Disusun oleh :
Adi Sakti Setionegoro
Pembimbing :
dr. Aria Dian Primatika, Sp.An, KIC
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun oleh :
Adi Sakti Setionegoro
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.2 Etiologi
Penyebab paling umum adalah penyakit gigi pada gigi geraham bawah
terutama geraham kedua dan ketiga yang menyumbang lebih dari 90% kasus. Setiap
infeksi atau cedera baru-baru ini di daerah tersebut dapat mempengaruhi pasien untuk
terjadi angina Ludwig. Beberapa etiologi yang umum termasuk cedera atau laserasi
pada dasar mulut, fraktur mandibula, cedera lidah, tindik mulut, osteomielitis,
intubasi traumatis, abses peritonsillar, sialadenitis submandibular, dan kista tiroglosus
yang terinfeksi. Faktor predisposisi pada pasien Angina Ludwig berupa karies dentis,
perawatan gigi terakhir, sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah
1.3 Patofisiologi
Infeksi ontogenik mencakup 70% dari kasus. molar mandibula yang kedua
adalah tempat asal paling umum untuk Angina Ludwig, tetapi molar mandibula
ketiga juga umum terlibat. Ruang submandibular dibagi lagi oleh otot mylohyoid
menjadi ruang sublingual superior dan ruang submaxillary inferior. Setelah infeksi
terjadi, infeksi dapat menyebar secara bebas melalui bidang jaringan karena terdapat
ruang yang terhubung. Hal ini terjadi antar ruang menghasilkan sifat bilateral angina
Ludwig. Infeksi juga dapat menyebar ke pharyngomaxillary dan retropharyngeal
spasi. Meskipun infeksi ontogenik adalah yang paling umum rute untuk pengenalan
bakteri ke ruang submandibular terdapat penyebab lain yaitu fraktur rahang bawah,
tindikan frenulum lingual dan lidah, dan injeksi jugularis semuanya memberikan rute
akses. Neoplasma dan calculi saliva juga dapat mengubah anatomi normal dan
menghasilkan infeksi persisten yang mengarah ke angina Ludwig Penyebabnya
adalah infeksi bakteri polimikroba itu termasuk spesies Streptococcus kelompok A. 4
1.4 Tanda dan Gejala
Gejala angina Ludwig bervariasi tergantung pada pasien dan tingkat infeksi.
Banyak gejala umum, seperti demam, kelemahan, dan kelelahan, berkembang sebagai
hasil dari respon imun yang berhubungan dengan infeksi bakteri. Respon inflamasi
menyebabkan edema dari leher dan jaringan ruang submandibular, submaxillary, dan
sublingual. Edema yang signifikan dapat menyebabkan trismus dan ketidakmampuan
menelan air liur. Nyeri, terutama dengan gerakan lidah, umum terjadi pada Angina
Ludwig. Gejala yang menandai penyakit progresif dengan obstruksi jalan napas yang
signifikan termasuk gangguan pernapasan dengan dispnea, takipnea, atau stridor.
Kebingungan atau lainnya perubahan mental dapat terjadi karena hipoksia yang
berkepanjangan. Otalgia, disfagia, disfonia, dan disartria juga diamati. Seperti halnya
infeksi bakteri, sepsis mungkin terjadi. Tanpa perawatan segera, submandibular
infeksi juga dapat dengan cepat menyebar ke mediastinal atau ruang
pharyngomaxillary atau ke tulang, menghasilkan osteomielitis. Pemeriksaan kepala
dan leher akan menunjukkan pembengkakan submandibular ditandai sebagai
penebalan yang kaku dan tegang.
KOAGULASI
Plasma
Prothrombin Time
(PTT)
Waktu
Prothrombin 13.1 detik 9.4 – 11.3 H
PTT Kontrol 10.8 detik
Partial
Thromboplastin
Time (PTTK)
Waktu 44.3 detik 27.7 – 40.2 H
Thromboplastin 30.8 detik
APTT Kontrol
KIMIA KLINIK
Ureum 52 mg/Dl 15 – 39 H
Kreatinin 1.08 mg/Dl 0.60 – 1.30
Elektrolit
Natrium 128 mmol/L 136 – 145 L
Kalium 5.8 mmol/L 3.5 – 5.1 H
Chlorida 98 mmol/L 98 – 107
VI. TINDAKAN
OPERASI
A. Persiapan
Anestesi
1. Informed concent
2. Puasa 6 jam sebelum operasi
3. Infus RL untuk terapi cairan preoperatif
B. Penatalaksanaan
1. Premedikasi
- Obat : Midazolam 3 mg
- Oksigenasi : 3 L/menit selama 5 menit
2. Anestesi
Dilakukan secara general anestesi menggunakan:
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis post operasi, pasien dikirim ke ICU, didapatkan diagnosis:
P:
Posisi pasien semi fowler/ head up 30 derajat
O2
Terapi :
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Morphin 1mg/jam jika TDS >100
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Inj. Dobutamin 10meq/kgBB/menit sp
- Nebulizer: ventolin: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1:1/ 6jam
- Cek darah lengkap dan foto thoraks paska operasi
16
Lab : 21 Juli 2018
HB 14,1
HT 31,8
Leukosit 26,9
Trombosit 143
GDS 19
Laktat 18,93
Na 127
K 6,3
Cl 100
Ca 2,4
Mg 1,0
PPT/K 41,9/10,6
PTTK/k 109,3/32,1
PH 7,141
PCO2 33,5
PO2 57,6
HCO3 11,5
BE -15,5
AaDO2 399,2
SO2c 73,9
17
22/07/2018 pukul 01.30 WIB
S -
O Brain : E2M5Vtrakeostomi
Breath : RR 6x/m SpO2 89%
Blood : TD 60/40 HR 112
Bowel : NT (-) BU (+) normal
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam
Bone : edema -/-
P IVFD RL 2000 ml
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Morphin 1mg/jam jika TDS >100
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Inj. Dobutamin 10mcq/kgBB/menit sp
18
- Inj. Norepinefrin 0,1 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp
- Inj D40% 3 flash
- Nebulizer: ventolin: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1:1/ 6jam
Koreksi hiperkalemia
Inj D40% 2 flash + 10IU insulin jalan 12,5cc/jam
Edukasi keluarga kondisi pasien menurun
Pasien dipindah ke ruang ICU disambung Ventilator Mekanik
19
Bone : edema -/-
A Post ROSC
Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula
yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia
P
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Inj. Dobutamin 20mcq/kgBB/menit sp
- Inj. Norepinefrin 0,2 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp
- Nebulizer: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1/ 6 jam
- Loading RL 500cc
20
Bowel : NT (-) BU (+) normal
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam
Bone : edema -/-
A Post ROSC
Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula
yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia
P - Edukasi ulang keluarga kondisi pasien keluarga menolak
dilakukan tindakan RJP DNR
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
21
teknik anestesi yang dipakai pada kasus ini karena merupakan teknik anestesi
yang paling tepat pada tindakan operasi pasien tersebut. Evaluasi preoperasi
pada pasien dalam keadaan umum lemah.
Premedikasi pada pasien diberikan midazolam 3 mg agar pasien tidak
cemas saat akan dilakukan prosedur operasi. Selain itu juga memberikan efek
amnesia anterograd selama operasi berlangsung.
Obat anestesi yang diberikan meliputi obat inhalasi: 1. Sevoflurane, 2.
O2; Obat injeksi: 1. Propofol 200mg, 2. Roculax 40 mg 3. Fentanyl 100 mcg.
Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasarkan kebutuhan cairan dan
kehilangan cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan.
Anestesi umum yang diberikan sesuai prinsip balans anestesi yaitu
sedasi, analgesi, dan pelumpuh otot. Anestesi ini diberikan agar pasien tidak
merasakan nyeri. Untuk efek sedasi dipilih menggunakan Propofol 200 mg/cc.
Alasan digunakannya Propofol karena onsetnya cepat dan untuk membantu
depresi sistem respirasi agar respirasi dapat dikendalikan. Sedangkan Ketamin
tidak menjadi pilihan karena dapat meningkatkan tonus otot dan hal tersebut
dapat menggaggu kerja operator karena kontraksi dari organ gastro intestinal.
Untuk efek analgesi dipilih menggunakan Fentanil 100 mg/cc. Alasan
digunakannya Fentanil karena kekuatannya jauh lebih kuat dibandingkan
Morfin dan Pethidin. Nyeri yang ditimbulkan akibat tindakan operatif insisi
dapat mencapai VAS 10 sehingga dibutuhkan analgesi yang sangat kuat.
Fentanil juga memiliki durasi kerja yang panjang.
Sedangkan untuk efek pelumpuh otot dipilih menggunakan Roculax
(rocuronium bromide) 40 mg. Rocuronium mengalami eliminasi di hepar, dan
sebagian kecil di ginjal. Atracurium tidak digunakan karena dapat
menimbulkan histamine release yang dapat menyebabkan syok anafilaktik.
Suksinil kolin tidak menjadi pilihan karena dapat memanjang efeknya pada
penderita penyakit hepar, dan durasi kerjanya yang sangat singkat yaitu 3-8
menit.
22
Ketika timbul efek samping dari obat anestesi yaitu penurunan
tekanan darah, pasien akan diberikan maintanance efedrin 10 mg melalui
intravena.
Maintanance efek sedasi digunakan anestesi inhalasi. Obat anestesi
inhalasi yang dipilih yaitu sevofluran 2 % dengan oksigenasi 2 lpm dan N20 2
lpm karena lebih nyaman digunakan daripada isofluran. Sevofluran tidak
berbau dan tidak iritatif pada jalan nafas. Sevofluran dapat berpotensiasi
dengan pelumpuh otot. Meskipun sevofluran menurunkan aliran darah portal,
tetapi meningkatkan aliran darah a.hepatica sehingga mempertahankan total
aliran dan kebutuhan oksigen hepar.
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik,
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor
tanda-tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi
oksigen. Kemudian dipindahkan ke ruang ICU agar dipasangkan monitor dan
ventilator.
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada di atas otot milohioid
dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya
ke atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah
pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang pada anak
umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi gigi.
Selain bersumber dari infeksi gigi abses submandibula dapat berasal dari
infeksi di dasar mulut, infeksi kelenjar liur atau kelenjar getah bening
submandibular, atau merupakan perluasan dari infeksi leher dalam lain.
Pembengkanan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan keluhan
yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai
trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular
yang fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.
Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum
luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan
23
dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang
luas dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum.
Pada pasien ini sangat beresiko terjadinya sepsis akibat infeksi yang
meluas yang berasal dari infeksi gigi yang tidak diobati. Pada pemeriksaan pre
op pasien sudah menandakan tanda- tanda SEPSIS dimana ditemukan RR yang
meningkat demam (+), kesadaran apatis, leukosit yang meningkat. Pengobatan
berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spektrum luas merupakan
kondisi yang harus segera dilakukan pada pasien. Eksplorasi selama operasi
didapatkan bahwa abses sudah mengisi ruang retrotrakheal yang mengancam
patensi jalan napas. Obesitas dan leher pendek pada pasien juga memperberat
patensi airway pada pasien sehingga dilakukan tindakan trakheostomi untuk
secure airway. Disisi lain tindakan trakheostomi dimaksudkan juga untuk
mengurangi emfisema subcutis regio coli yang ada pada pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien post operasi didapatkan tanda –
tanda perburukan kondisi dimana leukosit, ureum, creatinin pasien semakin
meningkat. Kondisi insufisiensi renal pasein yang kemungkinan AKI oleh
karena dehidrasi semakin memburuk, sehingga dilakukan resusitasi cairan post
op dengan loading RL 1000cc. Kondisi hipoglikemi pasien (gds 19) diberikan
D40% 3 flash. Kondisi hiperkalemia (6,3) dikoreksi dengan D40% 2flash +
10IU insulin jalan 12,5cc/jam. Sementara tekanan darah yang rendah berikan
support dobutamin yang sudah diberikan sejak pasien di label merah IGD.
Pada pemeriksaan fisik pasien post operasi ditemukan suara tambahn
berupa stridor di kedua lapang paru saat inspirasi dan wheezing saat ekspirasi
yang mengarah pada kecurigaan terjadinya partial airway obstruction.
Dilakukan suctioning melalui kanul trakheostomi didapatkan sekret putih jernih
bercak darah (+) tidak terlalu banyak dan dilakukan nebulizer. Suctioning
dilakukan secara berkala. Setelah suctioning dan nebulizer, suara stridor dan
wheezing berkurang meskipun masih terdengar.
Kondisi pasien semakin menurun dari kesadaran, tekanan darah dan
pernapasan. Loading cairan serta support Norepineprin dan kemudian
24
vasopresin diberikan kepada pasien untuk mempertahankan sirkulasi pasien.
Permasalahan pada breathing membuat pasien dipindah ke ruang ICU untuk
disambung dengan ventilator mekanik.
Selama perawatan di ICU kondisi pasien semakin menurun hingga
cardiac arrest. Semapat dilakukan RJP dan kembali ROSC. Kemudian kondisi
cardiact arrest kembali terjadi namun keluarga menolak untuk diakukan
tindakan RJP lagi. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan
perawat.
I. KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William
&Wilkins;2006. p.665-84
2. Knoop KJ. Atlas of Emergency Medicine. 2nd edition.New York:
McGraw-Hill Companies;2002
3. Riviello RJ. Otolaryngologic Procedures. In: Roberts JR, Hedges JR.
Clinical Procedures in Emergency Medicine, 4th ed. Philadelphia: Elsevier;
2004.p.
4. Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures.
McGraw-Hill;2003
5. Fachruddin D. Abses Leher dalam. In: Soepardi EA, Iskandar N.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5.
Jakarta:Balai penerbit FKUI; 2003. P185-9
26