Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan istilah bagi suatu proses inflamasi yang


melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal. Rinitis dan sinusitis umumnya
terjadi bersamaan, (ARS) rinosinusitis akut dan (RSK) rinosinusitis kronik
dibedakna berdasarkan onset timbulnya tanda dan gejala sehingga terminologi
saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis. Inflamasi merupakan reaksi lokal
jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
dibanding respon imun didapat.1
Prevalensi RSK diperkirakan sekitar 146 dari 1000 penduduk melampaui
jumlah penyakit kronik lain pada pasien di bawah usia 45 tahun. 2 Rinosinusitis
kronis (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan
jangka waktu > 12 minggu yang ditandai oleh dua atau lebih gejala hidung
tersumbat atau sekret nasal (anterior atau posterior nasal drip). Keadaan ini
ditambah nyeri wajah spontan atau dengan penekanan, gangguan penghidu serta
temuan endoskopi berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus
medius dan atau edema mukosa primer pada meatus medius dan atau temuan
tomografi komputer atau CT scan berupa perubahan mukosa pada kompleks
ostiomeatal dan atau sinus paranasal.1.2
RSK umumnya dibedakan menjadi dengan dan tanpa polip. Pada sebagian
kasus rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip nasi mempunyai etiologi sama,
namun histologi dan respon terhadap terapi antar keduanya berbeda. RSK dengan
atau tanpa polip merupakan proses yang multifaktor diantaranya penyakit
inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang dibedakan antara alergi
dan non alergi tergantung dari ada tidaknya faktor atopi. Polip nasi ditemukan
pada pemeriksaan fisik pada sekitar 20% pasien RSK.1.2
Berbagai tes diagnostik tersedia untuk memvalidasi gejala klinis dan
tanda-tanda rinosinusitis. Namun, untuk sebagian besar pasien, diagnosis dibuat
dalam perawatan primer berdasarkan gejala saja. Investigasi obyektif ada untuk
2

menguatkan diagnosis, terutama endoskopi dan pemindaian CT yang dapat dinilai


secara semi kuantitatif untuk membantu dalam stratifikasi penyakit dan responnya
terhadap terapi. Tes tambahan dapat membantu dalam diagnosis diferensial faktor
etiologi dan predisposisi.1.2
Tujuan pada penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang Diagnosis RSK dengan dan tanpa polip sehingga dapat
memahami lebih seksama diagnosis yang dapat dilakukan pada praktik
keseharian.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Rinosinusitis kronik adalah sindroma klinis dengan gejala persisten
ditandai inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal. RSK yang terjadi
karena respon imun yang berlebihan atau karena agen asing, belum dapat
dibuktikan menyebabkan inflamasi pada mukosa yang persisten, menyebabkan
influks seluler, perubahan radiografi dan klinis.1.2
Rinosinusitis kronik adalah kondisi inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal. Diagnosis RSK ditegakkan bila gejala – gejala RSK
timbul dalam 12 minggu atau lebih meskipun telah mendapat terapi.3
Inflamasi adalah respon protektif yang terlokalisir yang disebabkan karena
cedera atau kerusakan jaringan, berfungsi menghancurkan, mencairkan, atau
membatasi baik agen berbahaya dan jaringan yang terluka. Hal ini ditandai dalam
bentuk akut dengan tanda-tanda klasik dari kemerahan (rubor), panas (kalor),
pembengkakan (tumor), nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (functio laesa). 3
Secara histologi, melibatkan serangkaian peristiwa yang kompleks. Di
antaranya dilatasi arteriol, kapiler, dan venula, dengan peningkatan permeabilitas
dan aliran darah sehingga terjadi eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan
migrasi leukosit ke fokus inflamasi.4
Netrofil, makrofag, limfosit dan eosinofil adalah sel inflamasi yang terlibat
infiltrasi mukosa sinus pada RSK. Proses inflamasi menyebabkan proses fibrosis,
penebalan mukosa dan obstruksi dari kompleks ostiomeatal. Proses inflamasi
dapat menyebabkan metaplasia dari lapisan epitel sehingga respon silia untuk
pergerakan sekresi keluar dari sinus terganggu yang akhirnya makin menambah
proses inflamasi.1.4
Penilaian subyektif rinosinusitis didasarkan pada gejala: sumbatan hidung,
kemacetan atau tersumbat; cairan hidung atau tetesan postnasal, sering
mukopurulen; Nyeri wajah atau tekanan, sakit kepala, dan pengurangan /
hilangnya bau.
4

Selain gejala lokal ini, ada gejala yang jauh dan umum. Gejala yang jauh
adalah iritasi faring, laring dan trakea yang menyebabkan sakit tenggorokan,
disfonia dan batuk, sedangkan gejala umum termasuk mengantuk, malaise dan
demam. Variasi individual dari pola gejala umum ini banyak variannya.1.2.4
Gejala-gejala pada dasarnya sama pada akut (ARS) dan rinosinusitis
kronis dengan dan tanpa polip hidung, tetapi pola dan intensitas gejala dapat
bervariasi. Bentuk infeksi akut biasanya memiliki gejala yang berbeda dan sering
kali lebih berat.1.4
Rinosinusitis akut pada orang dewasa didefinisikan sebagai onset
mendadak dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa sumbatan hidung /
obstruksi / kongesti atau cairan hidung (nasal anterior / posterior): ± nyeri /
tekanan wajah, ± pengurangan atau kehilangan bau selama <12 minggu;
Ini mungkin didukung oleh endoskopi tanda-tanda keluarnya cairan
purulen dari meatus tengah, edema / mukosa obstruksi terutama di meatus tengah.
Imaging jarang dilakukan kecuali dalam kasus yang berat / rumit.1.4

II. PATOFISIOLOGI
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan
faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi RS digambarkan sebagai
lingkaran tertutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks
ostiomeatal (KOM). Secara skematik patofisiologi RS sebagai berikut: Inflamasi
mukosa hidung  pembengkakan (udem) dan eksudasi  obstruksi (blokade)
ostium sinus  gangguan ventilasi dan drainase, resorpsi oksigen dalam rongga
sinus  hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif) 
permeabilitas kapiler meningkat  transudasi, peningkatan eksudasi serous,
penurunan fungsi silia  retensi sekresi di sinus atau pertumbuhan kuman.5
Sebagaian besar kasus RS disebabkan karena inflamasi akibat dari infeksi
virus dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal
menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus
penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A dan
respiratory syncytial virus (RSV). Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya
menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium
5

sinus sehingga sekresi sinus normal akan terjebak (sinus stasis). Pada keadaan ini
ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara
spontan atau efek dari obat-obatan yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan.
Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat
terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal.
Bakteri yang paling sering ditemukan pada RSA dewasa adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae sedangkan pada anak Moraxella
catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran nafas atas, umumnya
tidak menjadi patogen kecuali bila lingkungan di sekitarnya menjadi kondusif
untuk pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan respons
bakteri mengambil alih maka lingkungan sinus berubah menjadi lebih anaerobik.
Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman
anaerob, Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus. Perubahan
lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten
dan menurunkan efektifitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai
sinus.5
Pada pasien rinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan
memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan
mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper2 (Th-2) menjadi aktif dan
melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktifasi sel mastosit, sel B dan
eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan
melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan
obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya
pada infeksi virus. Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa
yang sehat. Inflamasi yang berlangsung lama (kronis) sering berakibat penebalan
mukosa disertai kerusakan silia sehingga ostium sinus semakin buntu. Mukosa
yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala
persisten dan mengarah pada rinosinusitis kronis. Bakteri yang sering dijumpai
pada RSK adalah Staphylococcus coagulase negative, Staphylococcus aureus,
6

anaerob (Bacteroides spp, Fusobacteria) dan bakteri yang sering dijumpai pada
RSA bakterial.5

III. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis yang biasa dipergunakan adalah kriteria diagnosis dari
Saphiro dan Rachelefsky Tahun 1992, Kennedy tahun 1993, Task Force on
Rhinosinusitis (TFR) 1996 dan European position paper on rhinosinusitis and
nasal polyps (EPOS) tahun 2012. Saphiro dan Rachelefsky tahun 1992,
mengemukakan beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis rhinosinusitis,
yaitu :6
Tabel 1. Diagnosis Klinis dari sinusitis 6

Gejala dan tanda Tes diagnostik


Kriteria mayor Kriteria mayor
Rinorea purulen Pada hasil x – foto waters ada gambaran air
Post nasal drip purulen fluid level atau penebalan mukosa yang
Batuk memenuhi ≥ 50 % antrum
Pada hasil CT scan potongan coronal : ada
gambaran penebalan atau opasifikasi dan
mukosa sinus
Kriteria minor Kriteria minor
Udem periorbita Hasil sitology nasal : ada gambaran netrofil
Nyeri kepala dan bakteriemia
Nyeri wajah
Nyeri gigi
Nyeri ke telinga
Tenggorokan terasa tidak nyaman
Nafas berbau
Demam
Kemungkinan sinusitis bila
Gejala dan tanda : 2 mayor , 1 minor , dan atau lebih dari 2 minor
Tes diagnostik : 1 mayor = diagnosis pasti , 1 minor mungkin rinosinusitis

Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit


Sinus, Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten yang tidak
dapat disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa, disertai adanya
hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada orang dewasa,
keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat
7

empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren, masing-masing berlangsung


minimal sepuluh hari, berkaitan dengan perubahan persisten pada CT-scan setelah
terapi selama empat minggu tanpa ada pengaruh infeksi akut.7
Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh
American Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS),
disebut rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas
minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan
minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel 2
menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan dengan diagnosis
rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor
disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik.
Bila hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu
menjadi diferensial diagnosa.7

Tabel 2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,


terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).7

Major factors Minor factors


Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive Headache
history for rhinosinusitis in absence of another major symptom) Fever
Facial congestion, fullness (all nonacute)
Nasal obstruction/blockage Halitosis
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Fatigue
Hyposmia/anosmia Dental pain
Purulence in nasal cavity on examination Cough
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does not Ear pain/pressure/
constitute a strongly supportive history for acute in the absence fullness
of another major nasal symptom or sign

Definisi rinosinusitis kronis ketika belum ada tindakan operasi sinus


sebelumnya rinosinusitis kronis dengan polip hidung (CRSwNP): bilateral,
endoskopi divisualisasikan di meatus tengah. Rhinosinusitis kronis tanpa polip
hidung (CRSsNP): tidak terlihat polip di meatus tengah, jika perlu setelah
dekongestan.8
Definisi ini menerima bahwa ada spektrum penyakit di CRS yang
mencakup perubahan polypoid di sinus dan / atau meatus tengah tetapi tidak
termasuk mereka dengan penyakit polipoid yang muncul di rongga hidung untuk
menghindari tumpang tindih.8
8

Kriteria diagnostik yang terbaru adalah berdasarkan EPOS 2012, dimana


rhinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada hidung dan sinus paranasal
dengan beberapa gejala dan tanda:

Tabel 3. Gejala dan tanda rhinosinusitis menurut EPOS 20128

Gejala utama Gejala tambahan Tanda


Hidung buntu ± nyeri wajah /  tanda dari endoskopi:
- Polip nasi dan atau
dan / atau rasa tertekan di
- Discaj mukopulen dari meatus
Pengeluaran wajah
nasi media dan atau
cairan/discaj ± berkurang atau - Udem/penyumbatan di meatus
dari hidung hilang nasi media dan atau
baik ke kemampuan  Perubahan gambaran CT

anterior atau ke menghidu Adanya perubahan mukosa di daerah

posterior osteomeatal kompleks dan atau di daerah


sinus.

Menurut EPOS 2012, diklasifikasikan sebagai RSK jika durasi gejala ≥


12 minggu, tanpa terjadi resolusi lengkap dan dapat menjadi eksaserbasi akut.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif (anamnesis), pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada
keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:9
1) Buntu hidung, kongesti atau sesak
2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid
anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan
sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering
ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.9
9

Rinosinusitis yang disertai polip biasanya terlihat pada pemeriksaan


rinoskopi anterior. Polip yang sangat besar dapat mendesak dinding rongga
hidung sehingga menyebabkan deformitas wajah (hidung mekar). Polip kecil yang
berada di celah meatus medius sering tidak terdeteksi pada rinoskopi anterior dan
baru terlihat pada nasoendoskopi.9

Gambar 1. Grade polip (Meltzer et al)

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.9
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. 9 Pada pemeriksaan CT-scan akan terlihat
bagaimana sel-sel ethmoid dan kompleks ostio-meatal tempat biasanya polip
tumbuh. CT scan perlu dilakukan bila ada polip unilateral, bila tidak membaik
dengan pengobatan konservatif selama 4-6 minggu, bila akan dilakukan operasi
BSEF dan bila ada kecurigaan komplikasi sinusitis.9
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. 9
10

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan


mengambil sekret dari meatus medius/ superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila. 9
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 9

Gambar 2. CT Scan pada polip nasi

Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan adalah tes alergi pada
pasien yang diduga atopi, biopsi bila ada kecurigaan keganasan dan kultur polip
nasi.9

IV. ANAMNESIS
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.10
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.10 Beberapa keluhan/gejala yang
11

dapat diperoleh melalui anamnesis. Menurut EPOS 2012, keluhan subyektif yang
dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal, keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari
obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah
hidung dan sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal, dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman, fluktuasi penciuman berhubungan dengan
rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura
olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial, lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan
rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat
digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini
berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang
dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami
penderita, namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain
dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan
RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure)1,4.10

Derajat rinosinusitis dapat ditentukan berdasarkan skor total visual


analogue scale (VAS) dengan menanyakan seberapa besar gangguan dari gejala
rinosinusitis pasien terhadap kegiatan sehari-hari yang diukur dengan skor 0 – 10.
Derajat rinosinusitis diinterpretasikan sebagai berikut:
 Ringan = VAS 0-3
 Sedang = VAS >3-7
 Berat = VAS >7-10
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kriteria diagnosis
rinosinusitis antara lain:1,11

V. PEMERIKSAAN FISIK
12

Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya). 1
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip),
krusta, deviasi septum, tumor atau polip.11
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.11
Nasoendoskopi, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,15 Indikasi Nasoendoskopi
yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. 11 Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 %
dan spesifisitas 86 %.11

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.12
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan
modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk
evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan
respon.1,11 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.1,11 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
13

Gambar 4. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat konka


bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.12

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain: 12


VI.1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
Umumnya sitologi belum terbukti alat yang berguna dalam diagnosis
rinosinusitis meskipun biopsi formal dapat diindikasikan untuk mengecualikan
kondisi yang lebih jahat dan parah seperti neoplasia dan vaskulitis. Teknik
termasuk lavage dengan 0,9% saline, microsuction, sikat hidung, skrap sekali
pakai dengan sebuah cupping end atau sampel mukosa kecil yang diambil dengan
tang Gerritsma. Ini sebagian besar digunakan untuk penelitian klinis. Namun,
korelasi telah ditunjukkan antara konten seluler yang diperoleh oleh lavage meatal
dan broncho-alveolar tengah pada pasien dengan CRS dan asma.12
Swab, aspirasi, lavages dan biopsi juga dapat digunakan untuk
mendapatkan sampel mikrobiologi. Beberapa studi mikrobiologi telah
menunjukkan korelasi yang wajar antara spesimen yang diambil dari meatus
tengah di bawah kontrol endoskopi dan bukti tusukan dari sinus maksilaris atau
swab dari ethmoid yang diambil per-operatif dengan kemungkinan konfirmasi
mikrobiologis dari kedua patogen dan responnya terhadap terapi. Sebuah meta-
analisis menunjukkan akurasi 87% dengan tingkat kepercayaan ujung bawah
81,3% untuk kultur meatus tengah yang diarahkan secara endoskopi bila
14

dibandingkan dengan ketukan sinus maksilaris pada infeksi sinus maksilaris


akut.12
Teknik yang lebih canggih ada untuk mendeteksi dan mengidentifikasi
bakteri termasuk imunohistokimia dan deteksi dan amplifikasi RNA mikroba dan
DNA. Fluorescent in situ hibridisasi (FISH) dan confocal microscopy digunakan
untuk menunjukkan bakteri dalam biofilm.12

VI.2. Tes alergi


VI.2.1 Pemeriksaan in vitro
VI.2.1.1 Hitung eosinofil total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila
dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil total
dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil
sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-
40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan,
dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%)
ditemukan pada migrasi larva. Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan
korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah
eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid
secara sistemik.

VI.2.1.2 Hitung eosinofil dalam sekret


Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan
indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan dapat
membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain. Meskipun demikian
tidak dapat menentukan alergen penyebab yang spesifik. Esinofilia nasal pada
anak apabila ditemukan eosinofil lebih dari 4% dalam apusan sekret hidung,
sedangkan pada remaja dan dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret
hidung juga dapat memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung
topikal. Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus dan
konjungtiva.
15

VI.2.1.3 Kadar serum IgE total


Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi.
Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma
memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi. Meskipun
rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien
non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan
non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total
didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada
penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).

VI.2.1.4 Kadar IgE spesifik


Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat
dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode
RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent
Assay), atau RAST enzim Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah
keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil
RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun
sensitivitas RAST lebih rendah.

VI.2.2 Pemeriksaan in vivo


VI.2.2.1 Uji kulit

Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan
reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak sejumlah
kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan
hubungan silang antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya
mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai preformed dan newly
generated mediator. Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya
reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi
kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit dan
16

mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih
lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam
dan berakhir setelah 24 jam (fase lambat).1 Terdapat 3 cara untuk melakukan uji
kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (skin prick test/SPT), dan uji gores
(scratch test).6 Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke
dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm.1,6 Dimulai
dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan
berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm.6 Teknik
uji kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT), namun tidak
direkomendasikan untuk alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi
anafilaksis.
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang akurat.
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup,
alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar
lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan.
Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan
superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji
tusuk. Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin,
efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit,
sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik dilakukan
setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT terhadap alergen makanan
lebih rendah dibanding alergen hirup. Dibanding uji intradermal, SPT memiliki
sensitivitas yang lebih rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki
korelasi yang lebih baik dengan gejala yang timbul

Adalah percobaan obyektif untuk membedakan kelompok pasien menurut


keparahan atau etiologi rinosinusitis telah dilakukan oleh provokasi dengan
17

histamin atau metakolin yang menguji hipereaktivitas mukosa. Tes dapat


membedakan sub populasi dengan signifikansi statistik, tetapi karena hasil yang
tumpang tindih, tes belum tercapai posisi yang setara dengan tes yang sesuai
dalam diagnosis asma.

VI. 3. Tes Fungsi Mukosiliar


VI. 3. 1 Kliren Mukosiliar
Penggunaan sakarin, pewarna atau partikel radioaktif untuk mengukur
waktu transit mukosiliar telah tersedia selama hampir tiga puluh tahun (1097-
1099). Hal ini memungkinkan seseorang untuk mengenali perubahan awal
homeostasis sinosinus. Meskipun ukuran kasar, ini memiliki keuntungan
mempertimbangkan seluruh sistem mukosiliar dan berguna jika normal (<35
menit). Namun, jika diperpanjang, itu tidak membedakan antara penyebab utama
atau sekunder dari disfungsi siliaris. Clearance Nasomucociliary juga telah
diukur menggunakan campuran serbuk arang nabati dan 3% sakarin
menunjukkan penundaan pada pasien dengan CRS dibandingkan normal,
turbinat inferior rendah dan deviasi septum.12

VI. 3. 2 Frekuensi Getar Siliar


Pengukuran spesifik aktivitas siliaris menggunakan mikroskop fase
kontras dengan sel fotometri. telah digunakan dalam sejumlah penelitian untuk
mengevaluasi keberhasilan terapeutik. Kisaran normal dari konka inferior lebih
dari 8Hz tetapi teknik ini tersedia di hanya beberapa pusat di mana mereka yang
dicurigai tardive ciliary primer dirujuk. Standar emas dari fungsi silia adalah
teknik kultur selama 6 minggu.12

VI. 3. 3 Mikroskop Elektron


Digunakan untuk mengkonfirmasi adanya faktor keturunan tertentu dari
silia seperti pada primary ciliary dyskinesia .12
18

Gambar 5. primary ciliary dyskinesia .12

VI. 3. 4 Nitrit Oksida


Metabolit ini ditemukan di saluran pernapasan atas dan bawah adalah
indikator sensitif dari adanya peradangan dan disfungsi siliaris, menjadi tinggi
dengan peradangan dan rendah dyskinesia ciliary. Ini membutuhkan sedikit
kerjasama cepat pasien dan mudah dilakukan menggunakan chemiluminescence,
tetapi ketersediaan peralatan pengukuran saat ini membatasi penggunaannya.
Mayoritas oksida nitrat dibuat dalam sinus (dada <20 ppb, hidung 400-900 ppb,
sinus 20 25 ppm) menggunakan penganalisis gas nitrat oksida LR 2000 Logan
Sinclair (nilai mungkin berbeda dengan mesin yang berbeda). Kurang dari 100
ppb dari atas dan <10 ppb dari saluran pernapasan bawah akan sangat
mencurigakan PCD. Namun, sementara tingkat yang sangat rendah di hidung
dapat menunjukkan silia primer dyskinesia, mungkin juga karena obstruksi sinus
yang signifikan misalnya poliposis hidung yang parah. Sebaliknya tingkat yang
meningkat menunjukkan peradangan hidung tetapi patensi ostiomeatal. Ini dapat
digunakan, sebagai ukuran hasil setelah terapi tetapi tingkat baseline variabel
membatasi nilainya dalam diagnosis dan manajemen ARS dan CRS selain untuk
mengecualikan defek yang diturunkan pada pembersihan mukosiliar.

VI.4 Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): aliran puncak inspirasi
hidung, rinomanometri, rinometri akustik.
19

VI.4.1 Aliran puncak inspirasi hidung


Tes yang praktis dan mudah ini adalah perkiraan aliran udara yang berguna
yang dapat dilakukan di rumah maupun di rumah sakit. Ini mengukur keduanya
bersama-sama dan memiliki peran langsung sedikit dalam penilaian rinosinusitis
kronis. Ini dapat digunakan untuk menilai pengurangan kotor dalam poliposis
hidung dan membandingkan dengan baik dengan rhinomanometri. Namun, aliran
inspirasi hidung puncak (PNIF) korelasi dengan gejala obstruksi nasal. Aliran
puncak ekspirasi lebih jarang digunakan karena lendir dikeluarkan ke dalam
masker dan teknik ini mungkin berhubungan dengan disfungsi tuba eustachi.12
Penggunaan PNIF relatif mudah, bisa diulang bila diperlukan, mudah
dibawa karena berukuran kecil dan mempunyai harga yang murah. Pasien perlu
diberikan penjelasan tentang pemakaian alat Peak nasal inspiratory flow meter
(PNIF). Alat ini digunakan dengan meletakan “face mask” menutupi hidung dan
mulut. Udara inspirasi di hembuskan melalui hidung dengan memastikan mulut
tertutup. Pengukuran skor sumbatan hidung secara objektif dapat dinilai
menggunakan alat ini, termasuk menilai gangguan sumbatan hidung pada
penderita rinosinusitis kronik. Alat ini juga di gunakan untuk mengetahui adanya
sumbatan hidung dengan memperkirakan volume aliran udara pada penderita.
Nilai PNIF akan menurun pada penyakit saluran nafas bawah seperti asma dan
penyakit paru obstruksi kronis.
Tabel.5. Nilai sumbatan hidung pada PNIF
Nilai Intepretasi
<50 l/min Obstruksi hidung berat
50-80 l/min Obstruksi hidung moderat/sedang
80-120 l/min Obstruksi hidung ringan
>120 l/min Tidak ada obstuksi
20

Gambar 6. Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF)

VI.4.2 Rinomanometri (anterior aktif dan posterior)


Rinomanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara nasal
dengan pengukuran kuantitatif pada aliran dan tekanan udara nasal. Tes ini
berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui suatu tabung hanya bila terdapat
perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk dari usaha respirasi
yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif terhadap atmosfir eksternal
dan menghasilkan aliran udara masuk dan keluar hidung.
Pada tahun 1984, the European Committee for Standardization of
Rhinomanometry menetapkan rumus aliran udara nasal: R = ΔP:V pada tekanan
150 P.
R = Tahanan terhadap aliran udara (Pa/cm/det)
P = Tekanan transnasal (Pa atau CmH2O)
V = Aliran udara (Lt/det atau CmH20)
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan memberikan perbandingan
hasil dan perbandingan rentang normal. Rinomanometri dapat dilakukan secara
aktif atau pasif dan dengan pendekatan anterior atau posterior. Rinomanometri
anterior aktif lebih sering digunakan dan lebih fisiologis. Tekanan dinilai pada
satu lubang hidung dengan satu kateter yang dihubungkan dengan pita perekat,
sementara aliran udara diukur melalui lubang hidung lain yang terbuka.
Rinomanometri relatif menghabiskan waktu dan hasil dapat bervariasi
sampai 20-25% dengan waktu yang dibutuhkan mencapai 15 menit.
Rinomanometri tidak bisa digunakan jika terjadi sumbatan hidung yang berat atau
terdapat perforasi septum
Pada rinomanometri posterior aktif, kateter dimasukkan melalui mulut
dengan bibir ditutup agar dapat mengukur tekanan faring. Aliran melalui kedua
rongga hidung diukur secara bersamaan. Digunakan sungkup hidung transparan
yang sama dengan rinomanometri anterior. Teknik ini kurang invasif dan
cenderung mendistorsi rongga hidung. Namun satu dari empat pasien tidak dapat
merelaksasi palatum mole dan sebagian pasien tidak memungkinkan untuk
21

memasukkan pipa. Hasil bervariasi dalam beberapa menit, biasanya antara 15%
sampai 20%.12

VI.4.3 Rhinometri Akustik


Rhinometri akustik memberikan nada suara yang dapat didengar (150-
10000 hz) yang dihasilkan oleh klik elektronik dan dibangkitkan oleh tabung
suara. Alat ini dimasukan ke hidung dan aliran udara hidung direfleksikan oleh
perubahan local pada akuistik impedansi. Bunyi yang direfleksikan ditangkap oleh
mikrofon, diteruskan ke komputer dan dianalisa. Terdapat berbagai ukuran
“nosepiece” untuk menghubungkan tabung suara ke hidung. Sangat perlu untuk
menyesuaikan “nosepiece” dengan lubang hidung tanpa menyebabkan deformitas.
Pemeriksaan diulang lima kali dan dihitung nilai rata- ratanya.12

VI.5 Tes fungsi olfaktori: threshold testing


Tes “Sniffin Sticks”. Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai
kemosensoris dari penghidu dengan alat yang berupa pena. Tes ini dipelopori
working group olfaction and gustation di Jerman dan pertama kali diperkenalkan
oleh Hummel29 dan kawan-kawan. Tes ini sudah digunakan pada lebih dari 100
penelitian yang telah dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek pribadi
dokter di Eropa.
Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi 4 ml
odoran dalam bentuk tampon dengan pelarutnya propylene glycol. Alat
pemeriksaan terdiri dari tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran dan
pena untuk tes identifikasi. Keseluruhan pena berjumlah 16 triplet (48 pena) untuk
ambang penghidu, 16 triplet (48 pena) untuk diskriminasi penghidu, dan 16 pena
untuk identifikasi penghidu, sehingga total berjumlah 112 pena Untuk identifikasi
penghidu (I), tes dilakukan dengan menggunakan 16 odoran yang berbeda, yaitu
jeruk, anis (adas manis), shoe leather (kulit sepatu), peppermint, pisang, lemon,
liquorice (akar manis), cloves (cengkeh), cinnamon (kayu manis), turpentine
(minyak tusam), bawang putih, kopi, apel, nanas, mawar dan ikan. Untuk satu
odoran yang betul diberi skor 1, jadi nilai skor untuk tes identifikasi penghidu
adalah 0-16. Interval antara pengujian minimal 20 detik untuk proses desensitisasi
22

dari nervus olfaktorius.29,30 Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang


digunakan skor TDI yaitu hasil dari ketiga jenis tes “Sniffin Sticks”, dengan
antara skor 1sampai 48, bila skor ≤15 dikategorikan anosmia, 16-29 dikategorikan
hiposmia, dan ≥30 dikategorikan normosmia. Tes ini menggambarkan tingkat dari
gangguan penghidu, tapi tidak menerangkan letak anatomi dari kelainan yang
terjadi.

VI.6 Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)


Dikenal sejak 1930, protein C-reaktif merupakan bagian dari protein
respons fase akut. Sifat utamanya adalah waktu paruh yang singkat(6-8 jam),
respons cepat (dalam 6 jam) dan level tinggi (x500 normal) setelah cedera. Ini
mengaktifkan pelengkap klasik jalur, menyebabkan opsonisasi bakteri. Studi
punya menunjukkan bahwa nilai CRP berguna dalam diagnosis bakteri infeksi.
Namun, di antara pasien yang dicurigai sebagai penyakit infeksi, kadar CRP
hingga 100 mg / l adalah kompatibel dengan semua jenis infeksi (bakteri, virus,
jamur, dan protozoa). Pengukuran CRP sekuensial akan memiliki nilai diagnostik
yang lebih besar daripada pengukuran tunggal dan perubahan nilai CRP sering
mencerminkan perjalanan klinis. Ketika digunakan dalam praktik umum nilai
diagnostik CRP ditemukan tinggi pada orang dewasa dengan pneumonia, sinusitis
dan tonsilitis. Pengukuran CRP adalah tes diagnostik yang penting tetapi
analisisnya tidak harus berdiri sendiri tetapi dievaluasi bersama dengan riwayat
pasien dan pemeriksaan klinis.
CRP paling andal digunakan untuk menyingkirkan infeksi bakteri: dua nilai
kurang dari 10 mg / l dan 8 12 jam terpisah dapat diambil untuk mengecualikan
infeksi bakteri dan sekarang tersedia dalam praktek umum di titik perawatan.12
23

BAB III
RINGKASAN

Berbagai tes diagnostik yang tersedia untuk memvalidasi gejala klinis dan
tanda-tanda rinosinusitis. Namun, untuk sebagian besar pasien, diagnosis dibuat
dalam perawatan primer berdasarkan gejala saja. Investigasi obyektif dapat
digunakkan untuk menguatkan serta menegakkan diagnosis, terutama endoskopi
dan MSCT yang dapat dinilai secara semi kuantitatif untuk membantu dalam
stratifikasi penyakit dan serta responnya terhadap terapi yang akan diberikkan. Tes
24

tambahan dapat membantu dalam diferensisl diagnosis, faktor etiologi dan


predisposisi tetapi beberapa tes tambahan tetap sebagai fasilitas penelitian tersier.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS 2012:
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for
otorhinolaryngo-logists. Rhinology 2012; 50(1):1−12.
2. Candra EW, Madiadipoera T, Sumarman I, Ratunanda SS. Makrolid menurunkan IL-8
sekret hidung dan meningkatkan fungsi penghidu pada rinosinusitis kronik tanpa polip.
ORLI Vol. 43 No.1 ; 2013
3. Lund VJ. Impact of Chronic Rhinosinusitis on Quality of Life and Health care
Expenditure. In : Hamilos DL, Baroody FM editor. Chronic rhinosinusitis pathogenesis
and medical management. New York. Informa Healthcare. 2007. p: 15.
25

4. Foley S, Hamid Q. Role of inflammatory T cells and eosinophils in chronic rhinosinusitis.


In : Chronic rhinosinusitis pathogenesis and medical management ; 2007. 79.
5. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2007;109-129.
6. Peter ARC. Classification of rhinosinusitis. In: Itzchack B editor. Sinusitis from
microbiology to management. New York. Taylor and France, LLC. 2006. 16
7. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.
8. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS 2012:
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A classification and
definition of rhinosinusitis. 2012; 5-8.
9. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS 2012:
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for
otorhinolaryngo-logists. Rhinology 2012; 50(1):1−12.
10. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody FM, eds.
Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa,
2007;1-12.
11. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS 2012:
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for
otorhinolaryngo-logists. Rhinology 2012; 50(1):1−12.
12. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS 2012:
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A classification and
definition of rhinosinusitis. 2012; 89-94.

Anda mungkin juga menyukai