BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Rinosinusitis kronik adalah sindroma klinis dengan gejala persisten
ditandai inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal. RSK yang terjadi
karena respon imun yang berlebihan atau karena agen asing, belum dapat
dibuktikan menyebabkan inflamasi pada mukosa yang persisten, menyebabkan
influks seluler, perubahan radiografi dan klinis.1.2
Rinosinusitis kronik adalah kondisi inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal. Diagnosis RSK ditegakkan bila gejala – gejala RSK
timbul dalam 12 minggu atau lebih meskipun telah mendapat terapi.3
Inflamasi adalah respon protektif yang terlokalisir yang disebabkan karena
cedera atau kerusakan jaringan, berfungsi menghancurkan, mencairkan, atau
membatasi baik agen berbahaya dan jaringan yang terluka. Hal ini ditandai dalam
bentuk akut dengan tanda-tanda klasik dari kemerahan (rubor), panas (kalor),
pembengkakan (tumor), nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (functio laesa). 3
Secara histologi, melibatkan serangkaian peristiwa yang kompleks. Di
antaranya dilatasi arteriol, kapiler, dan venula, dengan peningkatan permeabilitas
dan aliran darah sehingga terjadi eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan
migrasi leukosit ke fokus inflamasi.4
Netrofil, makrofag, limfosit dan eosinofil adalah sel inflamasi yang terlibat
infiltrasi mukosa sinus pada RSK. Proses inflamasi menyebabkan proses fibrosis,
penebalan mukosa dan obstruksi dari kompleks ostiomeatal. Proses inflamasi
dapat menyebabkan metaplasia dari lapisan epitel sehingga respon silia untuk
pergerakan sekresi keluar dari sinus terganggu yang akhirnya makin menambah
proses inflamasi.1.4
Penilaian subyektif rinosinusitis didasarkan pada gejala: sumbatan hidung,
kemacetan atau tersumbat; cairan hidung atau tetesan postnasal, sering
mukopurulen; Nyeri wajah atau tekanan, sakit kepala, dan pengurangan /
hilangnya bau.
4
Selain gejala lokal ini, ada gejala yang jauh dan umum. Gejala yang jauh
adalah iritasi faring, laring dan trakea yang menyebabkan sakit tenggorokan,
disfonia dan batuk, sedangkan gejala umum termasuk mengantuk, malaise dan
demam. Variasi individual dari pola gejala umum ini banyak variannya.1.2.4
Gejala-gejala pada dasarnya sama pada akut (ARS) dan rinosinusitis
kronis dengan dan tanpa polip hidung, tetapi pola dan intensitas gejala dapat
bervariasi. Bentuk infeksi akut biasanya memiliki gejala yang berbeda dan sering
kali lebih berat.1.4
Rinosinusitis akut pada orang dewasa didefinisikan sebagai onset
mendadak dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa sumbatan hidung /
obstruksi / kongesti atau cairan hidung (nasal anterior / posterior): ± nyeri /
tekanan wajah, ± pengurangan atau kehilangan bau selama <12 minggu;
Ini mungkin didukung oleh endoskopi tanda-tanda keluarnya cairan
purulen dari meatus tengah, edema / mukosa obstruksi terutama di meatus tengah.
Imaging jarang dilakukan kecuali dalam kasus yang berat / rumit.1.4
II. PATOFISIOLOGI
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan
faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi RS digambarkan sebagai
lingkaran tertutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks
ostiomeatal (KOM). Secara skematik patofisiologi RS sebagai berikut: Inflamasi
mukosa hidung pembengkakan (udem) dan eksudasi obstruksi (blokade)
ostium sinus gangguan ventilasi dan drainase, resorpsi oksigen dalam rongga
sinus hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif)
permeabilitas kapiler meningkat transudasi, peningkatan eksudasi serous,
penurunan fungsi silia retensi sekresi di sinus atau pertumbuhan kuman.5
Sebagaian besar kasus RS disebabkan karena inflamasi akibat dari infeksi
virus dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal
menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus
penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A dan
respiratory syncytial virus (RSV). Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya
menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium
5
sinus sehingga sekresi sinus normal akan terjebak (sinus stasis). Pada keadaan ini
ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara
spontan atau efek dari obat-obatan yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan.
Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat
terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal.
Bakteri yang paling sering ditemukan pada RSA dewasa adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae sedangkan pada anak Moraxella
catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran nafas atas, umumnya
tidak menjadi patogen kecuali bila lingkungan di sekitarnya menjadi kondusif
untuk pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan respons
bakteri mengambil alih maka lingkungan sinus berubah menjadi lebih anaerobik.
Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman
anaerob, Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus. Perubahan
lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten
dan menurunkan efektifitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai
sinus.5
Pada pasien rinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan
memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan
mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper2 (Th-2) menjadi aktif dan
melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktifasi sel mastosit, sel B dan
eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan
melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan
obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya
pada infeksi virus. Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa
yang sehat. Inflamasi yang berlangsung lama (kronis) sering berakibat penebalan
mukosa disertai kerusakan silia sehingga ostium sinus semakin buntu. Mukosa
yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala
persisten dan mengarah pada rinosinusitis kronis. Bakteri yang sering dijumpai
pada RSK adalah Staphylococcus coagulase negative, Staphylococcus aureus,
6
anaerob (Bacteroides spp, Fusobacteria) dan bakteri yang sering dijumpai pada
RSA bakterial.5
III. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis yang biasa dipergunakan adalah kriteria diagnosis dari
Saphiro dan Rachelefsky Tahun 1992, Kennedy tahun 1993, Task Force on
Rhinosinusitis (TFR) 1996 dan European position paper on rhinosinusitis and
nasal polyps (EPOS) tahun 2012. Saphiro dan Rachelefsky tahun 1992,
mengemukakan beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis rhinosinusitis,
yaitu :6
Tabel 1. Diagnosis Klinis dari sinusitis 6
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.9
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. 9 Pada pemeriksaan CT-scan akan terlihat
bagaimana sel-sel ethmoid dan kompleks ostio-meatal tempat biasanya polip
tumbuh. CT scan perlu dilakukan bila ada polip unilateral, bila tidak membaik
dengan pengobatan konservatif selama 4-6 minggu, bila akan dilakukan operasi
BSEF dan bila ada kecurigaan komplikasi sinusitis.9
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. 9
10
Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan adalah tes alergi pada
pasien yang diduga atopi, biopsi bila ada kecurigaan keganasan dan kultur polip
nasi.9
IV. ANAMNESIS
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.10
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.10 Beberapa keluhan/gejala yang
11
dapat diperoleh melalui anamnesis. Menurut EPOS 2012, keluhan subyektif yang
dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal, keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari
obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah
hidung dan sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal, dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman, fluktuasi penciuman berhubungan dengan
rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura
olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial, lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan
rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat
digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini
berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang
dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami
penderita, namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain
dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan
RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure)1,4.10
V. PEMERIKSAAN FISIK
12
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya). 1
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip),
krusta, deviasi septum, tumor atau polip.11
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.11
Nasoendoskopi, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,15 Indikasi Nasoendoskopi
yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. 11 Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 %
dan spesifisitas 86 %.11
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan
reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak sejumlah
kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan
hubungan silang antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya
mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai preformed dan newly
generated mediator. Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya
reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi
kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit dan
16
mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih
lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam
dan berakhir setelah 24 jam (fase lambat).1 Terdapat 3 cara untuk melakukan uji
kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (skin prick test/SPT), dan uji gores
(scratch test).6 Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke
dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm.1,6 Dimulai
dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan
berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm.6 Teknik
uji kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT), namun tidak
direkomendasikan untuk alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi
anafilaksis.
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang akurat.
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup,
alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar
lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan.
Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan
superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji
tusuk. Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin,
efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit,
sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik dilakukan
setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT terhadap alergen makanan
lebih rendah dibanding alergen hirup. Dibanding uji intradermal, SPT memiliki
sensitivitas yang lebih rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki
korelasi yang lebih baik dengan gejala yang timbul
VI.4 Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): aliran puncak inspirasi
hidung, rinomanometri, rinometri akustik.
19
memasukkan pipa. Hasil bervariasi dalam beberapa menit, biasanya antara 15%
sampai 20%.12
BAB III
RINGKASAN
Berbagai tes diagnostik yang tersedia untuk memvalidasi gejala klinis dan
tanda-tanda rinosinusitis. Namun, untuk sebagian besar pasien, diagnosis dibuat
dalam perawatan primer berdasarkan gejala saja. Investigasi obyektif dapat
digunakkan untuk menguatkan serta menegakkan diagnosis, terutama endoskopi
dan MSCT yang dapat dinilai secara semi kuantitatif untuk membantu dalam
stratifikasi penyakit dan serta responnya terhadap terapi yang akan diberikkan. Tes
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS 2012:
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for
otorhinolaryngo-logists. Rhinology 2012; 50(1):1−12.
2. Candra EW, Madiadipoera T, Sumarman I, Ratunanda SS. Makrolid menurunkan IL-8
sekret hidung dan meningkatkan fungsi penghidu pada rinosinusitis kronik tanpa polip.
ORLI Vol. 43 No.1 ; 2013
3. Lund VJ. Impact of Chronic Rhinosinusitis on Quality of Life and Health care
Expenditure. In : Hamilos DL, Baroody FM editor. Chronic rhinosinusitis pathogenesis
and medical management. New York. Informa Healthcare. 2007. p: 15.
25