Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita hidup didunia ini tidak lepas dari hubungan antara manusia satu
dengan yang lain, untuk itu sangatlah penting bagi kita untuk memahami fiqh
muamalah, sehingga kehidupan ini berjalan baik dan lancar.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas tentang masalah-masalah yang
sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tentang ‘ariyah
(pinjam-meminjam), rahn (gadai), ji’aalah (upah) dan hiwalah (pemindahan
hutang). Sehingga kita mengetahui bagaimana pengertian, hukum dan rukun
dari ‘ariyah, rahn, ji’aalah dan hiwalah.
Dan makalah ini bertujuan agar kita sebagai umat manusia bisa
menjalankan kehidupan antar sesama senantiasa berlandaskan dengan hukum
islam, sehingga kehidupan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

B. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas maka makalah ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang pengertian ariyah beserta hukum dan rukunnya.
2. Mengetahui tentang pengertian rahn beserta hukum dan rukunnya.
3. Mengetahui tentang pengertian jialah dan rukunnya.
4. Mengetahui pengertian hiwalah dan rukunnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJARAH
1. Pengertian Dan Landasan Hukum Ijarah
Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa jasa/imbalan merupakan
transaksi yang memperjual belikan manfaat suatu harta benda. Transaksi
Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak
dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kebolehan transaksi Ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan Al-
Qur’an dan Hadits, antara lain sebagaimana di bawah ini:

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.”(QS. Al Baqarah 233)

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya adalah
al-iwadl yang artiu dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.
Sedang menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan Ijarah,
antara lain adalah sebagai berikut:
Menurut Hanafiah bahwa ijarah adalah:
“Akad untuk membolehkan pemilihan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”
Menurut Malikiyah bahwa Ijarah adalah:
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan
untuk sebagian yang dapat dipindah-pindahkan.1
“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”

1
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta , PT Raja Grafindo Persada, 2002, Hal: 81
Menurut Muhammad As-Syarbini Al-Katib bahwa yang dimaksud dengan
Ijarah ialah:
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.2
Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah “suatu jenis akad yang akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan pergantian.”

Menurut Hasbi Asy-Shidhiqie bahwa Ijarah adalah:


“Akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu
pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat”3

Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga


orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.”

2. Dasar-Dasar Hukum atau Rujukan Ijarah adalah al-Qur’an,


as-Sunnah dan al-Ijma’.
Dasar hukum Ijarah dalam al Qur’an adalah:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya.”
Dasar Hukum Ijarah dari al Hadits adalah:
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering
(HR. Ibnu Majjah)
Landasan Hukum Ijma' adalah semua umat bersepakat, tidak ada serang
ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini. Sekalipun ada
beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu
tidak dianggap.

3. Obyek Ijarah Dan Persyaratannya


Dalam beberapa definisi yang disampaikan dimuka dapat digaris
bawahi bahwasanya Ijarah sesungguhnya merupakan sebuah transaksi atas
suatu manfaat. Tidak semua harta benda boleh diakadkan Ijarah atasnya,
kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini:

2 Al-Khatib, Al-Iqna, Hal: 70


3
Hedi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Hal: 85-86
Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
Obyek Ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara
langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak
dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan
pihak ketiga.
Obyek Ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan
hukum-hukum syara’.
Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
Harta benda yang menjadi obyek Ijarah haruslah harta benda yang bersifat
isti’maly, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa
mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya, contoh: tanah,
rumah, mobil. Sedangkan benda yang sifat istilaqy, harta benda yang
rusak, berkurang klarena pemakaian seperti makanan, buku tulis, tidak sah
Ijarahnya.4

4. Rukun-Rukun Ijarah
Rukun-rukun Ijarah adalah sebagai berikut:
Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa
atau upah mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang
menyewakan, Mu’tajir adalah orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Disyaratkan bagi mu’jir
dan musta’jir adalah bakligh, berakal, cukup melakukan fasbatruk
(mengendalikan harta) dan saling meridloi.
Shighat Ijab Qabul antara Mu’jir dan Musta’jir, Ijab Qabul sewa
menyewa dan upah mengupah.
Ijarah disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik
dalam sewa menyewa dan upah mengupah.
Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah
mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa
syarat, yaitu:

4
Abdur Rahman al Jazairy, Kitab al Fiqh ‘ala Madzhahib, Al Arba’ab, Juz III, Hal: 111
Hendaklah barang yang menjadi obyek sewa menyewa dan upah
mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.Hendaklah benda yang
menjadi obyek sewa menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan
kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa
menyewa). Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah
(boleh) menurut Syar’i, dan bukan hal yang dilarang (diharamkan). Benda
yang di sewakan disyaratkan kekal ‘ain (dzat)nya hingga waktu yang
ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
Adapun Ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atau seorang
pekerja atau buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan-persyaratan
berikut: Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan. Pekerjaan
yang menjadi obyek Ijarah tidak berupa pekerjaan yang menjadi kewajiban
musta’jir sebelum berlangsung akad Ijarah. Selain persyaratan yang
berkenaan dengan obyek Ijarah hukum Islam juga mengatur sejumlah
persyaratan yang berkaitan dengan ujrah (upah/ongkos sewa): Upah harus
berupa mal mutaqawwamim dan upah tersebut harus dinyatakan secara
jelas. Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya.

5. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah


Ijarah dapat batal dan berakhir apabila: Terjadi cacat pada barang
sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa. Rusaknya barang
yang disewakan. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti
baju yang diupahkan untuk dijahitkan. Terpenuhinya manfaat yang
diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya
pekerjaan.
Menurut Hanafiah, boleh Fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti
yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang
mencuri, maka ia dibolehkan mem-fasakh-kan sewaan itu
B. ‘ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)
1. Pengertian
‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang
lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat
barang itu dapat dikembalikan.
Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan
zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan. Firman Allah swt:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.”(Al-Maidah:2)
Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam. Firman Allah
Swt:

“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”(al-Ma’un: 7).


Dalam surat tersebut telah diterangkan beberapa perkara yang tidak
baik, diantaranya hubungan bertetangga yang hendak pinjam-meminjam.
Sabda Rasulullah saw:
“pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu
harus membayar.”(Riwayat Abu Daud dan Tirmizi yang dinilai Hadis
Hasan)
2. Hukum
Asal hukum meminjamkan sesuatu itu sunnat, seperti tolong menolong
dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan
kain kepada orang yang terpaksa dan meminjankan pisau untuk
menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram,
kalau yang dipinjam itu akan digunakan untuk sesuatu yang haram, seperti
meminjamkan pisau digunakan untuk membunuh. Dari hukum-hukum
diatas menggunakan Kaidah:”jalan menuju sesuatu hukumnya sama
dengan hukum yang dituju.”

3. Rukun
a) Ada yang meminjamkan. Syaratnya yaitu:
 Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan
orang yang dipaksa tidak sah meminjamkan.
 Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang memijamkan,
sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa, karena meminjam
hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan
dengan zat. Oleh karena itu orang yang meminjam tidak boleh
meminjamkan barang pinjamannya, karena manfaat barang yang
dipinjam bukan miliknya.
b) Ada yang meminjam
Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak
kecil atau orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak
ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
c) Ada barang yang dipinjam. Syaratnya :
 Barang yang benar-benar ada manfaatnya.
 Sewaktu diambil manfaatnya zatnya tetap (tidak rusak). Oleh
karena itu makanan tidak sah dipinjamkan.
d) Ada lafadz
Menurut sebagian orang, sah dengan tidak berlafadz.
C. RAHN (GADAI)
1. Pengertian
Menurut bahasanya, (dalam bahasa arab) Rahn adalah tetap dan lestari,
atau juga Al Habsu, yang artinya penahanan. Dan untuk Al Hasbu, firman
Allah:
“tiap-tiap pribadi terikat (tertahan) dengan atas apa yang telah
diperbuat”.
Menurut syara’, ia berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang
yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Rahin
adalah yang menggadaikan, Murtahin yang mengikat barang.

2. Hukum
Gadai hukumnya jaiz (boleh) menurut Al Kitab, As Sunah, dan Ijma’.
Dalil dari Al kitab
“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorng penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang oleh yang menghutangkan). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)nya dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”.
Dalil dari As Sunah:
Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk
meminta gandum. Al Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah
Ummul Mukminin r.a. berkata:
“ Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau
menggadaikan kepadanya baju besi beliau”.
Dan para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak
mempertentangkan kebolehannya. Jumhur berpendapat: disyari’atkan pada
waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, berargumentasi kepada
perbuatan Rasulullah terhadap orang Yahudi tadi, di Madinah. Adapun
dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dengan ayat diatas, itu melihat
kebiasaannya, dimana pada umumnya Rahn dilakukan pada waktu
bepergian.

3. Syarat Sahnya
Disyaratkan untuk sahnya akad Rahn (gadai) sebagai berikut:
 Berakal
 Baligh
 Bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan) itu ada pada saat akad
sekalipun tidak satu jenis.
 Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima
gadaian (murtahin) atau wakilnya.

D. HIWALAH
1. Pengertian
Hiwalah menurut bahasa ialah al-intiqal dan al-tahwil, yang artinya
memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jiziri,
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:
“pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan hiwalah menurut istilah, para ulama mendefinisikannya
berbeda-beda, diantaranya yaitu:
a. Menurut Hanafi
Hiwalah ialah memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang
berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban
pula.
b. Al-Jiziri
Hiwalah ialah pernikahan utangdari tanggung jawab seseorang menjadi
tanggung jawab orang lain.
b. Syihab Al-Din Al-Qalyubi
Hiwalah ialah akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari
seseorang kepada yang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiwalah ialah memindahkan utang dari
tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain.

2. Hukum
Pelaksanaan hiwalah dibenarkan dalam islam, sebagaimana sabda
Rasulullah:
“memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada
orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih
(diterima pengalihan tersebut)” (HR. Jamaah)
Sabda Rasulullah saw:
“orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan
utangnya. Maka apabila salah seorang di antara kamu memindahkan
utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal
yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Disamping itu terdapat kesepakatan ulama’ (ijma’) yang
menyatakan bahwa hiwalah itu boleh dilakukan

3. Rukun
Menurut Mazhab Hnafi, rukun hiwalah hanya: ijab dari pihak pertama,
kabul dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali rukun hiwalah ada enam
yaitu:
 Muhil (orang yang berutang dan berpiutang).
 Muhtal (orang yang berpiutang).
 Muhal alaih (orang yang berutang).
 Utang muhil kepada muhtal.
 Utang muhal alaih kepada muhil.
 Sigat (lafadz akad).
E. JI’ALAH
1. Pengertian
Ji’alah artinya janji atau upah. Secara etimologi berarti upah atau
hadiah yang diberrikan kepada seseorang, karena orang tersebut
mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara
Terminologi fiqh berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk
janji memberikan imbalan upah yang berhasil melakukan perbuatan atau
memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilakn
sesuai yang diharapkan.Misalnya, orang kehilangan kuda, dia berkata
“barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku,
aku akan bayar sekian”.

2. Hukum
Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa ji’alah boleh
dilakukan dengan alasan:
Firman Allah:

Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa


yang mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta dan aku menjamin terhadapnya.(QS. Yusuf:72)
Dalam hadist diriwayatkan bahwa para sahabat pernah menerima
hadiah atau upah dengan cara ji’alah berupa seekor kambing karena
salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatok
kalajengking dengan cara membaca surat al-fatehah. Ketika mereka
menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah itu tidak
halal. Rasulullah pun tertawa seraya bersabda: “tahukah anda sekalian,
bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri
saya sebagian”. (HR. Jamaah, mayoritas ahli hadist kecuali an-Nasai).
Secara logika ji’alah dapat dibenarkan karena salah satu cara untuk
memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya ijarah dan
mudhaarabah (perjanjian kerjasama dagang).
Mazhab Hanafi tidak membenarkan ji’aalah karena dalam ji’aalah
terdapat unsur gharar (penipuan), dan perbuatan yang mengandung gharar
dilarang dalam islam.

3. Rukun
Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan
bekerja, juga tidak ditentukan waktunya. Orang yang menjajikan upahnya.
Orang yang menjanjikan upah tersebut orang yang kehilangan itu sendiri
Pekerjaan (mencari barang yang hilang Upah. Disyaratkan memberi
upah dengan barang yang ditentukan.
BAB III
KESIMPULAN
1. Transaksi Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak
dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.
2. ‘ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk
diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat
dikembalikan. Hukum asalnya yaitu sunnah, tapi bisa menjadi wajib dan bisa
menjadi haram. Dan rukun ‘ariyah ialah ada yang meminjamkan, ada yang
meminjam, ada barang yang dipinjam dan ada lafazd.
3. Rahn berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut
pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Rahin adalah yang
menggadaikan, Murtahin yang mengikat barang. Hukum rahn jaiz (boleh)
menurut al kitab, sunnah dan ijma’. Dan syarat sahnya untuk melaksanakan
rahn ialah berakal, baligh, bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan) itu ada
pada satu akad meskipun tidak satu jenis, bahwa barang tersebut dipegang oleh
orang yang menerima gadaian (murtahin) atau wakilnya.
4. Ji’aalah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji
memberikan imbalan upah yang berhasil melakukan perbuatan atau
memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilakn sesuai
yang diharapkan. Hukum ji’aalah kalau menurut Maliki, Syafi’I dan Hanbali
ji’aalah diperbolehkan sedangkan menurut Hanafi dilarang karena mengandung
gharar (penipuan). Dan rukunnya yaitu lafadz, orang yang menjanjikan upah,
pekerjaan dan upah.
5. Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada
tanggungan yang lain. Hukum hiwalah dibenarkan dalam islam sebaimana
sabda nabi diatas. Dan rukun hiwalah yaitu orang pertama, orang kedua, orang
ketiga, ada hutang pihak pertama kepada pihak kedua, ada hutang pihak ketiga
kepada pihak pertama dan ada sighat
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali.2003.Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh


Muamalat).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rasjid,Sulaiman.1986.Fiqih Islam.Bandar Lampung: CV Sinar Baru.
Sabiq,Sayyid.1998.Fikih Sunnah.Bandung: Pustaka.
Suhendi,Hendi.2002.Fiqh Muamalah.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http://fara-cantika.blogspot.com/2012/04/daftar-isi-bab-ipendahuluan.html

Anda mungkin juga menyukai