Anda di halaman 1dari 6

Nama : Sigit Trihandoko

Nim : 018803284

A. Birokrasi Masa Orde Lama

Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang
berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi. Perubahan bentuk Negara dari
kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara
pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis
menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik
Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan
pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja
pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal
terhadap NKRI.

Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja


pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat
terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang
berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai
politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih
kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam
suatu departemen.

Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai
bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari
kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat
peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur
segala kebijakan baik dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden.
Sistem ini dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.

Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen yang tidak sesuai
dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang
menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi
sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan
parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam
birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak
pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi
pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri
baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai
politik yang berbeda.

B. Birokrasi Masa Orde Baru

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru
kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan
tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang
birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi
kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.
Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard
Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga
yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat
disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan
keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4)
setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI.
Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat
adanya hegemonic party system diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut
William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer
yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan (dalam Maliki, 2000:
xxiii) .

Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari
sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde
Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan
dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan
sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.

Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan
tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian
dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan
melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan
ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott
dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi
timbul hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah
kemerdekaan.

Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi
Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk
pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak
terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan
kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan
sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.

Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi
memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat Negara berkeinginan untuk meningkatkan
jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi
cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang
harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang
berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai
pegawai birokrat yang makin membengkak.

Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya
lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument
politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa
Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama
transformasi—meskipun tidak penuh—model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang
lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto
dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun
pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan
kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia
adalah partai politik.

Hampir semua orang tahu bahwa birokrasi Negara—dalam pengertian ini termasuk ABRI—
sesungguhnya sudah lama mengambil alih peran partai politik dan Golkar, baik dalam
perumusan kebijakan maupun proses politik pada umumnya. Karena itu, perlakuan khusus bagi
birokrasi dengan menciptakan fraksi tersendiri bagi mereka di DPR akan mempertajam
ketimpangan kekuasaan antara unsur-unsur masyarakat yang tak berdaya dan negara yang
kekuasaannya sudah berlebih.

Struktur DPR sejak Pemilu 1971 sebenarnya sudah didominasi oleh unsur-unsur birokrasi negara,
baik itu anggota Korpri maupun ABRI, sebagian anggota Fraksi Karya Pembanguan (F-KP) di DPR
dan DPRD. Sehingga tak berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam praktek, F-KP dan F-ABRI
adalah "fraksi birokrasi" yang lebih melayani kepentingan birokrasi ketimbang aspirasi
masyarakat.

Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth. Adanya kebijakan
zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini
menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding,
inilah yang dimaksud birokrasi Parkinson dan Orwell.

Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan
dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan memerlukan waktu yang lama.
Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga
masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam
lingkungan birokrasi khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan
oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000[1].

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan
untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik
secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system
perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut
memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli
atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok
kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial,
politik maupun budaya. Reformasi birokrasi yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu.
Birokrasi diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi.
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.
3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan
pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi dalam pemrintahan Orde Baru merupakan sebuah instrumen politik yang sangat efektif
dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde baru. Adapun wujudnya dapat
berupa: pertama, dukungan langsung kepada Golkar pada setiap Pemilu; kedua, birokrasi
terlibat secara langsung dalam proses pemenangan Golkar pada Pemilu; ketiga, birokrasi
merupakan penyedia dana bagi usaha pemenangan Golkar dalam setiap Pemilu (Afan Gaffar,
1999).

Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang politik sangat
menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah. Sistem pemerintahan yang
sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang menganut monoloyalitas kepada Partai
Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru hanya menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur
negara yang mendukung otoritarianisme.

Menurut Miftah Thoha (2003), birokrasi atau pemerintah yang bukan merupakan kekuatan
politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-
kekuatan yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi. Dengan demikian diharapkan pelayanan
kepada masyarakat yang diberikan birokrasi netral, tidak memihak dan obyektif (Kuncoro, 2007:
52). Namun dalam pelaksanaannya justru hal ini dilanggar, sebab masih banyak kalangan
birokrasi yang terlibat dalam pertarungan politik, misalnya dalam Pemilu, sehingga dalam hal
pelayanan menjadi tidak obyektif dan cenderung diskriminasi.

C. Birokrasi Era Reformasi

Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik
gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie,
Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang
menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat
dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk
menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan
besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut
dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan
paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk
segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya
krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya
kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara–negara
maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Osborne dan Plastrik (1997)[2] mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang
dihadapi oleh Negara–negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial
yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi
birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara–negara berkembang saat ini sama
dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara–negara maju pada sepuluh
dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi,
pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi
sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor
kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit
untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di
banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum
sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi
kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei
Gate dan Bulog Gate setidak–tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih
tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan
keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan
alat politik yang efektif bagi kepentingan– kepentingan golongan atau partai politik tertentu.
Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan
strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak
KKN.

Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi
pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan
dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi.
Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan
masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa
yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi
bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja kabinet Gus Dur.
Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya. Dalam kasus itu, Menteri
Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan
visinya tentang tugas-tugas kementrian ini. Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi
ketentuan administrasi kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan.
Pertimbangan ini hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang
dipimpin Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet ”trima
kasih”, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan Menhut.

Dalam kasus lain, Miftah Thoha, menyebutkan bahwa:


Upaya untuk netralitas birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini bermula ketika
ada gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan seragam KORPRI oleh dokter dan
pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum Salemba (Forsal), kemudian ada gayung
bersambut berupa gerakan pernyataan yang sangat keras seperti melakukan penghapusan unit
KORPRI di Departemen Penerangan. Selain itu gerakan juga berlangsung di legislatif dalam
perbedaan pernyataan sikap kalangan muda FKP agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral
dengan kalangan tuanya, faksi Akbar Tanjung. Juga perbedaan pandangan Mendagri Syarwan
Hamid yang menginginkan birokrasi netral dan tidak menjadi pengurus politik berlawanan
dengan pandangan Mensesneg Akbar Tanjung yang menganggap berpolitik adalah hak asasi PNS
(Thoha, 2003).

Kemudian ada pula tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa departemen tersebut bermasalah,
banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak sipil warga negara.
Penghapusan dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing
government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan
dekonstruksi cabinet masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan
dan kemandirian publik.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan
Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan
dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.

Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu melestarikan tradisi
Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier,
serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini
harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana.

Saat membentuk kabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan
tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sekjen tersebut adalah orang
dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa
departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada
beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama dengan menteri
yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana suatu birokrasi
pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai politik.

Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia, yaitu dengan
dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberantasan KKN dan
menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap
MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-
undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu
perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit.
Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia.

Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan,
publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan
membawa dampak pada terabaikannya fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat.
Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi
terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang
diwariskan masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk
kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.

Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik
masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya
inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari
masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat
birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun
merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya
untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai