Anda di halaman 1dari 29

PANDUAN

0 x6 60
x6 x6
60 0 x6

50x50x5
x5

50
6 60

2717
0x
0

x6

x5
x6
x5

C150x65x20x3 0 x6
60

0
50

x5
50x50x5

50x50x5
5
0x

50
x5

x5
50

x6
50x50x5

50x50x5
0 60

0x
x6 x6
60

5
0x
6

50x50x5 50x50x5 50x50x5 50x50x5 50x50x5 50x50x5


+8.500

1569 1569 1569 1569 1569 1569

Disusun Oleh :
HARYANTO YOSO WIGROHO
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2019
BAB I
PERENCANAAN ATAP

1.1. Rencana Gording

Rencana atap pada bangunan merupakan bagian yang sangat penting,


mengingat fungsi dan estetika bangunan yang bersangkutan. Dalam perencanaan
atap perlu dipertimbangkan lebih dulu perencanaan gording dari atap tersebut.

Gambar 1.1 Denah rencana atap

Untuk merencanakan gording perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.

a) Jarak gording mendatar untuk atap genteng atau sirap antara 1500mm sampai
maksimum 2000mm, sedang untuk atap seng atau asbes antara 1000 sampai
1200mm.

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008 1


Perencanaan Atap 2

b) Bentang gording ditentukan oleh jarak antar kuda-kuda, sebaiknya jarak kuda-
kuda sama dengan jarak kolom struktur. Tetapi kalau tidak memungkinkan
jarak kuda-kuda diambil antara 2500mm sampai 4000mm untuk atap genteng
atau sirap. Untuk atap seng atau asbes jarak kuda-kuda bisa diambil sampai
6000mm.

c) Jumlah sag-rod atau batang tarik penahan beban arah sumbu lemah gording
ditentukan oleh bentang gording (jarak kuda-kuda). Jarak sag-rod ini bisa
diambil maksimum 2000mm.

d) Batang ikatan angin dipasang dengan bentuk silang diantara kuda-kuda. Ikatan
angin ini tidak perlu dipasang pada setiap kuda-kuda, tetapi dapat dipasang
selang-seling.

e) Setelah semua hal tersebut dipertimbangkan, dibuatlah gambar denah rencana


atap seperti pada contoh gambar 1.1.

Setelah denah rencana atap dibuat, kemudian direncanakan gording seperti


dijelaskan gambar 1.2 berikut.

Beban gording :
2
- berat sendiri = diperkirakan = ……. kN/m’
a
- berat atap = x berat atap = ……. kN/m’
3 cos 
- berat plafon = a x berat plafon = ……. kN/m’
 Dead Load (D) rencana gording q = …….. kN/m’
Beban pekerja P diambil sebesar 1,0 kN sebagai
Beban gording arah sb-2 beban Live (L)
P cos 
Rencana momen gording :
q cos 
1 1
q cos  L1  P cos  L1 
2
M 3,D  M 3,L  
8 4
L1 2
1  L1  1  L1 
M 2,D  q sin    M 2,L   P sin   
Beban gording arah sb-3 8  3 4  3
P sin  M 3,U  1,4M 3,D  *
q sin   pilih yang besar M 3,U
M 3,U  1,2M 3,D  1,6M 3,L 
M 2,U  1,4M 2,D  *
 pilih yang besar M 2,U
L1 L1 L1
3 3 3
M 2,U  1,2M 2,D  1,6M 2,L 
Gambar 1.2. Rencana Gording

Kemudian pilih dimensi gording C, dan dari tabel profil diperoleh property
penampang antara lain : I3 = Ix (mm4) ; I2 = Iy (mm4) ; W3 = Wx (mm3) dan W2 = Wy
(mm3)

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 3

Cek tegangan pada profil C :

M 3*,U M 2*,U
fb    Fy , jika tidak dipenuhi pilih profil yang lain
W 3 W 2

dengan nilai  = 0,9 untuk lentur dan geser (tabel 6.4-2 SNI 03-1729-2002)

Cek defleksi gording :


5 q cos  L1  1 P cos  L1 
4 3 4 3
5 q sin   L1  1 P sin   L1 
2   dan  3      
384 EI 48 EI 384 EI  3  48 EI  3 

1
   32   22  L1 , sesuai batas lendutan maksimum (tabel 6.4-1 SNI 03-1729-
240
2002)

Hitungan sag-rod :
Jumlah gording di bawah nok pada gambar 1.1 sejumlah n=4 baris, sehingga

 L1  n
gaya sag-rod terbesar ialah : Ft ,D  n  q sin   dan Ft ,L  P sin 
3  2

Ft ,U  1,4Ft ,D  *
Kombinasi beban :  pilih yang besar Ft (kN)
Ft ,U  1,2Ft ,D  1,6Ft ,L 

Ft* .10 3
Luas batang sag-rod yang diperlukan : Asr  mm 2 → pilih diameter sag-rod
Fy
yang dibutuhkan.

Hitungan sag-rod :

Untuk batang ikatan angin biasanya tidak ada hitungan yang terperinci,
biasanya langsung ditentukan dengan mempertimbangkan bentang dan jarak kuda-
kuda. Untuk kasus ini batang ikatan angin ditentukan 16mm.

1.2. Rencana Beban Kuda-kuda

Untuk merencanakan beban kuda-kuda dapat dilakukan setelah dimensi


gording, sag-rod dan lainnya ditentukan. Dengan melihat denah rencana atap dapat
dibuat bagan kuda-kuda seperti ditunjukkan Gambar 1.3. Lebar tritisan diambil
sebesar b, yang besarnya bervariasi antara 750mm sampai dengan 1250mm.

Beban-beban P1, P2 dan P3 dihitung sesuai dengan jarak gording (lebar atap
yang didukung) dan panjang gording (jarak antara kuda-kuda), yang dijelaskan
seperti berikut. Berat atap dan plafon diambil dari peraturan pembebanan yang
berlaku, untuk berat sendiri kuda-kuda diperkirakan 0,50 kN/m’.

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 4

P3
P2 P2
P2 P2
P2 P2
P1 P1

b a a a a a a a a b

Gambar 1.3. Bagan rencana kuda-kuda

a
Beban P1 : - berat sendiri kuda-kuda = x berat kuda-kuda = ……. kN
2
- berat gording = L1 x berat gording per-m’ = ……. kN
a 
  b
- berat atap =
2  x L1 x berat atap = ……. kN
cos 
a 
- berat plafon =   b  x L1 x berat palfon = ……. kN
2 
Beban P1 = ……. kN

Beban P2 : - berat sendiri kuda-kuda = a x berat kuda-kuda = ……. kN


- berat gording = L1 x berat gording per-m’ = ……. kN
a
- berat atap = x L1 x berat atap = ……. kN
cos 
- berat plafon = a x L1 x berat palfon = ……. kN
Beban P2 = ……. kN

Beban P3 : - berat sendiri kuda-kuda = a x berat kuda-kuda = ……. kN


- berat gording = 2 x L1 x berat gording per-m’ = ……. kN
a
- berat atap = x L1 x berat atap = ……. kN
cos 
- berat plafon = a x L1 x berat palfon = ……. kN
Beban P3 = ……. kN

Beban P1, P2 dan P3 tersebut adalah beban mati (D), beban hidup (L) diambil
sesuai ketentuan dalam Peraturan Pembeban, dalam hal ini diambil sebesar 1,0 kN
pada setiap joint.

Untuk beban angin ditentukan koefisien angin tiup (Cti) dan angin isap (Cis)
sesuai dalam Peraturan Pembebanan, dan dijelaskan pada gambar 1.4. Beban angin
dikerjakan pada tiap joint atas kuda-kuda seperti dijelaskan berikut.

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 5

C ti C is

b a a a a a a a a b

(a) Koefisien beban angin


W3 W4
W2 W5
W2 W5
W2 W5
W1 W6

b a a a a a a a a b

(b) Beban angin dari kiri pada joint


W4 W3
W5 W2

W5 W2
W5 W2
W6 W1

b a a a a a a a a b

(c) Beban angin dari kanan pada joint

Gambar 1.4. Bagan rencana kuda-kuda

Beban angin dari kiri, besarnya W1, W2, W3, W4, W5 dan W6 dihitung sesuai
dengan besar tiupan angin (Qw), koefisien beban angin (Cti atau Cis), jarak gording
(lebar atap yang didukung) dan panjang gording (jarak antara kuda-kuda), yang
dijelaskan seperti berikut.

a 
  b
Beban W1 =
2  x C x L1 x Q = ……. kN
ti w
cos 
a
Beban W2 = x Cti x L1 x Qw = ……. kN
cos 
1 a
Beban W3 = x Cti x L1 x Qw = ……. kN
2 cos 
1 a
Beban W4 = x Cis x L1 x Qw = ……. kN
2 cos 

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 6

a
Beban W5 = x Cis x L1 x Qw = ……. kN
cos 
a 
  b
Beban W6 =
2  x C x L1 x Q = ……. kN
is w
cos 
Untuk beban angin dari kanan, beban-beban W1, W2, W3, W4, W5 dan W6
arahnya dibalik seperti dijelaskan pada gambar 1.4( c).

Dari bentuk kuda-kuda dan beban-beban yang telah ditentukan, kemudian


dibuat model dalam 2 dimensi menggunakan soft-ware SAP2000 atau yang lain,
untuk diketahui defleksi dan gaya-gaya dalamnya. Setelah defleksi di-cek terhadap
syarat dalam SNI 03-1729-2002 bab 6.4.3, kemudian dibuat tabel gaya batang
seperti yang dijelaskan pada tabel 1.1.

Tabel 1.1. Rencana gaya-gaya batang pada kuda-kuda

Beban Beban Gaya


1,2DL + 1,2DL +
No Panjang Beban Beban Angin Angin 1,2DL + rencana
1,4DL 1,3 Wki 1,3 Wka
Batang (mm) DL (kN LL (kN) Kiri Wki Kanan Wka 1,6 LL
+ 0,5 LL + 0,5 LL (kN)
(kN) (kN)
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11)

dst

Tabel 1.1 tersebut merupakan kombinasi pembebanan untuk kuda-kuda


sesuai SNI 03-1729-2002 bab 6.2.2. Gaya-gaya rencana pada kolom 11, diperoleh
dari kombinasi yang diberikan pada kolom 7, 8, 9 dan 10, dipilih yang terbesar.

1.3. Rencana Elemen Kuda-kuda

Pada perencanaan elemen kuda-kuda ada dua hal yang perlu diperhatikan.
Pertama adalah perencanaan elemen tarik (tanda positif), dan perencanaan elemen
tekan (tanda negatif).

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 7

Untuk perencanaan elemen tarik dapat digunakan persamaan (10.1.1-1) pada


SNI 03-1729-2002 sebagai berikut.

Nu
ft   f y , dengan nilai  = 0,9 (1-1)
 Ag
dan syarat kelangsingan:
Lk
 <300 untuk elemen sekunder Ps. 10.3.4
r
L
  k <240 untuk elemen primer Ps. 10.3.4
r
dengan : ft = tegangan tarik (MPa)
Nu = gaya aksial tarik rencana (N)
Ag = luas penampang bruto profil (mm2)
 = angka kelangsingan
Lk = panjang elemen (mm)
r = jari-jari girasi minimum (mm)

Untuk perencanaan elemen tekan dapat digunakan persamaan (9.3-6) pada


SNI 03-1729-2002 sebagai berikut.

 Nu
fc   f y , dengan nilai  = 0,85 (1-3)
 Ag
dan syarat kelangsingan:
L
  k <200 untuk elemen struktur tekan Ps. 9.1.2)
r
nilai  dihitung dengan persamaan (7.6-5) SNI 03-1729-2002 seperti berikut:
untuk c < 0,25 maka  = 1
1,43
untuk 0,25 < c < 1,2 maka  =
1,6  0,67c
untuk c > 1,2 maka  = 1,25(c )2
1 Lk fy
dengan nilai c 
 r E

Keterangan : fc = tegangan tarik (MPa)


Nu = gaya aksial tekan rencana (N)
Ag = luas penampang bruto profil (mm2)
 = angka kelangsingan
Lk = panjang elemen (mm)
r = jari-jari girasi minimum (mm)

1.4. Rencana Sambungan Elemen Kuda-kuda

Untuk perencanaan sambungan elemen kuda-kuda ada dua macam


sambungan yang digunakan, ialah sambungan baut dan sambungan las. Dua
macam sambungan ini dipilih karena dalam praktik banyak dijumpai. Sebenarnya
disamping dua macam sambungan tersebut masih ada macam sambungan yang

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 8

lain, seperti misalnya sambungan paku keling, tetapi sambungan ini untuk saat ini
sudah jarang dijumpai.

Untuk merencanakan sambungan harus diikuti ketentuan dalam SNI 03-


1729-2002 bab 13, khususnya bab 13.1.3, 13.1.4, 13.2 sampai 13.5. Pada bab
13.1.4 butir b).(iii) sambungan sendi pada balok sederhana harus diperhitungkan
gaya geser minimum sebesar 40 kN.

Pada sambungan baut perlu diperhitungkan terhadap kegagalan geser dan


kegagalan tumpu. Dari kedua hal tersebut diambil nilai yang menentukan, ialah
nilai yang kecil.

Pada kegagalan geser kuat geser rencana baut dihitung sesuai persamaan
(13.2-2) dari SNI 03-1729-2002 sebagai berikut:

V d   f r1 f ub Ab dalam (N) (1-5)

dengan : f = faktor reduksi kekuatan untuk fraktur sebesar 0,75


r1 = 0,5 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser
r1 = 0,4 untuk baut dengan ulir pada bidang geser
fub = tegangan tarik putus baut (MPa)
Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (mm2)

Pada kegagalan tumpu kuat tumpu rencana baut tergantung pada yang
terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung. Apabila jarak lubang tepi
terdekat dengan sisi pelat dalam arah kerja gaya lebih besar dari 1,5 kali diameter
lubang, jarak antar lubang lebih besar dari 3 kali diameter lubang, dan ada lebih
dari satu baut dalam arah kerja gaya, maka kuat rencana tumpu dihitung sesuai
persamaan (13.2-7) dari SNI 03-1729-2002 sebagai berikut:

R d  2,4  f db t p f u dalam (N) (1-6)

dengan : f = faktor reduksi kekuatan untuk fraktur sebesar 0,75


db = diameter baut (mm)
tp = tebal pelat terkecil yang disambung (mm)
fu = tegangan tarik putus yang terendah antara baut atau pelat (MPa)
Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir (mm2)
Catatan: untuk tebal tp ditentukan dengan memilih antara 2 kali tebal
siku dan 1 kali tebal pelat simpul, kemudian dipilih yang
terkecil.

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 9

2 bidang
geser baut

pelat sambung/
pelat simpul
siku

Gambar 1.5. Penampang geser baut

Untuk menghitung jumlah baut dipilih nilai yang terkecil antara kuat geser
baut dan kuat tumpu pelat. Dari persamaan (1-5), karena pada kasus ini ada dua
bidang geser, maka kuat geser baut menjadi 2Vd, dan kuat tumpu pelat pada
persamaan (1-6) tetap Rd , maka nilai 2Vd dan Rd dipilih yang terkecil, hal ini
dijelaskan pada gambar 1.5, kemudian jumlah baut dihitung dengan :

Nu
nb  (1-7)
2V d atau R d
dengan : nb = jumlah baut, minimal 2 buah baut
Nu = gaya elemen yang disambung (N)
2Vd = dua kali kuat geser baut (N)
Rd = kuat tumpu pelat (N)

Jarak baut ditentukan sesuai bab 13.4 SNI 03-1729-2002, yang dijelaskan
bahwa jarak antar pusat lubang pengencang tidak boleh kurang dari 3 kali diameter
nominal pengencang. Jarak dari tepi pelat sampai pusat pengencang harus dipenuhi
seperti pada tabel 13.4-1 sesuai SNI 03-1729-2002, sedang jarak maksimum
ditentukan seperti pada bab 13.4.3 dan 13.4.4 pada SNI 03-1729-2002.

Jenis sambungan las dibedakan dalam las sudut, las tumpul, las pengisi atau
las tersusun. Las tumpul ialah jenis sambungan las dimana terdapat penyatuan
antara las dan bahan induk sepanjang kedalaman penuh sambungan. Las sudut
ialah jenis sambungan las dimana las mengisi sisi-sisi diantara dua bahan yang
disambung. Las pengisi ialah jenis las sudut disekeliling lubang bulat atau selot.
Untuk jelasnya dapat dilihat gambar 1.6.

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 10

tw

tl
tw
(a) Las tumpul (b) Las sudut

Gambar 1.6. Macam sambungan las

Macam elektroda las (kawat las) dijelaskan pada Persyaratan Umum Bahan
Bangunan di Indonesia (PUBI-1982). Kawat las yang banyak digunakan dalam
praktik adalah E420-xx dan E490-xx dalam satuan SI. Dalam satuan psi E420-xx
setara dengan E60-xx, dan E490-xx setara dengan E70-xx.

Beberapa penjelasan yang penting diberikan apda tabel 1.2 dan 1.3 berikut.

Tabel 1.2 Klasifikasi Elektrofa Las

Posisi
Klasifikasi Jenis lapisan Jenis arus **)
pengelasan *)

E420-10 Natrium, Selulosa tinggi F, H, V, OH DC+


E420-11 Kalium, Selulosa tinggi F, H, V, OH AC atau DC+
E420-12 Natrium, Titania tinggi F, H, V, OH AC atau DC
E420-13 Kalium, Titania tinggi F, H, V, OH AC atau DC+
E420-20 Oksida besi tinggi F, AC atau DC+
H-las sudut AC atau DC
E420-27 Oksida besi F, AC atau DC+
Serbuk besi H-las sudut AC atau DC
E490-14 Serbuk, Titania F, H, V, OH AC atau DC+
E490-15 Natrium Hydrogen rendah F, H, V, OH DC+
E490-16 Kalium Hydrogen rendah F, H, V, OH AC atau DC+
E490-18 Serbuk besi, Hydrogen rendah F, H, V, OH AC atau DC+
E490-24 Serbuk besi, Titania F, H las sudut AC atau DC+
E490-28 Serbuk besi, Hydrogen rendah F, H las sudut AC atau DC+
Diambil dari tabel 80-1 dan tabel 80-2 PUBI-1982
*) F=posisi bawah tangan, V=poisi vertikal, H=posisi horisontal, OH=posisi di atas kepala
**) DC+=arus searah elektroda di positif, DC=arus searah elektroda di negatif, DC+=arus searah elektroda di positif
atau negatif, AC=arus bolak-balik

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 11

Tabel 1.3 Kuat tarik dan batas ulur Elektrofa Las

Kuat tarik Batas Ulur Regangan min.


Klasifikasi
minimum (MPa) min. (MPa) (%) pada L0=5d0

E420-10 436 351 22


E420-11 436 351 22
E420-12 471 387 22
E420-13 471 387 22
E420-20 436 351 22
E420-27 436 351 22
E490-14 506 422 22
E490-15 506 422 22
E490-16 506 422 22
E490-18 506 422 22
E490-24 506 422 22
E490-28 506 422 22
Diambil dari tabel 80-4 PUBI-1982

Pada sambungan profil siku terlebih dahulu ditentukan gaya yang didukung
las seperti yang dijelaskan pada gambar 1.7 sebagai berikut.

2 sisi las

Nu,2

h - ce
siku h garis netral profil
Nu
Nu,1 ce

pelat sambung/ Le
pelat simpul

Gambar 1.7. Sambungan las pada profil siku

Besarnya gaya rencana untuk sambungan las ditentukan sebagai berikut :

N u h  c e 
N u ,1  (1-8a)
h
N c 
N u ,2  u e (1-8a)
h

dengan : Nu = gaya elemen rencana (N)


h = tinggi profil siku (mm)
ce = jarak garis netral (mm), ada pada tabel profil
Nu,1 = gaya rencana 1 (N)
Nu,2 = gaya rencana 2 (N) → Nu,1 dan Nu,2 dipilih yang besar

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 12

Pada sambungan kuda-kuda dengan menggunakan profil siku ganda ini jenis
las yang sesuai adalah las sudut. Ukuran tebal las (tl) minimum pada las sudut
diberikan pada tabel 13.5-1, sedangkan ukuran tebal las maksimum diberikan pada
bab 13.5.3.3 sesuai SNI 03-1729-2002. Panjang efektif las sudut diatur pada bab
13.5.3.5, dan jarak las sudut diatur pada bab 13.5.3.7 dan 13.5.3.8 sesuai SNI 03-
1729-2002.

SIKU 2L60

A SIKU 2L50
LAS
SIKU 2L50
SIKU 2L100 SIKU 2L100 PLAT SIMPUL 8mm
PLAT TUMPU 10mm PLAT TUMPU 10mm

300 ANGKUR 2Ø16mm 300 ANGKUR 2Ø16mm

200
250

DETAIL DUDUKAN KUDA-KUDA POTONGAN A


SKALA 1 : 20 SKALA 1 : 20

(a) Detail dudukan kuda-kuda

SIKU 2L50 SIKU 2L50 SIKU 2L50 SIKU 2L50

2 4 - 80 BAUT Ø12mm
5

25
40 2
80

40
80

25

SIKU 2L50 25 SIKU 2L50

80 80 40 40
25 25 25 25

DETAIL SAMBUNGAN LAS DETAIL SAMBUNGAN BAUT


SKALA 1 : 10 SKALA 1 : 10

(b) Detail sambungan kuda-kuda

Gambar 1.8. Contoh detail sambungan kuda-kuda siku

Kuat rencana las sudut dapat diambil sesuai persamaan (13.5-3a) dan (13.5-
3b) SNI 03-1729-2002 sebagai berikut.

R u   f 0,75 t l (0,6 f uw ) → (untuk las) (1-9a)


atau R u   f 0,75 t l (0,6 f u ) → (untuk bahan dasar) (1-9b)
dengan : Ru = kekuatan las (N/mm’)

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 13

f = faktor reduksi kekuatan saat fraktur sebesar 0,75


fuw = tegangan tarik putus logam las (MPa)
tl = tebal las seperti gambar 1.6
fu = tegangan tarik putus logam bahan dasar (MPa)

Kekuatan sambungan las (Ru) dipilih yang terkecil antara persamaan (1-9a)
dan persamaan (1-9b), kemudian panjang efektif las Le ditentukan dengan :

N u ,1
Le  (1-10a)
2R u
Secara teori panjang las pada gaya Nu,2 adalah lebih kecil dibanding dengan
panjang las pada gaya Nu,1 , tetapi dalam praktik panjang las ini dibuat sama sebsar
Le. Hal ini adalah untuk memudahkan dalam pengawasan dan untuk menghindari
kesalahan dari tukang bajanya, misalnya terbalik.

Contoh gambar kuda-kuda baja dan detail sambungan diberikan pada


gambar 1.8 dan gambar 1.9.

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


6 60
0x x6
x6 0x
60 6

5
5 0

0x
6 60

x5
0x

x5
x6
C150x65x20x3 x6

0x
0x

50x50x5
6

50
60

5
2717

5
0x
50

x5
x5

50
50x50x5
50x50x5
0x
0 x6

5
60
x6 x6
60 0x
6

50x50x5
50x50x5
50x50x5 50x50x5 50x50x5 50x50x5 50x50x5 50x50x5
+8.500

1569 1569 1569 1569 1569 1569

RENCANA KUDA-KUDA BAJA


SKALA 1 : 50

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


KETERANGAN :
PLAT SAMBUNGAN PANJANG
KUDA-KUDA PROFIL TEBAL LAS
SIMPUL LAS SUDUT LAS

60x60x6 2 4 - 100 4 mm 100 mm


KB 8mm
50x50x5 2 4 - 80 4 mm 80 mm

PLAT KOPEL TEBAL 5mm JARAK MAKS. 500mm

Gambar 1.9 Contoh rencana kuda-kuda baja siku


Perencanaan Atap
14
BAB II
PERENCANAAN TANGGA DAN PELAT

2.1. Denah Ruang Tangga

Untuk merencanakan tangga terlebih dahulu ditentukan denah ruang tangga


seperti yang dijelaskan seperti pada gambar 2.1.

L1
balok Ltg 2
tangga
3 Antrede
NAIK h tg

Optrede
L1

B2

B C
(a) Denah ruang tangga (b) Detail anak tangga

Gambar 2.1 Perencanaan tangga

Untuk merencanakan ruang tangga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.

a) Menentukan lebar bordes yang besarnya minimum adalah selebar tangga, jadi dalam
hal ini lebar bordes ialah setengah lebar dari L1.

b) Menentukan tinggi optrede (O) yang besarnya antara 150mm sampai 200mm,
sehingga jumlah anak tangga antar lantai adalah tinggi lantai dibagi dengan O
 h 
 n tg  lt  . Sedapat mungkin besarnya O merupakan bilangan bulat dalam ukuran
 O 

milimeter.

c) Besarnya antrede (A) ditentukan 280mm atau 300mm, sehingga lebar tangga Ltg
 1 h lt 
adalah  1 A
2 O 

O 
d) Sudut kemiringan tangga adalah   tan 1  
A

e) Rumus untuk menentukan hubungan optrede dan antrede : A  2O  570  600 mm

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008 15


Perencanaan Tangga Dan Pelat 16

2.2. Rencana Beban Tangga

Untuk merencanakan beban tangga dapat dilakukan setelah dimensi ruang


tangga dan sudut kemiringan tangga diperoleh, kemudian tebal pelat tangga (htg)
diperkirakan. Beban yang bekerja pada tangga dijelaskan seperti pada gambar 2.2 dan
ditentukan sebagai berikut.
q bd

q tg

L1
Ltg 2

B1 C

Gambar 2.2. Potongan 1 tangga dan beban tangga

h tg
Beban qtg : - berat sendiri tangga = x berat volume beton = ……. kN/m2
cos 
1
- berat anak tanga = O x berat volume beton = ……. kN/m2
2
- berat ubin & spesi = 0,05 x berat volume ubin = ……. kN/m2
- berat railling (diperkirakan) = 1,00 kN/m2
Beban qtg = ……. kN/m2

Beban qbd : - berat sendiri tangga = htg x berat volume beton = ……. kN/m2
- berat ubin & spesi = 0,05 x berat volume ubin = ……. kN/m2
- berat railling (diperkirakan) = 1,00 kN/m2
Beban qbd = ……. kN/m2

Setelah beban tangga ditentukan, kemudian untuk menghitung gaya-gaya


rencana dapat digunakan bantuan soft-ware SAP200, atau dihitung secara manual dan
kemudian digambarkan SFD, BMD seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.

(a) SFD (b) BMD


Gambar 2.3. Gambar SFD dan BMD tangga dari SAP2000

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Tangga Dan Pelat 17

2.3. Rencana Penulangan Tangga

Untuk merencanakan penulangan tangga dilakukan setelah gaya-gaya rencana


tangga, antar lain : momen dan geser dihitung. Dari gaya-gaya rencana tersebut
kemudian dihitung luas tulangan tangga, dan di-cek tebal tangga (htg) terhadap gaya
geser rencana.

M u  1,4M DL 
 dipilih kombinasi yang besar  M ur
M u  1,2M DL  1,6M LL 

V u  1,4V DL 
 dipilih kombinasi yang besar  V ur
V u  1,2V DL  1,6V LL 

Dari Mur diperoleh luas tulangan tangga Atg dalam mm2, dan Vur digunakan untuk cek
ketebalan tangga (htg) dengan Vc > Vur . Jika Vc < Vur maka tebal tangga perlu diperbesar.
Contoh gambar penulangan tangga diberikan seperti gambar 2.4. berikut.

300 300 300 300 300 300 300 1300


D13-150
P8-200 +1.050

150

150 P8-200
D13-300
D13-300 BALOK BORDES
150
P6-200
150 P8

150 P8-200
D13-150
150 D13-150

±0.000 150
P8-200

D13-300
TEBAL PLAT TANGGA 130mm

D13-150 D13-150

P8-200 P8-200

D13-150
P8-200

150
-1.800
70
LANTAI KERJA
200 150 650

1000

3400
DETAIL PENULANGAN TANGGA (POT. 1-1) G
SKALA 1 : 20

Gambar 2.4. Contoh gambar penulanagan tangga

Pondasi tangga direncanakan dengan mempertimbangkan daya dukung ijin


tanah. Untuk merencanakan dimensi pondasi tangga dapat dilakukan langkah berikut.

Beban tangga pada pondasi adalah:

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Tangga Dan Pelat 18

- beban mati (DL) tangga pada dukungan B1 = ………. kN/m’


- beban hidup (LL) tangga pada dukungan B1 = ………. kN/m’
- beban dinding/sloof tangga = btg x d x beton = ………. kN/m’ +
Beban Qtg = ……….... kN/m’
b tg

muka tanah
Qtg Qtg

h pondasi

( B e) e B min
2 2 max

B B

(a) Beban tangga (b) Tegangan pada tanah

Gambar 2.5. Beban pondasi tangga dan tegangan tanah

Tegangan tanah ijin dikurangi dengan berat tanah dan berat sendiri pondasi akan
diperoleh tegangan tanah neto seperti berikut:

 neto   tan ah  d  h pondasi  tan ah   h pondasi  beton  (2-1)

Lebar pondasi tangga (=B) diperkirakan, dan panjang tegak lurus bidang gambar
dianggap 1 satuan panjang (1 meter), kemudian di-cek tegangan pada tanah yang terjadi:

Q tg Q tg (e )
 max  6   neto (2-2a)
B B2

Q tg Q tg (e )
dan  min  6 0 (2-2b)
B B2

Untuk merencanakan penulangan pelat pondasi tangga, dihitung tegangan


terfaktor sebagai berikut:

- beban mati (DL) tangga pada dukungan B1 x 1,2 = ………. kN/m’


- beban hidup (LL) tangga pada dukungan B1 x 1,6 = ………. kN/m’
- beban dinding/sloof tangga = btg x d x beton x 1,2 = ………. kN/m’ +
Beban Qutg = ……….... kN/m’
Selanjutnya dihitung tegangan max dan min seperti pada persamaan (2-2a) dan
(2-2b), dengan menggantikan Qtg dengan Qutg. Momen dan geser rencana pada pelat
pondasi dihitung sebagai berikut:

1  u max   u min   B    u min   B


2
1  1 
Mu    e  btg  dan V u  u max   e  btg 
2 2 2 2  2 2 2 

Selanjutnya dapat direncanakan tulangan pelat pondasi dari Mu, dan cek ketebalan pelat
pondasi dari gaya geser pelat pondasi Vu.

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Tangga Dan Pelat 19

2.4. Rencana Pelat Lantai

Untuk merencanakan pelat lantai terlebih dahulu ditentukan denah rencana pelat
lantai, lengkap dengan balok-balok anak. Sebagai contoh diberikan pada gambar 2.6.
Dari denah rencana pelat tersebut kemudian direncanakan pembebanan pelat seperti
ditunjukkan pada tabel 2.1.

A B C

L1
5

A B C

L1
4

L1
B C

L1
C

A B C
L1

B1 B2 B3
A B C D

Gambar 2.6. Denah rencana pelat lantai

Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pelat ini adalah menentukan tebal
pelat yang akan direncanakan. Bab 11.5 pada SNI 03-2847-2002 menjelaskan tentang
lendutan dan tebal minimum balok dan pelat, sedang pada bab 15 dijelaskan tentang
perencanan pelat dua arah.

Untuk menggambar penulangan pelat, sebaiknya tidak terlalu banyak variasi


macam penulangan pelat. Hal ini untuk memudahkan dalam praktik, disamping juga
untuk memudahkan pengawasan di lapangan. Secara teori memang bisa saja macam
penulangan pelat terdiri dari banyak variasi, dengan maksud untuk menghemat baja
tulangan yang digunakan. Namun hal tersebut dalam praktiknya justru akan
mempersulit pemasangan dan juga menyulitkan dalam pengawasannya.

Pada gambar 2.7 dan 2.8 diberikan contoh gambar penulangan pelat, dengan dua
alternatif untuk dipilih. Pada gambar tersebut dianggap variasi tulangan tipe A, B dan C
pada gambar 2.6 disamakan. Walaupun sebenarnya tulangan pelat tipe A dan C jarak

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Tangga Dan Pelat 20

tulangannya lebih besar secara teori daripada pelat tipe B, tetapi dalam praktik dibuat
sama, untuk memudahkan dalam pelaksanaan.

Tabel 2.1 Contoh pembebanan pada masing-masing fungsi pelat

Fungsi Macam Tebal B. Vol B. Mati, D B.Mati Plat B.Hidup, L Wu=1,2D+1,6L


Plat Pembebanan mm kN/m 3 kN/m 2 kN/m 2 kN/m 2 kN/m2
1. Beban sendiri 100 24 2,400
Atap 2. Beban pasir - - -
3. Beban ubin + spesi - - -
4. Beban plafon - - 0,180
5. Lain-lain -> finishing (wp) 20 21 0,420

Total 3,00 0,600 1,000 5,200

1. Beban sendiri 120 24 2,880


Lantai 2. Beban pasir 50 18 0,900
3. Beban ubin + spesi 50 21 1,050
4. Beban plafon - - 0,180
5. Lain-lain
Total 5,010 2,130 2,50 10,012

Tabel 2.2 Contoh analisis penulangan pelat

Tipe Kondisi Ly Koef. Mu Vu  Vc A Dipasang


Arah
Plat Tumpuan Lx 0,001x kN.m kN kN mm2 T. Pokok mm2 T.Bagi

Atap Mlx 59 1) 0,940 4,550 44,7 2) 200 3) 8-200 250 6-200


1,7 Mtx 59 0,940
A

Wu= Ly = 3000 Mly 36 0,573 200 8-200 250 6-200


5,200k
Lx = 1750 Mty 36 0,573
N/m2
ht = 120mm

Lantai Mlx 62 5,587 15,018 55,9 298 8-150 333 6-200


2,0 Mtx 62 5.587
B

Wu= Ly = 6000 Mly 35 3,154 240 8-150 333 6-200


10,012
Lx = 3000 Mty 35 3,154
kN/m2
ht = 120mm

Lantai Mlx 56 2,243 10,012 55,9 240 8-150 333 6-200


1,5 Mtx 56 2,243
C

Wu= Ly =3000 Mly 37 1,482 240 8-150 333 6-200


10,012
Lx = 2000 Mty 37 1,482
kN/m2
ht = 120mm
1) Koefisien momen diambil dari Peraturan Beton Indonesia (PBI) tahun 1971 untuk pelat dengan tumpuan
monolit di ke-empat sisi
2) Kuat geser beton Vc berdasarkan pada fc’ = 20 MPa

3) Luas tulangan berdasarkan pada mutu baja fy = 240 MPa

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Tangga Dan Pelat 21

A B C D
3000 6000 3000

P8-150
P6-200

P8-150

P8-150

P8-150
P6-200

P8-150

P8-150

P8-150
P8-150 P8-150 P8-150 P8-150
4000

P6-200
P6-200
P6-200

P6-200

P6-200
P6-200
P8-150

P6-200 P6-200

5
P8-150

P8-150
P6-200
4000

h = 120 mm

Gambar 2.7. Contoh gambar penulangan pelat lantai alternatif 1

A B C D
3000 6000 3000

6
P8-150
P8-300
P8-300

P6-200
P8-300
P8-150

P8-300

P6-200

P8-300
P8-300
P8-300 P8-300
P6-200

P8-300
P8-300

P8-300
4000

P6-200

P8-300 P8-300
P8-300
P6-200
P6-200

P6-200 P6-200
P8-300

P8-300
P8-300

P8-300

5
P8-150

P8-150

P6-200
4000

h = 120 mm

Gambar 2.8. Contoh gambar penulangan pelat lantai alternatif 2

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


LAMPIRAN - LAMPIRAN

1. Profil Kanal C Tipis

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008 22


Perencanaan Atap 23

2. Profil Siku Sama-kaki

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 24

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 25

3. Contoh Gambar Balok Anak

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 26

4. Contoh Gambar Portal

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 27

5. Contoh Gambar Denah Pondasi & Sloof

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008


Perencanaan Atap 28

6. Contoh Gambar Detail Pondasi

Modul PRAKTIK REKAYASA oleh Haryanto Yoso Wigroho 2008

Anda mungkin juga menyukai