BAB I - Referensi
BAB I - Referensi
Disusun oleh:
ASMA YUNI JUMAD
NIM. 2011-83-006
Pembimbing
Dr. R. Limmon, Sp. THT-KL. MARs
Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, aktivitas harian dan kenyamanan. Polip
nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di
dalam rongga hidung. Polip nasi ini dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau
tanpa bantuan endoskopi.1,2
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari
hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa
dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat
prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan
dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi
polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan
bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3% (Erbek et al., 2007;
Soepardi dkk., 2007).2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
Nama : Ny M. N. L
Umur : 39 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tulehu
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
No. RM : 12 96 86
Waktu Pemeriksaan : 09 April 2018
Ruang Pemeriksaan : Poli Klinik THT-KL
2.2 ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Pasien Merasa Sesak Napas
2. Anamnesis terpimpin :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sudah 1 bulan yang lalu. Pasien
menuturkan bahwa keluhan sesak ini bertambah parah ketika pasien merasa lelah. Selain
itu, sesak juga disertai sakit kepala, batuk dan pilek. Ketika pilek keluar sekret berwarna
bening, konsistensinya cair, dan tidak berbau. Nyeri menelan (-), sendawa (-), suara parau
(-), telinga terasa penuh (-), bunyi (-), gatal (-).
3. Riwayat penyakit dahulu : Pernah melakukan pembedahan Polip, 2 tahun yang lalu.
4. Riwayat keluarga : Ibu, riwayat alergi
5. Riwayat penyakit sistemik : tidak ada
6. Riwayat alergi : Alergi debu
7. Riwayat pengobatan : konsumsi Analgesik jika kepala mulai tersa sakit.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 75x/ menit
Pernapasan : 20x/ menit
Suhu : 37’ C
B. Pemeriksaan Telinga
1. Inspeksi dan Palpasi Kanan Kiri
Bentuk, Ukuran Normal Bentuk, Ukuran Normal
2. Otoskopi
Kanan Kiri
Daun Telinga Nyeri tekan, nyeri tarik (-/-) Nyeri tekan, nyeri tarik (-/-)
Liang Telinga Lapang, Debris (+), sekret (-) Lapang, sekret (+), debris (-)
Membran Timpani RC (+), Intak (+) RC (+), Intak (+)
3. Pemeriksaan Pendengaran
Kanan Kiri
Rinne + +
Weber Lateralisasi sama Lateralisasi sama
Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Kesimpulan Normal Normal
C. Pemeriksaan Hidung
1. Inspeksi dan Palpasi
Kanan Kiri
Bentuk, ukuran, NT Normal, (+) Normal, (+)
Kelainan kulit Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Sinus paranasal Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan
2. Rhinoskopi Anterior
Kanan Kiri
Cavun Lapang, Sekret (+) Lapang, Sekret (+)
Concha Massa (+), Licin(+), Odema (+), Massa (+), Licin(+), Odema (+),
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
D. Pemeriksaan Tenggorokan
1. Inspeksi
Tonsil : T1/T1, Licin, Warna Merah muda, Detritus (-), Kripta (-)
Orofaring : R. Palatum (+), granula (-), hiperemis (-), edama (-), PND (-)
Uvula : Deviasi (-), edema (-), hiperemis (-)
2. Laringoskopi Inderect : Tidak dilakukan Pemeriksaan
E. Pemeriksaan Leher
1. KGB : Pembesaran (-), Nyeri tekan (-)
2. Kelenjar Tiroid : Pembesaran (-), Nyeri tekan (-)
3. Nodul/Tumor : Pembesaran (-)
2.7. Terapi :
1. Medikamentosa : Cetrizine 1x1
2. Anjuran : Rujuk ke RSU Makassar untuk melakukan Politektomi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.. Bagian kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum
ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. 1
Gambar 3.2 Dinding lateral cavun Nasi
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis
os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona
prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila,
dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine
dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung.1
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya
terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka
media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.1
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius, dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika,
sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.1
3. Faktor Predesposisi
a. Alergi Ada reaksi imun terhadap alergen tertentu (debu, serbuk sari, bulu binatang
peliharaan), makanan (seafood, kacang, produk susu). Reaksi normal tubuh terhadap
iritasi adalah untuk menghasilkan banyak lendir untuk flush alergen keluar. Hal ini
menyebabkan radang pada membran lendir. Hay fever, rinitis alergi atau alergi
musiman semua reaksi alergi yang disebabkan oleh pohon yang berbeda dan serbuk
sari tanaman. Serbuk sari yang menyebabkan iritasi selaput lendir lalu membengkak
dan terasa gatal.
b. Kondisi keturunan Cystic fibrosis menyebabkan kelenjar tertentu dalam
membran lendir untuk memproduksi lendir lengket dan banyak yang mengakibatkan
peradangan berkepanjangan membran tersebut.
c. Kondisi yang diperoleh Orang yang memiliki kondisi pernafasan kronis lebih
berisiko terkena polip hidung karena selaput lendir mereka terus meradang. Asma
adalah salah satu kondisi seperti mana lapisan selaput lendir di tenggorokan dan
saluran pernapasan menjadi meradang, mengerut dan menghasilkan jumlah kelebihan
lendir.3
4. Patofisiologi
Polip nasi bukanlah penyakit tetapi produk akhir peradangan konstan yang sering
hasil dari pilek dan flu, infeksi bakteri, alergi atau dari reaksi atas sistem kekebalan tubuh
seseorang terhadap jamur. Polip nasi terjadi akibat selaput lendir yang meradang dalam
satu atau lebih dari rongga sinus dan lubang hidung.
Gambar 3.2. Alir Cairan yang terbentuk sehingga terjadi polip nasi
5. Manifestasi Klinik
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat
menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian
dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal.
Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri
dapat disertai pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. 2
Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas hidup. Dapat juga
menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik dan mengi,
terutama pada penderita polip hidung dengan asma.
Pembagian Polip Hidung (Pembagian stadium polip menurut Mackey dan Lund (1997):
Stadium 1 Polip masih terbatas di meatus medius
Stadium 2 Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
Stadium 3 Polip yang massif.
b. Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan mudah digerakkan.2
c. Pemeriksaan Penunjang
Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior,
akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan
sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip
yang gagal diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.4
7. Penatalaksanaan
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu4 :
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu
A. Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis.
Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta
tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.4
a. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya
menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah
pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik
yang diberkan harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap
spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan
mikroorganisme pada sinusitis kronis.
b. Korticosteroid
Topikal Korticosteroid Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan
pertama untuk polip hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini
juga berguna pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya
dapat mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal
ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal
drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip
hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran dari
polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.5
Sitemik Kortikosteroid Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal
masih belum banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi
dengan terapi kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total
dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan
pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat
mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan
mengurangi ukuran polip.5
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal
yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8
mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam
mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal selain itu juga
meningkatkan kemampuan penghidu.
c. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik
akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan
adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna
pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat diberikan
pada pasien dengan intoleransi aspirin.5
B. Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien
yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan
infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien
polip hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa
ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi
Caldwell-luc untuk sinus maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu
menggunakan operasi endoskopik dengan navigasi komputer dan instrumentasi
power.5
8. Komplikasi
Polip nasi yang tunggal dan kecil mungkin tidak menimbulkan komplikasi. Peradangan di
dalam sinus dari alergi, pilek / flues atau bahkan infeksi bakteri dapat meningkatkan laju
pertumbuhan polip nasi. Polip nasi besar atau multiple dapat menyebabkan penyumbatan
dalam saluran rongga hidung dan sinus. Hal ini dapat mengakibatkan beberapa
komplikasi lain seperti: Apnea obstruktif tidur dan Perubahan struktur wajah.2
9. Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik
(dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan
pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu
follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi,
bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan
inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi
pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan pemeriksaan
endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid
diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung.2
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut. Rekurensi
dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal yang besar
seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps.5
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan polip nasal dupleks bilateral yang ditegakkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung dengan pemeriksaan penunjang (pada
status pasien dari dokter sebelumnya) . Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak, hidung
tersumbat serta batuk pilek sudah 1 bulan yang lalu. Keluhan hidung tersumbat, sesak, batuk dan
pilek ini juga disertai keluhan sakit kepala yang sering dirasakan oleh pasien. Selain itu, pasien
juga mengatakan bahwa 2 tahun yang lalu, pasien mengalami proses pembedahan polip nasi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya massa berwarna coklat dibagian konka media, terlihat
seperti menggantung. Hal ini menunjang ke arah diagnosis polip nasi yang recurent. Untuk
rencana penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan arahan dari dokter spesialis sebelumnya
pasien dirujuk ke RSU Makassar untuk kembali dilakukan proses pembedahan atau politektomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Drakel R, Vogl W, Mitchell A. Gray’s Dasar- dasar Anatomi. Penerbit: ELSEVIER. 2012
2. Soepardi, Efiaty Arsyad; Iskandar, Nurbaiti. Editor : Polip Nasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga-Hidung-Tenggorokan-Kepala-Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007
3. Boies, Adams, Lawrence, Higler A. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.
1997
4. Ardani DM, Parwati DW. Polip hidung dan Penatalaksanaan. Tugas Akhir. Departeman Ilmu
kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran universitas Airlangga.
Surabaya: 2013
5. Taufiq, Amalia. Polip Nasi Rekuren Bilateral Stadium 2 Pada Wanita Dengan Riwayat
Polipektomi Dan Rhinitis Alergi Persisten. Tugas Akhir. Departeman Ilmu kesehatan Telinga
Hidung dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran universitas Lampung. Lampung: 2015
2.Soepardi, Efiaty Arsyad; Iskandar, Nurbaiti. Editor : Polip Nasal. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan-Kepala-Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007
3. Boies, Adams, Lawrence, Higler A. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.
1997