Anda di halaman 1dari 4

Sebagai mahasiswa semester banyak yang tercebur dalam jurusan Teknik Sipil, saya selalu

terganggu dengan berbagai hal negatif yang selalu dilekatkan pada jurusan ini, terutama pada
para lulusannya yang sebagian besar bakal bergelut pada dunia konstruksi entah sebagai
kontraktor, sebagai konsultan teknik dan perencana--atau pekerjaan sejenis itu.

"Adakah proyek yang tidak dikorupsi"?


"Tidak ada mi itu idealisme kalau sudah di dunia kerja"
"Beh, sepatu baruko di'? Uang semen lagi pasti itu".

Dan sebagainya dan seterusnya. Dengan redaksi yang berbeda tapi dengan nafas mencaci-maki
yang sama.

Kalimat-kalimat itu berdengung di telingaku, mengganggu tentu saja. Sesuatu yang memaksa
saya mempertanyakan kembali apa tujuan saya bertahun-tahun jatuh-bangun (halaaah)
mempelajari semua mata kuliah dan berbagai hal yang mengikutinya. Menguras tenaga, waktu,
dan dompet orang tua.

Semua asosiasi negatif itu pastilah bukan sesuatu yang terberi tanpa alasan. Ada jejak rekam,
arus historis, juga segala pengalaman empiris yang dialami masyarakat umum atasnya. Menurut
data KPK, jenis perkara kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa menduduki urutan
kedua terbesar setelah kasus penyuapan, yakni berjumlah 145 kasus sejak 2004 hingga 2016.
Perkara yang tidak bisa dan tidak akan membuat saya membusungkan dada. Belum lagi efek
turunan dari itu semua. Eksploitasi buruh dan pekerja, penyuapan, pemanasan global,
penyempitan ruang terbuka hijau, dan masih banyak lagi.

Megaproyek hambalang hanyalah sebuah puncak gunung es. Ada terlalu banyak kasus baik yang
sedang maupun kecil yang akan membuat orang-orang mengelus dada, atau memaki, atau
melakukan keduanya secara bersamaan.
Lalu dalam kondisi pesimistis yang menggelayut seperti itu, saya menemukan Avianti Armand,
maksud saya buah pikiran Avianti Armand. Dengan bukunya yang berjudul "Arsitektur Yang
Lain; Sebuah Kritik Arsitektur".

Tak ada alasan khusus yang membuat saya membeli buku itu. Sama seperti buku-buku arsitektur
manapun, saya membelinya lebih karena saya memiliki disiplin ilmu yang lahir dari rahim yang
sama dengan ilmu arsitektur. Maka saya pun membacanya. Tapi tahukah kau, apa kalimat
pertama yang saya dapati pada buku ini?

"mari kembali ke zaman ketika hanya ada tuhan dan empat manusia: adam, hawa, kain, dan
habil."

Setelahnya, pada halaman-halaman selanjutnya, lembar-lembar selanjutnya, saya selalu


mengakhiri setiap bab dengan tersenyum, sesekali tertawa, tapi lebih sering mengangguk-angguk
tanda setuju.

Avianti Armand, dengan susunan kalimat yang begitu ritmik, membahas berbagai unsur-unsur
kecil arsitektur dengan sudut pandang yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Dia
menceritakan jendela dengan memulainya dari kisah Daud. Mengisahkan pagar sebagai
simbolisasi ekslusivitas dan penegasan status sosial seseorang atau kelompok terhadap yang lain.
Lalu mengatakan dikotomi dapur bersih dan kotor sebagai imbas dari modernisasi dan ego
pemilik rumah yang menurutnya--dan memang benar--tidak memiliki tujuan yang jelas.

Pada bab monumen, lebih lanjut dia mempertanyakan kembali fungsi monumen sesungguhnya.
Sebagai sebuah penanda akan sebuah ingatan kolektif masyarakat, dia melihat pergeseran yang
begitu jelas terasa. Monas--yang desainnya lebih mirip lilin di atas tatakan alih-alih lingga dan
yoni--kini tak lebih dari sekadar tempat rekreasi akhir pekan. Tak ada lagi sisa-sisa spirit
perjuangan para pahlawan pahlawan pra kemerdekaan. Sebuah alasan yang mendasari berdirinya
bangunan itu.
Kemudian pada Bab Gelora, nyaris seirama dengan monas, kompleks olahraga Gelora Bung
Karno yang didirikan tahun 1960 dalam rangka persiapan Asian Games 1962. Di mana saat itu,
banyak negara yang menyangsikan kesiapan Indonesia sebagai negara yang nisbi muda mampu
menyelenggarakan sebuah event olahraga multinasional sebesar itu. Namun Gelora, dengan
gagah dan sedikit angkuh menyumpal mulut mereka. Sebuah penegasan atas identitas
kebangsaan yang pantang menyerah. Tapi apa yang tersisa dari itu semua? Kekuatan modal
berhasil membuat wajah gelora berganti rupa menjadi kumpulan hotel-hotel dan perkantoran.
Avianti dengan gelisah menanyakan, ke mana gemuruh gelora 1962 menguap? Monas dan
Gelora menjelma menjadi bangunan tanpa ingatan, tanpa masa lalu.

Selanjutnya, Avianti Armand juga mengkritisi bagaimana manusia justru menerapkan


perkembangan teknologi pada bangunan untuk memunggungi--atau bahkan pada level lebih
jauh, menantang alam-- di mana seharusnya arsitektur hadir sebagai jawaban atas pertanyaan
bagaimana ruang tinggal bersinergi dengan lingkungan sekitar. Sesuatu yang bukan musykil
mengingat sejarah peradaban manusia dibangun dari itu.

Pada bab "Arsitektur yang lain", juga pada bab "Sandy dari Bukit duri". Avianti Armand
memaparkan bagaimana sebuah riak-riak perlawanan kecil atas ketimpangan sosial dan ekonomi,
bisa dimulai dari bagaimana seseorang mendesain sebuah bangunan. Hal yang membuat Romo
Mangun memperoleh berbagai penghargaan karena apa yang telah ia perbuat atas Kali Code.

Tapi dari semuanya, favorit saya adalah Bab "Air", Bab "Kistch", dan Bab "kota Sembarang". Di
sana bisa dilihat bagaimana Avianti Armand mengkhawatirkan paradigma yang berkembang
bahwa kota yang paling baik, yang paling maju, adalah kota yang paling modern. Tentu dalam
hal ini: Jakarta. Lalu membaca ketiga bab itu, mambuat saya seperti membaca kota tempat saya
tinggal. Makassar, dengan berbagai caranya, diakui atau tidak, sedang menuju--atau sudah?--ke
arah sana. Tapi jika demikian yang terjadi, seperti apa yang dikatakan Avianti Armand, "...di
akhir abad ke-21 nanti; kita tak akan bisa membedakan mana Sabang mana Merauke. Kita cuma
punya sembarang kota".
Membaca buku ini, memang tidak menjawab segala kegelisahan saya. Tapi setidaknya, saya
menemukan teman diskusi yang hangat dan menyenangkan tentang bagaimana sebaiknya kota,
dan segala konstruksi bangunan di dalamnya dibangun.

Saya menghabiskan kopiku, memandangi para tukang yang sedang khusyuk memasang keramik
lantai gedung kampus yang sedang direnovasi sebelum menyelesaikan paragraf terakhir buku itu.

"Sejak itu saya selalu merasa, bahwa setiap proyek yang saya tangani, tidak hanya dibangun oleh
uang para klien, perencanaan dan pelaksanaan yang baik, tapi juga doa para tukang".

Anda mungkin juga menyukai