ANAK yatim adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya selagi ia belum mencapai umur
balig. Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan tersendiri. Mereka mendapat perhatian
khusus dari Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar
jangan sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang menyatakan betapa mulianya orang yang mau
memelihara anak yatim atau menyantuninya. Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum
begitu mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat
Islam yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat
Islam yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat Islam dan bahkan
selain umat Islam.
Allah sendiri berfirman yang artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa besar (An-Nisaa:2).
Anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia masih kecil bukanlah termasuk anak yatim.
Sebab bila kita lihat arti kata yatim sendiri ialah kehilangan induknya yang menanggung
nafkah. Di dalam Islam yang menjadi penanggung jawab urusan nafkah ini ialah ayah, bukan
ibu. Alquran telah menjelaskan adanya larangan memakan harta anak yatim dengan cara
lalim sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang yang memakan harta
anak yatim secara lalim. Sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepuluh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (An-Nisaa: 10).
Ismail bin Abdurrahman berkata, “Pemakan harta anak yatim dengan lalim itu besok di hari
kiamat akan dikumpulkan dan di waktu itu keluarlah api yang menyala-nyala dari mulutnya,
telinganya dan matanya sehingga semua orang mengenalnya bahwa ia sebagai pemakan harta
anak yatim.”
Para ulama berkata, bagi setiap wali anak yatim bilamana ia dalam keadaan fakir
diperbolehkan baginya memakan sebagian anak yatim dengan cara ma’ruf (baik) menurut
sekadar kebutuhannya saja demi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhannya tidak boleh
berlebih-lebihan dan jika berlebih-lebihan akan menjadi haram. Menurut Ibnul Jauzi dalam
menafsirkan “bil ma’ruf” ada 4 jalan yaitu, pertama, mengambil harta anak yatim dengan
jalan kiradl. Kedua, memakannya sekadar memenuhi kebutuhan saja. Ketiga, mengambil
harta anak yatim hanya sebagai imbalan, apabila ia telah bekerja untuk kepentingan
mengurus harta anak yatim itu, dan keempat, memakan harta anak yatim tatkala dalam
keadaan terpaksa, dan apabila ia telah mampu, harus mengembalikan dan jika ia benar-benar
tidak mampu hal tersebut dihalalkan.
Kecuali mengancam orang yang merugikan harta anak yatim, Allah juga akan mengangkat
derajat orang-orang yang suka menyantuni anak yatim; sebagaimana sabda Nabi, “Barang
siapa yang menanggung makan dan minum (memelihara) anak yatim dari orang Islam,
sampai Allah SWT mencukupkan dia, maka Allah mengharuskan ia masuk surga, kecuali ia
melakukan dosa yang tidak terampunkan” (H.R. Turmudzi).
Dari hadis ini, memberikan jaminan bagi orang-orang yang mau mengasuh anak yatim akan
memperoleh imbalan pahala dari Allah SWT, berupa surga yang disejajarkan dengan surga
Nabi saw., kecuali ia melakukan dosa-dosa yang tidak terampunkan oleh Allah SWT.
Demikianlah kewajiban kita sebagai umat Islam dalam menyantuni anak yatim.***
Islam adalah agama yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Salah
satu ajarannya adalah memberikan jaminan kepada mereka yang membutuhkan biaya atau
nafkah dengan cara menyantuninya. Bukan hanya memberi harta namun
juga memberikan perhatian dan jaminan kehidupan.
Alloh sangat mencela orang yang tidak memperhatikan kaum fakir, miskin dan anak yatim,
serta menghalangi orang untuk menolongnya.
Menolong masayarakat bawah sebagaimana dianjurkan dalam ayat al-Quran merupakan salah
satu dasar dari dasar-dasar dibangunkan ekonomi islam. Mereka yang tidak mampu
saharusnya dijamin oleh negara maupun masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai
pemerataan kesejahteraan serta tegaknya keadilan. Sebagaimana Alloh berfirman dalam al-
Quran “Janganlah harta hanya beredar diantara orang yang kaya-kaya saja diantara
kamu”.
Pemerataan dan keadilan yang dimaksud bukanlah rata dalam jumlah, namun rata dalam
peredarannya. Untuk itu Islam mewajibkan menunaikan zakat dan shodaqoh, terlebih dengan
mengutamakan keluarga atau kerabat yang kurang mampu.
Dari sini, kita semakin tahu bahwa agama islam adalah agama baik. Memberikan kebaikan,
kesenangan, dan kenikmatan untuk dunia dan akhirat. Ajarannya tidak ada yang
mencelakakan manusia. Tidak ada kemaslahan manusia kecuali dengan sebab islam. Tidak
ada agama lain selain Islam yang mengatur penggunaan harta dengan detil.
Namun, kewajiban menyantuni fakir, miskin dan yatim melalui fasilitas zakat dan shodaqoh
belumnya berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan kebodohan (kejahilan) dalam
memahami agama islam. Begitu banyak kemiskinan dan kefakiran, serta anak yatim yang
terdholimi di lingkungan di mana kita berada. Sungguh sedikit jumlah orang yang
mengeluarkan zakat dibanding jumlah umat islam keseluruhan.
Untuk itu, marilah kita mengamalkan ajaran islam dalam memberikan hak jaminan hidup
orang fakir, miskin dan yatim dengan cara menunaikan zakat dan shodaqoh.
“Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak dan kaum kerabat serta anak-
anak yatim dan orang-orang miskin.” (QS Al Baqoroh,2:83)
“Katakanlah, “Apa saja harta benda (yang halal) yang kamu infakkan,
maka berikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat dan anak-anak
yatim.” (QS Al Baqoroh,2:215)
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-
perempuan yatim (bila kamu menikahi mereka), maka nikahilah dua,
tiga atau empat…” (QS An Nisaa,4:31)
“Dan ujilah anak-anak yatim itu (sebelum baligh) sehingga mereka
cukup umur (dewasa). Kemudian jika kamu melihat keadaan mereka
(tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka telah berfikir matang
dan mampu menjaga hartanya) maka serahkanlah kepada mereka
hartanya. Janganlah kamu makan harta anak-anak yatim secara
melampaui batas dan secara terburu-buru (merebut kesempatan)
sebelum mereka dewasa.” (QS An Nisa,6)
“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dan kaum
kerabat dan anak-anak yatim.” (QS An Nisaa,4:127)
“Dan apa yang selalu dibacakan kepadamu dalam kitab ini mengenai
perempuan-perempuan yatim…” (QS An Nisaa,4:6)
Diterangkan dalam sebuah hadits bahwa pada hari hisab ada sebagian
orang yang dibangkitkan dalam keadaan api dinyalakan di mulut
mereka. Mendengar hal ini sebagian sahabat r.a. bertanya, “Ya
Rosululloh, siapakah mereka ini?” Rosululloh saw. menjawab dengan
membaca ayat al Qur-an surat An Nisaa,4:10 “Sesungguhnya orang-
orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sesungguhnya
ia memasukkan api ke dalam perutnya. Dan mereka akan memasuki
api yang menyala-nyala (neraka).”
Pada malam Isro Mi’raj, Rosululloh menemui suatu kaum yang bibir
mereka besar seperti unta. Beberapa Malaikat dengan kasar membuka
mulut mereka dan memasukkan batu-batu berapi yang besar ke
dalamnya. Api itu masuk melalui mulut-mulut mereka dan keluar
melalui dubur mereka, mereka menjerit dan menangis karena
kesakitan. Rosululloh menanyakan ini kepada Jibril a.s., “Siapakah
mereka itu?” Jibril a.s. menjawab”Merekalah orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zhalim. Kini mereka memakan
api.”
“Ada empat jenis manusia yang tidak akan dimasukkan oleh ALLOH
ke dalam Jannah dan mereka tidak akan mendapat nikmat sedikitpun
dari nikmat Jannah:
1. Orang yang gemar minum khomr (mabuk-mabukan)
2. Orang yang makan riba
3. Orang yang makan harta anak yatim secara zholim
4. Orang yang durhaka pada ibu bapak.” (Durrul Mantsur)
Syah Abdul Aziz rah.a. menulis dalam tafsirnya bahwa ada dua jenis
kebaikan dapat dilakukan terhadap anak yatim:
1. Apa yang wajib bagi ahli warits. Misal: menjaga harta anak-anak
yatim, mengembangkan hasil dari tanahnya agar keuntungannya dapat
dipergunakan untuk biaya makan, pakaian dan pendidikannya.
2. Yang bersifat umum. Yaitu jangan membiarkan anak yatim dalam
kesusahan, berilah kasih sayang kepada mereka. Di dalam majlis
berilah tempat duduk yang terhormat. Usaplah kepalanya dengan
penuh kasih sayang, perlakukan mereka seperti kepada anak sendiri,
lahir dan batin (agar mereka tidak merasakan kesedihan dan duka cita
yang berlarut-larut karena kematian ayahnya).
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« أَنَا َوكَا ِف ُل ْاليَت ِِيم فِى ْال َجنَّ ِة ه َكذَا « وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”,
kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni
anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang
yang mengasuh anak yatim.
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung)
mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-
maulamu” (QS al-Ahzaab: 5).
2. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang
mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat
seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya
meninggal dunia[7].
3. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram[8], sehingga wajib bagi orang tua yang
mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat
di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram,
berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين،وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين