Anda di halaman 1dari 13

Referat

KOMPLIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS


PADA TELINGA TENGAH DAN TELINGA DALAM

Oleh:

Juliarsen, S.Ked
NIM : 1708435989

Pembimbing :
dr. Asmawati Adnan, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
DAN BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2018

Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis


Pada Telinga Tengah dan Telinga Dalam
Otitis media adalah inflamasi pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Jika prosesnya
terjadi lebih dari 12 minggu maka disebut kronik. Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK) ditegakkan karena terdapat proses infeksi kronik di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah
terus menerus atau hilang timbul. Batasan waktu menurut kebanyakan ahli THT

0
adalah 2 bulan, namun batasan menurut WHO adalah 12 minggu untuk penegakan
diagnosis OMSK. 1
Jenis bakteri yang paling banyak diisolasi pada OMSK adalah P.
Aeruginosa, S. Aureus, Corynebacterium, dan Klebsiella pneumoniae. Organisme
anaerobik seperti Peptostreptococcus, Fusobacterium species, Propionibacterium
acnes, dan Bacterioides species, juga umum diisolasi. Lain halnya dengan yang
ditemukan pada OMA, dimana organisme anaerob hanya memainkan peranan
kecil dalam patogenesisnya. 1,2
Tipe benigna adalah tipe tubotimpanik karena biasanya didahului dengan
gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani, disebut juga
tipe mukosa karena proses peradangan biasanya hanya di mukosa telinga tengah.
Tipe maligna adalah tipe atiko-antral karena biasanya proses dimulai di daerah
tersebut, disebut juga tipe tulang karena penyakit ini menyebabkan erosi tulang.
OMSK tipe aktif adalah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani
secara aktif, sedangkan tipe tenang adalah yang keadaan kavum timpaninya
terlihat basah atau kering.1
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan
kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan
patologik yang menyebabkan otore. Pemberian antibiotika telah menurunkan
insiden komplikasi. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang
efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. Biasanya komplikasi
didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau
suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun
dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering
terlihat pada eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom.1,3
Pada anak-anak sering terjadi OMSK dengan komplikasi. Komplikasi
terbanyak berupa mastoiditis yang sudah dikonfirmasi dengan pemeriksaan
rontgen Schuller dan Stenver (32%). Komplikasi berikutnya adalah kolesteatom
juga sesuai dengan hasil penelitian Tiedt dkk. bahwa angka kejadian OMSK tipe
benigna didapatkan lebih banyak daripada maligna.2
Adam dkk mengemukakan klasifikasi sebagai berikut :

1
A. Komplikasi ditelinga tengah : B. Komplikasi telinga dalam
1. Perforasi persisten 1. Fistel labirin
2. Erosi tulang pendengaran 2. Labirinitis supuratif
3. Paralisis nervus fasial 3. Tuli saraf ( sensorineural).

C. Komplikasi ekstradural
1. Abses ekstradural 3. Petrositis
2. Trombosis sinus lateralis

Paparella dan Shumrick (1980) membagi dalam :


A. Komplikasi otologik
1. Mastoiditis koalesen 3. Paresis fasialis
2. Petrositis 4. Labirinitis
B. Komplikasi Intrakranial
1. Abses ekstradural 4. Meningitis
2. Trombosis sinus lateralis 5. Abses otak
3. Abses subdural 6. Hidrosefalus otitis.

Shambough membagi atas komplikasi meningeal dan non meningeal :


A. Komplikasi meningeal
1. Abses ekstradural dan abses 3. Trombofle bitis sinus lateral
perisinus 4. Hidrosefalus otitis
2. Meningitis 5. Otore likuor serebrospinal

B. Komplikasi non meningeal :


1. Abses otak. 3. Petrositis.
2. Labirinitis. 4. Paresis fasial.
Cara penyebaran infeksi :
1. Penyebaran Hematogen
2. Penyebaran melalui erosi tulang
3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada.1

2
Pada OMSK benigna diusahakan epitelisasi tepi perforasi melalui tindakan
poliklinik dengan melukai pinggir perforasi secara tajam atau dengan
mengoleskan zat kaustik seperti nitras argenti 25%, asam trichlor asetat 12%,
alkohol absolut, dll. Antibiotik yang diberikan harus adekuat dan sesuai dengan
indikasinya. Hasil uji kepekaan kuman yang dapat diisolasi dari sekret telinga
pasien OMSK menurut sensitivitasnya: Ciprofloxacin 48,50%, Fosfomycin
30,30%, Moxifloxacin 30,30%, Dibekacin 28,79% dan Gentamycin 25,76%. Obat
tetes antibiotik dapat dipakai sebagai lini pertama dan obat tunggal.
Keuntungannya adalah memberi dosis adekuat, tetapi penggunaannya dapat
ototoksik bila masuk ke telinga dalam, karena itu tidak dianjurkan pemakaian
lebih dari dua minggu. Obat tetes telinga jenis ofloxacin terbukti aman, tidak
toksik terhadap labirin, efektif sebagai obat tunggal, sehingga direkomendasikan
sebagai obat lini pertama untuk dewasa dan anak-anak, namun obat tetes telinga
tidak dipakai sebagai profilaksis. Bila terdapat tuli konduktif dan bila perforasi
menetap maka idealnya dilakukan timpanoplasti dengan atau tanpa
mastoidektomi. Prinsip terapinya adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi,
dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa
hanyalah bersifat sementara dan diberikan sebelum dilakukan pembedahan.4
Pada OMSK tipe Maligna pengobatan yang harus dilakukan adalah
dengan operasi untuk eradikasi kolesteatoma. Teknik operasi yang dipilih
tergantung luas kerusakan dan pilihan ahli bedah. Tindakan atikotomi anterior
dipilih apabila kolesteatoma masih sangat terbatas di atik. Tindakan lain yang
dapat dipilih sebagai teknik eradikasi kolesteatoma, biasanya diikuti dengan
rekonstruksi fungsi pendengaran pada saat yang sama, misalnya canal wall down
tympanoplasty atau canal wall up tympanoplasty atau atikoplasti atau open and
close method tympanoplasty dan sebagainya.4
Pasien OMSK dengan kompliksi intratemporal harus segera dirawat inap
dan diberikan antibiotika dosis tinggi secara intravena. Perlu diperiksa sekret
telinga untuk pemeriksaan mikrobiologi dan selanjutnya dipersiapkan untuk
operasi mastoidektomi sebagai drainase materi purulen disertai dekompresi nervus
fasialis atau petrosektomi, sesuai komplikasi yang ada. Pasien OMSK yang
mempunyai komplikasi dengan tanda-tanda meluas ke intracranial harus segera

3
dirawat dan dirujuk ke dokter spesialis saraf atau saraf anak dan bedah saraf Serta
memberik antibiotik dosis tinggi yang dapat menembuh sawar darah otak.4
I. Komplikasi Pada Telinga Tengah :
Tuli konduktif merupakan komplikasi yang sering timbul pada telinga
tengah. Membran timpani dapat utuh tetapi tulang pendengaran telah terputus dan
menyebabkan tuli konduktif berat.
1. Perforasi Persisten
Perforasi gendang telinga cenderung sembuh sendiri. Gendang telinga
yang telah dilubangi berkali-kali sering tetap utuh. Kadang-kadang, perforasi
sembuh dengan membran tipis yang hanya terdiri dari lapisan epitel mukosa dan
skuamosa tanpa lapisan tengah berserat. Neomembran seperti itu mungkin sangat
tipis sehingga bisa disalahartikan sebagai perforasi, bukan perforasi yang
disembuhkan. Neomembran dapat tertarik ke dalam telinga tengah, kadang-
kadang membuatnya lebih sulit untuk dibedakan dari perforasi yang sebenarnya.
Pemeriksaan di bawah mikroskop operasi mengatasi ambiguitas. Retraksi yang
dalam, terutama di kuadran superior posterior membran timpani, dapat
menunjukkan pembentukan kolesteatoma.5
Adanya perforasi membuat telinga lebih rentan terhadap infeksi jika air
memasuki saluran telinga. Adanya perforasi merupakan kontraindikasi absolut
terhadap irigasi untuk pengangkatan serumen. Faktor-faktor yang menyebabkan
perforasi membran timpani menetap pada OMSK diantaranya adalah infeksi yang
menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret telinga
purulen berlanjut. Obstruksi tuba eustachius yang berlanjut mengurangi
penutupan spontan pada perforasi. Beberapa perforasi yang besar mengalami
penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel. Pada pinggir perforasi dari
epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat diatas sisi medial dari
membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan dari perforasi.5
Pada proses penutupannya dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa
masuk ke telinga tengah, kemudian terjadi proses deskuamasi normal yang akan
mengisi telinga tengah dan antrum mastoid, selanjutnya membentuk kolesteatoma
akuisita sekunder. Kolesteatoma merupakan media yang cukup sesuai bagi
pertumbuhan kuman patogen dan bakteri pembusuk. Pada proses penutupan

4
membran timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofik dua lapis
tanpa unsur jaringan ikat, dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada
periode infeksi aktif.5
2. Erosi Tulang Pendengaran
Kelainan patologi yang dapat ditemukan pada otitis media dan mastoiditis
kronik adalah kolesteatoma, yaitu epitel skuamosa yang mengalami keratinisasi
yang terperangkap dalam rongga telinga tengah dan mastoid. Kolesteatoma
terbentuk sekunder dari invasi sel-sel epitel liang telinga melalui attic dalam
mastoid. Epitel akan membesar perlahan, seolah-olah terperangkap dalam suatu
botol berleher sempit. Pelepasan enzim dan produk degradasi, serta adanya
tekanan menyebabkan erosi tulang di dekatnya. Kolesteatoma akan membesar dan
kemudian dapat terinfeksi atau menimbulkan gangguan pendengaran, dengan
akibat hilangnya tulang mastoid, osikula, dan pembungkus tulang saraf fasialis.
Perubahan patologi lain yang tampak pada otitis media kronik adalah jaringan
granulasi, yang dapat pula menyebabkan destruksi tulang dan perubahan-
perubahan hebat dalam telinga tengah dan mastoid. Kelainan ini selalu diatasi
dengan pembedahan dan memerlukan mastoidektomi.6,7
3. Paresis nervus fasialis
Nervus fasialis dapat terkena penyebaran infeksi langsung ke kanalis
fasialis. Kerusakan terjadi karena erosi tulang oleh kolesteatom atau jaringan
granulasi pada otitis media kronis sehingga infeksi dapat masuk kedalam kanalis
fasialis. Komplek yang dierosi dan diinvasi kolesteatom adalah rantai tulang
pendengaran, antrum mastoid, resesus pada telinga, sinus timpanikus, kanalis
semisirkularis, nervus fasialis dan duramater. Kolesteatom di apek petrosa dapat
menyebabkan paralisis nervus fasialis akut progresif yang disertai penurunan
pendengaran sensorineural progresif karena destruksi otic kapsul atau kompresi n.
Cochlearis, ekspansi ke kavum timpani dan tuba menyebabkan penurunan
pendengaran konduksi.1,8
Gejala klinis yang timbul berupa adanya infeksi yang aktif pada telinga
tengah yang ditandai dengan keluarnya pus mukopurulen dan bisa ditemukan
kolesteatom. Tanda akut infeksi yang menyebar ke nervus fasialis adalah adanya
pembengkakan di depan aurikular yang kemudian diikuti dengan tanda kelemahan

5
otot-otot yang dipersyarafi nervus fasialis. Kelemahan nervus dapat diamati dari
cabang nervus facialis yang mempersarafi otot wajah di ramus temporalis,
zigomaticus, buccal, mandibula dan cervicalis. Derajat keparahan dinilai
berdasarkan fungsi motorik dan tonus dari otot sehingga akan menentukan
reversibilitas kelumpuhan tersebut. Penilaian dilakukan dengan cara mengerutkan
dahi, memejamkan mata, mengangkat dan mengerutkan hidung, bersiul, tertawa
lebar dan meringis.1,8
Penilaian terhadap masing-masing cabang syaraf dinilai dengan indeks
portman. Jika didapatkan hasil >60% maka prognosisnya baik. Klasifikasi parese
nervus fasialis dibagi menjadi 6 grade yang dikenal dengan House-Brackmann.
Grade I didapatkan fungsi otot normal dan seluruh area wajah simetris. Grade II
didapatkan disfungsi ringan dan kelemahan sedikit pada inspeksi dekat, saat
istirahat wajah tetap terlihat selaras tetapi gerakan mulut tampak asimetris. Grade
III adalah disfungsi sedang, pada pemeriksaan terlihat parese tetapi tidak tampak
perbedaan antara kedua sisi, adanya sinkinesis dan dapat ditemukan spasme atau
kontraktur hemifasial. Grade IV adalah disfungsi sedang berat, pada pemeriksaan
tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri. Grade V adalah
disfungsi berat, pada pemeriksaan tampak wajah asimetris dan pergerakan wajah
tidak ada atau sulit dinilai. Grade VI adalah total parese sehingga pada
pemeriksaan tidak ditemukan adanya pergerakan.1,8
Pada OMSK harus segera dilakukan dekompresi dengan drainase tanpa
menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik. Penatalaksanaan yang diberikan berupa
pemberian antibiotik dosis tinggi, menghilangkan tekanan di dalam kavum
timpani dengan drainase. Penatalaksanaan OMSK dengan paralisis nervus fasialis
dilakukan dengan operasi mastoidektomi dan eksplorasi kanalis fasialis
dibutuhkan untuk eradikasi bakteri, drainase dan dekompresi nervus fasialis serta
memberikan antibiotik yang sesuai dengan kultur dan sensitifitas kuman.1,8,9
II. Komplikasi Pada Telinga Dalam
Terjadinya peningkatan tekanan telinga tengah karena infeksi
memungkinkan infeksi untuk menyebar ke telinga dalam melalui fenestra
rotundum. Keluhan akan timbul jika kerusakan telah sampai ke koklea. Dengan
pertimbangan adanya penyebaran infeksi pada otitis media, maka tindakan

6
mirngotomi diindikasikan segera setelah tidak ada perbaikan dalam 48 jam
dengan medikamentosa. Proses yang terjadi pada telinga dalam juga dapat berupa
destruksi oleh infeksi langsung labirin atau kolesteatoma sehingga akan
menimbulkan gejala gangguan keseimbangan dan pendengaran seperti vertigo,
mual, muntah dan tuli saraf.1,3,10
1. Fistula Labirin dan Labirinitis
Fistula labirin adalah suatu erosi tulang dari kapsul labirin sehingga
terekspos tetapi tidak sampai menembus endosteum dari labirin. Kerusakan yang
disebabkan OMSK terutama dengan kolesteatoma adalah kerusakan bagian
vestibuler labirin yang membentuk fistula. Fistula terbentuk karena terjadi
destruksi labirin vestibulum. Fistula menyebabkan infeksi akan mudah masuk ke
telinga dalam dan terjadi labirinitis yang kemudian mengakibatkan tuli total atau
meningitis. Keluhan vertigo merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat
erosi dinding labirin oleh kolesteatoma. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang
akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. 7,11
Diagnosa fistula ditegakkan dengan tes fistula. Tes fistula dilakukan
dengan memberikan tekanan positif atau negatif ke liang telinga melalui otoskop
dengan corong telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips yang
dimasukkan kedalam liang telinga. Tes fistula juga dapat dilakukan dengan
menutup tragus telinga yang sakit atau dengan memberikan udara lewat pompa
dengan otoskop. Kompresi dan ekspansi labirin membran akan terjadi pada fistula
yang masih paten. Jika pasien menunjukkan nistagmus atau vertigo maka tes
fistula positif. Jika fistula sudah tertutup jaringan granulasi atau labirin sudah mati
(paresis kanal) maka tes fistula dikatakan negatif. Pemeriksaan tambahan untuk
melihat fistula labirin adalah CT scan yang biasanya terlihat di kanalis
semisirkularis horizontal.1,12
Penatalaksaan pada fistula labirin atau labirinitis adalah operasi. Operasi
dilakukan utuk menutup fistula dan menghilangkan infeksi sehingga fungsi
telinga dalam dapat pulih. Tindakan operasi yang terbanyak yang dilakukan pada
OMSK dengan fistula labirin adalah canal wall down mastoidectomy dengan

7
tympanoplasty tipe 5. Canal wall down mastoidectomi adalah suatu tindakan
untuk meruntuhkan dinding liang telinga posterior sehingga terdapat satu rongga
yang besar antara kavum mastoid, kavum tipani dan liang telinga. Tindakan
pengangkatan matriks kolesteatoma dan jaringan granulasi dari fistula dilakukan
sampai bersih kemudian fistula segera ditutup dengan jaringan ikat atau sekeping
tulang rawan.11,12
2. Labirinitis Supuratif
Labirinitis dibagi menjadi labirinitis umum (general) dan labirinitis
terbatas (sirkumskripta). Labirinitis umum mengenai seluruh bagian labirin dan
menimbulkan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat. Labirinitis terbatas
menyebabkan vertigo dan tuli saraf saja. Labirinitis terjadi karena penyebaran ke
ruang perilimfe. Bentuk serosa pada labirinitis berupa serosa difus dan
sirkumskripta. Toksin pada labirinitis serosa menyebabkan disfungsi labirin tanpa
invasi sel radang. Bentuk supuratif pada labirinitis berupa supuratif akut difus dan
labirinitis supuratif kronis difus. Sel radang pada labirinitis supuratif
menyebabkan kerusakan yang ireversibel seperti fibrosis dan osifikasi.3,12
Penatalaksanaan pada kedua bentuk labirinitis adalah tindakan operasi.
Prinsip terapi labirinitis adalah untuk mencegah progesifitas penyakit dan
kerusakan vestibulokoklea yang lebih lanjut dan penyembuhan penyakit yang
mendasarinya. Operasi dilakukan untuk menghilangkan infeksi dan dilakukan
drainase pus dari labirin untuk mencegah meningitis. Pada pengobatan umumnya,
diberikan antibiotik yang adekuat baik untuk OMSK dengan ataupun tanpa
Kolesteatoma. Pengawasan ketat dilakukan untuk mencegah perluasan ke
intrakranial. 3,12,13
Komplikasi yang dihasilkan dari intervensi bedah adalah unik untuk setiap
operasi. Mereka termasuk kehilangan darah, herniasi otak, cedera saraf wajah,
kehilangan pendengaran, dan emboli udara. Komplikasi khusus untuk
mastoidektomi termasuk gangguan pendengaran, vertigo, tinitus, cedera saraf
wajah, sensasi rasa yang berubah, dan kemungkinan kebutuhan untuk operasi
lebih lanjut.9
Sebuah studi oleh Choi et al menemukan bahwa pada pasien dengan otitis
media kronis yang menjalani tympanomastoidectomy, insiden dehiscence saraf

8
wajah dan cedera tulang pendengaran lebih besar pada pasien dengan
kolesteatoma (masing-masing 64,1% dan 78,1%) dibandingkan pada mereka yang
tidak memiliki (27,7% dan 35,1%, masing-masing). Penelitian ini melibatkan 212
pasien, 30,2% di antaranya memiliki kolesteatoma.9,10
3. Gangguan pendengaran dan Tuli Saraf (Sensorineural)
Gangguan pendengaran pada OMSK paling banyak didapat jenis konduksi
baik pada OMSK dengan kolesteatoma maupun tanpa kolesteatoma. Tuli
konduksi adalah bentuk yang paling sering dijumpai dengan perforasi membran
timpani sebagai patogenesis dasar yang akan mengganggu proses konduksi
gelombang suara. Bentuk gangguan pendengaran yang lain merupakan hasil
interaksi dari OMSK, durasi otore, dan usia yang akan berujung pada keterlibatan
telinga dalam. Gangguan pendengaran dapat terjadi ringan jika kolesteatoma
berada di epitimpani. Secara deskriptif didapatkan derajat gangguan dengar
OMSK dengan kolesteatoma lebih berat dibandingkan tanpa kolesteatoma.14
Proses kejadian gangguan pendengaran pada OMSK diawali dengan
kegagalan tuli konduksi, kemudian diikuti terlibatnya komponen sensorineural.
Foramen rotundum merupakan membrana semipermeabel, dimana zat- zat tertentu
dapat melewatinya. Pada keadaan infeksi akut, terjadi peningkatan permeabilitas
pada membrana foramen rotundum, sehingga zat-zat tersebut diatas termasuk
mikrotoksin hasil peradangan akan lebih mudah melewatinya dan masuk ke
telinga dalam menyebabkan perubahan biokimia cairan perilimfe yang diteruskan
ke kortilimfe dan akhirnya mampu merusak organon korti. Hal ini mengakibatkan
terjadinya sensorineural hearing loss (SNHL). Efek toksin lokal mampu
mempercepat proses atrofi koklea, dimana perubahan ini dapat menyebabkan
kekakuan dan kerapuhan ligamen spiralis atau membrana basilaris, sehingga
koklea mengalami perubahan dalam merespon suara. Selain variasi anatomi dan
patologi yang memiliki peran terhadap foramen rotundum sebagai jalan masuk ke
telinga dalam, terdapat beberapa faktor lain yang ikut menyebabkan terjadinya
kerusakan pada telinga dalam antara lain gangguan sirkulasi dan adanya
hipoksia.15
Proses peradangan kronik menyebabkan vasikonstriksi dan vasodilatasi
pembuluh darah mukosa membrana foramen rotundum sehingga terjadi gangguan

9
sirkulasi darah, akibatnya fungsi telinga dalam ikut terganggu. Hipoksia terjadi
karena ada penebalan membrana foramen rotundum yang menghambat difusi
normal oksigen dari telinga tengah ke perilimfe. Kejadian SNHL pada penderita
otitis media kronik sangat berhubungan dengan komplikasi terutama mastoiditis
dan lama kerusakan organ telinga tengah antara lain kemungkinan dapat terjadi
timpanosklerosis, fiksasi tulang pendengaran, timbulnya jaringan granulasi dan
polip. Kolesteatoma dapat merupakan tanda agresivitas OMSK dan indikator
munculnya SNHL. Terjadinya SNHL diakibatkan adanya kelainan pada telinga
dalam/ koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran. Tuli biasanya bersifat tidak
dapat dibenarkan dan umumnya mengenai nada tinggi.15
Patofisiologi terjadinya kerusakan fungsi koklea pada OMSK yaitu
masuknya toksin bakteri, dan mediator-mediator inflamasi dari telinga tengah ke
dalam koklea melalui round window membrane (RWM). Kolesteatoma sendiri
merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, sehingga infeksi
menjadi persisten. Infeksi yang kronik dapat mengakibatkan menumpuknya
mediator inflamasi tumor necrosis factor-a (TNF-a), dan Interleukin-1ß yang
menjadikan permeabilitas RWM semakin meningkat, sehingga bahan bahan
tersebut akan lebih mudah masuk ke dalam koklea. Kolesteatoma juga dapat
menyebabkan kerusakan tulang pada area kanalis semi sirkularis, sehingga
mediator inflamasi juga dapat masuk ke dalam bagian yg terbuka tersebut.14,15
Kolesteatoma menyebabkan SNHL akibat sifat destruksinya dan sitokin-
sitokin pro inflamasi yang masuk melalui foramen rotundum. Agen inflamasi dan
toksin bakteri pada OMSK masuk ke telinga dalam melalui foramen rotundum,
sehingga menyebabkan kerusakan sel rambut luar, stria vascularis, perubahan
osmolaritas, pH, dan kandungan ion di koklea. Mekanisme ini yang diduga
terjadi, sehingga menyebabkan SNHL pada OMSK tanpa kolesteatoma.
Kerusakan terjadi pada area frekuensi tinggi yang terletak di basal koklea.
Dikatakan bahwa frekuensi yang sering terkena adalah 2000-4000 Hz. Pada
penelitian ini ditemukan 4000 Hz adalah frekuensi dengan nilai BC tertinggi
dibandingkan 500, 1000, dan 2000 Hz.14

10
Daftar Pustaka
1. Helmi, Djaafar AZ, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. 7th ed. Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti ratna dwi, editors. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2017. 78-81.
2. Pasyah MF. Otitis Media Supuratif Kronik pada Anak. Glob Med Heal
Commun. 2013;4(1):1–6.
3. Long YT, Mahmud R, Sani A, Saim L. Complications of otitis media
requiring surgical intervention. Asian J Surg [Internet]. 2002;25(2):170–4.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S1015-9584(09)60168-8
4. Alkatiri FBB. Kriteria Diagnosis Dan Penatalaksanaan Otitis Media
Supuratif Kronis. ISM. 2015;5(1):100–5.
5. Nursiah S. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan terhadap
Beberapa Antibiotika di Bagian T.H.T Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan. Progr Pendidik Dr Spes
Bid Stud Ilmu Penyakit THT – KL Fak Kedokt Univ Sumatera Utara.
2003;14.
6. Adams GL, Boies LR, Hilger PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Boies
Buku Ajar Penyakit THT. 2002. 107-9.
7. Mardhiah A. Fistula Labirin Durante Mastoidektomi di RSUP Haji Adam
Malik Medan. 2007;40(4).
8. Widuri A. Paresis Nervus Fasialis pada Otitis Media Supuratif Kronik Tipe
Unsafe. Vol. 5. 2010. p. 132–8.
9. Yorgancilar E, Yildirim M, Gun R, Bakir S, Tekin R, Gocmez C, et al.
Complications of chronic suppurative otitis media: A retrospective review.
Eur Arch Oto-Rhino-Laryngology. 2013;270(1):69–76.
10. Mustafa A, Heta A, Kastrati B, Dreshaj S. Complications of chronic otitis
media with cholesteatoma during a 10-year period in Kosovo. Eur Arch
Oto-Rhino-Laryngology. 2008;265(12):1477–82.
11. Edward Y. Laporan Kasus Penatalaksanaan Fistula Labirin Akibat
Komplikasi OMSK Tipe Bahaya Pendahuluan. :1–7.
12. Hansen JT. Anatomy of the Auditory and Vestibular Systems [Internet].

11
Ballenger’s Otorhinolaringology Head and Neck Surgery. 2010. 1-164 p.
Available from: http://www.crossref.org/deleted_DOI.html
13. Aboet A. Labirinitis. Maj Kedokt Nusant. 2006;39(3):294–6.
14. Cita P, Dewi S, Ahadiah TH, Ekorini HM, Ilmu D, Telinga K, et al.
Perbandingan bone conduction pada penderita otitis media supuratif kronik
dengan kolesteatoma dan tanpa kolesteatoma. 2018;48(1).
15. Samosir I, Naftali Z. Kurang Pendengaran Pada Pasien Otitis Media.
2018;7(2):562–73.

12

Anda mungkin juga menyukai