Anda di halaman 1dari 6

Parese nervus fasialis pada kasus otitis media akut perforata

Dr. Dian Yusnita*, Dr. Pujo Widodo, Sp.THT-KL(K), Dr. Muyassaroh, Sp.THT-KL(K)
IKTHT-KL FK Undip/KSM KTHT-KL RSUP Dr. Kariadi Semarang

ABSTRAK
Latar belakang : Parese nervus fasialis merupakan salah satu komplikasi dari otitis
media akut (OMA), angka kejadian ± 0,005%. Parese nervus fasialis pada OMA terjadi
akibat peningkatan tekanan, osteitis, inflamasi akut, atau infeksi retrograde dalam
kanalis fasialis.
Tujuan : Melaporkan kasus parese nervus fasialis akibat OMA pada orang dewasa.
Kasus : Seorang laki-laki dengan keluhan nyeri telinga, keluar cairan telinga kiri
berwarna putih tidak berbau, disertai wajah perot ke sisi kanan, didahului dengan batuk
dan pilek. Pemeriksaan fisik didapatkan discaj mukoid, membran timpani perforasi
30%, letak sentral pada telinga sisi kiri, dan wajah perot ke kanan. Pemeriksaan fungsi
nervus fasialis didapatkan parese nervus fasialis perifer kiri House Brackman IV
setinggi segmen timpani. Pemeriksaan EMG didapatkan gambaran neuropati dominan
lesi aksonal pada nervus fasialis kiri. Parese nervus fasialis dapat melalui proses
perjalanan radang telinga tengah ke saluran fallopi serta buruknya perfusi vaskular,
terapi antibiotik yang tidak adekuat, pneumatisasi mastoid dan agresivitas kuman.
Simpulan : Parese nervus fasialis pada kasus OMA disebabkan proses inflamasi di
daerah sekitar sehingga terjadi peningkatan tekanan nervus fasialis.
Kata kunci : Parese nervus fasialis, OMA.

PENDAHULUAN
Parese nervus fasialis merupakan komplikasi tersering kedua yang terjadi pada
kasus otitis media akut (OMA), setelah mastoiditis, 1 dengan angka kejadian 0,005%.
Parese nervus fasialis pada OMA dapat terjadi karena peningkatan tekanan, osteitis,
inflamasi akut atau infeksi retrograde dalam kanalis fasialis. 2 OMA merupakan
peradangan di telinga tengah dengan onset cepat dengan penimbunan cairan infeksi
disertai tanda – tanda radang akut, yaitu nyeri, demam dan kurang pendengaran
kurang dari 2 minggu,3 dengan angka kejadian 5,8%.1 Harold dkk melaporkan kejadian
OMA pada usia dewasa sekitar 0,25%.4 OMA dapat disebabkan oleh bakteri gram
negatif seperti Escherichia coli, Klebsiella, spesies Enterobacter dan Pseudomonas
aeruginosa.5 Pseudomonas aeruginosa sering diderita oleh usia dewasa.6 Maksud dan
tujuan penulisan ini adalah mempelajari patogenesis parese nervus fasialis pada OMA.
LAPORAN KASUS
Laki-laki, 39 tahun mengeluh nyeri telinga kiri sejak 1 minggu yang lalu,
semakin lama semakin memberat disertai batuk pilek, 1 minggu kemudian keluar
cairan berwarna putih tidak berbau, 2 hari kemudian wajah perot ke sisi kanan, pasien
mengeluh kesulitan saat minum, mata sisi kiri pasien tidak dapat menutup sempurna.
Riwayat keluar cairan telinga sebelumnya disangkal. Pasien sebelum sakit seperti ini
sudah kurang dengar pada kedua telinga, pasien bekerja sebagai operator alat berat
selama 3,5 tahun.

Gambar 1. Pemeriksaan motorik

Pemeriksaan otoskopi pada kanalis auditorius eksterna terdapat discaj mukoid


pada telinga sisi kiri. Membran timpani sisi kiri tampak perforasi 30%, letak sentral, tepi
perforasi tipis, dan tidak tampak reflek cahaya. Pemeriksaan fungsi nervus fasialis
didapatkan parese nervus fasialis perifer kiri House Brackmann (HB) IV setinggi
segmen timpani (gambar 1). Hasil pemeriksaan audiometri pada telinga kanan
didapatkan kurang pendengaran tipe sensorineural derajat sedang berat, sedangkan
pada telinga kiri didapatkan kurang pendengaran tipe campuran derajat sangat berat
(gambar 2). Hasil EMG didapatkan gambaran neuropati dominan lesi aksonal pada
nervus fasialis kiri.

Gambar 2. Pemeriksaan audiometri

Pemeriksaan MSCT Scan Mastoid dengan kontras menunjukan mastoiditis kiri


(gambar 3). Dilakukan mastoidektomi dan dekompresi nervus fasialis setelah terapi
selama 19 hari tidak mengalami perbaikan. Hasil kultur dan sensitivitas yang diambil
ketika operasi didapatkan hasil Pseudomonas aeruginosa, sensitif terhadap
Meropenem, Amikasin, Gentamisin, dan Ciprofloxacin, Cefoperazone Sulbactam.
Resisten terhadap Ampicilin, Ampicilin Sulbactam, Piperacillin, Cefazolin, Ceftazidin,
Aztreonam, Tigecycline, Nitrofurantoin, Trimethoprim, dan Fosfomycin. Pemeriksaan
pewarnaan BTA negatif, pewarnaan kuman bentuk batang gram (-) positif, dan
pewarnaan jamur negatif. Pemeriksaan darah rutin didapatkan kesan lekositosis
(11.600), gula darah sewaktu dalam batas normal.

Gambar 3. MSCT Scan mastoid dengan kontras

Pasien diterapi dengan antibiotik (inj Ceftriaxon 1 gr/12 jam kemudian diganti
dengan inj Ciprofloxacin 400mg/12 jam, dan Ofloxacin tetes telinga 4 tetes/ 12 jam),
kortikosteroid (inj Metil Prednisolon 125 mg/12 jam) dan rehabilitasi medik. Perawatan
1 minggu pasca operasi didapatkan perbaikan parese nervus fasialis menjadi HB III.

DISKUSI
Diagnosis parese nervus fasialis kiri akibat OMA perforata berdasarkan gejala
yang ditemukan pada kasus ini sesuai dengan teori. Pada teori menyebutkan keluhan
pada pasien dengan OMA stadium perforata dapat diawali dengan riwayat batuk pilek,
nyeri telinga, keluar cairan telinga, dan didapatkan keluhan wajah perot ke sisi kanan,
kesulitan saat minum dan mata kiri tidak dapat menutup sempurna.3,7
Pemeriksaan fisik menurut teori didapatkan perforasi membran timpani, letak
sentral dengan tepi perforasi tipis dan didapatkan discaj mukoid. Pemeriksaan fungsi
nervus fasialis menurut teori didapatkan gangguan pada fungsi gustatori, motorik,
reflek stapes tidak dapat dilakukan, hal ini menunjukan terjadi gangguan fungsi nervus
fasialis setinggi segmen timpani, dari hasil pemeriksaan fungsi motorik pasien tidak
dapat menutup mata sempurna walaupun dengan usaha, hal ini menunjukan derajat
kerusakan nervus fasialis HB IV. Hasil pemeriksaan fungsi nervus fasialis didapatkan
lesi setinggi segmen timpani, sesuai dengan teori parese nervus fasialis pada OMA
terbanyak berada di segmen timpani.1
Kasus ini sesuai dengan teori dimana parese nervus fasialis merupakan
komplikasi tersering kedua pada OMA.1 OMA dapat berlanjut menjadi mastoiditis,
faktor penyebabnya antara lain: virulensi kuman, kerentanan tubuh penderita,
pneumatisasi mastoid dan kolesteatom. Kasus ini terjadi pada usia dewasa,
merupakan kasus yang jarang karena parese nervus fasialis pada OMA lebih banyak
terjadi pada usia anak-anak dibandingkan usia dewasa. 1,8 Kvestad dkk melaporkan
kejadian pasien dengan parese nervus fasialis perifer pada variasi otitis media
didapatkan 0-30%.6
Faktor penyebab parese nervus fasialis pada OMA antara lain perubahan
lingkungan telinga tengah seperti peningkatan tekanan, osteitis, inflamasi akut
sehingga mempengaruhi fisiologi nervus fasialis. Dapat pula dipengaruhi Infeksi
retrograde dalam kanalis fasialis atau infeksi retrograde pada kavum timpani yang
masuk melalui korda timpani, toksin bakteri, dehisensi tulang dan neurovaskular dapat
mempengaruhi fungsi nervus fasialis. Parese nervus fasialis dapat muncul karena
perjalanan radang telinga tengah ke saluran fallopi dan perfusi vaskular yang buruk
karena peradangan, komplikasi dapat timbul karena terapi antibiotik yang tidak adekuat
dan agresivitas dari agen infeksi.2 Nager dkk, menyatakan variasi anatomi nervus
fasialis, ditemukan 55% kanalis fallopi dehiscence, sehingga kita perlu berpikir tentang
mekanisme patofisiologi lainnya, karena parese nervus fasialis perifer pada OMA
sangat jarang terjadi.2 Teori lain menunjukan bahwa infeksi menyebabkan tekanan
pada pembuluh darah yang mendarahi nervus fasialis dan menyebabkan iskemia lokal
dan infark saraf sehingga menimbulkan parese. 1 Proses peradangan pada telinga
tengah akan mudah menyebar pada air cells mastoid dan area di sekitarnya melalui
pneumatisasi, peradangan dimulai dari mukosa yang melapisi air cells /pneumatisasi
yang kemudian mengalami peradangan dan proses eksudat. Eksudat purulen dapat
menekan nervus fasialis sehingga menimbulkan parese nervus fasialis.9,10
Hasil kultur sensitivitas pada kasus ini didapatkan bakteri Pseudomonas
aeruginosa, sensitif terhadap Meropenem, Amikasin, Gentamisin, dan Ciprofloxacin,
Cefoperazone Sulbactam. Resisten terhadap Ampicilin, Ampicilin sulbactam,
Piperacillin, Cefazolin, Ceftazidin, Aztreonam, Tigecycline, Nitrofurantoin, Trimethoprim,
Fosfomycin. Hal ini sesuai dengan teori, dimana salah satu bakteri penyebab OMA
adalah Pseudomonas aureginosa,5 Pseudomonas aureginosa sering mengalami
resisten terhadap antibiotik, seperti yang diungkapkan oleh Palavutittotai dkk yang
melaporkan bahwa dari 255 pasien dengan infeksi Pseudomonas aureginosa,
didapatkan 56 (22%) tergolong extensively drug resistant Pseudomonas aureginosa
(XDR-PA). Pseudomonas aureginosa memproduksi alginat yang membentuk biofilm
membuat bakteri ini resisten terhadap antibiotik sehingga bakteri ini sulit untuk
diobati.11 Infeksi Pseudomonas dapat melalui tiga tahapan yaitu: (1). Penempelan
bakteri pada sel dan pembentukan kolonisasi, (2). Invasi ke dalam jaringan lokal dan
(3). Diseminasi dan menjadi penyakit sistemik. Perjalanan infeksi tersebut dapat
berhenti atau lanjut, tergantung pada mekanisme pertahanan inang dan faktor virulensi
kuman. Pseudomonas juga menghasilkan enzim-enzim protease, yaitu elastase dan
alkaline protease. Kedua enzim tersebut dapat merusak struktur epitel dan perusakan
vaskuler. Protease juga diyakini memfasilitasi ketersediaan nutrien bagi kuman dengan
perusakan jaringan sekitar tempat infeksi, sekaligus sebagai sarana invasi kuman
kejaringan disekitarnya.12
Pemeriksaan EMG dapat membantu memperkirakan prognosis dari fungsi
1
saraf. Hasil pemeriksaan EMG pada kasus ini didapatkan gambaran neuropati
dominan lesi aksonal nervus fasialis kiri, menimbulkan degenerasi lengkap,
pemulihannya bersifat parsial. Derajat kerusakan nervus fasialis yang sering terjadi
pada kasus telinga adalah neuropraksia.4
Kasus ini didapatkan gambaran pneumatisasi mastoid baik dan di temukan
bakteri Pseudomonas aureginosa, dua hal ini dapat menyebabkan proses inflamasi
didaerah cavum timpani yang dapat meningkatkan kerusakan pada nervus fasialis.

SIMPULAN
Parese nervus fasialis adalah salah satu komplikasi OMA yang jarang terjadi
pada usia dewasa. Parese nervus fasialis dapat disebabkan karena proses inflamasi di
daerah sekitar sehingga terjadi peningkatan tekanan nervus fasialis, terapi antibiotik
yang tidak adekuat dan agresivitas bakteri dapat menimbulkan keparahan dari
kerusakan nervus fasialis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Art HA, Adams ME. Intratemporal and intracranial complications of otitis media. In :
Bailey's Head & Neck Surgery Otolaryngology. Fifth ed. Volume two. Pittsburgh
Pennsylvania: Lippincott Williams & Wilkins; 2014; p.2399-409
2. Prasad Srirangga, Vishwas K V, Pedaprohu Swetha, Kavyashree R. Facial nerve
paralysis in acute suppurative otitis media management.Indian J otolaryngol head
neck surgery. India; 2017
3. Balfas A Helmi. Pengobatan penyakit telinga dan jaringan lunak di sekitarnya.
Jakarta : EGC; 2018; p.46 – 63
4. Heah Harold, Soon SR, Yuen Heng-Wai. A case series of complicated infective
otitis media requiring surgery in adults. Singapore med Jotolaryngology.
Singapore: 2016
5. Kerschner JE, Post JC. Otitis media and middle ear efusions. In : Ballenger’s
otorhinolaryngology17 head and neck surgery. India : PMPH; 2009; p.209-16
6. Gantz Bruce, Mowry Sarah. Infections of the temporal bone. In : K.J.Lee’s
essential otolaryngology head and neck surgery. Tenth ed. United States : Mc
Graw Hill; 2012;p.300-37
7. Lin W Jerry, Vrabec T Jeffrey. Acute paralysis of the facial nerve. In : Bailey's Head
& Neck Surgery Otolaryngology. Fifth ed. Volume two. Pittsburgh Pennsylvania:
Lippincott Williams & Wilkins; 2014; p.2503-19
8. Balfas A Helmi. Otitis media supuratif kronis. Jakarta : EGC; 2005; p55-72
9. Parker, Jennifer L. Acute Mastoiditis. 1994, in
http://www.bcm.edu/oto/grand/2494.html.
10. Wald, Ellen R. Acute mastoiditis. In : Principle and practice of pediatrics infectious
disease. Edisi 2. Philadelphia : Elsevier science; 2002.
11. Palavutitotai Nattawan, Jitmuang Anupop, Tongsai Sasima, Kiratisin Pattarachai,
Angkasekwinai Nasikarn. Epidemiology and risk factors of extensively drug-
resistant Pseudomonas aeruginosa infections. Plos one 13(2). United States; 2018
12. Blondell-Hill E, Henry DH, Speert DP. Pseudomonas. In : Manual of clinical
microbiology. Edisi 9. Volume 1. Washington DC: ASM Press; 2007; p734 – 48.

Anda mungkin juga menyukai