Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS ANESTESI

SEORANG LAKI-LAKI 52 TAHUN DENGAN SYOK SEPSIS POST


DEBRIDEMEN DAN INSISI ABSES ET CAUSA PHLEGMON DASAR
MULUT DAN ABSES SUBMANDIBULA

Disusun oleh :
Adi Sakti Setionegoro

Pembimbing :
dr. Aria Dian Primatika, Sp.An, KIC

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO/
RSUP dr. KARIADI
SEMARANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 52 TAHUN POST DEBRIDEMEN DAN INSISI


ABSES et CAUSA PHLEGMON DASAR MULUT

Disusun oleh :
Adi Sakti Setionegoro

Semarang, 28 Mei 2019


Pembimbing,

dr. Aria Dian Primatika, Sp.An,KIC


BAB I
LATAR BELAKANG

Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat (selulitis)


pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit
infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari gigi. Infeksi gigi merupakan
penyakit yang umum terjadi di masyarakat. Infeksi gigi kebanyakan ringan, namun
pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi komplikasi serius dan fatal. Salah
satu komplikasi tersebut adalah phlegmon. Phlegmon atau Angina Ludwig
merupakan selulitis difusa pada regio submandibular bilateral dan submental yang
melibatkan dasar mulut (sublingual). Penyakit ini termasuk kedalam grup infeksi
odontogen dimana infeksi berasal dari rongga mulut seperti lidah, gusi, dan
tenggorokan. Penyebab umum phlegmon adalah penyakit pada gigi geraham bawah
terutama molar 2 dan 3.1
Prevalensi penderita phlegmon terbanyak berkisar antara usia 20-60 tahun
dengan dominasi terjadi pada laki-laki yaitu 3-4 kali lipat dibandingkan pada
perempuan. Namun ada yang melaporkan kasus ini terjadi pada rentang usia yang
lebih luas yaitu 12 hari sampai 84 tahun.2
Sebagian besar infeksi odontogenik disebabkan oleh polimikroba, baik bakteri
gram positif, gram negatif, aerob, maupun anaerob. Kondisi lain yang menjadi faktor
resiko yaitu fraktur mandibula terbuka, abses peritonsil, epiglottitis, tindik lidah, dan
infeksi saluran napas bagian atas.3
Bukti infeksi supuratif phlegmon dapat ditegakkan secara radiologis.
Tatalaksana phlegmon antara lain menjaga patensi jalan napas, pemberian antibiotik
intravena dosis tinggi, dan insisi abses serta drainase antibiotik apabila tidak ada
perbaikan setelah terapi antibiotik. Mencabut gigi yang terinfeksi juga harus
dilakukan untuk menghilangkan fokal infeksi.4
Komplikasi phlegmon yang paling serius adalah asfiksia akibat edema
jaringan lunak pada leher yang mengganggu jalan napas. Prognosis penyakit
bergantung pada pengamanan segera jalan napas dan pemberian antibiotik untuk
mengatas infeksi.5
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada di atas otot milohioid
dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya
ke atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah
pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang pada anak
umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi gigi.
Selain bersumber dari infeksi gigi abses sumbandibula dapat berasal dari
infeksi di dasar mulut, infeksi kelenjar liur atau kelenjar getah bening
submandibular, atau merupakan perluasan dari infeksi leher dalam lain.
Pembengkanan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan keluhan
yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai
trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular
yang fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.
Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum
luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan
dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang
luas dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Phlegmon atau Angina Ludwig


1.1 Definisi
Plegmon atau Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial
mengancam nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral
dan menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas.6,7 Penyakit ini pertama kali
ditemukan oleh Wilhelm Frederick von Ludwig pada tahun 1836 sebagai infeksi
ruang fasial yang hampir selalu fatal. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit
infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi,
lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina
Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta
kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris).

1.2 Etiologi
Penyebab paling umum adalah penyakit gigi pada gigi geraham bawah
terutama geraham kedua dan ketiga yang menyumbang lebih dari 90% kasus. Setiap
infeksi atau cedera baru-baru ini di daerah tersebut dapat mempengaruhi pasien untuk
terjadi angina Ludwig. Beberapa etiologi yang umum termasuk cedera atau laserasi
pada dasar mulut, fraktur mandibula, cedera lidah, tindik mulut, osteomielitis,
intubasi traumatis, abses peritonsillar, sialadenitis submandibular, dan kista tiroglosus
yang terinfeksi. Faktor predisposisi pada pasien Angina Ludwig berupa karies dentis,
perawatan gigi terakhir, sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah

1.3 Patofisiologi

Infeksi ontogenik mencakup 70% dari kasus. molar mandibula yang kedua
adalah tempat asal paling umum untuk Angina Ludwig, tetapi molar mandibula
ketiga juga umum terlibat. Ruang submandibular dibagi lagi oleh otot mylohyoid
menjadi ruang sublingual superior dan ruang submaxillary inferior. Setelah infeksi
terjadi, infeksi dapat menyebar secara bebas melalui bidang jaringan karena terdapat
ruang yang terhubung. Hal ini terjadi antar ruang menghasilkan sifat bilateral angina
Ludwig. Infeksi juga dapat menyebar ke pharyngomaxillary dan retropharyngeal
spasi. Meskipun infeksi ontogenik adalah yang paling umum rute untuk pengenalan
bakteri ke ruang submandibular terdapat penyebab lain yaitu fraktur rahang bawah,
tindikan frenulum lingual dan lidah, dan injeksi jugularis semuanya memberikan rute
akses. Neoplasma dan calculi saliva juga dapat mengubah anatomi normal dan
menghasilkan infeksi persisten yang mengarah ke angina Ludwig Penyebabnya
adalah infeksi bakteri polimikroba itu termasuk spesies Streptococcus kelompok A. 4
1.4 Tanda dan Gejala

Gejala angina Ludwig bervariasi tergantung pada pasien dan tingkat infeksi.
Banyak gejala umum, seperti demam, kelemahan, dan kelelahan, berkembang sebagai
hasil dari respon imun yang berhubungan dengan infeksi bakteri. Respon inflamasi
menyebabkan edema dari leher dan jaringan ruang submandibular, submaxillary, dan
sublingual. Edema yang signifikan dapat menyebabkan trismus dan ketidakmampuan
menelan air liur. Nyeri, terutama dengan gerakan lidah, umum terjadi pada Angina
Ludwig. Gejala yang menandai penyakit progresif dengan obstruksi jalan napas yang
signifikan termasuk gangguan pernapasan dengan dispnea, takipnea, atau stridor.
Kebingungan atau lainnya perubahan mental dapat terjadi karena hipoksia yang
berkepanjangan. Otalgia, disfagia, disfonia, dan disartria juga diamati. Seperti halnya
infeksi bakteri, sepsis mungkin terjadi. Tanpa perawatan segera, submandibular
infeksi juga dapat dengan cepat menyebar ke mediastinal atau ruang
pharyngomaxillary atau ke tulang, menghasilkan osteomielitis. Pemeriksaan kepala
dan leher akan menunjukkan pembengkakan submandibular ditandai sebagai
penebalan yang kaku dan tegang.

1.5 Tata Laksana


Perawatan terkonsentrasi pada empat hal, yaitu :
1. Pemeliharan jalan nafas
2. Insisi dam drainase
3. Terapi antibiotik
4. Eliminasi dari fokus infeksi
Pemeliharaan jalan nafas menjadi prioritas pada penatalaksanaan pasien ,
karena merupakan penyebab utama kematian pada saat pertama dari kasus ini adalah
asfiksia karena obstruksi. Pasien harus selalu di follow up mengenai tanda dan gejala
dari obstruksi jalan nafas seperti stridor dan penggunaan otot bantu nafas. Kontrol
jalan nafas dapat dieksekusi melalui intubasi endotrakheal atau trakheostomi.
Tahap insisi dan drainase diindikasikan untuk dekompresi ruang fascia yang
terlibat dan evakuasi supurasi. Eksekusi beberapa sayatan mungkin diperlukan.
Lokasinya dan ukuran sayatan akan tergantung pada ruang anatomi yang terlibat oleh
infeksi. Biasanya diperlukan pemisahan lobus superfisial kelenjar submandibular dan
percabangan otot milo-hyoid untuk mendekompresi fasia. pembedahan drainase
berhubungan dengan terapi antimikroba. Pembedahan biasanya berhubungan juga
dengan antimikroba yang digunakan dalam rangka pencegahan kembali ke ruang
anatomi yang lebih dalam.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 52 tahun / 17 Maret 1977
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kalipancur RT 10/01, Semarang, Jawa Tengah
No. RM : C749983

3.2 Skrining dan Tanda Vital


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis (GCS E4M6V5)
Alergi : Tidak ada
Nyeri : Nyeri (+) VAS 3
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 83 x/menit
Laju Pernafasan : 16 x/menit
TB : 161 cm
BB : 66 kg

3.3 Pemeriksaan Subjektif


3.3.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Instalasi Gawat Darurat pada tanggal
22 Mei 2019 pada pukul 16.05 WIB
Keluhan Utama : Bengkak pada rahang bawah sampai dengan leher
Riwayat Penyakit Sekarang :
 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan sakit gigi kanan
bawah disertai bengkak pada rahang bawah. Nyeri dirasakan mencengkeram dan
hilang timbul. Nyeri muncul dengan pencetus yang tidak menentu. Nyeri gigi saat
makan (+), trismus (+), bengkak di wajah (+), nyeri kepala (-). Pasien sebelumnya
berobat ke RS Hermina namun karena tidak kunjung membaik akhirnya pasien
dirujuk ke IGD RSDK.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat operasi disangkal
- Riwayat asma disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai Pegawai swasta. Pembiayaan menggunakan BPJS.
Kesan : sosial ekonomi cukup

3.4 Pemeriksaan Objektif


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Instalasi Gawat Darurat pada tanggal
22 Mei 2019 pada pukul 16.05 WIB
3.4.1 Status Generalis
Kondisi umum : Tampak sakit
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Mulut : buka mulut II jari
Leher : benjolan di mandibula sinistra, pus(+)
Sistem Kardiorespirasi :
- Inspeksi : Jejas (-), pengembangan dada normal, simetris stasis dinamis, RR
normal, sesak (-)
- Palpasi : Stem fremitus normal kiri dan kanan sama, ictus cordis teraba di
SIC V linea midclavikula sinistra
- Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru, batas jantung paru normal
- Auskultasi : Suara dasar vesicular (+/+), Bunyi Jantung I-II regular, suara
jantung abnormal (-)
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (21 Mei 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Ket
21/5/19
HEMATOLOGI
Hematologi Paket
Hemoglobin 9.5 g/dl 13.00 – 16.00
L
Hematokrit 30.1 % 40 – 54
L
Eritrosit 3.91 10^6/Ul 4.4 – 5.9
L
MCH 24.2 pg 27.00 – 32.00
MCV 76.6 Fl 76 – 96
MCHC 31.6 g/Dl 29.00 – 36.00
Leukosit 11.7 10^3/Ul 3.8 – 10.6 H
Trombosit 544 10^3/Ul 150 – 400 H
RDW 19.4 % 11.60 – 14.80 H
MPV 11.1 Fl 4.00 – 11.00
H

KOAGULASI
Plasma
Prothrombin Time
(PTT)
Waktu
Prothrombin 13.1 detik 9.4 – 11.3 H
PTT Kontrol 10.8 detik
Partial
Thromboplastin
Time (PTTK)
Waktu 44.3 detik 27.7 – 40.2 H
Thromboplastin 30.8 detik
APTT Kontrol

KIMIA KLINIK
Ureum 52 mg/Dl 15 – 39 H
Kreatinin 1.08 mg/Dl 0.60 – 1.30
Elektrolit
Natrium 128 mmol/L 136 – 145 L
Kalium 5.8 mmol/L 3.5 – 5.1 H
Chlorida 98 mmol/L 98 – 107

3.6 Diagnosis Kerja


Diagnosis kerja : Abses mandibular, Phlegmon dasar mulut

VI. TINDAKAN
OPERASI

- Debridemen insisi abses


VII. TINDAKAN
ANESTESI
Jenis anestesi : Anestesi General
Risiko anestesi : Sedang
ASA : II

A. Persiapan
Anestesi
1. Informed concent
2. Puasa 6 jam sebelum operasi
3. Infus RL untuk terapi cairan preoperatif
B. Penatalaksanaan
1. Premedikasi
- Obat : Midazolam 3 mg
- Oksigenasi : 3 L/menit selama 5 menit
2. Anestesi
Dilakukan secara general anestesi menggunakan:

- Obat : Propofol 200 mg


Roculax 50 mg
Fentanyl 100 mcg
- Maintenance : Sevoflurane, O2, N2O
- Posisi pasien : Terlentang
Mulai anestesi : 15.00 WIB
Selesai anestesi : 18.15 WIB
Lama anestesi : 195 menit
3. Teknik Anestesi
- I.V : Intermiten
- Umum Inhalasi : Semi closed, ET Uk 6,5
C. Terapi Cairan
BB : 66 kg
EBV : 70 cc/kgBB × 66 kg = 4620 cc
Jumlah perdarahan : 350 cc
% perdarahan = 350 /4620 × 100%
=7,57%
Jumlah urin : 400 ml
Kebutuhan cairan :
- Maintenance (M) = 2 cc × 66 kg = 132 cc/jam
- Stress operasi (SO) = 6 cc × 66 kg = 396 cc/jam
- Depresi puasa (DP) = 132 cc/jam × 6 jam = 792 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi
- Jam I = M + SO + ½ DP = 132 + 396 + 396 =
924 cc
- Jam II = M + SO + ¼ DP = 132 + 396 + 198 =
726 cc
- Jam III = M + SO +1/4 DP = 132 + 396 + 198 =
726 cc
- Jam IV = M + SO + = 132 + 396 =
528 cc
Cairan yang diberikan :
- RL 1500 cc
- Nacl 1000 cc

Waktu Heart Rate Tekanan SpO2


Keterangan
(WIB) (x/menit) Darah (mmHg) (%)
15.00 Anestesi mulai 120 110/70 100
15.30 Operasi mulai 120 110/70 100
18.00 Operasi selesai 110 80/50 100
18.15 Anestesi selesai 110 80/50 100

Tabel 12. Hasil Pemantauan Heart Rate, Tekanan Darah, dan


Saturasi Oksigen Selama Operasi
D. Pemakaan obat/bahan/alat
1. Obat injeksi : Propofol
Rocuronium
Fentanyl
Midazolam
Paracetamol

2. Obat inhalasi : Sevoflurane


N2O
O2

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis post operasi, pasien dikirim ke ICU, didapatkan diagnosis:

Abses mandibula Phlegmon dasar mulut


15
Penatalaksanaan paska pembedahan di ICU
Masuk Tanggal : 21 Mei 2019 jam : 23.00 WIB
S -
O Brain : E2M5VET
• Breath : RR 6x/m SpO2 89%
• Blood : TD 60/40 HR 112
• Bowel : NT (-) BU (+) normal
• Bladder : UOP >1cc/kgBB/jam
• Bone : edema -/-

A Post incisi drainase + ekplorasii a/i abces submandibula yang meluas


ke retrotrakheal

P:
Posisi pasien semi fowler/ head up 30 derajat
O2
Terapi :
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Morphin 1mg/jam jika TDS >100
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Inj. Dobutamin 10meq/kgBB/menit sp
- Nebulizer: ventolin: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1:1/ 6jam
- Cek darah lengkap dan foto thoraks paska operasi

16
Lab : 21 Juli 2018
HB 14,1

HT 31,8

Leukosit 26,9

Trombosit 143

GDS 19

Ureum /Creatinin 52/ 0,9

Laktat 18,93

Na 127

K 6,3

Cl 100

Ca 2,4

Mg 1,0

PPT/K 41,9/10,6

PTTK/k 109,3/32,1

PH 7,141

PCO2 33,5

PO2 57,6

HCO3 11,5

BE -15,5

AaDO2 399,2

SO2c 73,9

17
22/07/2018 pukul 01.30 WIB
S -
O Brain : E2M5Vtrakeostomi
Breath : RR 6x/m SpO2 89%
Blood : TD 60/40 HR 112
Bowel : NT (-) BU (+) normal
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam
Bone : edema -/-

A Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula


yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia

P IVFD RL 2000 ml
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Morphin 1mg/jam jika TDS >100
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Inj. Dobutamin 10mcq/kgBB/menit sp

18
- Inj. Norepinefrin 0,1 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp
- Inj D40% 3 flash
- Nebulizer: ventolin: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1:1/ 6jam

Koreksi hiperkalemia
Inj D40% 2 flash + 10IU insulin jalan 12,5cc/jam
Edukasi keluarga kondisi pasien menurun
Pasien dipindah ke ruang ICU disambung Ventilator Mekanik

22/07/2018 pukul 05.00 WIB


S -
O pasien tidak sadar, apneu, nadi carotuis tidak teraba
A Cardiac Arrest
P - Edukasi keluarga kondisi pasien

- Dilakukan RJP hingga 16 ampul Adrenalin + SA 4 ampul ROSC


- Inj. Dobutamin 20mcq/kgBB/menit sp
- Inj. Norepinefrin 0,2 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp

22/07/2018 pukul 05.30 WIB


S -
O Brain : E1M2Vtrakeostomi
Breath : RR 17x/m SpO2 97%
Blood : TD 80/56 HR 80
Bowel : NT (-) BU (+) normal
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam

19
Bone : edema -/-

A Post ROSC
Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula
yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia
P
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Inj. Dobutamin 20mcq/kgBB/menit sp
- Inj. Norepinefrin 0,2 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp
- Nebulizer: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1/ 6 jam
- Loading RL 500cc

22/07/2018 pukul 07.50 WIB


S -
O Brain : E1M1ET
Breath : RR 12x/m SpO2 90%
Blood : TD 56/23 HR 26

20
Bowel : NT (-) BU (+) normal
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam
Bone : edema -/-

A Post ROSC
Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula
yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia
P - Edukasi ulang keluarga kondisi pasien  keluarga menolak
dilakukan tindakan RJP  DNR

22/05/2019 pukul 08.05 WIB


S -
O pasien apneu, nadi caroris tidak teraba, pupil midriasis
Ekg asistole
A cardiac arrest
P pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan perawat

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus ini, pasien seorang laki-laki usia 52 tahun dilakukan


tindakan debridemen dan insisi atas indikasi abses mandibula phlegmon dasar
mulut dengan menggunakan anestesi umum. Anestesi umum dipilih sebagai

21
teknik anestesi yang dipakai pada kasus ini karena merupakan teknik anestesi
yang paling tepat pada tindakan operasi pasien tersebut. Evaluasi preoperasi
pada pasien dalam keadaan umum lemah.
Premedikasi pada pasien diberikan midazolam 3 mg agar pasien tidak
cemas saat akan dilakukan prosedur operasi. Selain itu juga memberikan efek
amnesia anterograd selama operasi berlangsung.
Obat anestesi yang diberikan meliputi obat inhalasi: 1. Sevoflurane, 2.
O2; Obat injeksi: 1. Propofol 200mg, 2. Roculax 40 mg 3. Fentanyl 100 mcg.
Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasarkan kebutuhan cairan dan
kehilangan cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan.
Anestesi umum yang diberikan sesuai prinsip balans anestesi yaitu
sedasi, analgesi, dan pelumpuh otot. Anestesi ini diberikan agar pasien tidak
merasakan nyeri. Untuk efek sedasi dipilih menggunakan Propofol 200 mg/cc.
Alasan digunakannya Propofol karena onsetnya cepat dan untuk membantu
depresi sistem respirasi agar respirasi dapat dikendalikan. Sedangkan Ketamin
tidak menjadi pilihan karena dapat meningkatkan tonus otot dan hal tersebut
dapat menggaggu kerja operator karena kontraksi dari organ gastro intestinal.
Untuk efek analgesi dipilih menggunakan Fentanil 100 mg/cc. Alasan
digunakannya Fentanil karena kekuatannya jauh lebih kuat dibandingkan
Morfin dan Pethidin. Nyeri yang ditimbulkan akibat tindakan operatif insisi
dapat mencapai VAS 10 sehingga dibutuhkan analgesi yang sangat kuat.
Fentanil juga memiliki durasi kerja yang panjang.
Sedangkan untuk efek pelumpuh otot dipilih menggunakan Roculax
(rocuronium bromide) 40 mg. Rocuronium mengalami eliminasi di hepar, dan
sebagian kecil di ginjal. Atracurium tidak digunakan karena dapat
menimbulkan histamine release yang dapat menyebabkan syok anafilaktik.
Suksinil kolin tidak menjadi pilihan karena dapat memanjang efeknya pada
penderita penyakit hepar, dan durasi kerjanya yang sangat singkat yaitu 3-8
menit.

22
Ketika timbul efek samping dari obat anestesi yaitu penurunan
tekanan darah, pasien akan diberikan maintanance efedrin 10 mg melalui
intravena.
Maintanance efek sedasi digunakan anestesi inhalasi. Obat anestesi
inhalasi yang dipilih yaitu sevofluran 2 % dengan oksigenasi 2 lpm dan N20 2
lpm karena lebih nyaman digunakan daripada isofluran. Sevofluran tidak
berbau dan tidak iritatif pada jalan nafas. Sevofluran dapat berpotensiasi
dengan pelumpuh otot. Meskipun sevofluran menurunkan aliran darah portal,
tetapi meningkatkan aliran darah a.hepatica sehingga mempertahankan total
aliran dan kebutuhan oksigen hepar.
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik,
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor
tanda-tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi
oksigen. Kemudian dipindahkan ke ruang ICU agar dipasangkan monitor dan
ventilator.
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada di atas otot milohioid
dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya
ke atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah
pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang pada anak
umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi gigi.
Selain bersumber dari infeksi gigi abses submandibula dapat berasal dari
infeksi di dasar mulut, infeksi kelenjar liur atau kelenjar getah bening
submandibular, atau merupakan perluasan dari infeksi leher dalam lain.
Pembengkanan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan keluhan
yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai
trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular
yang fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.
Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum
luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan

23
dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang
luas dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum.
Pada pasien ini sangat beresiko terjadinya sepsis akibat infeksi yang
meluas yang berasal dari infeksi gigi yang tidak diobati. Pada pemeriksaan pre
op pasien sudah menandakan tanda- tanda SEPSIS dimana ditemukan RR yang
meningkat demam (+), kesadaran apatis, leukosit yang meningkat. Pengobatan
berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spektrum luas merupakan
kondisi yang harus segera dilakukan pada pasien. Eksplorasi selama operasi
didapatkan bahwa abses sudah mengisi ruang retrotrakheal yang mengancam
patensi jalan napas. Obesitas dan leher pendek pada pasien juga memperberat
patensi airway pada pasien sehingga dilakukan tindakan trakheostomi untuk
secure airway. Disisi lain tindakan trakheostomi dimaksudkan juga untuk
mengurangi emfisema subcutis regio coli yang ada pada pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien post operasi didapatkan tanda –
tanda perburukan kondisi dimana leukosit, ureum, creatinin pasien semakin
meningkat. Kondisi insufisiensi renal pasein yang kemungkinan AKI oleh
karena dehidrasi semakin memburuk, sehingga dilakukan resusitasi cairan post
op dengan loading RL 1000cc. Kondisi hipoglikemi pasien (gds 19) diberikan
D40% 3 flash. Kondisi hiperkalemia (6,3) dikoreksi dengan D40% 2flash +
10IU insulin jalan 12,5cc/jam. Sementara tekanan darah yang rendah berikan
support dobutamin yang sudah diberikan sejak pasien di label merah IGD.
Pada pemeriksaan fisik pasien post operasi ditemukan suara tambahn
berupa stridor di kedua lapang paru saat inspirasi dan wheezing saat ekspirasi
yang mengarah pada kecurigaan terjadinya partial airway obstruction.
Dilakukan suctioning melalui kanul trakheostomi didapatkan sekret putih jernih
bercak darah (+) tidak terlalu banyak dan dilakukan nebulizer. Suctioning
dilakukan secara berkala. Setelah suctioning dan nebulizer, suara stridor dan
wheezing berkurang meskipun masih terdengar.
Kondisi pasien semakin menurun dari kesadaran, tekanan darah dan
pernapasan. Loading cairan serta support Norepineprin dan kemudian

24
vasopresin diberikan kepada pasien untuk mempertahankan sirkulasi pasien.
Permasalahan pada breathing membuat pasien dipindah ke ruang ICU untuk
disambung dengan ventilator mekanik.
Selama perawatan di ICU kondisi pasien semakin menurun hingga
cardiac arrest. Semapat dilakukan RJP dan kembali ROSC. Kemudian kondisi
cardiact arrest kembali terjadi namun keluarga menolak untuk diakukan
tindakan RJP lagi. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan
perawat.

I. KESIMPULAN

seorang laki-laki usia 52 tahun dilakukan tindakan debridemen dan insisi


atas indikasi abses mandibula phlegmon dasar mulut dengan tata laksana post
operasi di ruang intensif. Selama perawatan di ruang instensif kondisi pasien
semakin menurun hngga meninggal. Kemungkinan penyebab kematian pada
pasien tersebut adalah partial airway obstruction yang tidak teratasi dengan baik
sehingga terjadi kegagalan pada breathing dan sirkulasi pasien.
Kegagalan dalam patency airway dapat menyebabkan kematian pasien
dalam waktu yang singkat. Apabila terjadi obstruksi airway (total maupun
partial) akan berakibat pada kegagalan fungsi sirkulasi dan breathing pasien yang
mengancam nyawa. Oleh sebab itu patency airway menjadi fokus yang sangat
penting dalam merawat pasien di ruang intensif.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William
&Wilkins;2006. p.665-84
2. Knoop KJ. Atlas of Emergency Medicine. 2nd edition.New York:
McGraw-Hill Companies;2002
3. Riviello RJ. Otolaryngologic Procedures. In: Roberts JR, Hedges JR.
Clinical Procedures in Emergency Medicine, 4th ed. Philadelphia: Elsevier;
2004.p.
4. Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures.
McGraw-Hill;2003
5. Fachruddin D. Abses Leher dalam. In: Soepardi EA, Iskandar N.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5.
Jakarta:Balai penerbit FKUI; 2003. P185-9

26

Anda mungkin juga menyukai