Anda di halaman 1dari 15

PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP PERKEMBANGAN

KEAGAMAAN1
Oleh: Rohim Habibi, S.Pd.I.

A. Pengantar
Manusia merupakan makhluk mental –berkaitan juga dengan rohani-
dan jasmani. Tubuh manusia berasal dari materi dan mempunyai kebutuhan-
kebutuhan materi, sedangkan roh manusia bersifat immateri dan mempunyai
kebutuhan spiritual.2 Keduanya selalu berkembang bersama secara bertahap.
Menurut Jean Piaget yang disadur oleh I Nyoman Surna dan Olga D.
Pandeirot, bahwa perkembangan intelektual berjalan beriringan dengan
perkembangan biologis.3 Namun perkembangan keduanya adakalanya tidak
tumbuh bersama. Sebagian orang mengalami pertumbuhan fisik lebih cepat
dibandingkan mentalnya dan sebaliknya, kedewasaan mental tidak sebanding
dengan pertumbuhan fisiknya. Orang tua menjadi nahkoda dalam tumbuh dan
berkembangnya mental pada anak. Ikhtiar orang tua dalam menumbuh-
kembangkan mental anak salah satunya adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Ia
mampu melahirkan kualitas manusia secara utuh, baik fisik maupun mental.
Pendidikan4 dilakukan guna menciptakan manusia berkualitas secara jasmani
maupun rohani, baik kehidupannya secara fisik maupun kehidupannya secara
mental.5 Lebih kongkret, pendidikan mampu membentuk manusia berkarakter

1
Makalah dipresentasikan pada hari Sabtu, tanggal 25 Maret 2017 Pukul 10.00 WIB.
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1978, 36.
3
I Nyoman Surna dan Olga D. Pandeirot, Psikologi Pendidikan 1, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2014, 55.
4
Teks Asli: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lihat:
Kemendikbud, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, 5.
5
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Salman Harun, Bandung: PT. Al
Ma’arif, 1984, 27.
religius-etis6. Yaitu manusia yang sukses dunia dan akhirat. Pada akhirnya,
manusia yang berkualitas akan mentransformasikan kebaikannya pada
masyarakat. Masyarakat berkualitas menjadikan negara tentram dan damai.
Negara tentram mampu menciptakan tatanan yang baik bagi manusia.
Pendidikan diyakini merupakan poros utama kemajuan sebuah bangsa dan
negara. Pendidikan berasal dari manusia dan akan kembali kepada manusia.
Proses pendidikan bisa terjadi dimana saja, di keluarga, masyarakat
ataupun sekolah. Semua lapangan pendidikan tersebut berpengaruh terhadap
perkembangan mental manusia. Pendidikan pada keluarga merupakan pondasi
dari pendidikan selanjutnya. Misalnya masalah pemahaman agama.
Kemampuan agama pada anak, bisa dilihat dari sejauh mana orang tua
memahami mengenai agama dan menularkannya pada anak. Hukum itu
berlangsung sampai anak memasuki usia dewasa, yang logis dan realistis.
Pemahaman agama pun berubah dari logis ke realistis, dan pengaruh sosial
bisa saja merubah agama yang ia pahami saat masih anak-anak. Makalah ini
akan mengkaji pengaruh pendidikan terhadap tingkat pemahaman keagamaan.
Dimulai dari mengkaji makna sesungguhnya pendidikan, dilanjutkan dengan
kajian mengenai perkembangan keagamaan pada anak, remaja dan dewasa.

B. Makna Pendidikan
Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi
antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di
masyarakat. Namun pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah.
Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang
terprogram dan bersifat formal atau disengaja untuk pendidikan dan
terkontrol. Dengan kerangka seperti itu, menurut Al Ghazali dalam Asrorun
Ni’am Sholeh, pendidik mengambil peran penting dalam proses pendidikan,
oleh karena itu harus saleh.7

6
Asrorun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam: Mengurai Relevansi Konsep Al
Ghazali Dalam Konteks Kekinian, Jakarta: eLSAS, 2005, 55-56.
7
Asroun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam..., 74.

1
Sedangkan pendidikan dalam arti makro (luas) menurut Henderson
dalam Uyoh Sadulloh, pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan
perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan
lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.8
Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman
belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses
pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak
manusia lahir).
Jadi pendidikan dalam arti luas, hidup adalah pendidikan, dan
pendidikan adalah hidup (life is education, and education is life). Maksudnya
bahwa pendidikan adalah segala pengalaman hidup (belajar) dalam berbagai
lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi
pertumbuhan atau perkembangan individu. Pendidikan mempengaruhi hidup
manusia. Manusia adalah makhluk berpendidikan. Makhluk yang selalu
berhubungan dengan proses pendidikan.
Islam memandang umat manusia sebagai makhluk yang dilahirkan
dalam keadaan kosong, tak berilmu pengetahuan. Namun demikian, Tuhan
memberi potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemaslahatan umat
manusia itu sendiri.9 Pendidikan harus memiliki kemaslahatan. Bukan kosong
dan hampa. Pendidikan berorientasi masa depan. Berbasis kebutuhan manusia.
Jadi, Pendidikan –dalam arti sempit maupun luas- merupakan proses interaksi
manusia untuk tujuan menciptakan manusia yang saleh, baik dunia maupun
akhirat. Saleh secara mental maupun spiritual.

8
Uyoh Sadulloh, dkk., Pedagogik, Bandung: Alfabeta, 2011, 15.
9
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rajawai Press, 2010, 87.

2
C. Perkembangan Keagamaan Pada Manusia
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa
yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada
kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Melainkan, manusia juga menginginkan dan membutuhkan sesuatu yang
bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.10 Manusia
secara kodrati memahami nilai agama yang abstrak. Lalu bagaimana
sesungguhnya tumbuhkembangnya pemahaman mengenai keagamaan?
Berikut akan diuraikan bagaimana permulaan dan perkembangan jiwa
keagamaan pada manusia. Mulai dari anak, remaja lalu dewasa.
1. Perkembangan Keagamaan Pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis.
Meskipun dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan
bawaan yang bersifat “laten”. Potensi bawaan ini memerlukan
pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-
lebih pada usia dini.
Anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu
baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan
setelah berada pada tahap kematangan. Kematangan keagamaan
berkembang secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan
lainnya. Menurut Woodworth dalam Jalaluddin, bayi yang dilahirkan
sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan. Belum
terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi
kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya itu belum sempurna.11
Hal ini bisa kita saksikan di masyarakat melalui ritual mengumandangkan
adzan setelah seorang anak lahir. Dimaksudkan agar pengalaman pertama
lewat pendengarannya adalah kalimat tauhid yang berintikan pengakuan
akan keagungan Allah dan kerasulan Muhammad, ajakan kepada

10
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Dengan Mengaplikasikan Prinsip-
Prinsip Psikologi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012, 53.
11
Jalaluddin, Psikologi Agama..., 65.

3
kemenangan dan seruan untuk beribadah (shalat), diakhiri dengan
pernyataan akan keagungan dan ke-Esa-an Allah.12 Dari perilaku itu
menunjukkan bahwa potensi keagamaan pada anak sudah dimiliki sejak
bayi, dan ditumbuhkan oleh orang tua melalui ritual mengadzani seorang
bayi.
Setelah berfungsi sistem syaraf seorang anak, perlahan bertambah
pula pemahamannya mengenai agama. Secara umum, perilaku keagamaan
pada anak memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Orientasi Egosentris (Egocentric Orientation). Seperti dikemukakan
Jean Piaget dalam Robert W. Craps tentang bahasa anak antara umur
tiga dan tujuh tahun.13 Pada usia itu, anak mulai bisa berbahasa dan
berbicara, namun bahasa anak tidak mempunyai arti. Bahasanya tidak
sama seperti orang dewasa. Bagi anak bahasa tidaklah menyangkut
orang lain, tetapi lebih merupakan “monolog”, yaitu merupakan bahasa
egosentris. Begitu pula mengenai agama. Ide anak mengenai Tuhan
pada awalnya dibentuk dalam gambaran orang tua. Konsep mengenai
agama bukan merupakan hasil nalar yang sesungguhnya, ia lebih
merupakan tiruan. Terpengaruh oleh orang-orang yang ada
disekelilingnya, yaitu orang tua atau keluarga. Disamping itu, konsepsi
keagamaanya lebih didominasi oleh keinginan untuk menunjukkan ego
dan eksistensinya.
b. Kekongkretan Antropomorfis (Anthropomorphic Concreteness).14
Pada masa ini anak-anak biasanya akan lebih banyak melontarkan
pertanyaan bagaimana dan mengapa kepada orang-orang yang dikenal.
Hal ini merupakan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan
religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang subjektif
dan kongkret. Anak pada fase ini telah memiliki pengalaman dan mulai

12
Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama,
1995, 22.
13
Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta: Kanisius,
1994, 16.
14
Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan..., 18.

4
berfikir representatif. Misalnya orang tua menjelaskan kepada anaknya
mengenai Tuhan memberi ganjaran dan hukuman untuk perbuatan baik
dan buruk, dengan cepat dimengerti dan dihubungkan dengan
pengalaman mereka mengenai orang tua yang memberikan hadian dan
hukuman kepada mereka. Kekongkretan mentalitas anak cenderung
menjadi antropomorfis dalam penggambaran mereka tentang Tuhan.
c. Eksperimentasi, Inisiatif, Spontanitas (Experimentation, Initiative,
Spontaneity).15 Ciri ini dimulai saat anak mulai mengenai dunia luar.
Agama anak cenderung mengambil ciri eksperimentasi dan spontanitas
dan lahir dalam bentuk teologis yang teramalkan dan individualistis.
Misalnya, saat anak mendapat pelajaran dari guru mengenai surga
yang indah dan berada di atas. Secara sepontan anak-anak menjadi
sering memandang ke langit. Saat ditanya mengapa begitu, anak
menjawab saya ingin melihat surga. Dengan cara sendiri anak
mengungkapkan pandangan teologisnya. Dia terpikat akan gambaran
mengenai surga dan melalui fantasinya dia ungkapkan rasa
keterpikatannya dengan memandang ke atas. Perilaku mengenai surga
terkesan individualistis, emosional dan spontan, tetapi bermakna
teologis.
Melihat ciri-ciri keagamaan pada anak sebagaimana di atas,
Jalaluddin membagi sifat keagamaan pada anak sebagai berikut: 1) Tidak
mendalam (Unreflective), 2) Egosentris, 3) Anthropomorfis, 4) Verbalis
dan ritualis, 5) Imitative, dan 6) Rasa heran.16
Ringkasnya, masa anak-anak merupakan periode yang dinamis
secara psikologis bagi perkembangan religius. Anak mempunyai
kemampuan yang luar biasa untuk meniru perilaku orang dewasa, dan
agama beserta lembaga-lembaganya.

15
Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan..., 20.
16
Jalaluddin, Psikologi Agama..., 70-73.

5
2. Perkembangan Keagamaan Remaja
Sebagaimana bertumbuhnya keagamaan pada anak yang
dipengaruhi oleh pertumbuhan mental dan jasmaninya, pada tahap remaja
pun demikian, penghayatan terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan
yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan pertumbuhan tersebut.
Menurut Jalaluddin mengutip W. Starbuck, bahwa perkembangan
agama para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani
dan jasmani. Perkembangan itu antara lain: 1) Pertumbuhan pikiran dan
mental. Konsep agama pada masa anak yang unreflective mulai berubah
sejalan dengan tumbuhnya sikap kritis. 2) Perkembangan perasaan.
Berbagai perasaan –sosial, etis, dan estetis- mendorong remaja menghayati
kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Lingkungan religius akan
cenderung menjadikan remaja menjadi religius pula. 3) Pertimbangan
sosial. Pada masa remaja sering muncul konflik yang disebabkan oleh
faktor sosial. Misalnya, ketika diberi pilihan apakah memilih kebahagiaan
dunia yang kongkrit ataukah akherat yang abstrak, bisa jadi remaja
memilih dunia yang lebih kongkret. Sebelum menentukan pilihan, remaja
terlebih dulu mengalami konflik batiniah. 4) Perkembangan moral, 5)
Sikap dan minat. Faktor kebiasaan pada saat anak-anak mempengaruhi
sikap dan minat terhadap agama. 6) Ibadah. Bagi remaja, ibadah bisa saja
bermakna dalam peningkatkan agamanya dan adapula yang hanya menjadi
ritual meditasi biasa.17
Secara umum, pertumbuhan keagamaan seseorang yang menginjak
masa remaja dipengaruhi oleh orang tua. Selanjutnya sejalan dengan
berfungsinya mentalitas manusia, bertumbuh pula pemahaman agama
yang lebih logis. Pemahaman agama yang logis dipengaruhi oleh
masyarakat.
3. Perkembangan Keagamaan Dewasa
Perkembangan keagamaan pada masa dewasa didominasi oleh
keagamaan remajanya. Berfungsinya sistem syaraf secara penuh

17
Jalaluddin, Psikologi Agama..., 74-78.

6
menjadikan orang dewasa lebih realistis dalam memaknai agama. Makna
agama yang realistis kemudian diaktualisasikan lewat kehidupan sehari-
harinya. Sikap keagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas dan
kepribadian mereka. Perilaku keagamaan yang diyakini dapat
menimbulkan rasa kepuasan batinnya. Akan tetapi kepuasan dalam
beragama itu sering menimbulkan fanatisme agama.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, sikap
keberagamaan yang ditampilkan oleh orang dewasa memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Menerima kebenaran ajaran agama berdasarkan pertimbangan
pemikiran yang matang, bukan taklit.
b. Cenderung bersifat realistis, sehingga norma-norma agama lebih
banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
c. Bersikap positif pada ajaran dan norma-norma agama dan berusaha
untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman agama.
d. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan
tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi
dari sikap hidup.
e. Sikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
f. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga
kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran,
juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
g. Sikap keberagamaan cenderung mengarahkan pada tipe-tipe
kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh
kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran
agama yang diyakininya.
h. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan
kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi
sosial keagamaan sudah berkembang.18

18
Noer Rohmah, Pengantar Psikologi Agama, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2013, 148-
149.

7
Sikap-sikap dan cara beragama orang dewasa dipengaruhi oleh
berbagai perangkat yang mengitarinya, diantaranya adalah kebudayaan
yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Pada tingkat ini tidak
jarang muncul konflik antar golongan yang dipengaruhi oleh pemahaman
keagamaan yang fanatik. Menganggap orang lain yang berbeda dengan
pemahaman agamanya adalah salah. Meski pemahaman keagamaan orang
dewasa sudah realistis akan tetapi peran pendidik –ustadz, kyai, atau tokoh
masyarakat- masih dibutuhkan.
Jadi, urgensitas pendidik serta pendidikan dalam perkembangan
keagamaan pada seseorang berlaku sampai kapanpun. Bahkan sampai orang
menjadi tua dan lanjut. Pendidikan agama dan keagamaan dilakukan mulai
dari manusia belum lahir sampai akan datang ajalnya. Oleh karena itu, penting
melihat lebih dalam mengenai bagaimana pendidikan mempengaruhi tumbuh
dan berkembangnya sikap keagamaan oleh anak.

D. Pengaruh Pendidikan Terhadap Perkembangan Keagamaan


Melihat bagaimana perkembangan keagamaan pada manusia,
sepertinya kita sepakat kalau pendidikan berperan dalam menanamkan rasa
dan keberagamaan pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan menjadi
sarana dalam penanaman agama pada anak. Menurut Undang-undang
Sisdiknas, pendidikan diklasifikasikan dalam tiga bentuk yaitu formal, non
formal dan informal.19 Secara singkat pendidikan diartikan secara terstruktur
(lembaga) dan tidak terstruktur. Pendidikan terstruktur misalnya, sekolah atau
lembaga kursus dll, sedangkan pendidikan tidak terstruktur misalnya
pendidikan oleh keluarga dan sosialnya. Pendidikan keluarga menjadi pondasi
bagi anak saat akan memasuki pendidikan formal atau nonformal.

19
Pasal 1, ayat 11: Pendidkan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; ayat
12: Pendidikan non formal adalah pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang; dan ayat 13: Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Lihat: Kemendiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional..., 6.

8
1. Pendidikan Keluarga
Kita semua sepakat, bahwa keluarga berperan dalam pendidikan.
Anak-anak, sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan
tunggal, yaitu keluarga. Kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar
terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga akan
tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari
lingkungan keluarga. Keluarga menjadi candradimuka bagi pertumbuhan
mental dan fisik anak. Begitu pula dengan perkembangan agama pada
anak. Pada usia balita perkembangan agama anak dibentuk oleh
pendidikan keluarga. Anak adalah representasi dari orang tua.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, saat bayi baru lahir
kemudian orang tua mengumandangkan adzan dan seterusnya, itulah
pendidikan keagamaan pertama yang dilakukan oleh orang tua dan
diterima oleh bayi. Meskipun bayi sama sekali tidak meresapi sepenuhnya
pendidikan ini. Contoh tersebut memberikan pemahaman akan tujuan
pendidikan pada tingkat usia dini, yaitu sebatas memberitahu dan
mengenalkan. Disamping itu, perlu adanya pengawasan, pembimbingan
dan pengawasan dari orang tua sepenuhnya agar pertumbuhan dan
perkembangan agamanya dapat berjalan secara baik. Anak dibentuk oleh
orang tua untuk menjadi manusia baik dan beragama.
2. Pendidikan Kelembagaan
Selain pendidikan yang lakukan oleh orang tua, perkembangan
keagamaan seorang anak juga dipengaruhi oleh pendidikan yang lebih
terstruktur, dalam hal ini sekolah dan/atau lembaga belajar (bimbel).
Fungsi pendidikan dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan
pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan
keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak
menerima pendidikan agama dalam keluarga. Pada tahap ini, ada
kemungkinan pemahaman keagamaan anak yang dimiliki berbeda dengan
keagamaan yang lain.

9
Menurut Mc Guire dalam Noer Rohmah, proses perubahan sikap
dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap
perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya
pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan.20 Dalam konteks demikian,
maka pendidikan harus menarik perhatian (terencana), guru harus
memiliki kompetensi keilmuan (kompetensi pendidik), serta menyangkut
penerimaan siswa (berbasis kebutuhan). Guru menjadi orang yang digugu
dan ditiru oleh anak didik, sehingga harus mencerminkan pribadi yang
agung dan religius.
3. Pendidikan Masyarakat
Faktor lain yang membentuk perilaku keagamaan seseorang adalah
masyarakat atau sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia dipengaruhi oleh
karakteristik sosialnya. Contohnya: dalam satu keluarga bisa saja memiliki
karakteristik keagamaan anggota keluarga yang berbeda, ini tidak lain
dipengaruhi oleh bagaimana sifat sosialnya. Saat anak memasuki masa
dewasa pada saat itu pula biasanya keluarga mulai memberi kebebasan
kepada anak untuk hidup dan berinteraksi dengan dunia luar. Pondasi
agama yang dibentuk saat masih anak-anak akan sangat berdampak pada
proses interaksi dengan sosial. Jika keluarga tidak menanamkan nilai-nilai
agama pada anak, biasanya anak sulit untuk memperoleh kesadaran dan
pengalaman agama yang memadai. Hal yang terburuk dari pola interaksi
ini adalah penyimpangan perilaku pada anak. Begitu pun sebaliknya,
sekalipun anak tidak mengetahui apapun mengenai agama tetapi sosial
mendukung, atau ia dikelilingi oleh masyarakat beragama maka besar
kemungkinan ia akan menjadi manusia yang beragama.
Kita sering mendengar pepatah: ibarat penjual minyak wangi dan
pandai besi, maka jika kita menginginkan pribadi yang wangi bergaulah
dengan tukang wangi. Sekalipun kita tidak membeli tetapi kita akan
terdampak wangi. Sebaliknya, sekalipun kita bukan pandai besi kita akan

20
Noer Rohmah, Pengantar Psikologi Agama..., 297.

10
terdampak pada percikan apinya, kita tetap akan terkena bau asapnya yang
tak sedap.
Ringkasnya, faktor sosial memberi pengaruh dalam perkembangan
dan pembentukan pribadi seseorang. Dan sosial yang baik adalah yang
mampu membangun dan meningkatkan pribadi kepada pribadi yang saleh
seutuhnya. Hal ini sejalan dengan idealitas proses pendidikan, yaitu
menciptakan manusia yang memiliki kompetensi duniawi dan riligiousity
yang sempurna. Itulah makna pendidikan.
Dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa pendidikan –keluarga,
sekolah, dan masyarakat- memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
tumbuh-kembangnya riligiusitas manusia. Memberi dampak nyata terhadap
karakteristik manusia. Oleh karenya pendidikan harus dikonsep dan siapkan
secara baik, karena pendidikan menciptakan karakter manusia, masyarakat dan
bangsa.

E. Refleksi
Manusia merupakan mahkluk yang multi dimensi. Manusia memiliki
sisi rohani dan jasmani. Dua sisi tersebut berkembang dan terus berkembang.
Meskipun perkembangan keduanya terkadang tidak berbarengan.
Perkembangan itu dipengaruhi oleh banyak faktor, baik genetis maupun
eksternal. Salah satu yang tidak luput dari dampak perkembangan mental dan
fisik manusia adalah pemahaman keagaman. Manusia memiliki potensi
illahiyah, yaitu potensi agama. Potensi itu ada sejak lahir, meski sangat sulit
dibuktikan secara logis, dan akan berkembang secara bertahap sesuai dengan
perkembangan fisiknya.
Dalam perkembangannya, manusia membutuhkan bantuan dari pihak
lain. Orang tua menjadi pembangun pondasi keagamaan seorang anak. Orang
tua menjadi representasi dari agama seorang anak. Kadang menjadi Tuhan
yang sangat baik dan juga menjadi representasi dari ketidakbaikan, yaitu
kemarahan Tuhan. Perlahan tingkat pemahaman keagamaan seorang anak
meningkat sesuai dengan tingkat kognisi dan fisiknya. Setelah anak

11
mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan dunia lain –selain orang tua-,
tingkat pemahaman dan cara beragama pun berubah. Anak mulai mampu
menggunakan sisi kritisnya untuk memaknai agama. Apa yang ia dapatkan
dari orang tuanya, mulai dielaborasikan dengan pengalaman-pengalamannya
bersama sosialnya yang terbatas. Agama menjadi logis bagi anak.
Selanjutnya, saat usia mulai menginjak dewasa dan fisik mulai
berkembang menuju batas akhir, manusia memiliki pemahaman agama yang
luar biasa kompleks. Agamanya tidak lagi taklit dan tanpa makna, pemahaman
agama orang dewasa sudah masuk pada tahap realistis. Agama sudah
ditetapkan dan dibawa sampai pada perilaku harian. Orang dewasa hidup
dengan agama dan agama hidup dalam diri orang dewasa. Bahkan tidak jarang
tingkat pemahaman agama seorang dewasa menimbulkan fanatisme. Jika
berlebih maka timbul benih konflik dengan dua luar. Proses perkembangan
pemahaman agama seorang dewasa, terpengaruh oleh interaksi sosial. Lebih
tepatnya sosial memberi tambahan semangat dalam keagamaannya. Sosial bisa
saja menjadi motivasi terhadap agamanya, dan bisa juga menjadi penghancur
terhadap perilaku agama yang sudah ada. Interaksi sosial bagi orang dewasa
menentukan semuanya.
Dari setiap jenjang perkembangan keagamaan manusia, pendidikan
memiliki pengaruh terbesar. Pendidikan bisa dilakukan oleh siapapun.
Pendidikan bahwa tidak terkungkung oleh waktu dan ruang. Kapanpun dan
dimana pun pendidikan bisa terjadi. Orang tua dan masyarakat melakukan
pendidikan terhadap manusia secara terus-menerus. Interaksi antar individu
adalah pendidikan yang akan mempengaruhi dan membentuk manusia.
Melihat urgensitas pendidikan, maka yang baik adalah pendidikan yang
dilakukan oleh pendidik yang memiliki kompetensi keilmuan dan perilaku
yang saleh. Orang tua harus memberi dampak positif bagi anaknya. Ia harus
saleh dihadapan anak didiknya. Termasuk juga masyarakat. Masyarakat yang
baik mendukung berkembangnya keagamaan seorang anak. Dan sebaliknya,
masyarakat yang tak beragama membentuk manusia yang tak beragama. Pada

12
akhirnya, terbentuknya manusia yang mulia, saleh dunia dan akhirnya adalah
tujuan sesungguhnya dari pendidikan.

F. Simpulan
Dari pembahasan makalah di atas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan
keagamaan, sebagai berikut:
1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusia untuk tujuan menciptakan
manusia yang saleh, baik dunia maupun akhirat.
2. Perkembangan pemahaman agama manusia bertahap sesuai dengan
berfungsinya sistem syaraf dan fisiknya. Secara umum dapat dilihat mulai
dari anak, remaja dan dewasa. Pertama, pada usia dini, keagamaan anak
bersifat tidak mendalam, Egosentris, Verbalis dan ritualis. Kedua,
pemahaman keagamaan remaja lebih maju dibandingkan dengan anak.
Lebih logis representatif. Ketiga, pemahaman agama usia dewasa bersifat
menyeluruh, kompleks dan realistis. Interaksi sosial menjadi faktor utama
selain internal.
3. Pendidikan sangat mempengaruhi perkembangan keagamaan manusia.
Pendidikan oleh orang tua mempengaruhi pemahaman agama anak. Pada
usia sekolah, maka pendidikan di sekolah mempengaruhi peningkatan
pemahaman agama anak. Dan pada tingkat dewasa, pendidikan dilakukan
melalui interaksi sosial yang mempengaruhi sikap keagamaan dan
direpresetasikan melalui kehidupan sehari-hari. Dari ketiganya, pendidikan
keluarga menjadi pondasi keagamaan anak sesungguhnya.

G. Saran
Setelah melihat kenyataan akan pentingnya pendidikan pada
perkembangan keagamaan manusia, maka penulis menyarankan:
1. Bagi orang tua agar memahami setiap perkembangan mental dan fisik,
sehingga saat anak berperilaku aneh dari sisi agama, orang tua paham apa
yang harus dia lakukan.

13
2. Bagi para pendidik senantiasa memahami peserta didik secara utuh, dan
tulisan ini bisa jadi referensi dalam memahami perkembangan agama pada
anak.
3. Bagi pemerhati pendidikan senantiasa mengevaluasi proses pendidikan
sehingga tercipta pendidikan yang bermakna bagi semuanya.

H. DAFTAR PUSTAKA

Crapps, Robert W., Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta:


Kanisius, 1994.

Daradjat, Zakiyah, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta:


Ruhama, 1995.

Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Dengan Mengaplikasikan


Prinsip-Prinsip Psikologi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012.

Kemendikbud, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2003.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press,


1978.

Rohmah, Noer, Pengantar Psikologi Agama, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2013.

Sadulloh, Uyoh, dkk., Pedagogik, Bandung: Alfabeta, 2011.

Sholeh, Asrorun Ni’am, Reorientasi Pendidikan Islam: Mengurai Relevansi


Konsep Al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, Jakarta: eLSAS, 2005.

Surna, I Nyoman dan Pandeirot, Olga D., Psikologi Pendidikan 1, Jakarta:


Penerbit Erlangga, 2014.

Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rajawai Press, 2010.

Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, Bandung: PT.
Al Ma’arif, 1984.

14

Anda mungkin juga menyukai