Anda di halaman 1dari 26

Mutu Kegiatan Belajar Mengajar

Posted on Agustus 9, 2010by albirrunet


Mutu Kegiatan Belajar Mengajar

1. Definisi Kegiatan Belajar Mengajar


Pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar adalah suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, perlengkapan, dan prosedur yang
saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 1995:57).

Tim MKDK IKIP Semarang (1996:11) menjelaskan bahwa kegiatan belajar


mengajar atau pembelajaran merupakan bantuan yang memungkinkan siswa dapat
belajar. Dalam hal ini guru harus menganggap siswa sebagai individu yang mempunyai
unsur-unsur dinamis yang dapat berkembang bila disediakan kondisi yang menunjang.

Rusyan dan Tabrani (1989:26) mengemukakan beberapa definisi tentang kegiatan


belajar mengajar sebagai berikut: (1) merupakan suatu proses yang kompleks, tidak
sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa, (2) segala upaya yang
disengaja dalam rangka memberikan kemungkinan bagi siswa untuk terjadinya proses
belajar-mengajar sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, (3) upaya dalam
memberikan rangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa
agar terjadi proses belajar, (4) suatu upaya yang berpengaruh agar siswa belajar atau
mempelajari bahan sesuai dengan tujuan.

Usman dan Setiawati (1993:4) menjelaskan pengertian kegiatan belajar mengajar


dari pengertian belajar dan mengajar. Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku
pada individu berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya sehingga
mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Mengajar pada prinsipnya
adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Dapat dikatakan bahwa
mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya
dengan anak didik dan bahan pengajaran sehingga menimbulkan terjadinya proses
belajar pada diri siswa.

Dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan


mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan
pengajaran sehingga menimbulkan terjadinya proses belajar pada diri siswa.
2. Ciri-ciri Kegiatan Belajar Mengajar
Rusyan dan Tabrani (1989:6) menjelaskan bahwa proses belajar mengajar akan
bermakna dan berdaya guna bila guru memperhatikan prinsip-prinsip: (a) saling
mempercayai antara guru dengan peserta didik, (b) memperhatikan kebutuhan individu
peserta didik, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis. Dalam kegiatan belajar
mengajar perlu dilaksanakan perbuatan belajar mengajar karena prinsip tersebut
menyebabkan seseorang melakukan suatu kegiatan belajar. Seseorang melakukan suatu
perbuatan apabila perbuatan itu menarik perhatian dan minatnya serta dirasakannya
sebagai suatu kebutuhan.

Beberapa cara untuk melaksanakan prinsip kegiatan belajar mengajar antara lain
ialah: (a) menciptakan suasana belajar yang merangsang aktivitas belajar peserta didik,
(b) mengoptimalkan hasil belajar, (c) memberi contoh yang baik, (d) menjelaskan
tujuan belajar secara nyata, (e) menginformasikan hasil-hasil yang dicapai peserta
didik, (f) memberikan penghargaan atas prestasi yang dicapai (Rusyan dan Tabrani,
1989:6).

Hamalik (1995:65) menjelaskan bahwa ada tiga ciri khas yang terkandung dalam
sistem pembelajaran, yaitu: (a) rencana, ialah penataan ketenagaan, material, dan
prosedur, yang merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana
khusus, (b) kesalingtergantungan, antara unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi
dalam suatu keseluruhan yang setiap unsur bersifat esensial, dan masing-masing
memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran, (c) tujuan, sistem
pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yag hendak dicapai. Tujuan utama sistem
pembelajaran agar siswa belajar. Tugas perancang sistem ialah mengorganisasi tenaga,
material, dan prosedur agar siswa belajar secara efisien dan efektif.

Djamarah dan Aswan (2002:46) menjelaskan bahwa kegiatan belajar


mengajar memiliki ciri-ciri tertentu yaitu: (a) kegiatan belajar mengajar memiliki
tujuan, yakni membentuk peserta didik dalam suatu perkembangan tertentu, (b) ada
unsur prosedur yang direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, (c) kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi
khusus, sehingga cocok untuk mencapai tujuan, (d) kegiatan belajar mengajar ditandai
dengan aktivitas anak didik, (e) dalam kegiatan belajar mengajar , guru berperan
sebagai pembimbing, memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang kondusif,
(f) kegiatan belajar mengajar membutuhkan disiplin yang ditaati oleh pihak guru
maupun peserta didik.

Tim MKDK IKIP Semarang (1996:11) menjelaskan ciri-ciri kegiatan belajar


mengajar yaitu: (a) merupakan upaya sadar dan disengaja, (b) pemberian bantuan yang
memungkinkan siswa dapat belajar, (c) lebih menekankan pada pengaktifan siswa,
karena yang belajar adalah siswa, bukan guru.

3. Unsur-unsur Kegiatan Belajar Mengajar


Unsur-unsur minimal yang harus ada dalam sistem pembelajaran adalah siswa,
suatu tujuan dan suatu prosedur kerja untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, guru tidak
termasuk sebagai unsur sistem pembelajran, karena fungsinya dapat digantikan atau
dialihkan kepada media pengganti seperti buku, slide, teks terprogram, dan sebagainya.
Namun, seorang kepala sekolah dapat menjadi salah satu unsur sistem pembelajaran,
karena berkaitan dengan prosedur perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
(Hamalik, 1995:66).

Rusyan dan Tabrani (1989:28) menjelaskan kegiatan belajar mengajar memiliki


empan unsur, yaitu tujuan, bahan, metode, dan alat serta penilaian. Keempat unsur
tersebut tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berhubungann dan saling mempengaruhi
satu sama lain.

Tujuan dalam kegiatan belajar mengajar merupakan langkah pertama yang harus
diterapkan dalam pembelajaran. Dari tujuan yang jelas dan operasional dapat
diterapkan bahan pelajaran yang harus menjadi isi dari kegiatan belajar mengajar.
Adapun metode dan alat yang digunakan dalam pengajaran dipilih atas dasar tujuan
dan bahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk menetapkan apakah tujuan telah
tercapai atau belum, maka digunakan penilaian atau evaluasi.

Tim MKDK IKIP Semarang (1996:11) menjelaskan unsur-unsur kegiatan belajar


mengajar terdiri atas unsur dinamis dalam pembelajaran dan unsur dinamis
pembelajaran pada guru. Unsur-unsur dinamis dalam pembelajaran berhubungan
dengan masalah motivasi, masalah bahan pelajaran dan upaya penyediaannya, suasana
belajar, dan kondisi siswa. Kegiatan belajar mengajar dilakukan oleh guru, maka guru
harus memperhatikan dan mengembangkan unsur-unsur dinamis tersebut pada saat
membelajarkan siswa. Agar guru dapat melaksanakan kegiatan belajar
mengajar dengan baik, ia harus mempunyai kesiapan, baik kesiapan professional,
personal, dan sosial.

4. Kemampuan Mengelola Kegiatan Belajar Mengajar


Achmad Badawi dalam Suryobroto (2002:20) mengatakan bahwa mengajar guru
berkualitas apabila seorang guru dapat menampilkan kelakukan yang baik dalam usaha
mengajarnya. Kelakukan guru tersebut diharapkan mencerminkan kemampuan guru
dalam mengelola kegiatan belajar mengajar yang berkualitas, yang meliputi hal-hal
sebagai berikut.

1. Kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran


1) Kemampuan merencanakan kegiatan belajar mengajar, meliputi:

a) Kemampuan merumuskan tujuan pengajaran

b) Kemampuan memilih metode alternatif


c) Kemampuan memilih metode yang sesuai dengan tujuan pengajaran

d) Kemampuan merencanakan langkah-langkah pengajaran

2) Kemampuan mempersiapkan bahan pengajaran, meliputi:

a) Kemampuan menyiapkan bahan yang sesuai dengan tujuan

b) Kemampuan mempersiapkan pengayaan bahan pengajaran.

c) Kemampuan menyiapkan bahan pengajaran.

3) Kemampuan merencanakan media dan sumber, meliputi:

a) Kemampuan memilih media pengajaran yang tepat,

b) Kemampuan memilih sumber pengajaran yang tepat

4) Kemampuan merencanakan penilaian

a) Kemampuan menyusun alat penilaian hasil pengajaran

b) Kemampuan merencanakan penafsiran penggunaan hasil penilaian pengajaran

1. Kemampuan dalam melaksanakan pengajaran


1) Kemampuan menguasai bahan yang direncanakan

a) Kemampuan menguasai bahan yang direncanakan

b) Kemampuan menyampaikan bahan yang direncanakan

c) Kemampuan menyampaikan pengayaan bahan pengajaran

d) Kemampuan memberikan pengajaran remedial

2) Kemampuan dalam mengelola kegiatan belajar mengajar

a) Kemampuan untuk mengarahkan pengajaran mencapai tujuan pengajaran

b) Kemampuan menggunakan metode pengajaran yang direncanakan


c) Kemampuan mengunakan metode pengajaran alternatif

d) Kemampuan menyesuaikan langkah-langkah mengajar dengan langkah-langkah


yang direncanakan.

3) Kemampuan mengelola kelas

a) Kemampuan menciptakan suasana kelas yang serasi

b) Kemampuan memanfaatkan kelas untuk mencapai tujuan pengajaran

4) Kemampuan menggunakan metode dan sumber

a) Kemampuan menggunakan media pengajaran yang direncakan

b) Kemampuan menggunakan sumber pengajaran yang telah direncanakan.

5) Kemampuan melaksanakan interaksi belajar mengajar

a) Kemampuan melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara logis berurutan

b) Kemampuan memberi pengertian dan contoh yang sederhana

c) Kemampuan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti

d) Kemampuan bersungguh-sungguh dalam kegiatan belajar mengajar

e) Kemampuan bersikap terbuka dalam pengajaran

f) Kemampuan memacu aktivitas siswa

g) Kemampuan mendorong siswa untuk berinisiatif

h) Kemampuan merangsang timbulnya respon siswa terhadap pengajaran

1. Kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran


1) Kemampuan melaksankaan penilaian terhadap hasil pengajaran

a) Kemampuan melaksanakan penilaian hasil pengajaran


b) Kemampuan melaksanakan penilaian selama kegiatan belajar
mengajar berlangsung

2) Kemampuan administrasi kegiatan belajar mengajar

a) Kemampuan menulis di papan tulis

b) Kemampuan administrasi penting selama kegiatan belajar mengajar

Indikator Mutu Kegiatan Belajar Mengajar


Untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan belajar mengajar dikatakan bermutu,
dapat diketahui dari tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar tersebut dalam
mencapai tujuan instruksional khusus (Djamarah dan Zain, 2002:119).

Untuk mengetahui tercapai tidaknya TIK, guru perlu mengadakan tes formatif
(ulangan harian) setiap selesari menyajikan satu bahasan kepada siswa. Penilaian
formatif ini untuk mengetahui sejauh mana siswa telah menguasai tujuan instruksional
khusus yang ingin dicapai. Karena itulah, suatu kegiatan belajar mengajar tentang
suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan
instruksional khusus dari bahasan tersebut. Yang menjadi petunjuk bahwa kegiatan
belajar mengajar dianggap berhasil adalah: (a) daya serap terhadap bahan pengajaran
yang diajarkan mencapai prestasi tinggi baik secara individu maupun kelompok, (b)
perilaku yang digariskan dalam tujuan instruksional khusus (TIK) telah dicapai siswa
baik individu maupu kelompok (Djamarah dan Zain, 2002:120).

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Usman dan Setiawati, (1993:8)
bahwa indikator keberhasilan kegiatan belajar mengajar yang dijadikan sebagai tolok
ukur dalam menyatakan keberhasilan kegiatan belajar mengajar, berdasarkan
ketentuan kurikulum adalah : (a) daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan
mencapai prestasi tinggi baik secara individu maupun kelompok, (b) perilaku yang
digariskan dalam tujuan pembelajaran telah dicapai siswa baik individu maupu klasikal.
Dari dua macam tolok ukur tersebut, yang banyak dijadikan sebagai tolok ukur
keberhasilan kegiatan belajar mengajar adalah daya serap siswa terhadap pelajaran
yang diajarkan oleh guru

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Kegiatan Belajar Mengajar


Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu kegiatan belajar mengajar dapat diambil
dari pendapat Winarno Surakhmad dalam Djamarah dan Zain (2002:54) yaitu: (a)
tujuan yang berbagai-bagai jenis dan fungsinya, (b) anak didik yang berbagai-bagai
tingkat kematangannya, (c) situasi yang berbagai-bagai keadaannya, (d) fasilitas yang
berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya, (e) pribadi guru serta kemampuan
profesionalnya yang berbeda-beda.
Djamarah dan Zain (2002:123) berpendapat bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu kegiatan belajar mengajar adalah: (a) tujuan, (b) guru, (c) anak
didik, (d) kegiatan pengajaran, (e) alat dan bahan evaluasi, (f) dan suasana evaluasi.

Dari berbagai faktor tersebut, guru merupakan faktor utama. Sebagaimana


dijelaskan oleh Suryobroto (2002:20) bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan inti
dari proses pendidikan formal dengan guru seabgai pemegang peranan utama. Dalam
kegiatan belajar mengajar sebagian besar hasil belajar siswa ditentukan oleh peran
guru. Guru yang kompeten dengan kinerja yang baik akan lebih mmapu menciptakan
lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kegiatan belajar
mengajar , sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat yang optimal. Jadi
keberhasilan proses belajar mengajar sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam
mengelola kegiatan belajar mengajar .

Namun dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak bekerja sendiri. Guru berada
dalam sebuah sistem pendidikan yang melibatkan berbagai tenaga kependidikan, di
antaranya adalah kepala sekolah dan pengawas (supervisor). Hal ini sesuai dengan
Depdikbud (1991/1992:10) bahwa kepala sekolah antara lain bertugas: (a)
melaksanakan pengelolaan dan pembinaan kurikulum, administrasi, ketenagaan,
sarana prasarana, keuangan, murid dan humas; (b) melaksanakan supervisi kelas secara
terprogram dan teratur; (c) ikut serta dalam pertemuan-pertemuan kelompok keda
guru dan berperan aktif pada kelompok kerja kepala sekolah; (d) mendelegasikan tugas
kepada guru yang ditunjuk apabila tidak berada di tempat tugas; (e) mengikutsertakan
guru dalam menyusun dan melaksanakan rencana anggaran pendapatan dan belanja
sekolah (RAPBS).

Adapun pengawas, sebagai supervisor, memberikan supervisi klinis antara lain


dengan cara: (1) mengikuti perkembangan atau pembaharuan kurikulum; (2)
meningkatkan profeionalitas guru; (3) membina hubungan antar personal yang lebih
baik; (4) secara dini dapat menemukan penyimpangan dalam kegiatan belajar
mengajar; (5) meningkatkan efektifitas dan efisiensi kegiatan belajar mengajar; dan (6)
meningkatkan tercapainya tujuan pendidikan (Purwanto, 1993:91).

Dengan demikian, kepala sekolah dan supervisor adalah variabel moderating yang
akan menguatkan atau melemahkan hubungan antara variable guru dengan mutu
kegiatan belajar mengajar.
Peningkatan Mutu Proses Pembelajaran

A. Pengertian Pembelajaran
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.

Pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk


membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam
suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi
dalam konteks kegiatan belajar mengajar.

B. Proses Pembelajaran
Suatu pembelajaran akan tercapai dengan baik apabila menggunakan proses pembalajaran berjalan
secara aktif. Pembelajaran aktif adalah segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siswa
berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa
maupun siswa dengan pengajar dalam proses pembelajaran tersebut.
Tujuan dari pembelajaran aktif adalah untuk mengembangkan kemampuan
berpikir analitis dari siswa dan kapasitas siswa untuk menggunakan kemampuan
tersebut pada materi-materi kuliah yang diberikan. Pembelajaran aktif tidak sematamata
digunakan untuk menyampaikan informasi saja.

Dalam PP No 19 pasal 19 ayat 1 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, proses
pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, sertamemberikan ruang yang cukup prakarsa,
kreativitas dan kemandirian, sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik.
C. Mutu Proses Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
lingkungan (Anon, 2003). Sementara mutu bermakna antara lain ukuran baik atau buruk suatu
benda, taraf atau derajat (pendidikan, pembelajaran, kepandaian, kecerdasan, dan sebagainya).

Mutu pembelajaran dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, dan mutu pembelajaran
memiliki hubungan positif dengan prestasi belajar. Indikator rendahnya mutu pendidikan
(pembelajaran) antara lain mutu guru yang masih rendah pada semua jenjang pendidikan,murid
yang rendah, media dan sumber belajar-mengajar seperti buku teks, peralatan laboratorium dan
bengkel kerja yang memadai. Hal ini juga tergantung pada besarnya biaya pendidikan perunit,
maupun alokasi dana dari APBN (Tilaar, 2006).

D. Peningkatan Mutu Proses Pembelajaran


Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-
faktor yang terkait. Dalam peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni
aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut.

Peningkatan mutu proses pembelajaran dapat diartikan dengan standar hasil penilaian hasil
pembelajaran yang ditentukan dengan menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan
kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik. Teknik yang dimaksud dapat berupa tes
tertulis, observasi, uji praktik dan penugasan perseorangan atau kelompok. Untuk memantau
proses dan kemajuan belajar serta memperbaiki hasil belajar peserta didik dapat digunakan teknik
penilaian portofolio. Secara umum penilaian dilakukan untuk mengukur semua aspek
perkembangan peserta didik yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan
mengacu dan sesuai dengan standar penilaian (Mahmudi, 2010 dikutip oleh Muljono, 2006).

Peningkatan mutu pembelajaran melalui Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan


menyenangkan (PAKEM).
1. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan
suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan
mengemukakan gagasan. Belajar merupakan proses aktif dari si pembelajar (siswa) dalam
membangun pengetahuannya. Siswa bukanlah gelas kosong yang pasif yang hanya
menerima kucuran ceramah sang guru tentang pengetahuan/informasi.
2. Kreatif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus mampu
menciptakan kegiatan belajar yang beragam serta mampu membuat alat bantu/media
belajar sederhana yang dapat memudahkan pemahaman siswa. Kegiatan pembelajaran
tidak musti dilakukan di dalam kelas secara klasikal, namun proses pembelajaran juga
dapat dilakukan di luar kelas, belajar berkelompok, belajar secara kontekstual, bermain
peran, dsb. Disamping itu siswa aktif pula bertanya, berdiskusi, mengemukan pendapat,
merancang , membuat sesuatu, melalukan demonstrasi, membuat laporan, membuat
refleksi, mempresentasikan pengetahuannya.
3. Efektif dimaksudkan selama proses pembelajaran berlangsung, terwujudnya
ketercapaian tujuan pembelajaran. Siswa menguasai kompetensi dan ketrampilan yang
ditargetkan kurikulum.
4. Menyenangkan adalah suasana belajar mengajar yang menyenangkan dan nyaman.
Siswa selaku subjek belajar tidak takut dimarahi jika ia salah, tidak takut ditertawakan jika
ia keliru, tidak dianggap sepele, berani mencoba karena tidak takut salah.

Indikator Mutu Proses Pendidikan

1. Pengertian mutu pendidikan.


UGM (2002) mendefenisikan mutu pendidikan sebagai berikut: mutu pendidikan adalah
pencapaian tujuan dan kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh instansi pendidikan tinggi
didalam rencana strategisnya, atau kesesuaian dengan standar yang telah ditentukan.
Ton Vroeijenstijn (2002) menyatakan bahwa mutu (quality) merupakan kondisi dasar
untuk mampu berkompetisi, memiliki daya tarik (attractiveness) dan untuk bisa bertahan
(survival). Juran (1988) mendifinisikan mutu adalah fitness for use (kesiapan untuk
bekerja). Crosby (1979) mengatakan sesuatu dikatakan bermutu bila memenuhi persyaratan.
Menurut Tampubolon mutu adalah “paduan sifat-sifat produk yang menunjukkan
kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan atau
kebutuhan yang tersirat, masa kini dan masa depan” (Tampubolon, Daulat P., 1992). Mutu
berkaitan dengan produk yang dapat berupa barang atau jasa. Sekolah Menengah Atas (SMA)
merupakan institusi yang menghasilkan jasa pelayanan pendidikan. Selanjutnya Tampubolon
mengemukakan dalam pemahaman umum, mutu dapat berarti mempunyai sifat yang terbaik dan
tidak ada lagi yang melebihinya. Mutu tersebut disebut absolute, dan di lain pihak mutu dapat
berarti kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang disebut
mutu relative. Mutu absolute juga mengandung arti: (1) sifat terbaik itu tetap atau tahan lama, (2)
tidak semua orang dapat memiliki, dan (3) eksklusif. Mutu relative selalu berubah sesuai dengan
perubahan pelanggan, dan sifat produk selalu berubah sesuai dengan keinginan masyarakat.
Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar
(kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana
sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan
suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai
input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar
baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks
kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-
akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil
pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu
(apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang
dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan
akademis (misalnya ulangan umum, ujian nasional). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti
prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya :
komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak
dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan,
dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar
proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan
lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun
waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang
ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality
improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang
dicapai . Untuk mengetahui hasil/ prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut
aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik
acuan standar, misalnya: NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil
pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang
lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan
dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya.
Pengertian mutu pendidikan yang diambil dari buku berjudul “Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah” (buku I konsep dan pelaksanaan) terbitan Departemen Pendidikan
Nasional tahun 2001 disebutkan bahwa secara umum, mutu adalah Gambaran dan karakteristik
menyeluruh dari barang dan jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu
mencakup input, proses, dan output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang
harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses yang berupa sumber daya dan
perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input
sumber daya meliputi sumber daya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan
dan siswa) dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb) Input
perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi
tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran-
sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat
berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat
kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Secara luas pengertian mutu pendidikan dapat mencakup aspek sarana/ prasarana,
organisasi, manajemen, masukan, proses, keluaran yang dapat memuaskan pelanggan internal
(pengajar, staf administrasi, pengelola lembaga pendidikan) serta pelanggan eksternal (peserta
didik, orang tua, masyarakat pengguna serta masyarakat yang lebih luas). Mutu pendidikan yang
bersifat proaktif artinya institusi pendidikan memiliki produk (lulusan) yang secara terus menerus
menyesuaikan dirinya dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta realitas sosial yang terus
berkembang secara dinamis.
2. Indikator mutu pendidikan.
Indikator Mutu Proses Pendidikan
No Indikator

A. Profesionalisme Guru

1 Guru menguasai materi pelajaran dan Iptek.

2 Guru memiliki sikap dan perilaku yang dapat diteladani.

3 Guru memiliki kecintaan dan berkomitmen terhadap profesi.

4 Guru menjadi motivator agar peserta didik aktif belajar.

5 Guru berlaku jujur, adil dan menyenangkan.

6 Guru menguasai berbagai strategi pembelajaran dan teknik penilaian.

7 Guru bersikap terbuka dalam menerima pembaruan dan wawasan.

8 Guru memperhatikan perbedaan karakteristik setiap peserta didik.

9 Guru mendapat kemudahan/kesempatan mengembangkan pribadi dan


profesionalisme.

B. Kurikulum

1 Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masya-rakat.

2 Pengembangan kurikulum mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi


dan seni.

3 Program pembelajaran disusun secara sistematis dan komprehensif.


4 Program pembelajaran mendukung aspek spiritual, intelektual, sosial,
emosional dan kinestetik.

5 KBM dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik seoptimal


mungkin.

6 Pengembangan kurikulum meningkatkan kompetensi dan kemandirian peserta


didik.

7 Pengembangan kurikulum berfokus pada perkembangan potensi peserta didik


secara optimal.

8 Pengembangan kurikulum disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan


masyarakat.

9 Pengembangan kurikulum dilakukan secara proposional antara kepentingan


nasional dan kebutuhan lokal.

10 Pengembangan Kurikulum secara kolaboratif dengan melibatkan pemangku


kepentingan (stake holder).

11 Pengembangan dan implementasi kurikulum dilaksanakan secara kolegial


dalam forum kerja guru.

12 Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi


peserta didik, satuan pendidikan, dan daerah.

C. Sarana Prasarana dan Sumber Belajar

1 Dimanfaatkan sumber belajar yang bervariasi, termasuk lingkungan.

2 Tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung proses belajar dan


pembelajaran.

3 Sarana dan sumber belajar mudah diperoleh oleh setiap peserta didik.

4 Tersedianya buku pelajaran yang bermutu dan layak, sesuai dengan jumlah
peserta didik.

5 Tersedianya perpustakaan, koleksi pustaka dan pelayanan yang memadai.

6 Dimanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran.

7 Pengaturan sarana yang menjamin keamanan, kebugaran, kesehatan dan


kenyamanan dlm belajar.
8 Tersedianya laboratorium, fasilitas olah raga, dan ruang kreatif yang diperlukan.

D. Penilaian Belajar dan Pembelajaran

1 Penilaian dilaksanakan secara terencana dan berkelanjutan.

2 Penilaian dilakukan secara terbuka, obyektif, adil, dan dapat


dipertanggungjawabkan.

3 Penilaian dilaksanakan secara otentik.

4 Penilaian hasil belajar dan pembelajaran digunakan untuk pembinaan lebih


lanjut.

5 Penilaian terhadap peserta didik dilakukan mencakup keseluruhan aspek


pengembangan potensi.

6 Proses pembelajaran diawasi secara internal dan eksternal.

E. Peserta Didik

1 Peserta didik yang mengalami hambatan belajar atau kecerdasan khusus


memperoleh bimbingan khusus.

2 Peserta didik berminat untuk tetap bersekolah dan tidak ada drop out.

3 Terbukanya kesempatan percepatan belajar bagi peserta didik yang mampu.

4 Terbukanya kesempatan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan untuk


memperoleh pembinaan.

5 Mutu lulusan peserta diatas standar nasional.

6 Kompetensi lulusan yang sesuai dengan kebutuhankecakapan hidup.

7 Berkembangnya kemampuan siswa dalam mengikuti perubahan lingkungan

F. Pengembangan Kelembagaan dan Lingkungan

1 Adanya komitmen bersama untuk mencapai proses dan hasil yang terbaik.

2 Suasana satuan pendidikan yang menyenangkan.

3 Visi, misi dan tujuan sekolah yang berprinsip sederhana, terukur, dapat
diterapkan, beralasan, dan dengan batasan waktu.
4 Sekolah/madrasah memperoleh dukungan dari masyarakat, orang tua,
alumnus, dan pihak yang berwenang.

5 Tersedianya tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai.

6 Keterbukaan komunikasi dalam pengambilan keputusan.

7 Terjaminnya kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan.

8 Proses dan hasil pendidikan dapat dipertanggungjawabkan.

9 Para penyelenggara pendidikan melakukan refleksi untuk perbaikan diri.

10 Rencana kerja disusun bersama antara sekolah/madrasah, komite


sekolah/madrasah dan dinas yang terkait.

11 Terjalin hubungan yang serasi dengan para pemangku kepentingan


(stakeholders).

12 Satuan pendidikan mengelola sumber daya secara transparan dan akuntabel.

13 Didayagunakannya narasumber dalam pembelajaran.

14 Dikembangkannya jaringan kemitraan antar satuan pendidikan lokal, regional


dan internasional.

15 Terjalinnya kerjasama secara kelembagaan dengan pihak lain.

16 Terbangunnya partisipasi masayarakat dalam mendukung penyeleng-garaan


pendidikan.

Membangun Pendidikan yang Bermutu


Oleh Oleh: Mukhtarudin | Rabu, 28/11/2012 10:39 WIB | 4.588 Views
Berbicara masalah membangun dunia pendidikan, tidak harus selalu terbayang pada uang atau
dana, akan tetapi untuk membangun dunia pendidikan menjadi lebih maju sangat dibutuhkan
dukungan semua pihak dari pemangku kepentingan (stakehoders).

Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka telah
mengisyaratkan pentingnya sebuah pendidikan.

Menurutnya pendidikan merupakan kunci pembangunan sebuah bangsa. Pendidikan dilakukan


melalui usaha menuntun segenap kekuatan kodrat yang dimiliki anak, baik sebagai manusia maupun
sebagai anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Ki
Hadjar Dewantara, 1977).

Dalam konteks terkini, pesan Ki Hadjar Dewantara di atas masih amat relevan. Para ahli meyakini
bahwa daya saing suatu bangsa sangat bergantung pada penyelenggaraan pendidikannya, yaitu
pendidikan yang dapat mewujudkan sumberdaya manusia bermutu.

Untuk itulah kunci pembangunan sumberdaya manusia adalah melalui penyelenggaran pendidikan
bermutu. Mutu pendidikan yang dimaksud menyangkut dimensi proses dan hasil pendidikan.

Mutu proses diukur dari indikator mutu komponen dan interaksi antar komponen, sedangkan mutu
hasil diukur dari indikator capaian skor prestasi lulusan baik menyangkut akademik maupun non-
akademik.

Untuk itulah, Departemen Pendidikan Nasional RI beserta jajarannya telah berusaha mewujudkan
peningkatan mutu pendidikan dari tahun ke tahun melalui aneka kebijakan strategis.

Mulai dari kebijakan yang menyangkut kurikulum tingkat satuan pendidikan, akreditasi sekolah,
penyediaan anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS), akses buku murah melalui website,
pengembangan kultur sekolah, perbaikan manajemen berbasis sekolah, ujian nasional, sampai pada
peningkatan mutu guru melalui peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi.

Berdasarkan UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Departemen Pendidikan Nasional menerapkan kebijakan


strategis dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.

Kebijakan strategis peningkatan mutu tersebut tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra)
Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009 yang memuat lima pokok kebijakan peningkatan mutu,
kebijakan tersebut adalah, pertama, mengebangkan dan menetapkan standar nasional pendidikan
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
sebagai dasar untuk melaksanakan penilaian pendidikan, peningkatan kapasitas pengelolaan
pendidikan, peningkatan sumberdaya pendidikan, akreditasi satuan dan program pendidikan, serta
upaya penjaminan mutu pendidikan.

Kedua, melaksanakan evaluasi pendidikan melalui ujian sekolah dan ujian nasional yang dilakukan
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP).

Ketiga, melaksanakan penjaminan mutu (quality assurance) melalui suatu proses analisis yang
sistematis terhadap hasil ujian nasional dan hasil evaluasi lainnya untuk menentukan fakor pengungkit
dalam upaya peningkatan mutu.

Keempat, melakukan tindakan afirmatif dengan memberikan perhatian lebih besar pada satuan
pendidikan yang kualitasnya rendah, baik dilihat dari input, proses, maupun output-nya.

Kelima, melaksanakan akreditasi satuan dan/agtau program pendidikan untuk mednentukan status
akreditasinya masing-masing.

Dari sekian banyak kebijakan strategis yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan, ternyata belum memberikan dampak perbaikan yang berarti.

Potret pendidikan di negara kita masih menunjukkan mutu yang belum menggembirakan. Hasil survei
lembaga-lembaga internasional menunjukkan potret buram mutu pendidikn kita. Hasil survei tersebut
secara komparatif menunjukkan kualitas pendidikan di negara kita berada pada urutan lebih rendah
dibanding mutu pendidikan negara lain di kawasan regional maupun internasional.

Hal ini tercermin dari hasil studi kemampuan membaca tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan
oleh International ducation Achievment (IEA), menunjukkan bahwa peserta didik SD di Indonesia
berada pada uruta ke 38 dari 39 peserta studi.

Sementara untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), studi kemampuan Matematika peserta
didik Indonesia hanya berada pada urutan ke 39 dari 42 negara yang diteliti.

Untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) juga berada pada urutan 40 dari 42 negara peserta
studi (Propenas, 2000). Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkan mutu pendidikan di
negara kita kurang mengalami peningkatan, yakni, pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan
nasional menggunakan pendekatan education production function input-output analisis yang kurang
dilaksanakan secara konsekuen, pendekatan ini melihat lembaga pendidikan lebih berfungsi sebagai
pusat produksi yang apabila semua input yang diperlukan dipenuhi, maka output yang dikehendaki
akan otomatis terwujud.

Ternyata tidak terbukti dan pendekatan ini dianggap gagal karena kurang memperhatikan proses
pendidikan. Kedua, penyelenggara pendidikan nasional cenderung dilakukan secara birokratik-
sentralistik, dengan menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang sangat
tergantung pada keputusan birokratis dengan jalur sangat panjang, bahkan terkadang kebijakan yang
dikeluarkan kurang sesuai dengan kondisi sekolah.

Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan
memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan
pendidikan nasional.

Ketiga, peran serta masyarakat dalam pendidikan sangat minim. Partisipasi mereka lebih banyak
berupa dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan seperti pengambilan keputusan,
monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas (Depdiknas, 2011).
Secara teoritik, peningkatan mutu menurut Jerome S Arcaro (2005) dipahami dalam dua hal berikut
ini.Pertama, peningkatan mutu banyak dikaitkan dengan biaya pendidikan, padahal sebenarnya tidak
selalu demikian.

Peningkatan mutu pendidikan tidak secara signifikan ditentukan oleh besarnya biaya atau anggaran
yang dikeluarkan. Kedua, jika ukuran mutu masih tetap secara tradisional, yaitu output satuan
pendidikan berupa prestasi belajar atau hasil ujian, maka pengertian mutu telah direduksi.

Mutu sesungguhnya memiliki arti yang kompleks, tidak saja berkaitan dengan biaya pendidikan dan
hasil belajar, tetapi secara luas berkaitan dengan cita-cita atau harapan untuk menggapai kehidupan
yang lebih baik.

Pada tataran sekolah, peningkatan mutu sekolah dewasa ini banyak dilakukan dengan model
Organizing Business for Excelent, The Total Quality Manajemen (TQM), dan Four Factors Quality
Improvement.

Model pertama menekankan bahwa peningkatan mutu sekolah ditentukan oleh kultur sekolah dan
infrastruktur, yang dimulai dari penetapan visi dan misi sebagai gambaran masa depan sekolah.

Misi mengandung dua sisi yakni abstrak dan konkrit. Sisi abstrak dari misi adalah kepemimpinan dan
kultur sekolah, sedang sisi konkritnya adalah strategi dan program yang dapat dirumuskan dalam
rancangan tertulis yang berkaitan erat dengan infrastruktur.

Model kedua menitikberatkan tiga variabel mutu yaitu kultur sekolah, realitas sekolah, dan proes
belajar-mengajar.

Sedang model ketiga menekankan mutu sekolah adalah hasil dari pengaruh langsung proses belajar-
mengajar yang ditentukan oleh kultur sekolah, kepemimpinan, manajerial, dan infrastruktur (Zamroni,
2007).

Untuk itu terdapat tiga strategi peningkatan mutu pendidikan, yaitu strategi yang menekankan hasil
(The Output Oriented Strategy), menekankan pada proses (The Process Oriented Strategy), dan
strategi komprehensif (The Comprehensive Strategy) dengan segenap konsekuensi masing-masing
berupa kelebihan dan kekurangan.

Dalam hal ini, ada lima formula implementasi strategi sebagaimana dikemukakan Ronald Edmonds
(Wayne K Hoy, 2005), yaitu: (1) Strong Leadership by the principal, especially in intructional matters,
(2) High expectations by teacher for student achiavement, (3) An emphasis on baic skills, (4) An
orderly environmentl, (5) Frequent, systematic evaluations of student. Dengan demikian, kunci
peningkatan mutu sekolah ada pada mutu guru dan mutu pembelajaran dalam kelas oleh guru.

Demikian gambaran teoritik dan praktik penyelenggaraan pendidikan umumnya dan pembelajaran
khususnya yang ada di negara kita. Gambaran teoritik dan praktik di atas menunjukkan bahwa
pendidikan sesungguhnya memiliki spektrum amat luas, pernak-pernik dinamika pendidikan
mencakup banyak aspek, salah satunya adalah aspek mutu yang selalu diupayakan terus menerus
(continues improvement). Semoga pembangunan pendidikan di negara kita menghasilkan manusia-
manusia indonesia yang bermutu. (**)

MODEL SUPERVISI PENDIDIKAN IPA1


Oleh: Wahono Widodo

A. Rasional (Apa dan Mengapa Supervisi Pendidikan IPA)


Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan
alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari‐hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan
IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Permendiknas No. 22 tahun 2006).

Untuk dapat memfasilitasi pembelajaran IPA tersebut, diperlukan guru IPA yang memiliki kompetensi
memadai, yang mampu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi siswa yang belajar IPA. Akan tetapi, perlu disadari bahwa seorang guru tidak serta merta
menjadi guru yang kompeten (profesional), namun secara bertahap mengalami pertumbuhan
kompetensinya. Salah satu bantuan yang diberikan kepada guru IPA untuk meningkatkan
kompetensinya adalah dalam bentuk supervisi pendidikan IPA.

Supervisi pendidikan IPA merupakan salah satu jenis pengawasan yang dilakukan terhadap guru IPA
dalam kerangka kepatuhan profesional (proffesional compliance). Supervisi pendidikan IPA dilakukan
oleh supervisor (orang‐orang yang memiliki “pandangan super” dalam area yang disupervisi) terhadap
guru IPA, dengan obyek yang diamati tertentu, dan menggunakan cara/prosedur tertentu. Supervisor
pendidikan IPA adalah orang‐orang yang terlatih untuk melakukan supervisi dalam pendidikan IPA,
dalam arti memiliki visi, pemahaman, dan telah terbukti dapat menerapkan dengan baik aspek‐aspek
pembelajaran IPA serta memiliki visi, kemampuan dan keterampilan untuk melakukan supervisi.

1 Diterbitkan dalam Jurnal Wacana Vol. 05 No. 04 November 2008

Obyek yang diamati dalam supervisi pendidikan IPA meliputi kemampuan‐kemampuan profesional guru
dalam hal: (1) merencanakan pembelajaran IPA; (2) melaksanakan pembelajaran IPA; (3) menilai
proses dan hasil pembelajaran IPA; (4) memanfaatkan hasil penilaian bagi peningkatan layanan
pembelajaran IPA; (5) memberikan umpan balik secara tepat dan terus menerus kepada siswa; (6)
melayani siswa yang mengalami kesulitan belajar; (7) menciptakan lingkungan belajar yang
menyenangkan; (8) mengembangkan dan memanfaatkan alat bantu dan media pembelajaran; (9)
memanfaatkan sumber‐sumber belajar yang tersedia; (10) mengembangkan interaksi pembelajaran;
(11) melakukan penelitian praktis bagi pembelajaran (Satori, 2007). Dalam konteks pendidikan IPA,
perlu dicermati apakah pembelajaran IPA telah berbasis inkuiri, serta melakukan pengkaitan IPA‐
teknologi‐masyarakat sesuai Standar Isi.

Supervisi pendidikan IPA merupakan kegiatan yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan
mutu proses dan hasil pendidikan IPA. Dalam konteks pendidikan persekolahan, mutu pembelajaran
merupakan refleksi dari kemampuan profesional guru (Satori, 2007). Supervisi pendidikan IPA
berkepentingan dengan upaya peningkatan kemampuan profesional guru IPA, dan pada gilirannya akan
berdampak terhadap peningkatan proses dan hasil pembelajaran IPA.

Jika pembelajaran IPA dijadikan fokus, supervisi dilakukan untuk “mengawasi” (dalam kerangka
profesional) agar pembelajaran berada dalam koridor konsep dan teori pembelajaran IPA. Sebagai
contoh, konsep apa yang diajarkan, bagaimana cara pembelajarannya, bagaimana penilaiannya, apakah
sudah sesuai dengan kaidah pembelajaran IPA. Supervisi bukan kebutuhan supervisor untuk melakukan
supervisi, namun (dalam kerangka pembelajaran IPA) supervisi merupakan kebutuhan guru
IPA untuk meningkatkan kinerja profesionalnya. Dampak langsung dari peningkatan keprofesionalan
guru IPA adalah peningkatan kualitas pembelajaran, dan pada akhirnya meningkatkan mutu pen
gelolaan pendidikan dalam satuan pend idikan tersebut.

Supervisi pendidikan IPA perlu dilakukan, karena mutu pendidikan IPA bergantung pada mutu
persekolahan yang di dalamnya ada pembelajaran IPA. Mutu pembelajaran IPA sangat bergantung pada
keprofesionalan guru IPA. Keprofesionalan guru IPA tidak mungkin muncul dengan tiba-tiba, melainkan
melalui proses yang disebut pertumbuhan profesional (dari guru muda, guru madya, menjadi guru yang
“matang”). Guru IPA perlu mendapat bantuan untuk menumbuhkan keprofesionalannya. Bantuan ini
dapat bermacam-macam, (seperti pelatihan dan studi lanjut), salah satu bantuan profesional ini adalah
Supervisi pendidikan IPA. Jadi, supervisi pendidikan IPA perlu dilakukan sebagai upaya untuk terus-
menerus menumbuhkan keprofesionalan guru IPA.

Supervisi dalam pendidikan (instructional supervision) diperlukan guru sebagai umpan balik terhadap
pengajarannya sehingga memperkuat keterampilan mengajarnya untuk meningkatkan kinerjanya.
Supervisi pendidikan memfokuskan pada peningkatan pengajaran guru, dan pada gilirannya
meningkatkan kemampuan akademik siswa. Di sini supervisi pendidikan sebagai alat untuk
meningkatkan pengajaran guru. Supervisi dapat dilihat sebagai analogi pengajaran, dalam supervisi
supervisor berupaya meningkatkan perilaku, kemampuan, dan sikap-sikap guru.

B. TujuanTujuan pengembangan model supervisi pendidikan IPA ini adalah menghasilkan sebuah
model supervisi pendidikan IPA yang dapat mengembangkan kompetensi guru IPA, dengan bantuan
supervisor, sehingga guru IPA dapat mengetahui kekurangannya dan dapat melakukan perbaikan
praktik pengajarannya dan pada gilirannya meningkatkan mutu pembelajaran IPA.

C. Asumsi-asumsi
Asumsi-asumsi yang mendasari model supervisi pendidikan IPA ini adalah sebagai berikut:

1. Hubungan antara supervisor dan guru IPA adalah hubungan profesional yang saling
menguntungkan dalam rangka pertumbuhan profesional kedua belah pihak (adaptasi dari
Satori, 1996/1997). Asumsi ini muncul, karena selama ini seringkali timbul anggapan yang tidak
tepat terhadap kegiatan supervisi, yang dipandang oleh guru sebagai “mencari-cari kesalahan
guru”. Asumsi ini digunakan sebagai dasar bahwa dalam supervisi pendidikan IPA, tugas utama
supervisor adalah membantu guru untuk melakukan refleksi diri terhadap kelebihan dan
kekurangannya, sehingga pada akhirnya mampu menumbuhkan profesionalitas dirinya.
2. Keputusan apapun dalam supervisi pendidikan IPA harus didasarkan atas pengukuran yang
telah dilakukan terhadap kinerja guru. Asumsi ini untuk menjamin bahwa hubungan antara
supervisor dan guru adalah hubungan profesional dan berbasis data. Kelebihan guru ditunjukkan
oleh data, dan sebaliknya kekurangan guru didapat pula dari data pengukuran (dalam hal ini
pengamatan terhadap kinerja guru), sehingga perbaikan yang dilakukan berdasarkan data yang
ada.
3. Terdapat keterampilan‐keterampilan generik esensial tertentu dan seseorang yang menyatakan
dirinya guru IPA profesional seharusnya mampu untuk mendemonstrasikan dan menempatkan
keterampilan‐keterampilan itu dalam situasi yang sesuai. Asumsi ini berimplikasi adanya
keterampilan‐keterampilan generik esensial guru IPA yang dapat diamati supervisor, misalnya:
“keterampilan memotivasi”, “keterampilan bertanya dasar dan lanjutan”, “keterampilan
mengelola kelas”, dan lain‐lain.
4. Pengajaran IPA yang baik memerlukan persiapan. Asumsi ini digunakan sebagai dasar perlu
adanya Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) sebagai acuan pengajaran yang dilakukan guru,
dan sebagai salah satu sumber data bagi supervisor untuk membantu guru merefleksikan
efektivitas pengajarannya.
5. Perilaku pengajaran IPA yang baik dapat diidentifikasi, stabil, dan efeknya terhadap siswa
konsisten untuk berbagai konteks. Asumsi ini berimplikasi bahwa efektivitas pengajaran adalah
stabil, dapat diulang oleh guru setiap waktu dan dalam konteks instruksional yang berbeda,
sehingga pengukuran efektivitas pengajaran oleh guru IPA dapat dilakukan melalui pengamatan
terhadap kinerja guru di suatu kelas tertentu saja, dan kenerja guru dapat pula dilihat
berdasarkan pertumbuhan kemampuan siswa (artinya pertumbuhan kemampuan siswa
mencerminkan efektivitas pembelajaran yang dilakukan guru).
6. Kegiatan supervisi pendidikan IPA merupakan bagian dari kegiatan manajemen mutu di dalam
satuan pendidikan. Asumsi ini sebagai dasar bahwa supervisi pendidikan merupakan
keniscayaan dan kebutuhan guru IPA dalam satuan pendidikan tersebut, sebagai upaya
meningkatkan kinerja guru yang pada gilirannya meningkatkan kinerja satuan pendidikan
tersebut dalam memberikan layanan kepada kastemernya.
7. Supervisi yang efektif dapat melahirkan wadah kerjasama yang dapat mempertemukan
kebutuhan profesional guru‐guru (Satori, 1996/1997).
8. Supervisi yang efektif mampu membangun kondisi yang memungkinkan guru‐guru dapat
menunaikan pekerjaannya secara profesional (Satori, 1996/1997).
D. Komponen-komponen Model Supervisi Pendidikan IPA

1. Permasalahan dalam Supervisi

Untuk merumuskan model supervisi pendidikan IPA, perlu ditelusuri permasalahan‐ permasalahan yang
muncul dalam supervisi berdasarkan kajian dan hasil penelitian sebelumnya, dengan harapan agar
model yang dihasilkan sudah memperhatikan permasalahan‐permasalahan tersebut.
Kata supervision diturunkan dari dua kata “superior” dan “vision”. Asal kata ini memberi kesan bahwa
satu pihak dalam supervisi lebih berkuasa daripada pihak lain. Hasil analisis Reitzug (dalam Gentry,
2002) menunjukan bahwa supervisor digambarkan sebagai seorang yang “expert dan superior”,
sedangkan guru digambarkan sebagai penuh kekurangan dan memerlukan bantuan ahli.

Zepeda dan Ponticell (Gentry, 2002) menemukan 5 kategori supervisi menurut guru, yakni: 1) supervisi
sebagai hubungan antara “anjing dan kuda poni” (anjing dan kucing); 2) supervisi sebagai senjata; 3)
supervisi sebagai kegiatan rutin yang tidak bermakna; 4) supervisi sebagai sarana memenuhi daftar
isian; dan 5) supervisi sebagai intervensi yang tidak diharapkan guru. Blumberg (Gentry, 2002)
mendeskripsikan hubungan negatif antara supervisor dengan guru, yakni adanya rasa sebal guru
terhadap supervisor, dan hal ini menjadi penghalang utama untuk medapatkan keuntungan dari praktik
supervisi. Guru merasa bahwa supervisor tidak memberikan bantuan yang bernilai, dan supervisi
sekedar sebagai alat kontrol dan perpanjangan tangan kekuasaan. Sergiovanni dan Starratt (Gentry,
2002) menyatakan bahwa “Pada keadaan terbaik, supervisi memandu dalam memberikan keputusan
evaluatif berdasarkan bukti/kenyataan. Pada keadaan terburuk, supervisi menghancurkan otonomi,
kepercayaan diri, dan integritas personal guru”.

Guru seharusnya memandang supervisi sebagai evaluasi setara (antara supervisor dengan guru), untuk
menemukan faktor‐faktor, sehingga supervisi yang dilakukan dalam kunjungan kelas untuk
mendapatkan data yang obyektif, bebas prasangka, dan berfokus untuk peningkatan pengajaran guru.
Hal ini membutuhkan rasa saling percaya, terutama rasa percaya guru terhadap supervisor, bahwa
supervisi tidak digunakan sebagai alat penekan yang mengusik dan menghancurkan wilayah teritorial
guru. Jadi, kata kunci yang digunakan dalam membangun model supervisi pendidikan IPA adalah
kesetaraan dan rasa saling percaya, seperti yang disampaikan Schmuck dan Runkel (1994, dalam
Gentry, 2002) bahwa “kualitas dibangun setapak demi setapak, ditancapkan oleh dedikasi dibandingkan
kata‐kata dan dikekalkan oleh keterbukaan dalam hubungan interpersonal”.

2. Pertumbuhan Profesional Guru IPA

Seperti telah dikemukakan di atas, guru IPA tidak serta merta hadir sebagai sosok guru yang profesional
dan memiliki kompetensi yang lengkap, namun merupakan proses pertumbuhan setapak demi setapak.
Pertumbuhan kompetensi guru IPA dapat bersumber utama dari kemauan dan kerja keras guru IPA,
dengan bantuan dari berbagai pihak, ditunjukkan dalam bagan berikut.

3. Supervisi Pendidikan IPA dalam Sistem Penjaminan Mutu Satuan Pendidikan Sistem
penjaminan mutu pendidikan IPA adalah sebuah sistem yang dikembangkan oleh satuan pendidikan
untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpangan berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan
dalam proses pendidikan IPA, mulai dari perencanaan, masukan siswa, pembelajaran, asesmen, sampai
dengan pengambilan keputusan terhadap siswa. Sistem ini menjamin bahwa luaran pendidikan IPA
(atau bisa diperluas sampai alumni satuan pendidikan tersebut) telah ditangani dengan benar (the right
first time and every time), sehingga kompetensinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Sistem penjaminan mutu pendidikan IPA juga bermuara pada upaya peningkatan terus‐
menerus (quality improvement), untuk memberi layanan yang memuaskan kastemer (Mukhopadhyay,
2005; Sallis, 1993; Widodo, 2007).Secara umum sistem penjaminan mutu terdiri dari
komponen planning, implementation, assessment, dan improving. Sebagai sistem yang ditujukan
untuk memuaskan kastemer, dalam langkah planning, seharusnya sistem penjaminan mutu dalam
satuan pendidikan memasukkan kegiatan supervisi pendidikan IPA sebagai salah satu indikator mutu
yang harus dipenuhi dalam sistem tersebut. Sebagai contoh, indikator mutu: 1) Supervisi pembelajaran
IPA oleh pengawas dan/atau LPMP paling sedikit dilakukan satu kali setiap tahun, dan 2) Pengamatan
pembelajaran IPA oleh sesama guru dilakukan paling sedikit satu kali untuk setiap dua bulan. Dengan
adanya indikator mutu seperti itu dan harus dilakukan, maka pihak satuan pendidikan menjamin adanya
supervisi, dan supervisi dipandang sebagai kebutuhan untuk meningkatkan mutu, bukan kebutuhan
supervisor.

4. Model, Komponen Model, dan Hubungan antar Komponen Supervisi Pendidikan IPA

Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya dirumuskan model supervisi pendidikan IPA, ditunjukkan dalam
Gambar 2. Model ini berawal dari analisis kebutuhan untuk meningkatkan kinerja guru (yang juga
dicerminkan oleh kinerja siswa) oleh sekolah melalui program penjaminan mutu, oleh musyawarah
guru, atau oleh para supervisor itu sendiri.

Berdasarkan analisis kebutuhan, selanjutnya disusun program supervisi pendidikan. Sasaran supervisi
pemberdayaan akuntabilitas professional guru IPA, penciptaan sekolah sebagai oranisasi belajar, dan
manajemen sumberdaya pendidikan. Seluruh sasaran tersebut pada akhirnya bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran IPA.

Bentuk kegiatan (teknik‐teknik) supervisi akademik ini dapat berupa kunjungan kelas, pertemuan
pribadi antara pengawas dengan guru, rapat guru, kunjungan antar kelas, kunjungan sekolah,
penerbitan buletin profesional, atau penataran (Satori, 1996/1997). Sedangkan yang menjadi fokus
supervisi pendidikan IPA ini adalah kemampuan guru IPA dalam merencanakan PBM IPA, melaksanakan
PBM IPA, menilai proses dan hasil pembelajaran, memanfaatkan hasil penilaian bagi peningkatan
layanan pembelajaran, memberikan umpan balik kepada siswa, melayani peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar, menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, mengembangkan dan
memanfaatkan alat bantu dan media pembelajaran, memanfaatkan sumber‐sumber belajar yang
tersedia, mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi, metode, teknik) yang tepat, dan
melakukan penelitian tindakan kelas (Satori, 1996/1997).

Supervisi dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas, guru inti, dan/atau pejabat dinas pendidikan. Sesuai
dengan Permendiknas nomor 12 tahun 2007, pengawas harus memiliki kualifikasi dan kompetensi
tertentu. Kompetensi pengawas meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial,
kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan
pengembangan, dan kompetensi sosial. Sedangkan menurut Permendiknas nomor 13 tahun 2007,
kepala sekolah harus memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu. Kompetensi kepala sekolah meliputi
kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan
kompetensi sosial. Para pejabat struktural dinas pendidikan terutama berperan dalam menciptakan iklim
yang memungkinkan terjadinya proses “pembaruan diri” pada tingkat kelembagaan sekolah. Pejabat
struktural hendaknya mendukung program‐program sekolah yang dapat meningkatkan mutu dengan
memanfaatkan sumberdaya pendididikan yang diakomodasi sendiri (Satori, 1996/1997).

Jalur lain yang sifatnya nonstruktural dapat dikembangkan, misalnya forum rapat guru yang dapat
dijadikan balikan kepada guru oleh guru lain untuk meningkatkan kinerjanya serta mengkomunikasikan
dan mengartikulasikan program‐program peningkatan mutu sekolah. Forum MGMP atau PKG dapat
dimanfaatkan usebagai mekanisme yang handal dalam supervisi akademik. Pada forum ini pengawas
seharusnya berperan aktif bekerjasama dengan guru untuk menyusun program pembelajarannya
(misalnya membuat bersama silabus pembelajaran IPA), termasuk memberikan masukan dan saran
untuk perbaikan pengajaran yang dilakukan guru. Kedekatan profesional antara guru IPA dengan
pengawas dapat dibentuk melalui forum semacam ini, sehingga ketika pengawas melakukan kunjungan
kelas, pengawas tidak lagi dicurigai guru sebagai “mengintervensi teritorial guru”, namun memang
diperlukan guru untuk mendapatkan masukan dalam rangka meningkatkan kapasitas
keprofesionalannya.

Bentuk lain kegiatan informal supervisi pendidikan IPA adalah kerja kolaboratif antar guru IPA serta
antara guru IPA dengan pengawas dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Pada kegiatan ini
guru IPA mengungkapkan permasalahan yang ditemui di kelas. Selanjutnya dilakukan diskusi terfokus
antar guru IPA dan dengan pengawas untuk menemukan hipotesis tindakan dan merencanakan tindakan
untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pada saat implementasi hipotesis tindakan, dilakukan
pengamatan (oleh rekan guru IPA dan/atau pengawas). Berdasarkan data pengamatan dan kinerja
siswa, dilakukan refleksi bersama apakah tindakan yang telah dilakukan dapat mengatasi permasalahan
serta kelemahan tindakan yang dilakukan untuk dilakukan alternatif perbaikan tindakan. Dengan PTK,
kegiatan supervisi pendidikan IPA dapat dijalankan, bermuara pada peningkatan profesionalisme guru
IPA dan peningkatan kualitas pembelajaran IPA.

PPPG, LPMP, dan LPTK dapat berperan dalam kegiatan supervisi pendidikan IPA, misalnya dengan
melakukan pembinaan pada forum MGMP, KKG, KKS, dan KKPS. Selain itu bisa juga PPPG, LPMP, dan
LPTK membuat program supervisi pendidikan IPA, misalnya supervisi dalam penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan (sesuai tugas pokok dan fungsinya menurut Permendiknas nomor 24 tahun
2006). PPPG, LPMP, dan LPTK dapat menghasilkan inovasi-inovasi dalam pembelajaran IPA, dan
selanjutnya ditularkan kepada guru IPA melalui jalur-jalur MGMP/PKG atau pelatihan-pelatihan secara
berkelanjutan bagi guru-guru IPA.

E. Strategi Implementasi

Program supervisi yang baik disusun secara realistis yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan
sekolah. Langkah-langkah implementasi model program supervisi pendidikan IPA tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi Permasalahan Guru dalam Proses Belajar Mengajar IPA di


Sekolah Masalah yang mungkin dijumpai dapat berupa masalah dalam menyusun kurikulum
pembelajaran IPA (misalnya bagaimana mengimplementasikan standar Isi menjadi silabus
pembelajaran IPA), masalah-masalah dalam proses belajar mengajar IPA yang ditemui guru sehari-
hari, atau masalah bagaimana mengimplementasikan inovasi pembelajaran di dalam kelas (misalnya
implementasi pembelajaran kontekstual). Permasalahan ini diidentifikasi bersama antara guru dengan
supervisor/pengawas. Seringkali guru menganggap tidak ada masalah. Tugas supervisor adalah
membangkitkan guru untuk merasakan adanya kebutuhan bahwa masalah yang dihadapinya tersebut
meruakan hal yang wajar. Untuk itu diperlukan pendekatan yang tepat oleh supervisor terhadap guru
IPA, misalnya dimulai dari forum MGMP. Pada forum ini pengawas harus terlibat secara aktif sebagai
anggota forum, sehingga guru IPA merasakan bahwa pengawas adalah bagian dari dunianya dan pada
akhirnya terbina hubungan yang akrab dan profesional antara guru IPA dengan pengawas.

Permasalahan dalam pembelajaran IPA dapat juga ditemukan melalui observasi pengawas terhadap
proses belajar mengajar yang dilakukan guru IPA. Sekali lagi, pendekatan pengawas terhadap guru
demikian penting, sehingga temuan supervisi seperti pada “permasalahan supervisi” seperti yang telah
diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Dengan observasi pembelajaran IPA ini dapat ditemukan bersama
(melalui kegiatan refleksi setelah pembelajaran berlangsung) oleh guru dan pengawas kekurangan dan
kelebihan pembelajaran yang telah dilakukan, serta masalah-masalah lain yang timbul dalam
pembelajaran tersebut.

2. Menganalisis MasalahMasalah-masalah yang muncul tersebut selanjutnya dianalisis lebih lanjut


untuk menemukan akar masalah utama. Setiap masalah secara seksama dipelajari faktorfaktor
penyebabnya, sehingga pada akhirnya ditemukan penyebab utama/akar masalahnya. Sebagai contoh,
rendahnya kemampuan kerja ilmiah siswa merupakan masalah. Penyebab masalah ini dapat ditelusuri,
mulai dari apakah guru memberikan kesempatan siswa melatih kemampuan kerja ilmiah, sumber
belajar yang tersedia, peralatan yang ada, LKS yang tersedia, pendekatan dan metode pembelajaran
IPA yang dilakukan guru, dan lain-lain. Setelah akar masalah didapat, selanjutnya didiskusikan cara
memecahkan masalahnya.

3. Merumuskan Cara‐cara Pemecahan MasalahGuru dan pengawas selanjutnya secara


bersama-sama merumuskan alternatif-alternatif pemecahan masalahnya. Setiap alternatif dipelajari
kemungkinan keterlaksanaannya dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendukung dan
penghambatnya, misalnya ketersediaan alat, biaya, waktu, dan lain-lain. Guru dan pengawas
selanjutnya menemukan alternatif pemecahan masalah terbaik, yakni yang dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien (faktor-faktor pendukung lebih banyak daripada faktor penghambat). Dialog
penemuan alternatif pemecahan masalah ini dapat dilakukan dalam diskusi informal, rapat guru, forum
MGMP/PKG, dan lain-lain.
4. Implementasi Pemecahan MasalahHasil pemecahan masalah pada tahap sebelumnya bukan
untuk sekedar dipahami guru, namun diimplementasikan. Tahap ini merupakan tahapan paling krusial,
karena upaya pembaharuan pengajaran apapun tidak akan mempunyai dampak terhadap peningkatan
proses belajar mengajar apabila tidak dipraktikkan di kelas. Oleh karena itu pada fase ini pengawas
dapat melakukan observasi kelas, untuk memonitor apa yang terjadi di dalam kelas serta menemukan
kendala‐kendala dalam implementasi pemecahan masalah tersebut. Untuk membangun semangat guru
dalam melakukan perbaikan pengajaran, para pengawas harus berperan sebagai fasilitator dan
konsultan yang memberikan dorongan, bimbingan, dan nasihat kepada guru IPA.

5. Evaluasi dan Tindak Lanjut

Pada tahap ini, data hasil pengamatan terhadap implementasi pemacahan masalah dianalisis bersama
anatar pengawas dan guru IPA, untuk menemukan kendala implementasi, kelemahan implementasi,
dan merumuskan upaya perbaikan lanjutan. Dengan kegiatan ini, maka esensi supervisi pendidikan IPA,
yakni untuk meningkatkan kinerja guru IPA dan meningkatkan kualitas pembelajaran IPA setahap demi
setahap dapat terwujud.

Rangkaian kegiatan di atas dicatat dalam matriks program supervisi pendidikan IPA. Tabel 1
memperlihatkan contoh matriks program supervisi pendidikan IPA yang telah diisi lengkap.

Contoh Matriks Program Supervisi Pendidikan IPA

Masalah yang Dihadapi Kegiatan untuk Hasil Perbaikan Usaha‐usaha


Mengatasinya Selanjutnya
Guru belum melatihkan Mengundang guru inti Guru sudah mulai Mencermati dan
kerja ilmiah dalam untuk memberikan melatihkan kerja ilmiah, merevisi silabus dan RPP
pembelajaran IPA simulasi melatihkan silabus sudah untuk
kerja ilmiah dalam IPA mewadahi hal ini pembelajaran ke depan
Guru belum Dibahas dalam forum Guru sudah Pengkajian efektivitas
memanfaatkan MGMP mengingat menunjukkan upaya perbaikan ini dan
lingkungan sekitar masalah ini dihadapi memanfaatkan dampaknya terhadap
sebagai sumber belajar oleh banyak guru. lingkungan sebagai siswa.
Menunjukkan contoh‐ sumber belajar
contoh pemanfaatan
lingkungan sebagai
sumber belajar

Keberhasilan kegiatan supervisi pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas interaksi antara guru dan
supervisor. Komunikasi antara supervisor dan guru ditujukan membantu dan merubah kognisi, sikap,
dan perilaku agar guru berusaha memperbaiki proses pembelajarannya, di samping komunikasi tersebut
hendaknya guru diperlakukan sebagai komunikasi antar teman sejawat.

Kegiatan supervisi pembelajaran IPA (pembinaan profesional) diwujudkan oleh para pengawas rumpun
mata pelajaran IPA, dalam bentuk sikap dan tindakan yang dilakukan dalam interaksi antara pengawas
dengan guru-guru IPA dan kepala sekolah. Agar sikap dan tindakan pengawas itu sejalan dengan nilai-
nilai dan tujuan supervisi maka dalam proses interaksinya itu perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :

a) Supervisi hendaknya dimulai dari hal-hal yang positif


b) Hubungan antara para pengawas dengan guru-guru hendaknya didasarkan atas hubungan
kerabat kerja sebagai profesional.

c) Pembinaan profesional hendaknya didasarkan pada pandangan yang objektif.

d) Pembinaan profesional hendaknya didasarkan atas hubungan manusiawi yang sehat.


Sebagaimana halnya anak-anak, orang dewasa pun memerlukan pujian, bukan cercaan atau makian.

e) Pembinaan profesional hendaknya mendorong pengembangan potensi inisiatif dan kreatifitas


guru-guru.

f) Pembinaan profesional harus dilaksanakan terus menerus dan berkesinambungan.

g) Pembinaan profesional hendaknya dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing guru.

h) Pembinaan professional hendaknya dilaksanakan atas dasar rasa kekeluargaan, kebersamaan,


keterbukaan, dan keteladanan.

F. Indikator Keberhasilan

Tujuan akhir supervisi pendidikan IPA adalah peningkatan mutu proses dan hasil belajar siswa. Hal ini
berimplikasi, indikator utama keberhasilan pelaksanaan program supervisi pendidikan IPA hadus dilihat
pada dampak terhadap mutu proses dan hasil belajar siswa.

Selain itu, keberhasilan supervisi dapat pula dilihat dari sisi prosesnya, dengan indikator sebagai berikut:

1) Inisiatif dan kreativitas guru‐guru IPA berkembang

2) Semangat guru‐guru IPA dalam merancang, melaksanakan, dan menilai dalam PBM IPA tinggi

3) Para pengawas berperan sebagai konsiltan dan fasilitator

4) Hubungan antara pengawas dan guru‐guru bersifat hubungan rekan sejawat yang melahirkan
tradisi dialog profesional

5) Suasana kekeluargaan, kebersamaan, keterbukaan, dan keteladanan menjiwai setiap kegiatan


supervisi

6) Kunjungan kelas, pertemuan pribadi, dan rapat staf dilakukan secara teratur

7) Pertemuan MGMP/PKG dilaksanakan secara teratur dan pengawas berperan aktif dalam kegiatan
ini.

8) Tumbuhnya kemampuan guru IPA dalam merencanakan pembelajaran IPA berbasis inkuiri,
mengelola pembelajaran IPA berbasis inkuiri, dan menilai kerja ilmiah siswa.

9) Tumbuhnya kerjasama antar guru IPA dan pengawas sebagai kerja kolaboratif dalam upaya
memecahkan masalah‐masalah yang ditemui dalam pembelajaran IPA di kelas

G. Penutup

Sebaik apapun model supervisi pendidikan IPA yang dirancang, yang terpenting adalah kemauan guru
untuk disupervisi dan kemampuan pengawas untuk melakukan pendekatan profesional dengan guru,
sehingga proses supervisi pendidikan IPA dapat berjalan dengan baik. Sekali lagi, guru seharusnya
memandang supervisi sebagai evaluasi setara (antara supervisor dengan guru), untuk menemukan
faktor‐faktor, sehingga supervisi yang dilakukan dalam kunjungan kelas untuk mendapatkan data yang
obyektif, bebas prasangka, dan berfokus untuk peningkatan pengajaran guru. Hal ini membutuhkan
rasa saling percaya, terutama rasa percaya guru terhadap supervisor, bahwa supervisi tidak digunakan
sebagai alat penekan yang mengusik dan menghancurkan wilayah teritorial guru.

Anda mungkin juga menyukai