legalitas, serta faktor-faktor apa saja yang menyertainya
3. Bagaimana proses pemanfaatan lahan pada awalnya, proses invasi dan
proses suksesi penguasaan lahan dilakukan oleh squatters

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud penelitian ini adalah untuk memahami pola kehidupan dan
proses invasi dan suksesi penguasaan lahan oleh squatters di perkotaan
(studi kasus koridor Sungai Cikapundung, Kota Bandung).
Penelitian ini bertujuan memperoleh beberapa hal mengenai:
1. Profil dan karakteristik squatters di koridor Sungai Cikapundung Kota
Bandung dilihat dari aspek legalitas, fisik, ekonomi, dan sosial budaya
4

2. Latar belakang sejarah perkembangan keberadaan squatters di koridor


Sungai Cikapundung Kota Bandung dari aspek legalitas, fisik, ekonomi,
dan sosial budaya serta faktor-faktor lain yang menyertainya
3. Proses pemanfaatan lahan, proses invasi dan suksesi penguasaan lahan
serta strategi mereka dalam menyesuaikan dan mempertahankan
keberlangsungan hidupnya di koridor Sungai Cikapundung.

1.4 Kegunaan Penelitian


Pada pengembangan disiplin ilmu sosiologi dan antropologi
diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah khasanah
keilmuan antropologi perkotaan sebagai antropologi terapan, terutama: (1)
sebagai masukan untuk merumuskan konsep kota dari paradigma sosiologi
antropologi.; (2) sebagai masukan untuk merumuskan model-model proses
invasi, suksesi, dan adaptasi squatters perkotaan sebagai bagian dari
dinamika transformasi sosial budaya mereka dalam mempertahankan
keberlangsungan hidupnya di daerah tujuan mereka dengan status
“terlarang” (illegal).
Pada aspek guna laksana, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dipakai sebagai acuan konseptual dalam memahami dan memecahkan
permasalahan perencanaan tata ruang, khususnya bagi penentu kebijakan
penataan ruang perkotaan, sudah saatnya keberadaan squatters perlu
diantisipasi sedini mungkin, sehingga aspek-aspek negatif dari keberadaan
mereka dan pengambilan kebijakan yang dilakukan dapat ditekan sekecil
mungkin.

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN


DAN HIPOTESIS KERJA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pemahaman Mengenai Squatter
A. Squatter dan Masyarakat Squatter
Squatter menurut Kamus Tata Ruang (1998:96) didefinisikan
sebagai bangunan hunian di atas lahan bukan miliknya, tanpa ijin pemilik,
dan dibangun tanpa memiliki surat ijin mendirikan bangunan (IMB).
Squatter adalah penempatan lahan secara illegal; sedangkan masyarakat
squatter adalah sekelompok orang yang menempati lahan tanpa membayar
5

sewa ataupun memiliki kewenangan lahan secara resmi (Mansyur,


1990:125). Namun demikian, Hari Srinivas (2003) mengemukakan bahwa
boleh jadi tiap negara mempunyai definisi yang variatif mengenai permu-
kiman squatters, tetapi secara umum yang dapat diartikan sebagai “resi-
dential area in an urban locality inhabited by the very poor who have no
access to tenured land of their own, and hence squat on vacant land, either
private or public”. Selanjutnya Hari Srinivas (www.gdrc.org/uem/define-
squatter.html) mendefinisikan bahwa permukiman squatters adalah
“residential area which has developed without legal claims to the land
and/or permission from the concerned authorities to build; as a result of
their illegal or semi legal status, insfratructure and services are usually
inadequate”. Kawasan hunian squatters menurut Hari Srinivas dapat
dikenali dari 3 (tiga) karakteristik utama, yaitu karakteristik berdasarkan
fisik, sosial, dan legalitas yang ketiganya biasanya mempunyai keterkaitan.
Secara fisik, selain tidak legal status lahannya, biasanya juga tidak tersedia
fasilitas sarana dan prasarana dasar lingkungan hunian, seperti sarana sosial,
jaringan bekalan air bersih dan listrik; kondisi sanitasi, jalan, dan drainase
sangat buruk.
Masyarakat squatter umumnya adalah migran baik dari desa-kota
atau dari kota ke kota. Evers (1984) menyebut masyarakat squatter sebagai
”massa apung” dengan ciri khasnya adalah mobilitas geografis dan peker-
jaan mereka yang tinggi, merupakan kaum pendatang musiman, para
pekerja tak tetap dan orang-orang yang mencari pekerjaan, mereka yang tak
punya tempat tinggal yang sah; tanpa atau dengan pendidikan yang rendah,
dan tingkat-tingkat pendapatan yang sangat beragam (di sekitar tingkat
subsistensi). Kemudian TG. McGee (1976), dalam konteks proses urbani-
sasi menyebutnya dengan istilah proto-proletariat (golongan sosial ekono-
mi lemah), untuk menjelaskan penduduk ini di dalam struktur kelas di
perkotaan dan involusi (kemerosotan, kemunduran dalam perkembangan)
perkotaan (Evers, 1984).
Istilah illegal sangat berkaitan dengan hukum yang secara harpiah
berarti melawan hukum/melanggar hukum baik dalam cara memperolehnya
maupun dalam hal berhubung an dengan sifat lahannya. Namun demikian
dalam kasus squatters di Indonesia, menurut Tohir (2004) hendaknya tidak
dilihat dari aspek hukum semata, tetapi lebih tepat apabila dilihat dari unsur
publiknya yaitu menyangkut perijinan. Karena itu istiliah illegal dalam
konteks squatters di dalam penelitian ini ditujukan pada unsur publiknya,
sehingga titik tolak kajian harus dilihat dari peraturan perundang-undangan
6

yang bersifat publik (kebijakan publik). Untuk itu, maka kategori illegal
(“terlarang”) dalam hubungan dengan squatters ini, menurut Tohir (2004:
23) dapat dilihat dari :
1. Terlarang karena fungsi ruang, yaitu pemanfaatan lahan yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
tata ruang;
2. Terlarang karena keselamatan dan kesehatan, yaitu pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai karena dapat membahayakan keselamatan dan
kesehatan penggunanya baik dirinya sendiri maupun orang lain,
seperti misalnya pinggir jalan rel KA, bahu jalan raya, sungai, lereng
gunung, dan sekitar tempat sampah. Karena, kriteria umum yang harus
dipenuhi untuk tempat hunian adalah kawasan yang aman dari bahaya
bencana alam atau perbuatan manusia dan sehat secara lingkungan.
3. Terlarang karena cara penguasaannya, yaitu lahan yang dimanfaatkan
diperoleh tidak sah secara hukum. Di sini para penguasa lahan (squat-
ters) tidak mempunyai kewenangan hukum terhadap tempat hunian-
nya, karena lahan yang dikuasainya sekarang tidak berasal dari pihak
pemilik yang mempunyai hak milik atas lahan tsb. Oleh karena itu,
sekalipun para squatter memiliki bukti alas hak, tetapi alas hak yang
dipegangnya tersebut tidak berdasarkan transaksi dengan pihak
pemilik yang berhak. Dalam hubungan dengan subjek hukum, pemilik
privat, maka ia harus pemilik sah, dan dalam konteks dengan badan
hukum publik/negara, maka harus berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Daerah atau instansi yang diberi kewenangan.
B. Batasan Ruang Masyarakat Squatter
Menurut Robert Merton (Kaplan, 1999:65) para antropolog biasanya
bekerja dengan menggunakan asumsi yang tersirat, yakni mengenai batasan
unit yang sedang diamati (desa, pedukuhan, suku, komunitas). Sebagai
suatu satuan ruang, unit obyek yang diamati dapat didekati dengan
pendekatan konsep satuan lingkungan tempat tinggal (neighbourhood unit).
Para ahli (Joseph de Chiara dan Koppleman, 1980; Dody Prayogo
dan Rizki Filaili, 2004:104-105, dan Ditjen Cipta Karya, Departemen
Pekerjaan Umum, 1983) mengemukakan bahwa terdapat banyak definisi
mengenai konsep neighbourhood. Pendefinisian sangat bergantung pada
fokus substansi dan tujuan pembahasan yang bervariasi mulai dari tinjauan
secara aspek administrasi dan sosial, batasan ruang dan homogenitas
7

penghuni, pemetaan masyarakat penghuni, orientasi politik, ekonomi,


formulasi kebijakan publik, sampai dengan pengembangan wilayah secara
spatial. Definisi neighbourhood yang sering digunakan dalam konsep ruang
berkaitan dengan dua hal, yaitu (a) “.... a small territorial unit, ussually a
subdivision of a larger community, in which there is some sense local unity
or identity; dan (b) an informal primary group found in a limited area”
(Theodorson and Theodorson, 1969:273-274). Ini berarti bahwa batasan
ruang neighbourhood dicirikan secara fungsional komunitas. Namun
apabila batasan ruang harus dilihat secara kewenangan administratif, maka
batasan wilayah admisntarif RT, RW, kelurahan sampai dengan kecamatan
perlu diperhatikan (Dody Prayogo dan Rizki Filaili, 2004:104-105).
Pendapat lain mengenai batasan neighbourhood dikemukakan oleh
Downs (1981:13) yaitu “...what the inhabitants think it is” ini berarti
bahwa definisi neighbourhood diberikan oleh masyarakat setempat yang
bersangkutan, namun demikian batasan ruang administrasi juga tetap harus
dipertimbangkan, dan biasanya ditunjukkan oleh batasan fisik alam dan
identitas sosial. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka
Downs (1981:13-15) memberikan kriteria beberapa tipe neighbourhood,
yaitu (a) immediate neighbourhood (a group of housings located close to
one another); (b) homogeneous neighbourhood (a group of housings united
by a certain market price or sosial culture); (c) institution (communities or
firms) oriented neighbourhood.
Merujuk pada pandangan para ahli di atas, maka batasan ruang
masyarakat squatter dapat dibedakan berdasarkan (1) satuan: lingkungan
secara geoekologis; (2) lingkungan kelompok hunian berdasarkan tingkat
kemampuan ekonomi (sosio-ekonomi) masyarakat yang diindikasikan oleh
tipe bentuk bangunan dan luasan lahan; (3) satuan lingkungan secara sosio-
demografi yang diindikasikan oleh karakteristik penguhinya (status
perkawinan, jenis kelamin, usia, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, dan
lama tinggal; dan (4) satuan lingkungan secara sosio-budaya yang
diindikasikan berdasarkan asal-usul mereka dan kelompok etnik.
Pakar antropologi Amerika, R. Naroll dan J.A. Clifton (1968, dalam
Koentjaraningrat, 2001:58) telah menyusun suatu daftar kesatuan yang
umum digunakan para ahli antropologi untuk menentukan suatu pokok
etnografi serta lokasi yang nyata berdasarkan deskripsi kesatuant: (1)
masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih dari satu desa; (2)
masyarakat yang terdiri dari penduduk yang mengujar satu bahasa atau satu
logat bahasa; (3) masyarakat yang dibatasi garis batas daerah politik
8

administratif; (4) masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas


penduduknya sendiri; (5) masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah
geografi yang merupakan kesatuan daerah fisik; (6) masyarakat yang
ditentukan kesatuan ekologi; (7) masyarakat dengan penduduk yang
memiliki pengalaman sejarah yang sama; (8) rnasyarakat dengan frekuensi
interaksi yang tinggi; (9) masyarakat dengan susunan sosial yang seragam;
dan (10) kesatuan berdasarkan kebudayaan suku bangsa.
Kesatuan kehidupan masyarakat squatter dalam penelitian ini tampak
lebih dicirikan oleh unsur-unsur kesatuan wilayah geografi dengan ciri-ciri
ekologi dan status lahan yang sama, memiliki pengalaman sejarah yang
sama, serta memiliki rasa identitas komunitas yang khusus. Pada daerah-
daerah geografi seperti itu boleh jadi penduduknya berasal dari berbagai
etnik dan mengujar berbagai bahasa yang berbeda, memiliki sistem religi
dan ekspresi kesenian yang berbeda, namun biasanya hidup dalam budaya
dengan sistem teknologi, sistem ekonomi, serta organisasi sosial yang
sama.
Merujuk pada pemahaman tersebut di atas, dilihat dari aspek penger-
tian, definisi, dan batasan ruang, maka istilah squatter dalam penelitian ini
difahami sebagai ilegal dalam pemanfaatan lahan oleh orang yang tidak
mempunyai hak penguasaan atas lahan tersebut. Ilegal secara harfiah di sini
berarti melawan hukum atau melanggar hukum, baik dalam cara
memperolehnya maupun dalam hal berhubungan dengan sifat lahannya,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
umumnya dan di Kota Bandung khususnya

2.1.2 Pola Kehidupan dan Analisis Struktural Fungsionalisme


Pola kehidupan di dalam penelitian ini diartikan sebagai bentuk
struktur sosial yang terjadi pada masyarakat squatter. Struktur sosial suatu
masyarakat menurut Koentjaraningrat (2001:119-132), diartikan sebagai
suatu kerangka yang dapat menggambarkan keterkaitan antara unsur-unsur
kehidupan suatu masyarakat dengan tujuan untuk memahami prinsip-
prinsip kaitan antara unsur-unsur yang ada seperti misalnya (1) pranata
sosial; (2) kedudukan sosial; dan (3) peranan sosial. Melalui telaah pola
kaitan ini, kemudian dapat dikenali tipe masyarakatnya.
Konsep struktur sosial itu sendiri, pertama kali dikembangkan oleh
A.R. Radcliffe-Brown (dalam Martodirdjo, 1991) yang menekankan studi-
nya pada pendekatan sinkronik. Radcliffe-Brown mengembangkan metode
9

analisis struktural berdasarkan pemikiran E. Durkheim dan Marcel Mauss


(Martodirdjo,1991; Koentjaraningrat, 2001). Konsep dasar Durkheim yang
menarik Radcliffe-Brown terutama adalah yang sejalan dengan Herbert
Spencer, ahli filsafat bangsa Inggris, yang meletakkan dasar berpikir
analogi organik. Analogi organik pada dasarnya menempatkan masyarakat
sebagai suatu organisme hidup yang dapat dipelajari dengan menggunakan
metode ilmu pengetahuan alam (Koentjaraningrat, 2001) bahwa :
1. Susunan hubungan antar individu manusia ibarat hubungan antar
molekul kimia yang dapat menyebabkan adanya berbagai sistem
masyarakat. Perumusan dari berbagai macam susunan hubungan
antarindividu dalam masyarakat itu adalah struktur sosial.
2. Struktur sosial dari suatu masyarakat mengendalikan tindakan-tindakan
para individu dalam masyarakat yang tidak segera tampak oleh seorang
peneliti, dan karena itu harus diabstraksikan secara induksi dari
kehidupan masyarakat yang nyata.
3. Hubungan interaksi antarindividu dalam masyarakat adalah hal yang
dapat diamati secara konkret dan dapat dicatat. Struktur sosial seakan-
akan berada di belakang hubungan konkret itu, dan baru jelas apabila
diperhatikan bahwa struktur itu tetap langgeng sementara para
individunya mungkin saja silih berganti.
4. Dengan struktur sosial seorang peneliti kemudian dapat menyelami latar
belakang seluruh kehidupan suatu masyarakat, baik hubungan kekera-
batannya, perekonomiannya, religinya, maupun aktivitas kebudayaan
dan pranata-pranata lainnya.
5. Untuk mempelajari struktur sosial dari suatu masyarakat diperlukan
penelitian di lapangan, yaitu dengan mendatangi masyarakat yang
bersangkutan (masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat yang
tinggal di suatu bagian dari suatu kota, suatu kelompok berburu, dan
sebagainya).
6. Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriteria untuk menentukan
batas-batas dari suatu masyarakat yang berfungsi. Batas kerangka
struktur sosial yang diinduksikan dari realitas sosial, merupakan batas
dari masyarakat yang dipelajari.
7. Berdasarkan konsep dasar yang dikemukakan Durkheim tersebut,
Radcliffe-Brown kemudian mengembangkan konsep dan teori-teorinya
10

tentang struktur sosial dan analisis struktural yang diwarnai oleh prinsip
fungsional. Inti dari prinsip fungsional itu menyebutkan bahwa tiap-tiap
bagian atau elemen kehidupan masyarakat ditempatkan berada dalam
suatu keseluruhan yang terintegrasi.
Radcliffe-Brown (dalam Martodirdjo, 1991), kemudian menerapkan
prinsip fungsional tersebut dalam melihat dan mempelajari jaringan
hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
berdasarkan analoginya dengan suatu kehidupan organisme. Pendekatan
penggunaan prinsip integrasi fungsional dalam analisis struktural,
kemudian dikenal sebagai struktural fungsionalis.
Mempelajari pola kehidupan suatu masyarakat berarti mempelajari
struktur sosial masyarakat, yang berarti pula mempelajari relasi-relasi sosial
yang memang benar terjadi di masyarakat dalam kaitan waktu tertentu dan
merupakan kenyataan yang berhubungan dengan berbagai bidang
kehidupan manusia sehari-hari, termasuk proses tranformasi sosialnya.
Radcliffe-Brown mangemukakan bahwa mekanisme pembentukan struktur
sosial atau jaringan relasi-relasi sosial yang teratur dapat dilihat melalui
studi tentang bahasa, sistem pembagian kerja, sistem ekonomi, sistem
pertukaran, dan sistem kepercayaan (Radcliffe-Brown 1940, dalam
Martodirdjo, 1991). Dalam hal ini Radcliffe-Brown bertahan pada dasar-
dasar analogi struktur sosial dengan struktur organisme yang dianggapnya
masih tetap dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pemikiran ilmiah.
Dikatakannya babwa struktur sosial itu ditimbulkan dan dipertahankan
kelangsungannya oleh suatu komplek mekanisme yang melibatkan unsur-
unsur moral, hukum, etiket, kepercayaan, pemerintahan dan pendidikan
sebagai bagian-bagian yang terintegrasi.
Struktur sosial itu sendiri pada hakekatnya mengandung unsur trans-
formasi, langsung atau tidak langsung, yang terjadi dalam rangka keteri-
katan manusia terhadap faktor ruang dan waktu. Gagasan menyeluruh yang
melekat pada setiap struktur sosial terbentuk melalui proses hubungan antar
bagian berdasarkan hukum atau aturan-aturan tertentu. Hukum atau aturan-
aturan itu jelas bersifat relatif dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan dalam suatu konteks yang berkesinambungan. Jean Piaget
(1971, dalam Martodirdjo, 1991) menyebutkan bahwa sebagai suatu kesa-
tuan proses, “membentuk dan terbentuk” („structuring and structured‟) ber-
langsung secara terus menerus. Proses membentuk dan terbentuk ini tidak
nampak (kasat mata), karena berada di atas kenyataan (supraempirical
11

reality) yaitu dalam alam pikiran warga masyarakat yang bersangkutan.


Tetapi eksistensi proses membentuk dan terbentuk tersebut berkaitan dan
bahkan ditentukan oleh seluruh gejala atau fenomena sosial yang nyata ada
(„empirical reality‟), dengan demikian perhatian analisis struktural-
fungsionalisme terletak pada segi sistem atau hukum atau aturan-aturan
yang terwujud dalam rangka proses membentuk dan terbentuk tersebut,
yang dalam kenyataan selalu berubah karena keterikatan terhadap faktor
ruang dan waktu.
Berdasarkan teori dan konsep yang telah dikembangkan oleh para
ahli sosiologi dan antropologi tersebut, maka secara antropologi, untuk
memahami pola perilaku dan tata kehidupan masyarakat squatter dapat
didekati dengan membedah kerangka pola dan prinsip-prinsip kaitan antara
unsur-unsur kehidupan masyarakat squatter melalui (1) susunan hubungan
antarindividu dengan masyarakatnya; (2) pranata sosial yang tumbuh nyata
di masyarakat squatter sebagai alat pengendali tindakan-tindakan para
individu; (3) hubungan interaksi antarindividu di dalam masyarakat
squatter; dan (4) susunan hubungan kekerabatan, perekonomian, aktivitas
kebudayaan dan pranata-pranata lainnya, serta sekaligus juga mengungkap
proses transformasi yang terjadi dalam kehidupan sosial-ekonomi dan
sosial-budaya masyarakat squatter yang bersangkutan, yang diamati lang-
sung di lapangan secara praticipant observation baik dari pandangan
internal maupun eksternal, dengan demikian maka batas-batas dari suatu
masyarakat dalam kerangka struktur sosial yang diinduksikan dari realitas
sosial, dapat diketahui.

2.1.3 Strategi Adaptasi, Proses Invasi dan Suksesi


Secara teoritik konsep adaptasi sebetulnya merupakan bagian dari
pola kehidupan dan proses transformasi sosial dari suatu komunitas yang
dapat diinduksikan dari realitas kehidupan dengan pendekatan analisis
struktural fungsionalisme.
Konsep adaptasi telah menjadi perhatian di dalam ekologi budaya
sejak awal digunakan oleh Julian Steward pada tahun 1955 (Abdoelah,
1993:6). Adaptasi adalah proses terbentuk dan terpeliharanya suatu
hubungan saling menguntungkan antara suatu organisme dan lingkungan-
nya. Adaptasi mempunyai makna yang berbeda bagi setiap orang, dan dari
pandangan perubahan hidup, adaptasi dapat digambarkan sebagai satu
12

proses yang dapat memberikan kesempatan bagi populasi tertentu untuk


tetap eksis melalui regenerasi dalam suatu lingkungan.
Ahli ekologi budaya menggambarkan adaptasi sebagai strategi yang
digunakan oleh manusia sepanjang hidupnya untuk merespons perubahan
lingkungan dan sosial dengan segala konsekuensinya (Alland, 1975; Alland
dan McCay,1973; Harris,1968; Moran,1982; Rappaport, 1971). Beberapa
hasil penelitian (Sahlins, 1968 dan Siegel, 1984, dalam Abdoelah, 1993),
menunjukkan bahwa proses adaptasi dapat dipandang pada tiga tingkatan
yang berbeda, yaitu: tingkah laku, fisiologis, dan genetik/demografik.
Masing-masing tingkatan meliputi beberapa ranah adaptif (proses yang
berbeda dimana manusia mengatur untuk survive menghadapi tantangan
kondisi-kondisi lingkungan, menunjukkan kapasitas manusia untuk
beradaptasi.
Hasil penelitian Sahlins menyiratkan bahwa adaptasi adalah upaya
maksimalisasi kesempatan hidup, sekalipun boleh jadi hasilnya dapat
membawa konsekuensi yang tidak diharapkan. Penelitian Sahlins meng-
gambarkan bahwa adaptasi sebagai proses mengacu pada level tindakan
individu atau kelompok yang ditujukan untuk memaksimalkan kesempatan
hidup. Logikanya adalah maksimalisasi ”meansends relations” mempunyai
kebenaran sepanjang kebutuhan manusia mempunyai suatu kecenderungan
untuk memaksimalkan pemanfaatan lingkungan fisik dan sosial. Interaksi
yang adaptif itu berlangsung untuk mencukupi tujuan manusia, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa adaptasi adalah suatu proses kompromi
yang berkesinambungan dan tidak pernah menghasilkan respon sempurna.
Ini sering melibatkan resiko dasar ”maladaptation” bersamaan dengan
potensi keuntungan-keuntungan adaptasi.
Analog dengan temuan tersebut, proses adaptasi masyarakat squatter
perkotaan dapat pula didekati dengan teori ekologi budaya, karena mereka
umumnya mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, mereka masuk
ke dalam suatu lingkungan yang mungkin sangat berbeda dengan daerah
asalnya. Keadaan ini memerlukan penyesuaian dari kondisi (umumnya
rural) ke kondisi urban, dan untuk dapat survive, masyarakat squatter harus
terlebih dulu menyesuaikan diri ke kondisi-kondisi sosial dan ekologis yang
berbeda dari tempat asal mereka, dengan demikian pendekatan ekologi
budaya relevan digunakan untuk mengobervasi bagaimana strategi adaptif
para squatter dalam konteks interaksi dinamis antara perilaku budaya yang
13

mereka bawa dan hambatan yang mereka peroleh atas perilaku tersebut,
terutama dilihat secara lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Secara sosiologi mikro, proses adaptasi dapat juga diamati melalui
akulturasi dan asimilasi (Turley, 2005:5). Asimilasi adalah suatu proses
sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga
sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-
masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya
suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan
minoritas. Dalam peristiwa seperti itu biasanya golongan minoritas yang
berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat-
sifat khas dari kebudayaannya lambat-laun berubah dan menyatu dengan
kebudayaan golongan mayoritas.
Dalam konteks masyarakat squatter, proses adaptasi dapat dilihat
pula dengan pendekatan teori invasi dan suksesi. Secara antropologi
perkotaan (Turner,1968, 1971) telaahan proses invasi dan suksesi dapat
pula dilihat dari proses mobilitas sosial secara demografi dan geografi, yang
kemudian berlanjut ke difusi, akulturasi, dan asimilasi secara sosial-budaya.
Belum ada studi khusus mengenai mobilitas masyarakat squatter,
namun secara umum –seperti halnya mobilitas kaum migran umumnya--
pola mobilitas mereka juga dapat didekati dengan konsep migrasi dan
urbanisasi, dengan demikian maka terdapat dua faktor utama yang mendo-
rong dan menarik penduduk desa untuk meninggalkan tempat tinggalnya,
yaitu push dan full factors). Menurut Charles Colby (Yunus, 2001:177-188)
mobilitas masyarakat di dalam suatu ruang wilayah dipengaruhi oleh
adanya gaya centripetal dan centrifugal. Salah satu kekuatan yang ada pada
kedua gaya tersebut adalah kekuatan evaluasi sosial (individu atau
sekelompok individu) terhadap elemen-elemen sistem kehidupan dan
lingkungan, terutama adanya nilai lahan yang tinggi dan nilai aksesibilitas
yang tinggi. Mengkaji pola mobilitas, proses invasi-suksesi, dan adaptasi
masyarakat squatter di perkotaan, pada dasarnya adalah sama dengan
membahas mengenai mobilitas tempat tinggal (residential mobility). Turner
(1968) menjelaskan teorinya, bahwa ada empat macam dimensi yang perlu
diperhatikan dalam memahami dinamika perubahan tempat tinggal pada
suatu kota, yaitu: (1) dimensi lokasi; (2) dimensi perumahan; (3) dimensi
siklus kehidupan; dan (4) dimensi penghasilan.
14

Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami invasi dan


suksesi ini, menurut Turner (1968) terdapat dua pendekatan yaitu: (1) sosial
area analysis dan (2) conflict management approach. Pendekatan wilayah
sosial menekankan pada struktur sosial dan struktur keruangan pada suatu
kota. Pendekatan ini menurut Turner, dikembangkan oleh Shevky &
Williams (1949), kemudian disempurnakan oleh Shevky dan Bell (1955)
sebagai suatu model perubahan sosial yang kemudian dipakai sebagai salah
satu teori umum tentang differensiasi kekotaan. Model ini didasarkan pada
tiga buah pemikiran konseptual yang luas mengenai sifat-sifat yang sedang
berubah dari masyarakat modern, yaitu: persebaran tentang jangkauan dan
intensitas hubungan-hubungan; deferiensiasi fungsi, dan makin kompleks-
nya organisasi.
Selanjutnya, Shevky dan Bell menjelaskan bahwa meningkatnya
masyarakat industri kekotaan yang modern (modern urban industrial
society) ternyata berasosiasi dengan perubahan-perubahan mendasar pada
hubungan-hubungan ekonomi dan sosial. Hal yang perlu diperhatikan
berkenaan dengan teori differensiasi keruangan kota ini adalah bahwa
analisis wilayah sosial sangat berbeda dengan analisis ekologi untuk studi
perkotaan.
Pendekatan kedua untuk melihat proses invasi dan suksesi ini adalah
pendekatan manajemen/konflik (Conflict/Management Approach). Analisis
pendekatan ini menekankan pada hubungan antara perorangan (individu-
alis) dan kelembagaan (institutions). Latar belakang munculnya pendekatan
ini menurut Yunus (2001; 221-223) antara lain didasari oleh adanya
kenyataan perbedaan yang mencolok antara bagian dalam kota dengan
daerah-daerah pinggiran dan suburban. Bagian dalam kota banyak menga-
lami kemunduran dan berbagai konotasi negatif lainnya sedangkan bagian
pinggiran dan sub-urban bertambah baik.
Adanya perbedaan keruangan ini disebabkan oleh adanya
mekanisme-mekanisme alokatif yang kuat di dalam kota yang telah
menciptakan dan memaksakan timbulnya kesenjangan dan ketidak-adilan.
Mekanisme tersebut menurut Clark (1982) cenderung menciptakan suasana
pertentangan dalam struktur keruangan kota karena adanya tekanan-tekanan
dan gesekan-gesekan oleh pihak-pihak dan antara pihak-pihak dalam
bersaing untuk mendapatkan ruang di dalam kota. Penekanan analisis dari
pendekatan konflik/pengelolaan ini adalah pada tekanan-tekanan lokasi-
onal dan peranan pihak-pihak yang mengarahkan, mengontrol dan memani-
15

pulasi penggunaan lahan di kota (Yunus, 2002:222). Konflik lokasional


dianggap sebagai suatu akibat yang menyertai persaingan untuk memper-
oleh lahan di kota.

2.1.4 Dinamika Budaya Perkotaan


Turley (2005:1-21) sebagaimana para ahli sosiologi dan antropologi
yang lainnya (Weberian, Burgess, A.L. Kroeber, Talcott Parsons,
Koentjaraningrat, Garna, dan Martodirdjo), berpendapat bahwa budaya
adalah sesuatu hasil tindakan yang manusia berbuat dan menggunakan
lingkungannya, ada budaya yang bersifat material (artifak) ada juga budaya
yang bersifat non-material (semua ide, hukum, keyakinan, agama, nilai-
nilai, norma-norma dan tata cara hidup manusia, atau sekelompok manu-
sia). Menurut pandangan Turley (2005), budaya perkotaan dapat mempu-
nyai 2 (dua) arti, yaitu: (1) bagaimana kota mempengaruhi masyarakat,
kegiatan bisnis, organisasi sosial, organisasi ruang, dan cara masyarakat
berproduksi; dan (2) bagaimana masyarakat kota, kegiatan bisnis, organi-
sasi sosial, organisasi keruangan, dan seni mempengaruhi suatu kota. Ini
berarti bahwa kehidupan di kota bersifat unik, yang terjadi kedua elemen
individu dan atau kelompok masyarakat dan kota satu sama lain dapat
saling berpengaruh, kota mempengaruhi individu, sebaliknya kelompok
dari individu pada gilirannya dapat mengubah suatu kota.
Turley (2005) secara sosial budaya, menemukan empat teori tentang
kota bermula dari apa yang dikenal sebagai ”Urban Conflict Theory”
(Federick Engels, Karl Marx, Weber, 1840-1921-an) yang menunjukkan
bahwa kota merupakan wadah kehidupan manusia yang di dalamnya terjadi
ketidakseimbangan kekuatan antara individu dan kelompok, sehingga
menimbulkan perbedaan kelas di dalam masyarakat kota, yaitu kelas buruh
(bawah), menengah, dan kelas atas.
Kemudian teori kedua dikenal dengan ”Urban Ecology Theory”
(Robert Park and Ernest Burgess, sociologists, 1920an) yang memandang
fenomena kehidupan (budaya) perkotaan sangat unik, berbeda dengan di
perdesaan. Kota dianalisis sebagai ”biological fashion”, sebagai organik
yang memproses bahan mentah dari sekitarnya untuk memproduksi apa
yang dibutuhkan untuk menopang kehidupan kota.
Teori ketiga adalah ”The Anomie Theory” (Louis Wirth, 1938an)
yang memandang bagaimana kota mempengaruhi masyarakatnya (citizens)
yang ditunjukkan oleh tingkat kepadatan penduduk dan kelas-kelas sosial.
16

Dengan padatnya kota (overload of living in the city) para urbanisan


menjadi kurang sensitif dan tertutup dari masyarakat yang mengitarinya.
Kota menjadi ”sumpek”, ”bising, dan ”berbau”, sedangkan masyarakat kota
harus menyaring gangguan-luar seharian, berwatak dingin dan ingin
berjauh.
Teori keempat adalah teorinya Herbert Gans (1962) yang mengkritik
(Turley, 2005:9) bahwa:
”urban ecological factors have no direct negative effects on
groups or individual, as it mentioned by the “Italian and
Chiness” group; These small groups of families, friends, and
neighbourhoods, actually intensify culture rather than dis-
integrating culture (as the Wirthian perspective promotes)”.
Menurut Gans, pengaruh kota terhadap kelompok tertentu tidak
signifikan, malah sebaliknya, budaya kelompok tersebut muncul secara
intensif dan kreatif. Paham ekologis di sini, melihat kota sebagai
”fracturing stress” bagi komunitas etnik tertentu, sedangkan paham
asimilatif, melihat kota justru sebagai ”the best platform” bagi kelompok
dominan yang secara perlahan-lahan mereka membentuk budaya kelompok
minoritasnya menjadi budaya kelompok mayoritas di kota yang
bersangkutan.
Berdasarkan paparan tersebut --dalam kaitannya dengan masyarakat
squatter perkotaan-- menjadi sangat logis manakala kota-kota di Negara
Ketiga (termasuk Asia) umumnya dan Indonesia khususnya, mengalami
sejarah perkembangan dan perubahan yang relatif sama secara sosial
budaya dengan kota-kota di negara maju. Proses perubahan dapat dilihat
antara lain melalui pendekatan teori sosial perkotaan (Urban Sosial
Theory), ”Invasion and Succession” (Turner, 1968; Chappin, 1987; John
Kasarda, 1993; dan Turley, 2005: 12-13) dan “urban ecological theory”

2.1.5 Pendekatan Etnografi


Etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan etnik dari
suatu suku bangsa secara holistik (keseluruhan). Etnografi merupakan
usaha untuk mencatat dan sekaligus memahami kebudayaan suatu
masyarakat sebagaimana adanya, berdasarkan pola berpikir dan kepen-
tingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Hasil akhir dari studi
etnografi adalah berupa rumusan tentang bagaimana suatu masyarakat itu
17

melihat dirinya sendiri dalam konteks totalitas kebudayaan, baik dalam


kerangka kemapanannya sebagai suatu pola maupun dalam kerangka
proses dinamika yang dialami sehubungan dengan keterikatannya terhadap
faktor ruang dan waktu. Dengan kata lain, melalui analisis etnografi dapat
diketahui dan dipahami pola tingkah laku dan pola berpikir suatu
masyarakat sebagaimana yang mereka sendiri maksudkan (Martodirdjo,
2001:13).
Analisis etnografi dipandang sebagai kunci utama dalam perkem-
bangan Antropologi, baik dalam rangka perkembangan teori dan metode
maupun dalam segi terapannya. Etnografi sepenuhnya merupakan deskripsi
kebudayaan seteliti mungkin dan seluas mungkin sesuai dengan realitas dan
penilaian anggota masyarakat pendukungnya. Studi etnografi menekankan
pada pentingnya pemahaman terhadap tingkahlaku menurut pola berfikir
dan bertindak dari subyek yang diteliti dalam bentuk pengamatan men-
dalam (participant observation) terhadap perilaku manusia dan ling-
kungannya (Garna, 1999:59, Bogdan dan Taylor, 1975:5; Bogdan dan
Biklen, 1990:2; Miles dan Huberman, 1993:15; Moleong, 1993:30;
Brannen, 1999:1).
Spradley (1979, dalam Matodirdjo, 1991), studi etnografi pada
dasarnya dikembangkan bukan hanya untuk memahami kehidupan manusia
semata-mata tetapi sekaligus juga untuk melayani kebutuhan-kebutuhan
hidup manusia itu sendiri. Etnografi menjadi alat yang efektif untuk
membantu penyusunan rencana dan pelaksanaan program-program
peningkatan kehidupan masyarakat melalui pandangan dan kepentingan
masyarakat itu sendiri.
Etnografi yang mendeskripsikan masyarakat squatter dapat meng-
gambarkan mengenai (1) nama kelompok etnik; (2) lokasi, lingkungan
alam, dan kondisi demografinya; (3) asal-mula dan sejarah terbentuknya
suatu masyarakat; (4) bahasa sebagai alat komunikasi; (5) sistem teknologi;
(6) sistem mata pencarian; (7) Organisasi sosial; dan (8) sistem penge-
tahuan dan sikap pandangan hidup mereka, lengkap dengan data demografi
dan kependudukan, baik secara fisik, biologis, sosiologis, ekonomi, maupun
sosio-budaya, termasuk dinamika transformasi atau perubahan sosialnya,
mobilitasnya, yang secara khusus merupakan bagian dari kajian antropologi
perkotaaan. Semua infomasi ini dipelukan untuk mempelajari hubungan
dan pengaruh timbal-balik antara alam dan tingkah laku manusia dalam
kehidupan masyarakat squatter, terutama menyangkut gambaran menye-
18

luruh mengenai karakteristik dan perilaku masyarakat (etnik atau subetnik)


yang terkait dengan pemanfaatan lahan squatters berdasarkan masing-
masing batasan ruang/tipologi kelompok masyarakat squatter.

2.2 Kerangka Pemikiran


Menurut catatan Mansyur (1999), masalah penempatan lahan secara
ilegal oleh para squatter baik di perdesaan dan di perkotaan di Indonesia,
sudah terjadi sejak dahulu (terutama mulai tahun 1950an) setelah negara
Republik Indonesia merdeka. Pada waktu itu banyak tanah negara bebas
(government ground) yang belum dibebani hak berat, telah digunakan atau
dikerjakan oleh para petani sawah dan tambak. Mereka menarik hasil dari
tanah negara secara bebas dalam jangka waktu tidak terbatas, mereka
disebut petani penggarap. Keadaan ini terus berjalan dan sudah mulai
meluas sampai pada lahan-lahan yang dikelola (dimiliki/kuasai) oleh
instansi pemerintah, termasuk tanah-tanah yayasan atau tanah hak milik
berbadan hukum, dimana pelakunya tidak saja anggota masyarakat umum
tetapi juga dilakukan oleh oknum aparat pemerintah sendiri yang
kebanyakan dipergunakan sebagai tempat tinggal (perumahan).
Kemudian pada tahun 1977 sampai dengan sekarang ini keinginan
atau tindakan-tindakan untuk menduduki lahan tanpa membayar sewa
ataupun tanpa memiliki kewenangan ini sudah meluas lagi sampai pada
lahan yang ditetapkan untuk kepentingan publik (ruang publik) seperti
kawasan sempadan sungai, jalan, trotoar jalan, lapangan atau jalur hijau,
dan sebagainya, tidak hanya digunakan sebagai lahan untuk tempat hunian
tetapi juga difungsikan sebagai lahan usaha untuk mempertahankan
hidupnya, seperti sebagai pedagang kaki lima, kegiatan industri rumahan,
pemulung sampah, dsb.
Banyak hal negatif ditimbulkan sebagai akibat adanya pemanfaatan
lahan oleh squatters yang dapat mempengaruhi tatanan kehidupan suatu
kawasan perkotaan dan kondisi ini apabila dibiarkan terus berlangsung
diperkirakan dapat menimbulkan berbagai permasalahan fisik, sosial,
hukum, dan budaya yang semakin marak dan menjadi sangat sulit untuk
dibenahi. Karena itu, sebagai salah satu upaya untuk penanganan masalah
squatters secara komprehensif, kiranya hanya dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu memahami karakteristik masyarakat squatters tersebut
melalui penelitian antropologi budaya dengan pendekatan etnografi, yaitu
19

menyingkap mengenai seluk-beluk keadaan suatu budaya masyarakat/


memerikan suatu realitas yang disusun berdasarkan kondisi faktual.
Penggunaan perspektif antropologi budaya sebagai landasan teori
(grand theory-nya: struktural fungsionalisme dan teori-teori terapannya
berkaitan dengan ekologi budaya, adaptasi, invasi dan suksesi, serta teori
mobilitas sosial) dalam mengkaji masyarakat squatter, maka laporan
etnografi mengandung analisis yang berhubungan dengan struktur, pola,
dan institusi yang semuanya merupakan produk sintesis konstruktif dari
hasil imajinasi berdisiplin etnografer, artinya kajian lapangan para
antropolog adalah semacam realitas sosial-budaya yang dilengkapi dengan
menggunakan proses klasifikasi, kategorisasi, serta menunjukkan kemung-
kinan hubungan antara tipe-tipe kejadian, dengan demikian maka pende-
katan-pendekatan yang relevan digunakan untuk menyingkap budaya
squatters, dapat merupakan kesinambungan antara perspektif fungsional,
perspektif evolusi, perspektif historis, dan ekologi-budaya yang dalam
pandangan sosiologi-antropologi disebut sebagai konsep atau pendekatan
analisis struktural-fungsionalme (Durkheim, Radcliffe-Brown, dalam
Martodirdjo, 1991).
Penelitian etnografi, secara fungsionalis perlu ”mengeksplorasi ciri
sistemik budaya”, yaitu mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-
institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu
sistem yang bulat; mencari saling hubungan antara fenomen budaya dan
konsekuensi yang timbul dari tindakan-tindakan kultural, saling keter-
gantungan, tentang proses sosial. Fungsionalisme sebagai perspektif
teoretik dalam antropologi menurut Kaplan (1999), bertumpu pada analogi
dengan organisme, artinya ia membawa kita memikirkan sistem sosial-
budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya
saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan,
stabilitas, dan kelestarian hidup organisme itu. Sedangkan pendekatan
evolusionisme menyingkap bagaimana cara kerja berbagai sistem budaya
dan bagaimana perubahan-perubahan budaya itu terjadi.
Menurut Robert Merton (Kaplan, 1999:65) para Antropolog biasanya
bekerja dengan menggunakan asumsi yang tersirat, yakni mengenai batasan
unit yang sedang diamati (desa, pedukuhan, suku, komunitas). Robert
Merton menyebutkan asumsi tersirat itu sebagai: (1) postulat keutuhan
fungsional masyarakat, yakni bahwa segala sesuatu berhubungan fung-
sional dengan segala sesuatu yang lain; (2) postulat fungsionalisme
20

universal, yaitu bahwa segala unsur budaya melaksanakan sesuatu fungsi,


dan tidak ada satu pun unsur lain yang mampu melaksanakan fungsi yang
sama itu. Semua postulat itu harus ditolak atas dasar empirik. Berbagai
unsur budaya dapat melaksanakan sesuatu fungsi yang sama (alternatif
fungsional). Disfungsional mengandung arti bahwa unsur itu mungkin
menghasilkan tekanan dan tegangan yang mengancam keterpiaraan sistem.
Bagaimanapun juga, semua asumsi itu harus diselidiki secara empirik dan
tidak dapat diputuskan atas dasar apriori.
Dengan menggunakan premis-premis yang diambil dan teori
antropologi budaya di atas dan sesuai dengan maksud penelitian, yaitu
untuk mempelajari, memahami, dan menganalisis pola kehidupan dan
proses invasi dan suksesi masyarakat squatter perkotaan (daerah studi di
koridor Sungai Cikapundung, Kota Bandung); dan sesuai tujuan penelitian,
yaitu mendeskripsikan aspek-aspek pola kehidupan dan perubahannya yang
mencakup: struktur sosial, hubungan sosial, pola lapangan kerja, pola
kehidupan dan transformasi sosialnya, dan eksistensinya sebagai dinamika
budaya perkotaan, termasuk mendeskripsikan bagaimana proses invasi,
suksesi, dan strategi squatters dalam menyesuaikan dirinya di lingkungan
hunian (kawasan lahan) dengan status “squat”, maka melalui penelitian ini
diharapkan dapat ditemukenali hal-hal yang perlu dipertimbangkan sebagai
masukan untuk perumusan kebijakan penanganan masalah squatters di
perkotaan.

2.3 Hipotesis Kerja


Berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagaimana
dirumuskan pada kerangka berfikir penelitian maka dapat dirumuskan
hipotesis kerja penelitian, berikut:
1. Aspek legalitas, fisik, ekonomi, dan sosial budaya mempengaruhi profil
dan karakteristik squatters di koridor Sungai Cikapundung Kota
Bandung
2. Latar belakang sejarah perkembangan keberadaan squatters di koridor
Sungai Cikapundung, Kota Bandung dipengaruhi oleh aspek legalitas,
fisik, ekonomi, dan sosial budaya serta faktor-faktor lain yang
menyertainya
3. Lemahnya pengawasan, adanya faktor kekuatan sosial, faktor keter-
batasan, faktor keterpaksaan, kurangnya keberpihakan pemerintah dan
21

adanya kesempatan serta unsur spekulasi mendorong terjadinya proses


invasi, dan suksesi dalam “penguasaan lahan” (squat).

III. Objek dan Metode Penelitian


Penelitian “Masyarakat Squatter Perkotaan: Studi Tentang Pola
Kehidupan dan Proses Invasi-Suksesi Masyarakat Squatter di Koridor
Sungai Cikapundung Kota Bandung ini secara lokasional membentang dari
arah Utara ke Selatan membelah Kota Bandung, mencakup beberapa
bagian wilayah RT/RW, kelurahan, dan kecamatan. Pemilihan koridor
Sungai Cikapundung sebagai lokasi penelitian adalah dengan pertimbangan
bahwa:
1. Koridor Cikapundung merupakan salah satu koridor yang status dan
fungsi ruangnya adalah ruang publik sebagai garis sempadan sungai;
2. Realitasnya kawasan ini telah tumbuh dan berkembang sebagai tempat
hunian dan permukiman yang menurut terumata fungsi ruang dan status
kepemilikan lahannya kategori squatters;
3. Koridor Cikapundung merupakan wilayah dengan permasalahan
squatters-nya terbesar dibanding dengan wilayah koridor lainya di Kota,
Bandung, sehingga dapat dianggap mewakili profil dan permasalahan
squatters perkotaan di Kota Bandung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitik kualitatif. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggam-
barkan dan memahami pola perilaku suatu masyarakat sebagaimana adanya
dalam konteks keutuhan atau satu kesatuan yang bulat. Dengan demikian
metode penelitian deskriptif ini dipandang cocok untuk menggambarkan
berbagai pola kehidupan dan perubahan (transformasi) sosial yang terjadi
pada suatu masyarakat, termasuk squatters.
Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan
agar peneliti dapat memahami squatters secara personal dan memandang
mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya.
Oleh karena itu, menurut Garna (1999:56): “dalam tradisi penelitian
pendekatan kualitatif memerlukan studi lapangan (field work) yang biasa
disebut kajian “etnografi”. Berkaitan dengan itu maka penelitian ini selain
menggunakan pendekatan kualitatif juga menggunakan kajian etnografi.
22

Adapun yang menjadi pertimbangan menggunakan pendekatan/


kajian etnografik, adalah untuk memahami secara mendalam tentang
konteks pengumpulan informasi yang digunakan yaitu wawancara dan
observasi atau pengamatan secara partisipatif. Dengan latar belakang
demikian maka kajian etnografi menuntut peneliti mempelajari bagaimana
perilaku sosial suatu kehidupan masyarakat, kemudian dapat dideskripsikan
sesuai pola perilaku dari subyek kajian yang menjadi sasaran penelitian.
Pengumpulan data difokuskan pada squatters di wilayah koridor
Sungai Cikapundung, terutama yang masuk ke dalam wilayah bantaran atau
garis sempadan sungai dan masyarakat non squatter. Penentuan informan
dilakukan secara purposive dan snowball, yaitu meminta nara sumber atau
informan menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi
Kriteria informan adalah orang yang mengetahui seluk-beluk dan
asal mula terjadi penguasaan lahan di bantaran Sungai Cikapundung dan
mengetahui mengenai kondisi masyarakat di kawasan ini, yang umumnya
mereka sudah menetap di daerah ini minimal 5 (lima) tahun. Informan
tersebut terdiri dari Ketua Rukun Tetangga (RT), Ketua Rukun Warga
(RW), Lurah atau aparat Kelurahan, pemuka masyarakat, dan warga
msyarakat umum sebagai penghuni kawasan ini.
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam rangka mem-
peroleh data mengenai Pola Kehidupan dan Proses Invasi-Suksesi
Masyarakat Squatter di Koridor Sungai Cikapundung adalah pra survei,
observasi partisipan (participant – observation), wawancara mendalam (in-
depth interview), dan studi dokumentasi.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Profil dan Karakteristik Squatters di Koridor Sungai
Cikapundung
Hasil pencatatan data di lapangan menunjukkan bahwa di koridor S.
Cikapundung sebagai wilayah penelitian, secara garis besar terdapat empat
kategori squatters, yaitu (1) squatters yang sama sekali tidak memiliki
surat-surat tanah dan bangunan (IMB), (2) squatters yang mempunyai bukti
surat tanah dalam bentuk “kikitir-letter C” tetapi tidak ada IMB. Bentuk,
kondisi tempat tinggal (rumah), dan lingkungan untuk setiap kondisi
tipologi cukup berbeda.
23

Tipe squatters pertama sama sekali tidak memiliki surat-surat tanah


dan bangunan (IMB), bentuk, kondisi rumah, dan lingkungannya boleh
dikatakan sangat kumuh. Bentuk bangunannya ada tipe tunggal dan umum-
nya bentuk kopel (gandeng) berjejer untuk dua-tiga rumah (KK). Konstruk-
si dan bahan bangunan terbuat dari bahan bangunan bekas dan bersifat
temporer (bilik, kayu, lantai papan atau adukan semen, dan atap seng).
Jarak antar bangunan tidak teratur, sirkulasi udara dan sanitasi lingkungan
buruk Merujuk pada peraturan perundang-undangan tentang sanitasi
lingkungan baik yang diterbitkan pada masa Kolonial maupun sekarang,
sebetulnya sangat tidak diperbolehlan apabila saluran pembuangan MCK
langsung dibuang ke badan sungai. Namun realitas di sepanjang Sungai
Cikapundung, hampir semua sistem pembuangan langsung ke badan
sungai.
Tipe kedua adalah squatters yang mempunyai bukti surat tanah
dalam bentuk “kikitir-letter C” tetapi tidak ada IMB, dan sebagian mengaku
tanahnya sebagai tanah Pengairan. Bentuk bangunan ada yang tunggal, ada
yang kopel, yang kopel biasanya merupakan rumah tumbuh (asalnya sewa,
kemudian dibeli). Konstruksi bangunan semi permanen dan permanen
(penghuni punya keyakinan Pemerintah tidak akan menggusur hunian
mereka). Prasarana jalan di dalam lingkungan hunian, umumnya dibangun
dengan swadaya masyarakat.
Squatters tipe (1) dan tipe (2), apabila dianalisis dengan pendekatan
genealogi dan jaringan sosial ditemukan kelompok-kelompok sosial
sebagai berikut. Berdasarkan genealogi, squatters di sini mempunyai pola
kekerabatan etnik Sunda (dominan) dan sebagian Jawa yang dilihat dari
sudut pandang informan maupun peneliti mempunyai istilah yang relatif
sama dengan bahasa Indonesia. Kelompok sosial keluarga inti terdiri dari
suami, istri, dan anak. Beberapa di antara mereka terdapat keluarga luas
(extended family), ada nenek, ada keluarga kakak dan kelarga adik dengan
keponakannya (jalur vertikal dan horisontal). Kemudian para tetangganya
umumnya juga masih merupakan sanak keluarga, ada dari pihak orangtua
(Uwa Laki-laki/Perempuan, Paman/ Bibi = Pakde/le dan Bude/le), dan ada
dari pihak “bawaan” keluarga ipar, begitu seterusnya. Sehingga dalam satu
satuan lingkungan RT/RW sebagian besar penduduknya mempunyai
hubungan secara genealogi, adn petak-petak rumah yang mereka tempati
merupakan warisan dari para orangtua mereka di atasnya.
24

Pertemanan antartetangga, antarwarga telah membentuk kelompok-


kelompok sosial seperti di Cilentah ada kelompok ibu-ibu pengajian, ibu-
ibu arisan. Kemudian di Babakan Ciamis ada kelompok pedagang besi dan
industri “perbesian”, di bantaran sungai segmen Tamansari dan Lebak
Siliwangi ada kelompok sosial ikan keramba, “Peduli Cikapundung”,
pekerja (buruh) bangunan dan pedagang pasar. Diantara mereka tetap
terjalin saluran komunikasi dengan sesamanya baik di wilayah yang mereka
tempati sekarang, di seluruh wilayah di Kota Bandung, maupun dengan
orang-orang di daerah asal mereka.
Terjadinya diversifikasi kelompok sosial sejalan dengan perkem-
bangan pemanfaatan ruang dan perkembangan Kota Bandung itu sendiri.
Secara diakronik nampak sudah terjadi perubahan fisik, sosial, dan ekonomi
penduduk di sepanjang bantaran sungai ini, yang semula berorientasi pada
kegiatan pertanian sawah dan kebun (pemanfaatan sumberdaya alam),
sekarang lebih berorientasi ke sektor jasa. Hal ini sesuai dengan pemikiran
Ogburn (dalam Lauer, 1993:208-209) perubahan disatu pihak akan
mengakibatkan perubahan dipihak lain, berbagai pengaruh memungkinkan
suatu kelompok masyarakat mengalami perubahan sosial dalam waktu
cepat atau melalui kurun waktu tertentu, tergantung dari aspek dalam
masyarakat tersebut (Garna, 1992:42). Namun demikian, secara sosial
ekonomi, kelompok-kelompok ini tetap merupakan kelompok sosial yang
bersifat longgar (tidak terikat oleh suatu aturan-aturan khusus), selain
aturan-aturan (norma-norma kehidupan) yang sifatnya umum.
Kelompok squatter sebagai suatu unit makrososial, secara etnisitas
(budaya) termasuk ke dalam unit komunal yang mempunyai rasa sentimen
kelompok lebih kuat terpelihara sebagai semacam “ikatan primordial” yang
mencakup kesadaran tertentu tentang kesatuan yang menjadi kunci simbol
identitas kelompok. Dalam skala unit sosial, kelompok squatters selain
dapat merupakan sub-kultur secara genealogis (sanak famili), juga dapat
merupakan ikatan yang berbasis kelompok etnik yang memelihara
kohesivitas sosial dan kultural.
Upaya-upaya strategis yang mereka lakukan untuk tetap eksis dan
dapat bertahan hidup adalah dengan cara melakukan tidak hanya
penghematan dalam pola konsumsi, tetapi telah tercipta pembagian peran
dan diversifikasi pekerjaan diantara anggota keluarga. Ini menunjukkan
bahwa kultur manusia sebagai proses dan produk yang menyesuaikan
terhadap lingkungan dalam struktur internalnya, menjadi adaptasi dalam
25

kaitan dengan alam manusia, kebutuhan manusia, tindakan manusia, atau


adaptasi ekologis.
Dalam realitasnya, ternyata interaksi lingkungan budaya komuniti
squatter perkotaan bersifat sangat dinamis, mencakup hubungan timbal-
balik antarvariabel: lingkungan, geografis, teknis, ekonomi-sosial, sosio-
kultural, dan politik. Proses ini secara sosiologi mikro, merupakan proses
akulturasi dan asimilasi komuniti squatter terhadap lingkungan makronya.
Dalam proses akulturasi, squatters menerima pengaruh budaya luar dirinya,
sedangkan dalam proses asimilasi unsur-unsur kebudayaan mereka berubah
menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

4.2 Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Keberadaan


Masyarakat Squatter di Koridor Sungai Cikapundung
Pada akhir abad ke XIX, Pemerintah Kolonial/Belanda meluncurkan
peraturan pembentukan Kotapraja (Stadsgemeente, 1906). Satu diantara
kotapraja yang disahkan adalah Kota Bandung. Untuk menata pembangun
kota, Pemerintah Kotapraja mengeluarkan peraturan sendiri (Stadsgemeente
Bouwverordening), peraturan bangunan lokal. Kotapraja Bandung menge-
luarkan peraturan ini tahun 1929an. Meskipun secara substansial isi pera-
turan tersebut cukup lengkap, namun dalam implementasinya hanya diber-
lakukan bagi kawasan permukiman bangsa Eropa, bangsa lain yang sedera-
jat, dan bangsa pribumi „menak” (bangsawan) yang juga sederajat, tidak
untuk bangsa pribumi secara umum.
Karena sebagian besar bentuk tatanan perumahan dan permukiman
bangsa pribumi (proletar/ cacah) tidak terfasilitasi oleh peraturan tersebut,
maka mereka cenderung tumbuh sebagai lingkungan permukiman padat
dan kumuh dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Bukti adanya
perbedaan perlakuan terhadap kaum pribumi (cacah) dan bangsa Eropa
misalnya, dapat dilihat pada penataan ruang jalur utama di wilayah
Bandung Utara (sebelah utara jalan rel KA) dengan penataan ruang di
wilayah Bandung Selatan.
Di masyarakat pribumi pengaturan tentang perumahan dan
permukiman umumnya dibiarkan diatur oleh peraturan yang bersumber dari
hukum adat dan kepercayaan penduduk setempat yang diikuti secara turun-
temurun tanpa ada peraturan tertulis. Sangsi terhadap pelanggaran hukum
peraturan yang bersumber pada adat dan kepercayaan adalah adanya
“kualat” yang diyakini secara turun-temurun. Pengetahuan penduduk
26

pribumi tentang keyaninan terhadap peraturan yang bersumber dari adat


dan kepercayaan setempat, rupanya tidak dibarengi dengan pengetahuan
mengenai adanya keterbatasan keseimbangan (batas ambang) daya dukung
dan daya tampung lingkungan, sehingga hukum “kualat” sebagai proses
sebab-akibat, telah terjadi di bawah sadar mereka. Realitas hidup yang
mereka hadapi (lingkungan yang padat dan kumuh) tidak mereka sadari
sebagai akibat dari terjadinya ketidak-seimbangan daya dukung dan daya
tampung lingkungan, sehingga kualitas lingkungan menurun.
Kondisi kumuh dan penguasaan lahan oleh squatters ini telah cukup
lama berlangsung, sehingga cukup sulit untuk dilakukan perubahan, karena
sudah menyangkut masalah sikap dan mentalitas. Selain itu, berbagai
peraturan yang ada nampaknya belum dapat menjadi rujukan yang efektif
baik bagi masyarakat maupun bagi aparat pemerintah.
Keberadaan masyarakat squatter di koridor Cikapundung secara
ekologi sosial nampaknya terus berlangsung sampai dengan sekarang, yang
”lama” berganti dengan yang “baru”, terutama karena faktor ekonomi.
Konsekuensi dari proses ekologi sosial adalah terbentuknya kelompok-
kelompok sosial (komunitas kecil) dengan berbagai ragam etnik, budaya,
dan berbagai alasan keberadaannya, antara lain karena:
a. Meneruskan saja titinggal orangtua dan karena keterpaksaan;
b. Hanya ikut bersama-sama berkumpul dengan kerabat-kerabat yang
lain (ikut-ikutan), mencari lokasi yang sulit dijangkau oleh aparat
pemerintah;
c. Spekulasi (berjiwa/mental spekulatif); karena, hitung punya hitung
secara ekonomi, tinggal di sini ternyata jauh lebih murah
dibandingkan dengan ngontrak pada lahan formal;
d. Tidak ada yang menegur baik warga setempat, RT/RW setempat,
maupun dari pihak pemerintah; ada yang karena ketidaktahuan;
e. Merasa hidup di sini lebih dapat memberikan harapan keberlang-
sungan kehidupan dan penghidupan; karena mencari uang di
perkotaan, relatif jauh lebih mudah ketimbang di desa
f. Melihat pemerintah selain masih belum/kurang perduli terhadap
kehadiran squatters; juga belum konsisten dengan segala
peraturannya.
27

4.3 Proses Pemanfaatan Lahan, Invasi dan Suksesi Penguasaan Lahan


Proses invasi dan suksesi yang dilakukan oleh squatters, meskipun
secara spesifik ada perbedaan, namun secara umum mempunyai persamaan,
yaitu selalu diawali dengan yang terlebih dahulu memulainya secara coba-
coba. Ada yang dilakukan secara sendiri-sendiri, ada pula yang dilakukan
secara bersama-sama dan beruntun. Pembangunan rumah selalui diawali
dengan bentuk rumah yang sifatnya temporer dengan konstruksi sangat
sederhana dan menggunakan bahan-bahan bangunan bekas. Kemudian
setelah beberapa tahun terasa aman, dipandang oleh mereka, invasi berhasil
(sukses). Langkah berikutnya, diikuti dengan berdirinya bangunan yang
substansial. Setelah ≥ 20 tahun, mereka mulai berani untuk merenovasi
bangunan rumahnya. Beberapa diantara mereka (terutama yang mempunyai
fasilitas untuk mengakses Badan (sekarang Kantor) Pertanahan Nasional.
Ada yang berhasil menguruskan surat-surat tanahnya dari status illegal
menjadi legal, sekalipun lokasinya berada di bibir sungai
Merujuk pada hal tersebut di atas dan beberapa penelitian yang telah
dilakukan baik di luar negeri (Hari Srinivas, 2003, Sheilah Meikle, 2001)
maupun di Indonesia (Direktorat Perumahan dan Permukiman, Kimpraswil,
2001-2005), termasuk hasil penelitian, menunjukkan ada kecenderungan
bahwa invasi lahan oleh squatters terjadi antara lain karena:
(1) Sistem administrasi pemerintah kurang/tidak berfungsi, kurang tegas,
dan sering tidak/belum konsisten dalam tindakan;
(2) Pasar tidak/belum dapat menyediakan lahan bagi si miskin;
(3) Birokrat selain belum dapat mengadop sistem alokasi lahan yang tepat
dan proporsional (adil bagi seluruh rakyat), juga belum dapat membuat
keputusan untuk menemukan model pemenuhan kebutuhan akan
perumahan bagi si miskin di perkotaan.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Profil dan Karakteristik Masyarakat Squatter di Koridor Sungai


Cikapundung
Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa aspek legalitas, fisik,
ekonomi, dan sosial budaya mempengaruhi profil dan karakteristik
squatters di koridor Sungai Cikapundung Kota Bandung, melalui penelitian
ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
28

Berdasarkan aspek legalitas, kondisi tempat tinggal, dan fisik


lingkungan, profil squatters di daerah peneniltian ternyata tidak sepenuhnya
linier dengan kondisi rumah dan lingkungannya. Untuk squatters tipe (1),
yang sama sekali tidak memiliki surat-surat tanah dan IMB, bentuk, kondisi
rumah, dan lingkungannya boleh dikatakan sangat kumuh. Sedangkan
untuk squatters tipe (2) dimana sebagian huniannya mempunyai bukti surat
tanah dalam bentuk “kikitir-letter C” tetapi tidak ada IMB, dan sebagian
merasa membeli (ada kwitansi), tapi mengetahui bahwa tanah asalnya
adalah tanah Pengairan (milik pemerintah), kondisi rumah pada umumnya
relatif baik (semi permanen-permanen), sedangkan lingkungannya ada yang
sangat kumuh, kumuh, dan relatif tertata (tidak kumuh). Ada keterkaitan
antara lama waktu tinggal kemampuan ekonomi dengan kondisi rumahan
dan lingkungannya. Semakin lama tinggal dan ekonomi baik, semakin
berani untuk melakukan renovasi bangunan rumah dan lingkungannya,
sekalipun status lahannya ilegal.
Secara ekonomi dan sosial budaya, kedua profil dan karakteristik
squatters ini dipengaruhi oleh:
a. Orientasi hidup squatters di daerah tujuan, yang bukan semata-mata
untuk mencari keuntungan dan menimbun kekayaan, melainkan untuk
mencari peluang nafkah agar mereka dapat mempertahankan hidupnya
(survive).
b. Terbentuknya kelompok sosial diantara mereka, karena (1) faktor
genealogi, etnik, dan asal-usul daerah dan (2) karena berbagai faktor,
seperti adanya jaringan sosial berdasarkan pekerjaan, sesama nasib,
pengajian, kegiatan ibu-ibu yang kesemuanya terikat ke dalam sistem
batasan teritorial RT/RW/kelurahan. Kelompok sosial yang terbentuk
karena adanya jaringan sosial diantara mereka, pada umumnya
bertujuan untuk memperkokoh solidaritas sosial antar kesatuan sosial.
Dalam hal ini squatters sebagai suatu unit makrososial, secara etnisitas
(budaya) termasuk ke dalam unit komunal yang mempunyai rasa
sentimen kelompok lebih kuat terpelihara sebagai semacam “ikatan
primordial” yang mencakup kesadaran tertentu tentang kesatuan yang
menjadi kunci simbol identitas kelompok.
c. Adanya rasa kebersamaan mereka, disatu sisi dapat berfungsi sebagai
modal sosial, disisi lain telah menimbulkan terbentuk budaya kolektif
untuk melakukan pemanfaatan atau penyerobotan lahan bukan
haknya.Sehingga dengan terkristalisasinya rasa kebersamaan diantara
29

mereka, mereka mampu untuk tetap eksis dan dapat bertahan hidup
dengan cara melakukan tidak hanya penghematan dalam pola konsumsi,
tetapi telah tercipta pembagian peran dan diversifikasi pekerjaan
diantara anggota keluarga.
d. Adanya hubungan timbal-balik antarvariabel: lingkungan, geografis,
teknis, ekonomi-sosial, sosio-kultural, dan politik. Proses ini secara
sosiologi mikro, merupakan proses akulturasi dan asimilasi komuniti
squatter terhadap lingkungan makronya yang menunjukkan bahwa
budaya komuniti squatter perkotaan bersifat sangat dinamis.
e. Bagi komuniti squatter, karena semuanya cenderung diawali dengan
keterbatasan sumberdaya, maka rasa keterdesakan oleh kebutuhan
hidup, tersedianya lahan kosong tidak terawasi, adanya peluang untuk
menempati, dan kedekatan dengan sumberdaya sosial ekonomi, telah
menjadi pilihan bagi mereka untuk tetap tinggal di daerah ini

5.2 Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Keberadaan


Squatters di Koridor Sungai Cikapundung
Hipotesis kedua menyatakan bahwa latar belakang sejarah
perkembangan keberadaan squatters di koridor Sungai Cikapundung, Kota
Bandung mempengaruhi oleh aspek legalitas, fisik, ekonomi, dan sosial
budaya serta faktor-faktor lain yang menyertainya.Hasil penelitian menun-
jukkan bahwa:
(1) Secara historis, perhatian Pemerintah Kolonial terhadap warga pribumi
sangat kurang, mereka hanya memperhatikan kepentingan warganya
dan warga lain yang dianggap sekelas. Dalam hal ini pengaturan
permukiman penduduk pribumi diserahkan pada peraturan yang
bersumber pada adat dan kepercayaan masyarakat sendiri, sehingga
aspek legalitas dan penataan lingkungan menjadi tidak terperhatikan.
(2) Kondisi kumuh dan penguasaan lahan oleh squatters ini telah cukup
lama berlangsung, sehingga cukup sulit untuk dilakukan perubahan,
karena sudah menyangkut masalah sikap dan mentalitas.
(3) Telah terjadi proses ekologi sosial yang cukup lama dan terbentuklah
kelompok-kelompok sosial (komunitas kecil) dengan berbagai ragam
etnik, budaya dengan berbagai alasan keberadaannya, antara lain
karena:
a. Meneruskan saja titinggal orangtua dan karena keterpaksaan;
30

b. Hanya ikut bersama-sama berkumpul dengan kerabat-kerabat yang


lain (ikut-ikutan), mencari lokasi yang sulit dijangkau oleh aparat
pemerintah;
c. Spekulasi (berjiwa/mental spekulatif); karena, hitung punya hitung
secara ekonomi, tinggal di sini ternyata jauh lebih murah diban-
dingkan dengan ngontrak pada lahan formal;
d. Tidak ada yang menegur baik warga setempat, RT/RW setempat,
maupun dari pihak pemerintah; ada yang karena ketidaktahuan;
e. Merasa hidup di sini lebih dapat memberikan harapan keberlang-
sungan kehidupan dan penghidupan mereka; karena mencari uang
di perkotaan, relatif jauh lebih mudah ketimbang di desa;
f. Melihat pemerintah selain masih belum/kurang perduli terhadap
kehadiran squatters; juga belum konsisten dengan segala per-
aturannya.

5.3 Proses Pemanfaatan Lahan, Invasi dan Suksesi Penguasaan


Lahan
Hipotesis ketiga menyatakan bahwa lemahnya pengawasan,
adanya faktor kekuatan sosial, faktor keterbatasan, faktor keterpaksaan,
kurangnya keberpihakan pemerintah dan adanya kesempatan serta unsur
spekulasi mendorong terjadinya proses invasi, dan suksesi dalam
“penguasaan lahan” (squat). Hasil penelitian menjelaskan bahwa:
(1) Kecenderungan terjadinya pemanfaatan, invasi dan suksesi lahan
(kosong) oleh squatters, utamanya karena:
a. Sistem administrasi pemerintah kurang/tidak berfungsi, kurang
tegas, dan sering tidak atau belum konsisten dalam tindakan.
b. Pasar tidak atau belum dapat menyediakan lahan bagi si miskin;
c. Birokrat selain belum dapat mengadop sistem alokasi lahan yang
tepat dan proporsional, adil bagi seluruh rakyat, juga belum dapat
membuat keputusan untuk menemukan model pemenuhan
kebutuhan akan perumahan bagi si miskin di perkotaan;
d. Tersedia lahan yang kosong dan tidak terawasi; biaya operasional
untuk kegiatan pengawasan dan penertiban cukup mahal karena
cenderung terjadi “kucing-kucingan” antara aparat pemda dan
squatters; rawan terjadi tindak kekerasan antara aparat dan
squatters;
31

e. Peraturan perundangan-undangan yang ada, selain munculnya


belakangan, dibanding lama tinggal squatters di sini, juga belum
efektif untuk dapat dijadikan rujukan sebagai tindakan pencegahan
dan penanggulangan penanganan squatters.
(2) Konsekuensi dari pihak pemerintah yang cenderung membiarkan
alokasi keruangan ke dalam bentuk pasar dan persaingan bebas, telah
muncul adanya kesan gentrification, yaitu terjadinya “pengambil-
alihan” lahan masyarakat pekerja kelas bawah oleh kelas menengah
elit. Keadaan ini telah banyak menggeser fungsi lahan dari yang
bersifat sosiokultural menjadi ajang ekonomi-komersial; atau seba-
liknya, yaitu terjadi proses invasi dan suksesi yang tak terkendali oleh
masyarakat kelas bawah (squatters) terhadap lahan-lahan kosong
(tidur) dan tidak terawasi pada daerah-daerah yang secara lokasional
sangat strategis secara ekonomi.
(3) Proses pemanfaatan lahan, invasi, dan suksesi yang dilakukan oleh
squatters secara umum mempunyai persamaan, yaitu selalu diawali
dengan yang yang terlebih dahulu memulainya secara coba-coba. Ada
yang dilakukan secara sendiri-sendiri, ada pula yang dilakukan secara
bersama-sama dan beruntun.

5.4 Saran
Beberapa saran praktis yang dapat disampaikan dari hasil penelitian
ini adalah
(1) Salah satu upaya untuk menanggulangi problema squatters di koridor
Sungai Cikapundung khususnya, dan bahkan di wilayah lain
umumnya, perlu dibangun iklim dialog dan komunikasi yang intens
yang melibatkan semua stake holder dan squatters;
(2) Dalam konteks perencanaan penataan ruang wilayah, khususnya
perkotaan, sudah saatnya perlu mengakomodir kemungkinan tumbuh
dan berkembangnya pemanfaatan lahan oleh para squatter;
(3) Perlu dilakukan pengembangan kapasitas (empowering squatters guna
menumbuhkan kesadaran hukum dan kemandirian ekonomi squatters.
(4) Perlu dilakukan sosialisasi mengenai berbagai produk hukum aturan
perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan masalah
pertanahan/penataan ruang langsung di level masyarakat (khalayak);
32

(5) Perlu adanya kepastian/penegakkan hukum yang berkaitan dengan


penataan dan pemanfaatan ruang (lahan), termasuk adanya
pengawasan dan penertiban secara konsisten dan konsekuen yang
berperikeadilan dan berpihak kepada rakyat (masyarakat), serta tidak
memandang tanah (lahan) semata-mata berdasarkan fungsi ekonomi,
tetapi harus menekankan pada fungsi publik, sosial, budaya, dan
lingkungan
Saran akademis dari hasil penelitian adalah:
(1) Pada disiplin ilmu sosiologi antropologi, keberadaan squatters dengan
segala atributnya layak menjadi bagian dari substsansi kajian antro-
pologi perkotaan/perdesaan
(2) Pada disiplin ilmu perencanaan tata ruang, keberadaan squatters perlu
dipertimbangkan dalam merumuskan konsep perencanaan/ pengem-
bangan perkotaan, terutama dilihat dari para-digma sosiologi antro-
pologi. Karena, budaya kota-kota besar termasuk Kota Bandung, telah
menunjukkan integrasi dari berbagai ragam sosial budaya yang saling
berinteraksi dan bersinergi;
(3) Model-model proses invasi, suksesi, dan adaptasi squatters perkotaan
dengan berbagai “atribut” yang menyertainya, selayaknya menjadi
bagian subtansi dari dinamika transformasi sosial budaya. Artinya
adanya tekanan hidup dan kehidupan melalui lingkungan fisik,
cenderung terjadi transformasi sosial budaya suatu masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai