Anda di halaman 1dari 8

PEMBINAAN MASYARAKAT DI MASA RASULULLAH SAW (Sebuah

Tatanan Masyarakat Modren Pertama Di Dunia)


Written by Admin
Friday, 14 May 2010 09:50

Oleh: Lukman bin Ma'sa

Pendahuluan

Ketika orang-orang Barat membangga-banggakan kemajuan Yunani dan Romawi dimasa


lalu, tetap saja mereka tidak dapat menjadika kehidupan masyarakat Yunani dan Rum itu,
sebagai contoh tatanan sosial yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat
mereka. Seperti apa yang didamba-dambakan oleh umat Islam akan kembalinya masyarakat
Madinah dalam kehidupan mereka, yang berdasarkan syari’at islam.

Berbicara tentang masyarakat yang islami[1], maka kita akan terbayang pada masyarakat
Islam pertama di Madinah pada awal-awal perkembangan Islam dibawah bimbingan manusia
yang mulia dan lihai dalam membentuk tatanan sosial yang rapi dan sempurna yaitu
Rasulullah saw. dimana beliau benar-benar berhasil membangun masyarakat yang madani[2],
yang belum ada duanya di dunia ini. Di Madinah Rasulullah telah mencontohkan dan
membuktikan serta memperlihatkan kepada seluruh dunia tatanan masyarakat yang
sempurna, dimana seluruh anggota masyarakat yang heterogen itu hidup damai, sejahtra,
saling tenggang rasa, aman dan saling mencintai hidup rukun berdampingan walaupun
mereka berbeda suku, bangsa, keyakinan dan idiologi.

Perlu ditegaskan, bahwa masyarakat pertama yang terbentuk dalam Islam adalah masyarakat
di Madinah, bukan di Makka sebab kaum muslimin di Makkah masih sangat sedikit serta
mereka berpencar-pencar ke beberapa daerah untuk menyelamatkan agama mereka, sehingga
belum cukup kekuatan dan jumlah untuk membentuk suatu masyarakat, sehingga dalam
tulisan ini dipokuskan pada langkah-langkah Rasulullah saw. dalam membina dan
membentuk masyarakat Islam yang pertama di kota Madinah.

Sekilas Masyarakat Madinah Sebelum Islam

Secara geografis, kota ini datar yang dikelilingi gunung dan bukit-bukit serta beriklim
gurun. Madinah merupakan pusat pemukiman masyarakat Arab yang telah ada sebelum
agama Islam datang. Nama pemukiman tersebut adalah Yasrib. Dalam pandangan
masyarakat Arab, Yasrib tidak mempunyai kedudukan apa-apa. Ia tidak sepenting
kedudukan kota Makkah yang di dalamnya terdapat Baitullah yang disakralkan oleh
seluruh masyarakat Arab.

Dilihat dari komunitas sosialnya, penduduk Madinah sangat herterogen. Secara


keseluruhan, penduduk Madinah terdiri dari sebelas kelompok. Delapan kelompok itu
berasal dari bangsa Arab. Adapun yang paling dominan di antara mereka ada dua
suku yaitu klan (suku) Khazraj dan Aus yang berasal dari Arab bagian selatan. Mereka
adalah masyarakat yang menguasai lahan pertanian di Madinah.[3] Selain delapan
kelompok bangsa Arab tersebut, terdapat juga tiga kelompok asing yang tinggal di
Madinah.[4] Mereka adalah orang-orang Yahudi yang berhijrah ke Jazirah Arabia
sejak abad pertama Masehi.[5] Mereka lebih menguasai dunia perdagangan karena
mereka tinggal di pusat pemukiman Yasrib.[6]

Hanya saja, sangat disayangkan sifat heterogenitas masyarakat Madinah ternyata tidak dapat
meredam sifat keangkuhan primordialisme yang melekat pada masing-masing kelompok.
Akibatnya, hampir setiap hari konflik antar suku senantiasa muncul dalam kehidupan mereka.
Bahkan, konflik tersebut sering dianggap sebagai hal yang biasa. Konflik yang terus
berkepanjangan membawa dampak lambannya perkembangan tingkat peradaban masyarakat
Madinah.[7]

Sebagai contoh permusuhan yang turun temurun dan bahkan sudah menjadi kebencian yang
mendarahdaging antara Kabilah Aus dan Khazraj, walaupun pada dasarnya mereka masih
dalam satu ikatan kekerabatan. Tetapi karena permusuhan itu sedemikian hebatnya, anak-
anak mereka pun sejak lahir hingga dewasa sudah dinyatakan bermusuhan.[8]

Konflik yang paling genting adalah konflik yang terjadi pada tahun 617-8 M yang dikenal
dengan nama konflik Bu’ats. Konflik Bu’ats adalah konflik yang melibatkan hampir seluruh
kelompok masyarakat Madinah. Konflik ini berawal dari semakin merosotnya peranan orang-
orang Yahudi dalam kehidupan perkonomian masyarakat Madinah. Mereka mengalami
dinamika kehidupan yang ditandai dengan terjadinya pergeseran peranan di antara kelompok
yang ada. Keadaan ini segera dipahami oleh dua suku Arab yang paling berpengaruh, yaitu
Khazraj dan Aus. Mereka akhirnya, saling berebut kedudukan untuk menggantikan posisi
peranan orang-orang Yahudi dalam dunia perekonomian, perdagangan, dan kontrol terhadap
pasar.[9]

Dari segi keadaan kepercayaan penduduk Yasrib sebelum kedatangan Islam adalah sama
dengan masyarakat Arab pada umumnya, yang menyembah berhala dengan mengikuti
tatacara kaum Quraisy. Hanya saja kepercayaan penduduk Yasrib tidak sekuat penduduk
Makkah dalam kepercayaan ini, sebab tidak kita temukan keterangan yang mengatakan
bahwa penduduk kota Yasrib mempunyai patung khusus buat mereka saja, seperti Laata,
Manat, uzza dan Hubal yang disembah penduduk Makkah. Pada umumnya mereka hanya
menyembah patung-patung besar di luar kota Yasrib.[10]
Metode Pembinaan Rasulullah Saw Dalam
Membentuk Masyarakat Islami

Diketahui bersama bahwa ketika Rasulullah saw tiba di kota Madinah, maka bertemulah
beberapa unsur kelompok masyarakat yang berbeda,[11] yang merupakan kewajiban
sekaligus tantangan bagi beliau untuk membentuknya menjadi sebuah masyarakat yang
bermartabat, dibangun di atas pondasi yang kokoh, dan memiliki tata aturan yang mengatur
tingkah laku dan cara pergaulan di antara mereka.

Pembentukan masyarakat Islami untuk pertama kalinya, dikerjakan sendiri oleh Rasulullah
saw. Dengan demikian beliau memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya
masyarakat Islam itu terbentuk, langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah
dalam membina masyarakat Madinah yang heterogen itu, menjadi satu keluarga besar, yang
memperhatikan seluruh anggota masyakaratnya tanpa memandang asal suku dan kabilahnya.
Itulah keluarga Islam "masyarakat Islam". Berikut penjelasan beberapa langkah praktis yang
dilakukan oleh Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam itu:

1. Pembinaan Melalui Masjid

Sesampainya di Madinah, Rasulullah saw. segera menegakkan masyarakat islam yang kokoh
dan terpadu, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Rasulullah saw membangun masjid.[12]
Tidaklah heran kalu masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan
masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak akan terbentuk kokoh dan rapi kecuali
dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan Islam, hal ini hanya bisa
ditumbuhkan melalui semangat masjid.[13]

Di dalam masyarakat Islam masjid berkedudukan sebagai pusat pembinaan mental spiritual
dan phisik material, tempat berhubungan dengan Tuhan sepanjang zaman, yang akan
melahirkan hubungan yang kokoh antara hamba dengan Tuhannya dan akan menjadi sumber
kekuatan individu-individu Muslim. Bagaimana tidak kaum muslimin diwajibkan melakukan
kejama'ahan shalat fardu yang lima di masjid-masjid, dan shalat jum'at berjama'ah setiap
minggu. Kejam'ahan shalat di masjid inilah yang akan membentuk jama'ah (masyarakat)
Islam yang solid, menjadi kultur (adapt istiadat) perkampungan kaum muslimin, sehingga
terwujud masyarakat yang "la khaufun 'alaihim walahum yahzanun".[14]

Masjid itu bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga menjadi
sekolah bagi orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran dan bimbingan-bimbingan
Islam, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan
dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala
urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda
pemerintahan.[15]

Kemudian diantara sistem dan prinsip islam adalah tersebarnya mahabba dan ukhuwah
sesama kaum muslimin, tetapi ikatan ini tidak akan terjadi kecuali dalam masjid, dengan
bertemunya kaum muslimin berkali-kali dalam sehari dimana kedudukan, kekayaan dan
status sosial lainnya terhapuskan.

Dan juga sistem islam adalah terpadunya beraneka ragam latar belakang kaum muslimin
dalam satu kesatuan yang kokoh diikat oleh tali Allah, ini pun bisa dilakukan bila masjid-
masjid telah dibangun ditengah masyarakat muslim, karena masjid adalah tempat kaum
muslimin beerkumpul mempelajari ajaran islam.[16]

2. Pembinaan Melalui Persaudaraan Sesama Kaum Muslimin

Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum


Muhajirin dan Anshar.[17] Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh tanpa
adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Sedangkan dukungan dan kesatuan
tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai. Suatu masyarakat yang
tidak disatukan oleh tali ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang sebenarnya, tidak
mungkin bersatu pada satu prinsip. Persaudaraan itu harus didasari oleh aqidah yang menjadi
idiologi dan faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah adalah
mimpi dan khurafat. Oleh sebab itu Rasulullah menjadikan aqidah islamiyah yang bersumber
dari Allah swt. Sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya.[18]

Inilah di antara buah yang dihasilkan dari perjalanan hijra yang dilakukan oleh Rasulullah
dan para sahabatnya. Pelajaran yang paling berharga bagi nilai kemanusiaan dari peristiwa ini
adalah pengorbanan, pembelaan, dan itsar (mendahulukan kepentingan orang lain).dasar dari
persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah ini tidak memandang perbedaan suku, ras, dan
status social . Rasulullah memandang sama mereka yang merupakan bangsa Arab maupun
non-Arab. Antara orang yang bebas dan seorang budak. Antara seorang tokoh pada suatu
kabilah dengan orang biasa. Dan antara orang kaya dan miskin.[19]

Persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah diantara kaum muslimin tersebut tidak hanya
antara Muhajirin dan Anshar saja, tetapi lebih luas dari itu, yakni dilakukan antara semsama
orang-orang Muhajirin, dan sesame orang-orang Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah
dengan maksud merekatkan hubngan antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih
khusus merekatkan hubungan suku Aus dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum
kedatangan Rasulllah ke Madinah. Menurut Imam Abdur Rahman al-Khats'ami dalam
kitabnya Ar-Raudhul Unuf menyebutkan: "maksud dari persaudaraan ini adalah untuk
menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampong halaman mereka, dan menghibur
karena berpisah dengan keluarga, disamping agar mereka saling membantu satu sama
lain".[20]

Praktek persaudaraan sebagaimana telah dijelasakan diatas, telah menghasilkan suatu


'masyarakat Islam' yang terdiri dari bermacam-macam kabilah dan unsure-unsur yang
berbeda, tetapi masing-masing anggota masyarakat itu telah melupakan asal-usul keturunan
dan golongannya. Mereka hanya melihat kepada ikatan Islam yang dijadikan Rasulullah
sebagai ikatan persaudaraan di antara mereka.[21]

Untuk melihat gambaran kedekatan dan itsar di antara mereka. Allah SWT
menggambarkannya dengan indah dalam al-Qur'an, surat al-hasyr ayat 9:
tûïÏ%©!$#ur râä§qt7s? u?#¤$!$# z`»yJ?M}$#ur `ÏB ö/Å?Ï=ö7s% tbq?7Ïtä? ô`tB t•y_$yd
öNÍkö?s9Î) ?wur tbrß?Ågs? ?Îû öNÏdÍ?rß?ß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& ?crã•ÏO÷sã?ur
#?n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qã? £xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR
?•Í´¯»s9'ré'sù ãNèd ?cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada
mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung."
(Q.S. Al-Hasyr:9)

Rasulullah menjadikan persaudaraan Muhajirin dan Anshar sebagai asas bagi prinsip-prinsip
keadilan sosial yang paling baik di dunia. Prinsip-prinsip ini kemudian berkembang dan
mengikat menjadi hukum-hukum dan undang-undang syari’at yang tetap, yang berbasis pada
ukhuwah islamiyah.

3. Perjanjian Kaum Muslimin Dengan Orang-orang di Luar Islam

Setelah Rasulullah mengokohkan persatuan kaum Muslimin, dan telah berhasil


memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan
aqidah, politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, maka langka selanjutnya
yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan perjanjian damai kepada golongan atau
pihak di luar Islam. Perhatian beliau pada saat itu adalah bagaimana menciptakan keamanan,
kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu
kesepakatan.[22]

Secara garis besar perjanjian antara rasulullah dengan golongan di luar Islam yang kemudian
dikenal dengan nama Piagam Madinah, dapat disebutkan empat prisip hukum yang
terkandung di dalamnya, yaitu :

Pertama, pada pasal pertama disebutkan bahwa Islam adalah satu-satunya faktor yang dapat
menghimpun kesatuan kaum muslimin dan menjadikan mereka satu ummat. Semua
perbedaan akan sirna di dalam kerangka kesatuan yang integral ini. Ini merupakan asas
pertama yang harus diwujudkan untuk menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan kuat.

Kedua, Pada pasal kedua dan ketiga disebutkan bahwa di ntara ciri khas terpenting dari
masyarakat Islam ialah, tumbuhnya nilai solodaritas serta jiwa senasib dan sepenanggungan
antar kaum Muslimin. Setiap orang bertanggungjawab kepada yang lainnya baik dalam
urusan dunia maupun akhirat.

Ketiga, Pada pasal keenam disebutkan betapa dalamnya asas persamaan sesama kaum
muslimin. Ia bungan hanya slogan, tetapi merupakan salah satu rukun syari'at yang terpenting
bagi masyarakat islam yang harus diterapkan secara detil dan sempurna. Ini berarti bahwa
jaminan seorang Muslim, siapapun orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan.

Keempat, Pada pasal kesebelas disebutkan bahwa hakim yang adil bagi kaum Muslimin,
dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syari'at dan hukum Allah swt yaitu
apa yang terkandung di dalam kitab Allah swt dan sunnah Rasul-Nya. Jika mereka mencari
penyelesaian bagi problematika mereka kepada selain sumber ini maka mereka berdosa dan
terancam kesengsaraan di dunia dan siksa Allah swt di akhirat.[23]

Dutsur yang dibuat oleh Rasulullah saw ini, berdasarkan wahyu Allah swt dan ditulis para
sahabatnya kemudian dijadikan undang-undang dasar yang disepakati kaum muslimin dan
tetangganya yaitu Yahudi dan Arab Badui yang belum masuk Islam, merupakan bukti nyata
bahwa masyarakat Islam sejak awal pertumbuhannya tegak berdasarkan undang-undang yang
sempurna, bahwa masyarakat Islam sejak awal telah ditopang oleh perangkat perundang-
undangan dan manajemen yang diperlukan setiap masyarakat atau negara. Dari sini
tertolaklah tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa Islam hanya mengataur hubungan
manusia dengan Rabbnya.[24]

Analisis

Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw, dalam rangka membetuk suatu masyarakat
yang Islami adalah proses perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan serta banyak
membutuhkan pengorbanan. Rasulullah saw telah memulai pembinaan itu sejak di Makkah,
dimana beliau berjuang mempertaruhkan harta dan nyawanya untuk mencetak kader-kader
yang tangguh sehingga nantinya akan menjadi unsur terpenting dan utama dalam
pembentukan masyarakat Islam.

Kita lihat bagaimana beliau melakukan pembinaan kepada orang-orang terdekatnya yang
senantiasa ditekan dan dihalang-halangi, beliau harus melakukannya secara sembunyi-
sembunyi. Adalah rumah al-Arqam bin Abil-Arqam menjadi markas pembinaan Rasulullah
kepada para sahabat, di tempat seperti inilah lahir pribadi-pribadi Muslim yang tangguh, dari
pembinaan seperti inilah lahir manusia-manusia seperti Abu bakar As-Shiddiq, Amar bin
Yasir, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Raba dan sebagainya. Dimana nantinya binaaan Rasul
inilah yang akan menjadi penopang dan unsur utama dalam terbentuknya masyarakat Islam di
Madinah. Kita bisa katakan bahwa tidak mungkin masyarakat Madinah akan terbentuk tanpa
adanya pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah di Makkah.

Di Madinah Rasulullah saw membangun masyarakat baru berlandaskan tauhid, keimanan


yang kokoh. Dan beliau memulainya dari masjid, sebab masyarakat Islam bisa terbentu dari
kejama'ahan masjid. Di masjid kaum Muslimin saling bertemu, bersilaturrahim, bertukar
pikiran dan sebagainya, dimana kewajiban berjama'ah di masjid ini ada lima kali dalam
sehari semalam serta sekali pertemuan akbar dalam seminggu yaitu pada hari jum'at. Dalam
kejama'ahan masjid (shalat) ini terbentuk kepemimpinan ummat Islam, yang merupakan
orang terbaiknya sebagai hasil pilihan jama'ah. Dan di dalam jama'ah shalat kaum Muslimin
dibina persatuan, persaudaraan dan kebersamaannya, serta dididik keteraturan, kegotong
royongan dan kedisiplinan yang tinggi. Inilah masyarakat masjid, masyarakat Islam yang
hakiki, sesuai Firman Allah swt:

¨bÎ) ©!$# •=Ïtä? ?úïÏ%©!$# ?cqè=ÏG»s)ã? ?Îû ¾Ï&Î#?Î6y? $yÿ|¹ Oßg¯Rr(x. Ö`»u?÷Yç/
ÒÉqß¹ö•¨B ÇÍÈ

"Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Q.S Ash-Shaf:4)

Kemudian melihat strategi Rasulullah selanjutnya yaitu mempersaudarakan sesama kaum


Muslimin. Disini kita dapat melihat ketepatan Rasulullah dalam mengambil langkah-langkah
pembinaan, sebab hanya dengan kesatuan dukungan ummatlah yang dapat menegakkan
masyarakat yang akan dibangun. Dan kesatuan ummat itu hanya bisa terwujud bila ada
persaudaraan dan saling mencintai, ini penting untuk dilakukan Rasulullah sebab sisa-sisa
kejahiliyahan dan fanatisme kesukuan masih mungkin timbul bila tidak segera
dipersaudarakan baik antara Muhajirin dengan Anshar maupun sesama kaum Anshar yang
sebelumnya sering terjadi peperangan di antara mereka. Disisi lain bertujuan untuk
menumbuhkan saling tolong menolong, dimana Kaum Muhajirin dating ke Madinah tanpa
membawa apa-apa. Dengan solidnya masyarakat Islam yang didasari tauhid yang kokoh dan
persatuan yang saling mencintai maka untuk melakukan perjanjian dengan pihak luar akan
bisa dilakukan.

Langkah yang tak kalah strategis yang diambil oleh Rasulullah setelah konsolidasi antar
kaum Muslimin telah selesai adalah mengadakan perjanjian dengan golongan di luar Islam
yaitu orang-orang Yahudi dan suku Arab Badui. Dengan terjalinnya perjanjian ini maka
keamanan, ketentraman dalam merealisasikan ibadah kepada Allah dapat terwujud.
Sesungguhnya dengan perjanjian ini maka orang-orang Yahudi tidak memiliki celah untuk
mengadu domba kaum Muslimn ataupun masyarakat Madinah secara umum, sebab sudah
dimaklumi penyebab terjadinya peperangan yang berkepanjangan antara suku Asu dan suku
Khazraj di madinah adalah orang-orang Yahudi.

Dengan terbentuknya masyarakat Islam pertama di bawah bimbingan Rasulullah saw dengan
segala perangkatnya, mulai dari tata aturan pergaulan hingga perundang-undangan yang
diberlakukan dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapatlah dikatakan bahwa mayarakarat
yang di bentuk oleh Rasulullah saw di Madinah adalah konsep masyarakat modern pertama
di dunia, dimana unsur-unsur untuk terpenuhinya sebuah masyarakat yang modern ada pada
masyarakat Rasulullah di Madinah 14 abad yang lalu.

Penutup
Dengan melihat metode-metode pembinaan yang dilakukan Rasulullah saw, sehingga
terbentuk masyarakat Islami di Madinah, maka jelas bahwa kehidupan atau tatanan sosial
dalam Islam sangat jauh berbeda, bahkan bertolak belakang dengan kehidupan, tatanan sosial
Kapitalis maupun konsp-konsep masyarakat lainnya yang diperknalkan oleh orang-orang
Barat. Mereka belum bisa memberikan bukti yang konkrit terhadap konsep mereka. Berbeda
dengan Islam yang telah membuktikan dan mencontohkan secara nyata tatanan hidup dalam
bermasyarakat.

Kita melihat Rasulullah dan para sahabat membentuk suatu kehidupan sosial yang benar-
benar berdiri diatas dasar keadilan yang didasari oleh Al-qur’an dan Sunnah. Ini bisa
dilakukan karena sebagaimana kita maklumi bahwa Rasulullah dalam menata masyarakat
Islam berdasarkanbimbingan wahyu, dimana kita tahu bahwa Allahlah menciptakan alam
semesta beserta isinya, sehingga Dialah yang lebih tahu aturan apa yang bisa mengaturnya
secara adildan merata.

Maka tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa tatan sosial yang berdasarkan syari’at
Islam yang telah dicontohkan Rasulullah dan sahabat tidak relevan lagi dengan masa
sekarang ini, yang telah maju dan moderen, karena adapun orang yang demikian belum bisa
memberikan solusi atau konsep yang bisa dipakai.

Tidak ada jalan lain bagi kita untuk tidak berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkan
apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu syari’at Islam. Dengan syari’at
Islam itulah kehidupan sosial kita bisa ditata dengan seadil-adilnya dan bisa mengayomi
semua pihak.

Anda mungkin juga menyukai