Anda di halaman 1dari 31

PARESE NERVUS FASIALIS AKIBAT KOMPLIKASI OTITIS MEDIA

KRONIK DENGAN KOLESTEATOMA


Mohammad Rizki Tri Ronoadi*, Abla Ghanie
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Universitas Sriwijaya
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang

Abstrak
Otitis media kronik yaitu infeksi yang terjadi pada telinga tengah dan
penyakit yang sering ditemukan di negara berkembang dan komplikasi terkait
penyakit masih menjadi masalah utama. Parese nervus fasialis merupakan salah
satu komplikasi OMK yang membutuhkan deteksi dini dan perawatan tepat.
Kondisi lain yang sering ditemukan pada OMK adalah kolesteatoma.
Kolesteatoma dapat diakibatkan berbagai etiologi, sama halnya dengan parese
nervus fasialis yang dapat diakibatkan adanya osteitis, erosi tulang, penekanan
oleh edema, inflamasi langsung akibat infeksi atau neurotoksik dari sekret
kolesteatoma. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
lokalis serta penunjang seperti tomografi komputer, pemeriksaan fungsi motorik
saraf dan pemeriksaan topognostik. Tindakan pembedahan mastoidektomi
merupakan pilihan utama penatalaksaan kasus otitis media kronik dengan
komplikasi kolesteatoma dan parese nervus fasialis. Dilaporkan 1 kasus otitis
media kronik dengan kolesteatoma dan parese nervus fasialis yang dilakukan
mastoidektomi.

Abstract
Chronic otitis media, infection of the middle ear, is a common disease in the
developing countries and the complications associated with it still pose a major
problem. Facial paralysis is a one of complication of COM which requires early
detection and appropriate care. Another condition common in COM is
cholesteatoma. Cholesteatoma could caused by various etiologies, as well as
facial paralysis which caused by osteitis, bone erosion, compression because of
oedem, direct inflammation caused by infection or neurotoxic from cholesteatoma
secret. The diagnosis is established based on anamnesis, localized also
additional examinations like computed tomography, motoric function test and
topognostic examination. Surgical intervention, mastoidectomy, is first choice of
treatment in COM with cholesteatoma and facial paralysis. Reported a case of
chronic supurative otitis media which treated with mastoidectomy.
PENDAHULUAN
Otitis media kronik adalah infeksi kronik pada telinga tengah dengan
insidensi paling tinggi pada negara berkembang dan komplikasi yang masih
menjadi masalah hingga saat ini. Saat ini komplikasi yang terjadi dapat ditekan
dengan semakin membaiknya pelayanan dan edukasi kesehatan dan
perkembangan antibiotik, namun beberapa kasus masih banyak ditemukan
komplikasi dari otitis media kronis.1 Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus
otitis media kronik ini adalah parese nervus fasialis. Insidensi parese nervus
fasialis akibat otitis media kronik yaitu sekitar 3,1% dari seluruh kasus parese
nervus fasialis. Kolesteatoma dapat ditemukan pada otitis media kronik tipe
maligna. Kolesteatoma dapat terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit
dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah
atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang
berlangsung lama.2,3 Parese saraf fasial akibat otitis media kronis dapat terjadi
akibat beberapa penyebab, antara lain: osteitis, erosi tulang, penekanan oleh
edema, inflamasi langsung akibat infeksi atau neurotoksik dari sekret
kolesteatoma. Proses tersebut akan menimbulkan penekanan pada saraf, yang
menyebabkan invaginasi dari nodus Ranvier dan demielinisasi. Kondisi tersebut
mnyebabkan serabut saraf tidak mampu meneruskan impuls. Besarnya tekanan
menentukan berat dan cepatnya kelumpuhan saraf.4,5
Diagnosis otitis media kronik yang disertai kolesteatoma dan komplikasi
berupa parese nervus fasialis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan radiografi seperti tomografi
komputer dan magnetic resonance imaging (MRI) maupun pemeriksaan fungsi
motorik nervus fasialis seperti pemeriksaan House Brackmann dan penilaian
sistem Freyss. Pilihan tatalaksana utama pada kasus otitis media kronik dengan
kolesteatoma dan parese nervus fasialis adalah tindakan pembedahan. Tindakan
pembedahan ini adalah mastoidektomi yaitu tindakan untuk membersihkan
seluruh rongga mastoid dan daerah kanal fasial dari sumber infeksi dan
kolesteatoma serta melalukan dekompresi nervus fasialis atau anastomosa nervus
bila terjadi destruksi.4,5,6
KEKERAPAN
Insiden OMK bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Otitis media kronis dianggap
sebagai salah satu penyebab tuli yang terpenting, terutama di negara-negara
berkembang. Di Indonesia antara 2,10 - 5,20%, di Korea 3,33%, di Madras India
2,25%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada penduduk Aborigin di Australia dan
Bangsa Indiandi Amerika Utara.1,7 Insiden tertinggi terjadi pada pada masyarakat
miskin dan hidup pada daerah yang terlalu padat, memiliki personal higienitas
yang rendah, kesehatan yang buruk, terjadinya resistensi terhadap infeksi dan
kurangnya pengetahuan atau terbatasnya akses kesehatan. Dengan alasan yang
belum jelas laki-laki terkena dua kali lebih sering dibandingkan dengan
perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Abla dkk, tahun 2015-2018,
mendapatkan 252 pasien dengan otitis media kronik, dimana 141 pasien (55,95%)
berjenis kelamin laki-laki dan 111 pasien (44,04%) adalah perempuan, dengan
kelompok usia paling banyak yaitu 21 hingga 30 tahun (29,36%).8,9
Otitis media kronik sering disertai dengan pembentukan kolesteatoma.
Penelitian yang dilakukan oleh Abla dkk melaporkan pada pemeriksaan
tomografi komputer didapatkan 158 pasien (62,69%) menunjukkan gambaran
mastoiditis yang disertai kolesteatoma, pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa
kolesteatoma ditemukan pada 202 pasien dan sebanyak 50,9% disertai dengan
jaringan granulasi. Abdullah dkk, melaporkan bahwa temuan intraoperasi pada
pasien dengan OMK yang menjalani prosedur Canal Wall Down adalah 57%
dengan kolesteatoma.. Komplikasi akut dan kronik otitis media jarang terjadi
tetapi serius dan bersifat letal. Komplikasi kranial terjadi pada bagian tulang
temporal kranium dan komplikasi intrakranial terjadi ketika infeksi telah
menyebar ke tulang temporal. Komplikasi ini terjadi pada semua umur, tapi 75%
nya terjadi pada dua dekade pertama kehidupan mereka. Takashi dkk, melaporkan
bahwa dari 1639 kasus parese saraf fasialis sebanyak 3,1% diakibatkan oleh otitis
media kronik.1,4,9,10
ANATOMI TELINGA
Telinga tengah atau kavum timpani berisi tulang pendengaran, yang
menghubungkan dinding lateral ke dinding medial dan berfungsi untuk
menyampaikan getaran dari membran timpani di seluruh rongga ke telinga dalam.
Rongga timpani bagian lateral dibatasi oleh membran timpani, medial oleh
dinding lateral telinga internal, dari atas ke bawah, kanalis semisirkularis, kanalis
fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium. Batas atas dengan
tegmen timpani, batas bawah bulbus jugularis, dan di depan dengan tuba
eustachii. Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran timpani,
kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum yang merupakan
bagian kavum timpani yang lebih tinggi dari batas superior membran timpani,
mesotimpanum yang merupakan ruangan di antara batas atas dengan batas bawah
membran timpani dan hipotimpanum yaitu bagian kavum timpani yang terletak
lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Diameter vertikal dan
anteroposterior rongga masing-masing sekitar 15 mm.11,12
Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel),
dari luar ke dalam maleus, inkus dan stapes. Dua otot tensor timpani (muskulus
tensor timpani) dan otot stapedius. Selain itu terdapat juga korda timpani yang
merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus
posterior yang menghubungkan dinding lateral. Saraf pleksus timpanikus yang
berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus
karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis
interna.11,12
Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian yaitu pars tensa
yang merupakan bagian terbesar dari membran timpani, suatu permukaan yang
tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus
timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang dari tulang temporal. Pars
flaksida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari
pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris anterior
(lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang). Membran
timpani mempunyai tiga lapisan yaitu stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal
dari liang telinga, stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani
serta stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum
dan mukosum.11,12

Gambar 1. Anatomi membran timpani11

Gambar 2. Kavum timpani. Mesotimpanum yaitu bagian telinga tengah tepat dibelakang
membran timpani. Atik, protimpanum dan hipotimpanum terletak superior, anterior dan inferior
terhadap mesotimpanum. Resesus fasialis dan sinus timpani terletak posterior terhadap
mesotimpanum11

Arteri yang memberikan suplai membran timpani berasal dari cabang


aurikularis dari maksilaris internal, dengan ramus pada lapisan bawah kulit dan
dari cabang stylomastoideus dari aurikularis posterior serta cabang timpani dari
maksilaris internal, yang didistribusikan pada permukaan mukosa. Vena
superfisial terbuka ke jugularis eksternal, pada permukaan dalam mengalirkan
sebagian ke dalam sinus melintang dan pembuluh darah dari dura mater, dan
sebagian menjadi pleksus pada tuba eustachius. Membran timpani mendapat saraf
utama dari cabang aurikulotemporal mandibula cabang aurikularis, nervus vagus,
dan cabang timpani dari glossopharingeu.11,12

Gambar 3. Vaskularisasi telinga tengah11


Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran penghubung
antara ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran eustachius,
memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga tengah
dengan udara luar. Tuba eustachius, terdiri dari 2 bagian yaitu bagian tulang yang
terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan
yang terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian). Fungsi tuba
Eusthachius untuk ventilasi telinga yang mempertahankan keseimbangan tekanan
udara di dalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang
berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani.11,12

Gambar 4. Resesus fasialis dan sinus timpani11

ANATOMI NERVUS FASIALIS


Secara embriologi saraf fasialis berasal dari arkus brakhialis cabang kedua
atau arkus hioid. Struktur persarafan berasal dari perkembangan Reichert’s
cartilage. Saraf fasialis terdiri dari sekitar 10.000 neuron, 7.000 mielin dan
mempersarafi otot-otot wajah. 3.000 serat saraf berfungsi sebagai komponen
motoris, sensoris dan parasimpatis. Perjalanan saraf fasialis terbagi atas bagian
intrakranial dan ekstrakranial. Bagian intrakranial berawal dari area motorik
kortek serebri yang terletak di girus presentralis dan post sentralis, yang berfungsi
sesuai dengan homonikulusnya sampai keluar dari foramen stilomastoid di tulang
temporal. Sinyal dari korteks dihantarkan melalui fasikulus jaras kortikobulbar
menuju kapsula interna, lalu menuju bagian atas midbrain sampai ke batang otak
bagian bawah untuk bersinaps pada nukleus N VII di pons. N VII mempunyai 2
nukleus yaitu nukleus superior dan inferior. Serabut dari kedua inti meninggalkan
batang otak bersama-sama saraf Wrisberg atau saraf intermedius dan saraf
vestibulokokhlearis (N VIII) melewati sudut cerebelopontin menuju tulang
temporal melalui porus akustikus internus.5,13-15
Panjang serabut saraf dari nukleus sampai porus kanalis akustikus internus
sekitar 15,8 mm, yang dilapisi oleh piamater dan digenangi oleh cairan
serebrospinal. Di dalam kanalis akustikus internus, saraf fasialis dan saraf
intermedius berjalan superior dari N VIII sepanjang 8-10 mm sampai dengan
fundus kanalis akustikus internus. Selanjutnya di dalam tulang temporal, saraf
fasialis berjalan dalam saluran tulang yang disebut kanal Fallopi. Intratemporal,
saraf fasialis berjalan membentuk huruf Z sepanjang 28-30 mm, yang terbagi atas
segmen labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin berawal dari fundus kanalis
akustikus internus sampai ganglion genikulatum, sepanjang 3-5 mm. Terletak di
bawah fossa media, dengan koklea terletak di anterior, ampula kanalis
semisirkularis lateral dan posterior terletak di posterior dan lateralnya. Segmen
ini merupakan segmen terpendek dan tertipis. Bagian tersempit dari kanal Fallopi
adalah bagian pintu masuknya, dengan diameter 0,68 mm. Di segmen ini, saraf
fasialis mengisi 83% kanal. Serabut saraf tersusun jarang dan tidak dibungkus
epineurium, dengan pendarahan yang tanpa anastomosis.5
Dari ganglion genikulatum, keluar cabang pertama saraf fasialis, yaitu N.
Petrosus mayor. Saraf ini membawa serabut motorik sekretorik ke kelenjar
lakrimal. Cabang kedua adalah N. Petrosus eksternal, membawa serabut simpatis
ke arteri meningen media. Cabang ketiga adalah N. Petrosus minor, yang akan
bergabung dengan serabut pleksus timpani yang dipersarafi oleh N IX. Pada
ganglion genikulatum bagian distal, saraf fasialis akan membelok ke belakang
secara tajam membentuk sudut (genu) dan mulai memasuki kanal Fallopi segmen
timpani atau horizontal sepanjang 8-11 mm dan saraf fasialis mengisi 73% kanal.
Berdasarkan rekonstruksi 3 dimensi dengan komputer, Nakashima, Fisch dan
Yanagihara melaporkan adanya segmen tersempit kedua di kanal Fallopi, yaitu
segmen timpani bagian tengah. Bagian akhir dari segmen timpani adalah genu
eksterna, di sini saraf fasialis membelok tajam ke arah bawah. Segmen mastoid
berawal dari genu eksterna, yang terletak posterolateral dari prosesus piramid.
Saraf fasialis berjalan vertikal ke bawah di dinding anterior prosesus mastoid.
Segmen ini merupakan segmen terpanjang saraf fasialis intratemporal yaitu
sekitar 10-14 mm dengan saraf fasialis mengisi 64% kanal Fallopi. Di segmen ini
terdapat 3 cabang, yaitu saraf ke m. Stapedius, nervus korda timpani dan
persarafan dari cabang aurikular N. Vagus yang membawa serabut nyeri pada
liang telinga posterior.5
Bagian ekstrakranial saraf fasialis keluar dari kanal Fallopi melalui foramen
stilomastoid, kemudian berjalan di anterior otot digastrikus posterior dan lateral
dari prosesus stiloid, arteri karotis eksterna dan vena fasialis posterior, kemudian
memasuki kelenjar parotis dan bercabang menjadi 2 cabang utama, yaitu divisi
atas dan bawah di pes anserinus. Setelah percabangan utama tersebut, kemudian
mengalami 5 percabangan, yaitu cabang temporal (frontal), zigomatikus, bukal,
mandibula dan servikal. Saraf-saraf ini menginversi 23 pasang otot wajah dan
muskulus orbicularis iris.5
Tabel 1. Otot-otot wajah dan cabang saraf fasialis yang mempersarafi
14,15
Cabang N. VII Otot Fungsi
Aurikuler posterior 1. Aurikular posterior 1. Menarik telinga ke belakang
2. Oksipitofrontalis 2. Menarik kulit kepala ke belakang
Temporal 1. Aurikular anterior 1. Menarik telinga ke depan
2. Aurikular superior 2. Mengangkat pinna
3. Oksipitofrontalis 3. Menarik kulit kepala ke depan
4. Korugator supersilia 4. Menarik alis ke medial dan bawah
5. Procerus 5. Menarik alis bagian tengah ke
bawah
Temporal dan Orbicularis okuli Menutup mata dan kontraksi kulit
Zigomatik sekitar mata
Zigomatik dan Buccal Zigomatikus mayor Mengangkat sudut mulut
Buccal 1. Zigomatikus minor 1. Mengangkat bibir atas
2. Levator labii superior 2. Mengangkat bibir atas & lipatan
3. Levator labii sup ala nasi nasolabial bagian tengah
4. Risorius 3. Mengangkat lipatan nasolabial
5. Businator bagian medial dan ala nasi
6. Levator anguli oris 4. Menarik ke lateral saat senyum
7. Orbikularis oris 5. Menarik tepi mulut ke belakang dan
8. Nasalis dilator nares mengembungkan pipi
9. Nasalis compressor nares 6. Menarik tepi mulut ke atas dan
garis tengah
7. Menutup & mengembungkan bibir
8. Mengembangkan lubang hidung
9. Mengecilkan lubang hidung
Buccal dan Depressor angulus oris Menarik tepi mulut ke bawah
Mandibula
Mandibular 1. Depresor Labii inferior 1. Menarik bibir bawah ke bawah
2. Mentalis 2. Menarik dagu ke atas
Servikal Platisma Menarik mulut ke bawah

Gambar 5. Diagram skematik dari saraf fasialis, yang memperlihatkan distribusi motorik, rasa
pengecapan dan parasimpatik13

Gambar 6. Cabang nervus fasialis ekstratemporal16

ETIOPATOGENESIS
Kolesteatoma dapat terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran
timpani disebut sebagai kolesteatoma primer atau kongenital. Kolesteatoma
timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida karena
adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba. Sedangkan
kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani disebut
sebagai kolesteatoma akuisital sekunder. Kolesteatoma terbentuk sebagai akibat
dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran
timpani ke telinga tengah atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani
karena iritasi infeksi yang berlangsung lama.3,4,17
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma,
antara lain adalah teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori
implantasi. Teori tersebut akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi
kolesteatoma menurut Gray (1964) yang mengatakan bahwa kolesteatoma adalah
epitel kulit yang berada pada tempat yang salah. Epitel kulit liang telinga
merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di
liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial
dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk
kolesteatoma.3,4,17,18
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis
cranii. Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga
tengah, atau tulang mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan
tulang yang mengelilinginya. Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin
membesarnya kolesteatoma adalah termasuk cedera dari struktur-struktur yang
terdapat di dalam tulang temporal. Kolesteatoma juga dapat keluar dari batas-
batas tulang temporal dan basis cranii. Komplikasi ekstrarempotal dapat terjadi
di leher, sistem saraf pusat, atau keduanya. Kolesteatomas kadang-kadang
menjadi cukup besar untuk mendistorsi otak normal dan menghasilkan disfungsi
otak akibat desakan massa.4,17,19
Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek tekanan yang
menyebabkan remodelling tulang, seperti yang biasa terjadi di seluruh kerangka
apabila mendapat tekanan (desakan) secara konsisten dari waktu ke waktu.
Kedua, aktivitas enzim pada kolesteatoma dapat meningkatkan proses
osteoklastik pada tulang, yang nantinya akan meningkatkan kecepatan resorpsi
tulang. Kerja enzim osteolitik ini tampaknya meningkat apabila kolesteatoma
terinfeksi. Selain penekanan dan edema, kolesteatoma juga melibatkan proses
biokimia dan faktor seluler. Akumulasi keratin pada kolesteatoma juga bertindak
sebagai benda asing yang merangsang aktifitas makrofag. Sejumlah endoktoksin
dan enzim dilepaskan oleh bakteri yang terdapat di sekitar kolesteatoma.
Akhirnya sel mesenkim subepitel berproliferasi dan mengeluarkan kolagenase
dan enzim lain yang dapat menghancurkan tulang.4,17

Gambar 7. Gambar skematik telinga normal dan otitis media kronik. (a) pada keadaan
normal, kavum telinga tengah bersih dan kosong (b) sebaliknya, telinga tengah menjadi merah
dan mengalami inflamasi serta adanya cairan pada kondisi otitis media kronik. Warna merah
menunjukkan inflamasi, kuning menunjukkan cairan pada keadaan OMK7

Parese saraf fasial akibat otitis media kronis dapat terjadi akibat beberapa
penyebab, antara lain: osteitis, erosi tulang, penekanan oleh edema, inflamasi
langsung akibat infeksi atau neurotoksik dari sekret kolesteatoma. Penyebaran
infeksi ke saraf fasial dapat melalui beberapa jalur, antara lain secara langsung
dari telinga tengah atau mastoid. Terbukanya kanal Fallopi merupakan riaiko
untuk timbul parese saraf fasial otogenik akibat otitis media kronik khususnya
bila terlihat adanya kolesteatoma. Pada saraf fasial akan terjadi proses
peradangan dan edema yang menghasilkan cedera saraf. Proses tersebut akan
menimbulkan penekanan pada saraf, yang menyebabkan invaginasi dari nodus
Ranvier dan demielinisasi. Kondisi tersebut mnyebabkan serabut saraf tidak
mampu meneruskan impuls. Besarnya tekanan menentukan berat dan cepatnya
kelumpuhan saraf. Bila proses penekanan tersebut dihilangkan maka akan terjadi
proses penyembuhan spontan.2,5,6,20,21
Sunderland mengklasifikasikan cedera saraf berdasarkan histologinya yaitu
cedera tingkat I atau blok konduksi (neuropraksia, terjadi bila konduksi impuls
terhambat, membendung sebagian aliran transpor plasma. Bila penekanan
dihilangkan, maka fungsinya akan segera kembali normal atau dalam 3 minggu;
cedera tingkat II (aksonotmesis), terjadi bila aliran transpor aksoplasma total
berhenti selama beberapa hari, sehingga terjadi diskontinuitas akson; cedera
tingkat III (neurotmesis) terjadi bila tekanan intraneural berlanjut dan terjadi
kerusakan lapisan endoneurium, pada kerusakan ini akan terjadi perbaikan tidak
lengkap, karena akson memasuki lapisan endoneurium yang salah, sehingga
menyebabkan sinkinesis; cedera tingkat IV terjadi bila kerusakan lapisan
endoneurium disertai kerusakan perineurium (ruptur parsial) dimana proses
regenerasi neuron akan terhambat oleh adanya jaringan ikat, sehingga tampak
jelas kelemahan wajah, sinkinesis, spasma jarang atau tidak ada; cedera tingkat V
terjadi jika epineurium putus (ruptur total) sehingga tonus akan menghilang. Pada
cedera saraf tingkat IV dan V tidak akan ditemukan penyembuhan spontan,
namun harus dengan tindakan operatif. Pada OMK serabut saraf biasanya tidak
terpotong, tetapi mengalami penekanan.9,22

DIAGNOSIS
Diagnosis parese nervus fasialis dan kolesteatoma pada otitis media kronik
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan
fungsi saraf fasialis, untuk menentukan letak lesi, beratnya kelumpuhan dan
prognosis, serta pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan elektrofisiologi dan
tomografi komputer. Pada kasus OMK dengan kolesteatoma, keluhan gangguan
pendengaran lebih sering ditemukan dalam keadaan berat. Pada OMK tipe
maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatoma bertindak sebagai penghantar
suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara
hati-hati. Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis . Bila terjadinya labirinitis
akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi
koklea. Nyeri telinga atau otalgia juga dapat ditemukan pada kasus OMK dengan
kolesteatoma akibat proses inflamasi dan penekanan yang terjadi pada telinga.
Kolesteatoma dapat diklasifikasikan berdasarkan letak dan penyebarannya oleh
Bluestone. Klasifikasi tersebut terdiri atas: stadium 1 : kolesteatoma terbatas pada
telinga tengah (hipoepitimpanum dan mesoepitimpanum) tanpa erosi tulang
pendengaran, stadium 2 : seperti stadium 1 dengan erosi tulang pendengaran,
stadium 3 : kolesteatoma memenuhi cavum timpani dan cavum mastoid tanpa
erosi tulang pendengaran, stadium 4 : stadium 3 dengan erosi tulang
pendengaran, stadium 5 : kolesteatoma luas pada cavum timpani, cavum mastoid,
dan beberapa bagian tulang temporal dengan destruksi tulang pendengaran dan
fistula labirin dapat terjadi, dan stadium 6 : kolesteatoma yang meluas ke bawah
dari tulang temporal.4,10,18
Parese nervus fasialis menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah
sehingga pasien dengan parese nervus fasialis sering datang dengan keluhan
kelainan ekspresi wajah, tidak dapat mengerutkan dahi, tidak dapat mengangkat
sudut mulut hingga keluhan kesulitan makan. Pada kelainan unilateral, saat
penderita menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi tampak wajah tidak
simetris. Adanya riwayat keluar cairan atau gangguan pendengaran juga dapat
ditemukan bersamaan dengan keluhan parese nervus fasialis. Fungsi saraf fasial
dapat dinilai dengan menggunakan sistem skala House-Brackmann pada tabel
Tabel 2. Skala House-Brackmann23

Derajat Deskripsi Karakteristik


I Normal Fungsi fasial normal
II Ringan Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
1. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
2. Simetris normal saat istirahat.
3. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
4. Menutup mata sempurna dapat dilakukan
dengan sedikit usaha.
5. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
III Sedang 1. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan
minimal.
2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme
hemifasial dapat ditemukan.
3. Simetris normal saat istirahat.
4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan
dengan usaha.
6. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha
maksimal.
IV Sedang-Berat 1. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
2. Simetris normal saat istirahat.
3. Tidak terdapat gerakan dahi.
4. Mata tidak menutup sempurna.
5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha
maksimal.
V Berat 1. Hanya sedikit gerakan yang dapat
dilakukan.
2. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
3. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
4. Mata menutup tidak sempurna.
5. Gerakan mulut hanya sedikit.
VI Paralisis Total 1. Asimetris luas.
2. Tidak ada gerakan.

Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan dengan sistem Freyss untuk menilai
fungsi nervus fasialis. Pada sistem ini dinilai 4 komponen, yaitu pemeriksaan
fungsi motorik, tonus, sinkinesis dan hemispasme. Pada pemeriksaan sistem
motorik, wajah dibagi menjadi 10 area, berdasarkan 10 otot yang bertanggung
jawab terhadap mimik dan ekspresi wajah. Untuk setiap gerakan dari kesepuluh
otot tersebut dibandingkan antara sisi kanan dan sisi kiri dan diberi nilai 0-3,
dengan keterangan nilai 3 bila gerakan normal dan simetris, nilai 2 bila ada
gerakan antara nilai 1 dan 2, nilai 1 bila terdapat sedikit gerakan, nilai 0 bila tidak
ada gerakan sama sekali. Pada keadaaan istirahat tanpa kontraksi, maka tonus
otot menentukan kesempurnaan mimik tau ekspresi wajah. Pemeriksaan tonus
wajah dinilai dengan membagi wajah menjadi 5 area. Menurut Freyss,
pemeriksaan tonus merupakan hal penting dan penilaian tidak harus dilakukan
untuk setiap otot, melainkan cukup untuk setiap tingkatan otot-otot wajah. Nilai
untuk tonus bernilai 0-3, nilai 3 untuk tonus normal, 0 bila tidak ada tonus.
Apabila terdapat hipo atau hipertonus maka nilai 3 dikurangi 1-2 tergantung
derajatnya. Untuk mengetahui ada tidaknya sinkinesis dilakukan pemeriksaan,
penderita diminta memejamkan mata sekuat-kuatnya, kemudian pemeriksa
memperhatikan ada tidaknya gerakan otot-otot di daerah sudut bibir atas, diberi
nilai 2 bila tidak ada sinkinesis. Bila terdapat sinkinesis nilai dikurangi 1 atau 2
tergantung pada derajatnya. Pemeriksaan kedua, penderita diminta tertawa lebar
sambil memperlihatkan gigi, kemudian pemeriksa memperhatikan ada atau
tidaknya gerakan otot-otot sudut mata bawah, diberi nilai 2 bila tidak ada
sinkinesis. Bila terdapat sinkinesis nilai dikurangi 1 atau 2 tergantung pada
derajatnya. Pemeriksaan ketiga sinkinesis juga dapat terlihat saat sedang
berbicara (gerakan emosi). Pemeriksaan memperhatikan ada tidaknya gerakan
otot sekitar mulut, diberi nilai 1 bila tidak ada sinkinesis, bila terdapat sinkinesis
diberi nilai 0. Bila tidak terdapet hemispasme diberi nilai 1. Bila terdapat
hemispasme diberi nilai minus 1 untuk setiap gerakan.23,24,25
Untuk menunjang diagnosis paralisis nervus fasialis, dapat dilakukan
pemeriksaan topognostik. Uji ini meliputi pemeriksaan adanya rasa nyeri
ditelinga, fungsi pengecapan, produksi air mata, saliva dan adanya refleks
stapedial. Fungsi lakrimasi dapat dinilai dengan tes Schirmer memeriksa sekresi
air mata, dimana kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm
diletakkan pada dasar konjungtiva. Tunggu 5 menit untuk menstimulir sekresi air
mata dan mengeluarkan sisa-sisa air mata yang terdapat pada sakus lakrimalis.
Jumlah yang tertera pada kertas tersebut diukur panjangnya. Dilakukan lagi
pemasangan kertas hisap seperti pertama, tetapi kemudian dirangsang dengan
bersin atau bahan lain untuk menimbulkan reflesk nasolakrimal. Jumlah yang
tertera pada kertas tersebut diukur panjangnya (kanan-kiri). Bila beda kanan-kiri
> 50%, dianggap patologis. Refleks stapedius dilakukan dengan memasang
stetoskop pada telinga pasien dan dilakukan pengetukan lembut pada diafragma
stetoskop atau dengan menggetarkan garpu tala 256 Hz dekat stetoskop. Uji
pengecapan 2/3 anterior lidah dilakukan dengan menggunakan rasa manis, asin,
asam, dan pahit dalam bentuk larutan dalam jumlah sedikit setiap larutan
diletakkan disisi lidah yang dijulurkan. Pasien diminta menunjukkan kata-kata
manis, asin, asam, dan pahit yang tercantum pada sehelai kertas. Bila daya
pengecapan hilang atau berkurang disebut ageusia dan hipogeusia. Bila rasa asin
dirasakan sebagai manis dan sebagainya (salah), maka disebut parageusia.19,22

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan suatu kasus
otitis media kronik dengan kolesteatoma dan parese nervus fasialis antara lain
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan audiometri, elektromiografi dan
elektroneuronografi. Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit
telinga kronis nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi
dan audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya menunjukkan mastoid yang
tampak sklerotik, lebih sedikit dengan gambaran pneumatisasi lebih sedikit
dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama
pada daerah atik memberi kesan kolesteatom. Tirelli dkk menjelaskan bahwa
pemeriksaan tomografi komputer dan MRI merupakan pemeriksaan utama untuk
mengidentifikasi adanya erosi tulang pada kasus otitis media kronik. Pada
pemeriksaan audiometri penderita OMK biasanya didapati tuli konduktif. Namun,
dapat pula dijumpai adanya tuli sensorineural, beratnya gangguan pendengaran
tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan
mobilitas sistem hantaran suara ditelinga tengah.6

Gambar 8. Gambaran tomografi komputer os temporal menunjukkan kolesteatoma yang


mengerosi kanalis nervus fasialis26

Pemeriksaan elektromiografi bermanfaat untuk menentukan perjalanan


respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon
normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang
mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat
terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah
tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi
merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.
Potensial ini terlihat sebelum 21 hari. Pemeriksaan elektroneuronografi (ENOG)
memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal
dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi
90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari,
maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin
melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan
tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang
mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami
penyembuhan normal saraf fasialis.5,16,21,23
Untuk menegakkan parese nervus fasialis yang dapat diakibatkan oleh otitis
media kronik juga dapat dilakukan pemeriksaan uji eksitabilitas saraf (nerve
excitability test/NET) yang dilakukan dengan bantuan alat stimulator saraf
fasialis, yang mempunyai kekuatan 22,5 volt dan mengalirkan arus listrik secara
konstan dengan ambang 0-10 mA. Pemeriksaan ini melibatkan rangsang saraf
fasial secara perkutaneus yang dimulai dari sudut rahang atau foramen
stylomastoid. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Laumans dan Jongkees,
mendapatkan perbedaan nilai ambang sisi normal dengan sisi parese lebih dari 3,5
mA menunjukkan prognosis yang buruk. Pemeriksaan lainnya adalah uji
stimulasi maksimal (maximal stimulation test) sangat baik untuk mengevaluasi
degenerasi saraf fasialis segera setelah onset. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menggunakan alat stimulus saraf yang tersedia dan dilakukan pada 5 area wajah
yaitu dahi dan alis mata, area periorbita pipi, bibir atas dan ala nasi, bibir bawah
area servikal dan platysma. Respon pada sisi cedera dinilai sebagai sama,
berkurang minimal, berkurang bermakna, dan tidak ada dibandingkan dengan sisi
normal. Berkurang minimal ditetapkan bila respon kontraksi otot pada sisi cedera
sebesar 50% dari sisi normal; berkurang bermakna ditetapkan bila respon
kontraksi otot pada sisi cedera sebesar <25% dari sisi normal.5,23

TATALAKSANA
Pilihan tatalaksana utama pada kasus otitis media kronik dengan
kolesteatoma dan parese nervus fasialis adalah tindakan pembedahan. Tindakan
pembedahan ini adalah mastoidektomi yaitu tindakan untuk membersihkan
seluruh rongga mastoid dan daerah kanal fasial dari sumber infeksi dan
kolesteatoma. Mastoidektomi dilakukan untuk mengangkat kolesteatoma dan
jaringan patologis. Daerah yang paling sering terkena adalah segmen timpani dan
biasanya kanal falopi hancur. Sering kali, saraf masih intak dan kolesteatoma
hanya perlu diangkat dari sarafnya. Namun bila terdapat kerusakan saraf, maka
harus dilakukan rekonstruksi dengan end-to-end anastomose. Dekompresi saraf
fasialis dikerjakan bila pada pemeriksaan elektroneurofisiologi didapatkan
reduksi sebesar 90% yang berarti telah terjadi kerusakan pada selubung mielin
saraf. Pada parese nervus fasialis akibat otitis media kronik, pengobatan
konservatif dengan antibiotik, anti inflamasi, kortikosteroid dan neurotonik hanya
diberikan untuk persiapan pembedahan untuk mencegah perburukan parese.4,27
Terdapat beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang
dapat dilakukan pada OMK dengan komplikasi mastoiditis kronis, baik tipe
benigna atau maligna yaitu mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy),
mastoidektomi radikal, mastoidektomi radikal dengan modifikasi,
miringoplasti, ti m p a n o p l a s t i serta melalui p endekatan ganda
timpanoplasti (Combined approach tympanoplasty). Teknik operasi ditentukan
dari beberapa faktor yaitu faktor lokal seperti adanya fistula, penyebaran
penyakit, fungsi tuba eustachius, pneumatisasi mastoid, fungsi pendengaran
kedua telinga; faktor umum seperti kondisi medis umum, pekerjaan serta
pengetahuan dan kemampuan pembedah. Teknik mastoidektomi dengan
pendekatan terhadap resesus fasialis akan membuka bagian horizonal dan vertikal
nervus fasialis. Pendekatan fosa medialis dibutuhkan pada kasus kolesteatoma
yang melibatkan apeks petrosa. Tujuan operasi adalah menghentikan
infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang
perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran
yang lebih berat serta memperbaiki pendengaran.3,4

Gambar 9. Dekompresi dan rekonstruksi nervus fasialis. Dekompresi dan rekonstruksi pada
kanalis auditorius internal dapat dilakukan melalui pendekatan translabirintin. Nervus petrosa
mayor (1) dipotong dan lakukan “reroute” nervus fasialis (2) dan anastomosa pada os mastoid,
stapes (3), maleus (4)28

Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan parese nervus


fasialis antara lain asam nikotinik yang bekerja menghambat ganglion simpatik
servikal digunakan untuk memicu vasodilatasi sehingga dapat meningkatkan
suplai darah ke nervus fasialis, pemberian vasokonstriktor dan antimikroba
diberikan pada kelumpuhan nervus fasialis yang disebabkan oleh kompresi
nervus fasialis pada kanal falopi, obat ini bekerja mengurangi bendungan,
pembengkakan dan inflamasi serta pemberian steroid untuk mengurangi proses
inflamasi. Pada otitis media akut, operasi dekompresi kanalis fasialis tidak
diperlukan. Perlu diberikan antibiotik dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya,
serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timpani dengan drainase. Bila
dalam jangka waktu tertentu tidak ada perbaikan setelah diukur dengan
elektrodiagnostik, maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan dekompresi
melalui tindakan pembedahan. Pada otitis media kronik diindikasikan operasi
eksplorasi mastoid. Tindakan dekompresi kanalis nervus fasialis harus segera
dilakukan tanpa harus menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik.5

PROGNOSIS
Angka rekurensi otitis media kronik sekitar 9-27%. Terdapat angka insiden
rekurensi dan residual kolesteatoma yang cukup tinggi setelah intervensi
pembedahan. Selama follow up 5 tahun, angka rekurensi dan residual
kolesteatoma dilaporkan 40%, dan untuk follow up 10 tahun didapatkan angka
rekurensi dan residual kolesteatoma yaitu 15-25%. Beberapa faktor prognostik
yang dinilai pada parese nervus fasialis adalah umur, derajat parese, penilaian
elektrofisiologi, refleks stapedius, fungsi lakrimalis dan pergerakan spontan.
Parese nervus fasialis yang disebabkan oleh otitis media kronik, kolesteatoma
atau osteomielitis pada basis kranii memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan parese akut nervus fasialis akibat iskemia.5,6,18

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, Tn. R berusia 19 tahun dari luar kota datang ke Poliklinik
THT-KL RSMH Palembang pada Juli 2018 dengan keluhan utama keluar cairan
dari telinga kanan. Dari anamnesis didapatkan sejak ± 10 tahun yang lalu, pasien
mengeluh keluar cairan dari telinga kanan tanpa disertai nyeri telinga, telinga
berdenging, pusing berputar dan nyeri kepala. Pasien juga mengeluhkan adanya
penurunan pendengaran. Pasien berobat ke dokter umum, diberikan obat tetes,
pasien tidak kontrol teratur. Keluhan keluar cairan telinga dirasakan hilang
timbul.
Sejak ± 9 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan wajah mencong berupa bibir
miring dan kelopak mata kanan tidak bisa menutup sempurna. Rasa kesemutan
dan baal di wajah tidak dirasakan, kejang dan sakit kepala hebat disangkal. Pasien
menyangkal adanya hidung tersumbat, pilek, nyeri menelan, sulit menelan dan
adanya benjolan dileher. Riwayat darah tinggi, kencing manis, asma dan riwayat
operasi sebelumnya disangkal. Pasien disarankan berobat ke dokter syaraf dan
didiagnosa dengan Bells Palsy dan dilakukan terapi selama 8 bulan, namun
keluhan wajah mencong tidak ada perbaikan. Pasien disarankan berobat ke
THTKL RSMH untuk keluhan riwayat keluar cairan telinga dan penurunan
pendengaran, pasien didiagnosa dengan otitis media kronik dengan kolesteatoma
dan komplikasi ke nervus fasialis, kemudian pasien disarankan untuk dilakukan
operasi.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan
darah 110/80 mmHg, nadi 82x/menit, pernapasan 18x/menit dan suhu tubuh
36,5oC. Pada pemeriksaan fisik jantung dan paru dalam batas normal. Pada
pemeriksaan lokalis telinga didapatkan kanalis aurikularis eksternus telinga kanan
lapang, sekret (-), membran timpani perforasi (+) tipe atik, refleks cahaya (-)
sedangkan pada telinga kiri didapatkan kanalis aurikularis eksternus lapang,
sekret (-), membran timpani intak, refleks cahaya (+). Pada pemeriksaan hidung
dan tenggorokan dalam batas normal.

Gambar 10. Status lokalis telinga kanan dan kiri


Pasien dilakukan pemeriksaan House Brackmann didapatkan pada wajah
sebelah kanan kerutan dahi tidak ada, penutupan mata tidak sempurna dan sudut
plika nasolabialis tidak ada; alis kanan tidak terangkat ke atas, tidak dapat
mengerutkan alis kanan, tidak dapat mengangkat dan mengerutkan hidung, mata
sebelah kanan tidak tertutup sempurna, bibir sebelah kanan tidak terbuka
sempurna, masih bisa menggembungkan pipi kanan, tidak bisa menarik sudut
bibir kanan namun mulut masih bisa mencucu. Pada uji pengecapan tidak
ditemukan kelainan pada kemampuan pengecapan. Pasien dilakukan tes
schimmer dengan hasil mata kanan 10 mm dan mata kiri 27 mm. sedangkan pada
wajah sebelah kiri dalam batas normal.

Kesan : Parese N. VII House-Brackmann V

Gambar 11. Hasil tes schimmer : mata kanan 10 mm, mata kiri 27 mm dalam 5 menit, kesan
lakrimasi mata kanan berkurang.
Pasien didiagnosa otitis media kronik auris dekstra dengan kolesteatoma
dan komplikasi ke nervus fasialis dekstra. Pasien dilakukan pemeriksaan
laboratorium dengan hasil pemeriksaan Hb 14,7 gr/dl; RBC 5,10 juta/mm 3;
Ht 44%; leukosit 7.000/mm3; trombosit 254.000/mm3; BSS 82 mg/dl;
diff.count 0/15/41/36/8; ureum 11 mg/dl; kreatinin 0,96 mg/dl; BT 2 menit;
CT 9 menit; HbsAg non reaktif. Dari hasil pemeriksaan foto polos toraks
didapatkan kesan dalam batas normal. Kemudian pasien dilakukan
pemeriksaan tomografi komputer mastoid didapatkan lesi isodens didaerah
telinga tengah yang mengobliterasi dan mendestruksi os mastoid kanan. Air
cell tampak terisi bayangan hipodens. Tulang pendengaran kanan sebagian
destruksi, koklea normal, kanalis eksterna bilateral normal. Didapatkan kesan
mastoiditis kanan dengan kolesteatom disertai destruksi tulang pendengaran
dan os mastoid kanan, yang menyokong otitis media kronis telinga kanan.
Hasil pemeriksaan audiometri pasien menunjukkan adanya gangguan
pendengaran tipe konduktif derajat sedang pada telinga kanan (52.5 dB),
sedangkan pendengaran telinga kiri normal (18 dB). Pasien direncanakan
dilakukan mastoidektomi telinga kanan dan pasien dikonsulkan ke bagian
anestesi dengan hasil setuju penjadwalan operasi. Pasien diberikan
tatalaksana medikamentosa yaitu tetes telinga ofloksasin 2x5 tetes telinga
kanan, irigasi H2O2 3% 2x5 tetes telinga kanan, sefiksim 2x100 mg tablet,
parasetamol 3x500 mg tablet. Pasien direncanakan untuk dilakukan
mastoidektomi radikal telinga kanan. Dilakukan konsul anestesi dengan
kesan ASA I dan setuju dilakukan tindakan mastoidektomi telinga kanan.

Gambar. Foto polos toraks


Gambar 12. Hasil tomografi komputer mastoid
Pada Juli 2018 dilakukan mastoidektomi telinga kanan dalam anestesi umum.
Intraoperatif dilakukan mastoidektomi radikal. Dilakukan injeksi lidokain:
efedrin 1 : 100.000 pada sulkus retroaurikula, kemudian dilakukan insisi, insisi
diperdalam lapis demi lapis hingga tampak fascia profunda. Fascia temporalis di
graft. Insisi di perdalam hingga tampak korteks mastoid. Identifikasi linea
temporalis, spina Henle, dan dinding posterior CAE (segitiga Mc Ewen).
Dilakukan pengeboran kortek mastoid sampai ditemukan antrum mastoid.
Tampak kolesteatom di antrum mastoid meluas hingga foramen stilomastoid
mendestruksi KSS lateralis. Bulbus jugular dan nervus fasialis pars mastoid
dehisence. Evaluasi osikel tampak erosi. Dinding posterior CAE diruntuhkan.
Dilakukan pembersihan kolesteatoma, dilakukan obliterasi dengan tulang
mastoid, jaringan dan tandur fasia. Perdarahan dievaluasi dan diatasi, luka operasi
ditutup lapis demi lapis. Dipasang kasa perban dan elastomole. Tindakan
mastoidektomi selesai.

Gambar 13. Intra operasi, tampak kolesteatoma mendestruksi tulang


mastoid, hingga tampak bulbus dan nervus fasialis

Hari pertama paska operasi didapatkan keadaan umum pasien baik, tanda
vital dalam batas normal. Hasil evaluasi House Brackmann III. Perban elastomole
dilepas. Pasien mendapatkan medikamentosa sefotaksim 2x1 gram intravena,
asam traneksamat 3x500 mg intravena, infus paracetamol 3x 1 gr, injeksi metil
prednisolon 3x125 mg intravena (tappering off pertiga hari), injeksi ranitidin
2x50 mg intravena. Hari kedua paska operasi didapatkan keadaan umum pasien
baik, tanda-tanda vital dalam batas normal. Terapi medikamentosa dilanjutkan.
Tampak pada retroaurikula dextra luka jahitan baik, rembesan darah minimal,
darah aktif tidak ada. Terapi dan perawatan luka dilanjutkan sampai hari
perawatan ke-delapan. Pasien disetujui untuk rawat jalan dengan mendapatkan
medikamentosa siprofloksasin 2x500 mg, ambroksol 3x1C, metilprednisolon 3x4
mg dan disarankan untuk kontol ulang 3 lagi hari di Poliklinik THT-KL RSMH
Palembang. Hasil Histopatologi didapatkan kesan, kolesteatoma pada kavum
mastoid aurikula dekstra.

Gambar 14. House-Brackman Paska Operasi

DISKUSI KASUS
Seorang laki-laki, Tn. R berusia 19 tahun dari luar kota datang ke Poliklinik
THT-KL RSMH Palembang pada Juli 2018 dengan keluhan utama keluar cairan
dari telinga kanan. Keluhan berupa keluar cairan dari telinga kanan adalah salah
satu keluhan utama paling sering yang mengarahkan pada diagnosis suatu otitis
media kronik yang ditandai dengan keluarnya sekret dari membran timpani yang
mengalami perforasi. Prasad dkk melaporkan 1 kasus otitis media kronik dengan
keluhan utama keluarnya sekret dari telinga kanan. Dari anamnesis didapatkan
sejak ± 10 tahun yang lalu, pasien mengeluh keluar cairan dari telinga kanan
disertai adanya penurunan pendengaran. Keluhan penurunan pendengaran juga
merupakan keluhan tersering pasien datang berobat. Meski penyebab penurunan
pendengaran cukup banyak, namun otitis media kronik merupakan penyebab
paling sering keluhan ini timbul. Penelitian yang dilakukan oleh Mohan dkk
menjelaskan bahwa otitis media kronik merupakan penyebab tersering adanya
penurunan pendengaran yaitu sekitar 1-46% kasus. Hal ini sejalan dengan temuan
pada penelitian yang dilakukan oleh Srinivas dkk bahwa dari 65-330 juta individu
yang menderita otitis media kronik diseluruh dunia, 39-220 juta penderita
mengalami penurunan pendengaran. Usia 19 tahun merupakan usia remaja
dimana cukup sering ditemukan otitis media kronik, sesuai dengan temuan pada
penelitian yang dilakukan oleh Abla dkk bahwa OMK ditemukan pada 66 pasien
(26,11%) dengan kelompok usia 11-20 tahun.1,3,10,21,29 Sejak ± 8 bulan yang lalu,
pasien mengeluhkan bibir miring dan kelopak mata kanan tidak bisa menutup
sempurna. Keluhan ini mengarahkan adanya kecurigaan kelumpuhan nervus
fasialis. Komplikasi otitis media kronik dapat terjadi intra dan ekstra kranial.
Parese nervus fasialis merupakan suatu komplikasi ekstrakranial yang cukup
sering ditemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Viswanatha dkk mendapatkan
16,48% pasien otitis media kronik mengalami komplikasi ekstrakranial berupa
parese nervus fasialis. Penelitian yang dilakukan oleh Srinivas dkk mendapatkan
insidensi parese nervus fasialis akibat otitis media kronik yaitu sekitar 0,16-
5,1%. Beberapa literatur seperti yang dijelaskan oleh Vebrac dkk menjelaskan
beberapa patogenesis keadaan ini. Parese saraf fasial akibat otitis media kronis
dapat terjadi akibat beberapa penyebab, antara lain: osteitis, erosi tulang,
penekanan oleh edema, inflamasi langsung akibat infeksi atau neurotoksik dari
sekret kolesteatoma. Penyebaran infeksi ke saraf fasial dapat melalui beberapa
jalur, antara lain secara langsung dari telinga tengah atau mastoid. Terbukanya
kanal Fallopi merupakan risiko untuk timbul parese saraf fasial otogenik akibat
otitis media kronik khususnya bila terlihat adanya kolesteatoma.5,29,30
Pada pemeriksaan lokalis telinga didapatkan telinga kanan didapatkan
membran timpani perforasi tipe atik, refleks cahaya (-). Pasien dilakukan
pemeriksaan House Brackmann didapatkan pada wajah sebelah kanan kerutan
dahi tidak ada, penutupan mata tidak sempurna dan sudut plika nasolabialis tidak
ada. Pasien juga dilakukan pemeriksaan Freyss dengan hasil alis kanan tidak
terangkat ke atas, tidak dapat mengerutkan alis kanan, tidak dapat mengangkat
dan mengerutkan hidung, mata sebelah kanan tidak tertutup sempurna, tidak bisa
memperlihatkan gigi sebelah kanan, bibir sebelah kanan tidak terbuka sempurna,
masih bisa menggembungkan pipi kanan, tidak bisa menarik sudut bibir kanan
namun mulut masih bisa mencucu. Pasien dilakukan tes schimmer dengan hasil
mata kanan 10 mm dan mata kiri 27 mm. Pada kasus kecurigaan adanya
kelumpuhan atau parese nervus fasialis akibat otitis media kronik, perlu
dilakukan pemeriksaan motorik dan sensasi pada wajah seperti pemeriksaan
House Brackmaan dan Freyss. Pada pemeriksaan House Brackmann dapat
ditentukan derajat fungsi motorik mulai dari normal hingga adanya parese berat
serta dapat diperkirakan letak kerusakan atau lesi nervus fasialis. Pada pasien
didapatkan parese nervus fasialis berat atau derajat V dengan perkiraan letak lesi
di ganglion genikulata. Pemeriksaan Freyss juga dilakukan untuk menilai
kemampuan motorik nervus fasialis untuk menentukan adanya suatu parese
nervus fasialis. Untuk menunjang diagnosis paralisis nervus fasialis, dapat
dilakukan pemeriksaan topognostik. Uji ini meliputi pemeriksaan adanya rasa
nyeri ditelinga, fungsi pengecapan, produksi air mata, saliva dan adanya refleks
stapedial. Fungsi lakrimasi dapat dinilai dengan tes Schirmer memeriksa sekresi
air mata. Pada pasien didapatkan hasil mata kanan 10 mm dan mata kiri 27 mm.
Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan lebih dari 50% antara mata kanan dan
kiri yang mengindikasikan suatu keadaan patologi yang dapat menunjang
diagnosis parese nervus fasialis yang terjadi pada pasien.5,23
Pasien didiagnosa dengan otitis media kronik auris dekstra dengan
komplikasi parese nervus fasialis dekstra. Pasien dilakukan pemeriksaan
tomografi komputer mastoid didapatkan kesan mastoiditis kanan dengan
kolesteatom disertai destruksi tulang pendengaran dan os mastoid kanan, yang
menyokong otitis media kronis telinga kanan. Hal ini sejalan dengan temuan pada
penelitian yang dilakukan oleh Abla dkk yang menemukan 158 pasien (62,69%)
yang mengalami OMK memiliki gambaran tomografi komputer berupa
mastoiditis disertai dengan kolesteatoma. Tirelli dkk menjelaskan bahwa
pemeriksaan tomografi komputer dan MRI merupakan pemeriksaan utama untuk
mengidentifikasi adanya erosi tulang pada kasus otitis media kronik. Penelitian
yang dilakukan oleh Elkashan menemukan suatu kolesteatoma yang mengerosi
kanalis fasialis yang terlihat dari hasil pemeriksaan tomografi komputer. Hasil
pemeriksaan audiometri pasien menunjukkan adanya gangguan pendengaran tipe
konduktif derajat sedang pada telinga kanan. Tirelli dkk juga menjelaskan bahwa
pada pemeriksaan audiometri penderita OMK biasanya didapati tuli konduktif
dengan berat gangguan pendengaran tergantung besar dan letak perforasi
membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem hantaran suara ditelinga
tengah.6,10,26
Pasien direncanakan dilakukan mastoidektomi telinga kanan. Pilihan
tatalaksana utama pada kasus otitis media kronik dengan kolesteatoma dan
parese nervus fasialis adalah tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan ini
adalah mastoidektomi yaitu tindakan untuk membersihkan seluruh rongga
mastoid dan daerah kanal fasial dari sumber infeksi dan kolesteatoma serta
dekompresi nervus fasialis. Pasien diberikan tatalaksana medikamentosa yaitu
tetes telinga ofloksasin 2x5 tetes telinga kanan, irigasi H2O2 3% 2x5 tetes telinga
kanan, sefiksim 2x100 mg tablet, parasetamol 3x500 mg tablet. Pemberian
antibiotik diperlukan pada kasus otitis media kronik untuk mengontrol infeksi
yang terjadi pada telinga tengah. Pembersihan telinga dan pemberian antibiotik
lokalis berupa tetes telinga juga merupakan suatu upaya tatalaksana dalam
mengatasi infeksi. Pasca operasi pasien mendapatkan medikamentosa sefotaksim
2x1 gram intravena, asam traneksamat 3x500 mg intravena, infus paracetamol 3x
1 gr, injeksi metil prednisolon 3x125 mg intravena (tappering off pertiga hari),
injeksi ranitidin 2x50 mg intravena. Beberapa literatur menjelaskan bahwa
pemberian antibiotik oral disertai pembersihan telinga atau dengan tetes telinga
lebih baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri.5,7,21,29,31

DAFTAR PUSTAKA

1. Mohan S et al. Study of extra cranial complications of chronic otitis media. J


Evid Based Med Healthc. 2016;3(80):4332-4.
2. Kumar S, Thakar A. Spectrum of facial paralysis in chronic otitis media.
Indian Journal of Otology. 2012;18(2):92-4.
3. Chole RA, Sudhoff H. Chronic Otitis Media, Mastoiditis and Petrositis. In:
Flint PW et al, editors. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery.
5th Ed, Vol 1. Philadelphia: Elsevier. 2010.p.1963-80.
4. Meyer TA, Strunk Jr, Lambert P. Cholesteatoma. In: Johnson JT, Rosen CA.
Bailey’s Head and Neck Surgery O tolaryngology. 5th Ed. Vol 2. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.p.2433-46.
5. Vrabec JT, Lin JW. Acute Paralysis of the Facial Nerve. In: Johnson JT,
Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5 th Ed. Vol 2.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.p.2503-18.
6. Tirelli G, Brancatelli S, Piccinato A. Malignant external otitis with facial
nerve paralysis. Austin J Otolaryngol. 2018;5(1):1-3.
7. R Mittal et al. Current concepts in the pathogenesis and treatment of chronic
otitis media. Journal of Medical Microbiology. 2015;64:1103-16.
8. Adoga A, Nimkur T, Silas O. Chronic supurative otitis media: socio-
economic implications in a tertiary hospital in Northen Nigeria. Pan African
Journal. 2010;4(3):1-8.
9. Ghanie A. Paresis saraf fasial karena otitis media kronik dengan
kolesteatoma. ENT Head and Neck Surgery Conference and Annual Otology
Meeting. 2008.p.1-16.
10. Ghanie A dkk. Karakteristik pre dan post operasi penderita otitis media
kronik. Departemen Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher,
Universitas Sriwijaya. 2018.h.1-9.
11. Oghalai JS, Brownell WE. Anatomy and Physiology of the Ear. In: Lalwani
AK, editor. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 3rd Ed. New York: Mc Graw Hill.p.599-616.
12. Snell RS. Clinical anatomy by regions. 9 th Ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business, 2012.p.
13. Gulya AJ. Neuroanatomy. In: Gulya and Schuknecht’s Anatomy of the
Temporal Bone with Surgical Implications. New York: Informa Healthcare,
2007. p. 171-96.
14. Schaitkin BM, Eisenman DJ. Anatomy of Facial Muscles. In: May M,
Schaitkin BM, editors. The Facial Nerve, May’s 2nd Edition. New York:
Thieme, 2000. p. 95-113.
15. Patel AA, Tanna N, Schaitkin BM, Bascom DA. Facial Nerve Anatomy.
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/835286-
overview, Article last update April 22, 2008. March 2009.
16. Gordin et al. Facial nerve trauma: evaluation and consideration in
management. Craniomaxillofac Trauma Recon. 2015;8:1-13.
17. Pelealu O. Mekanisme imun terbentuknya kolesteatoma. Jurnal Biomedik.
2012;4(2):96-103.
18. Chang J. Cholesteatoma. In: Lalwani AK, editor. Current Diagnosis and
Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. 3rd Ed. New York: Mc
Graw Hill.p.682-8.
19. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-
UI, 2007.
20. Choi JW, Park YH. Facial nerve paralysis in patients with chronic ear
infections: surgical outcomes and radiologic analysis. Clinical and
Experimental Otorhinolaryngology. 2015;8(3):218-23.
21. Prasad S et al. Facial nerve paralysis in acute otitis media-management.
Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2017;69(1):58-61.
22. Edward Y, Hafiz A. Terapi dekompresi pada parese saraf fasialis akibat
fraktur tulang temporal. Bagian Telinga Hidung Tenggorokan, Universitas
Andalas Padang. 2010:1-15.
23. Lustig L, Niparko J. Anatomy, Physiology and Testing of the Facial Nerve.
In: Lalwani AK, editor. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 3rd Ed. New York: Mc Graw Hill.p.861-75.
24. Fonseca KM et al. Scales of degree of facial paralysis: analysis of agreement.
Braz J Otorhinolaryngol. 2015;81:288-93.
25. W Alviandi et al. Diagnostic utility of Freys motor examination, House-
Brackmann grading, topognostic tests, and electrophysiological assessment
for unilateral peripheral facial nerve disorder. Journal of Physics: Conf
Series. 2018:1-7.
26. El-Kashlan H et al. Complications of Temporal Bone Infections. In: Flint PW
et al, editors. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5 th Ed, Vol
1. Philadelphia: Elsevier. 2010.p.1979-98.
27. Kim J et al. Facial nerve paralysis due to chronic otitis media: prognosis in
restoration of facial function after surgical intervention. Yonsei Med J.
2012;3(53):642-8.
28. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter I. Ear. In : Ear, Nose
and Throat Disease With Head and Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.111-4.
29. Srinivas C, Vidya H. Complications of recurrent cholesteatoma: a case
report. J of Evolution of Med and Dent Sci. 2015;4(64):11260-5.
30. Viswanatha B, Naseeruddin K. Complications of atticoantral otitis media-
revisited. Advances in Research. 2014;2(11):666-95.
31. Hickson CJ, Cho WS, Juratli A. Medical management of facial nerve palsy
secondary to acute otitis media. Jpurnal of Case Reports. 2016;6(2):233-6.

Anda mungkin juga menyukai