Anda di halaman 1dari 31

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI

TANAH/LAHAN DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN SEKTOR


BANGKO PUSAKO

A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya

ditetapkan dengan undang-undang1, seluruh wilayah Indoneisa adalah

kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa

Indonesia2 dan memiliki sekitar 13.000 pulau yang tersebar di wilayah

yurisdiksi laut Indonesia.3 Pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia juga

tergolong sangat pesat dari tahun ke tahun. Diperkirakan mencapai 240 juta

jiwa pada tahun 2014. Pertumbuhan penduduk (LPP) mencapai 1,49 persen

pertahun. Setiap tahunnya penduduk Indonesia bertambah empat hingga lima

juta jiwa. Itu berarti setiap hari lahir 10.000 bayi. Selain itu, kualitas sumber

daya manusia Indonesia yang masih rendah sebagaimana ditunjukkan oleh

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang menempati urutan ke-124 dari

182 negara, Indonesia merupakan penyumbang jumlah penduduk terbesar

keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.4 Jumlah penduduk

1
Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
3
http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-indonesia diakses,
tanggal 15 juni 2014
4
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/11/01/mvjx78-bkkbn-
jumlah penduduk-indonesia-sangat-tinggi diakses, tanggal 15 juni 2014

1
Provinsi Riau sendiri sebanyak 5.538.367 jiwa yang mencakup mereka yang

bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 2.169.529 jiwa (39,17

persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 3.368.838 jiwa (60,83 persen).5

Namun, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat ini tidak dibarengi

dengan peningkatan ekonomi masyarakat oleh pemerintah, sehingga terjadi

ketidak stabilan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Ketidak stabilan ini

ditandai dengan maraknya tindak pidana yang terjadi di tengah masyarakat,

baik konvensional maupun inkonvensional. Ini merupakan akibat dari

kebutuhan ekonomi yang terus meningkat namun semakin sempitnya lahan

sebagai tempat masyarakat untuk bekerja mencari nafkah maupun sebagai

lahan untuk tempat tinggal. Hal ini meningkatkan intensitas eksploitasi hutan

di Indonesia secara tidak terkendali untuk dijadikan lahan perkebunan

maupun tempat tiggal. Ekploitasi hutan menjadi lahan ini merupakan salah

satu contoh tindak pidana yang kini marak terjadi di tengah masyarakat

Indonesia, yaitu tindak pidana kehutanan. Hal ini juga di tunjang oleh kultur

masyarakat Indonesia secara umum dan Riau secara khusus adalah bertani

maupun berkebun.

Salah satu daerah yang marak terjadi tindak pidana kehutanan adalah

Kecamatan Bangko Pusako. Kecamatan Bangko Pusako merupakan salah

satu kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi

Riau. Di wilayah ini, masih terdapat banyak sekali hutan yang dieksploitasi

oleh masyarakat secara tidak terkendali. Tindak pidana kehutanan yang

5
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=14&wilayah=Riau diakses, tanggal 15 juni 2014

2
terjadi ini merupakan hulu dari tindak pidana lain yang saling berkaitan di

Kecamatan Bangko Pusako, karena hutan yang telah ditebang dan diambil

kayunya akan menjadi tanah/lahan kosong yang kemudian akan dikuasai dan

dimiliki oleh masyarakat sekitar dengan mengurus segala administrasi ke

pemerintah terkait. Setelah tanah/lahan tersebut dimiliki, maka tanah/lahan

tersebut akan menjadi objek ekonomi bagi masyrakat sekitar, biasanya akan

dijual kepada pihak lain atau dimanfaatkan sendiri, namun yang paling sering

terjadi adalah tanah/lahan tersebut akan dijual dan ditanami kelapa sawit.6

Proses jual beli tanah/lahan di Kecamatan Bangko Pusako ini, melalui

proses jual beli yang cukup rumit, di mana pihak yang memiliki tanah/lahan

yang hendak dijual akan menyuruh beberapa orang untuk menawarkan

tanah/lahan tersebut kepada orang lain. Dalam perkembangannya, hal ini

mengakibatkan terlalu banyaknya orang yang menjadi pihak yang

menawarkan lahan, yang akhirnya memunculkan oknum-oknum penipu

berkedok penjual tanah/lahan.

Modus penipuan terhadap jual beli tanah/lahan yang kerap terjadi di

wilayah hukum Kepolisian Sektor Bangko Pusako adalah oknum warga

masyarakat berpura-pura menjual sebidang tanah/lahan yang ia akui sebagai

tanah miliknya. kemudian ia menawarkan untuk dijual kepada orang lain.

Dalam kasus-kasus ini pelaku penipuan sangat pintar berdalih agar

mendapatkan sejumlah uang dari korban dengan rayuan-rayuan manis. Para

pelaku penipuan ini juga mengajak korban untuk melihat tanah/lahan yang

6
Wawancara dengan Bapak Ipda R.Ginting, SH Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian
Bangko Pusako, Hari Rabu, Tanggal 5 Juni 2014, Bertempat di kantor Kepolisian Sektor Bangko
Pusako.

3
menjadi objek jual beli untuk lebih meyakinkan korban. Namun, setelah

terjadi proses jual beli dan korban menyerahkan sejumlah uang, ternyata

tanah/lahan yang menjadi objek jual beli bukanlah milik dari pelaku penipuan

melainkan milik warga lain yang tidak ingin menjual tanah/lahan tersebut.

Kasus tindak pidana penipuan ini, terus terjadi setiap tahunnya di wilayah

hukum Kepolisian Sektor Bangko Pusako, hanya saja dalam penyelesaian

kasus ini masyarakat awam masih banyak menempuh jalur kekeluargaan,

sehingga hukum tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya dan tentunya

tidak memberikan efek jera kepada pelaku penipuan. 7

Berbicara mengenai tindak pidana penipuan haruslah diketahui

terlebih dahulu apa yang menjadi pengertian penipuan tersebut, di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) buku ke II bagian XXV

berjudul “Bedrog” yang berarti penipuan dalam arti luas, karena

sesungguhnya dalam bab ini diatur sejumlah perbuatan-perbuatan yang di

tujukan terhadap harta benda yang mana oleh si pelaku telah dipergunakan

perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau tipu muslihat,8 sedangkan

pasal pertama dari judul itu, yaitu pada Pasal 378, mengenai tindak pidana

oplichting yang berarti juga penipuan tetapi dalam arti sempit. Penipuan

dalam arti luas (bedrog) yang memuat tidak kurang dari 17 pasal (Pasal 379a

7
Wawancara dengan Bapak Ipda R.Ginting, SH Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian
Bangko Pusako, Hari Rabu, Tanggal 5 Juni 2014, Bertempat di kantor Kepolisian Sektor Bangko
Pusako.
8
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 262.

4
- 379bis) yang merumuskan tindak-tindak pidana lain yang semuanya bersifat

menipu (bedriegen).9

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 378,

berbunyi: 10

”Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau


orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan
piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.”

Kejahatan yang disebut Penipuan:11

a) Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat hutang atau

menghapuskan piutang;

b) Maksud pembujukan itu ialah : hendak menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dengan melawan hak;

c) Membujuknya itu dengan memakai:

1. Nama atau atau keadaan paslsu

2. Akal cerdik (tipu muslihat) atau

3. Karangan perkataan bohong.

Kasus tindak pidana penipuan ini mempunyai titik tekan pada cara

pelaku untuk merayu atau membujuk orang lain dengan kebohongan atau tipu

muslihat agar orang lain memberikan suatu barang. Hal ini sebagaimana

9
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/pengertian-tindak-pidana-penipuan.html diakses,
tanggal 17 juni 2014.
10
Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
11
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1995, hal 261.

5
kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1601.K/Pid/1990 tanggal

26 Juli 1990 yang menyebutkan:12

“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak
pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk
menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”

Fungsi hukum pidana pada umumnya adalah untuk mengatur dan

menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan

terpeliharanya ketertiban umum.13 Sejak berlakunya Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka sistem peradilan pidana yang dianut

dalam negara kita adalah sistem peradilan pidana terpadu (integreted

creminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan

“diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai dengan

“tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada masing-

masing.14 Sehingga aktivitas pelaksanaan criminal justice system merupakan

fungsi gabungan (Collection of function) dari legislator, polisi, jaksa,

pengadilan, dan penjara.15 Agar fungsi hukum pidana sebagai hasil dari

legislator ini dapat terselenggara secara maksimal, maka peran polisi sebagai

aparatur negara yang menjadi ujung tombak di bidang hukum harus

diperhatikan. Terutama di bidang hukum pidana yang kerap terjadi di

masyarakat, polisi dalam hal ini mempunyai peran penting untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.

12
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4df06353199b8/apakah-kasus-wanprestasi-
bisa-dilaporkan-jadi-penipuan diakses, tanggal 18 Juni 2014
13
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008,
hal 15.
14
Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 90.
15
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta, 2002, hlm.76

6
Tindak pidana penipuan jual beli tanah/lahan di wilayah Kepolisian

Sektor Bangko Pusako membutuhkan suatu tahapan penyidikan yang intensif

dari aparat kepolisian karena telah banyaknya masyarakat menjadi korban dan

mengalami kerugian yang cukup besar. Penyidikan yang baik dari pihak

kepolisian juga akan memberikan rasa percaya terhadap masyarakat untuk

menyelesaikan perkara penipuan ini melalui jalur hukum yang benar,

sehingga hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga penyidikan

menjadi tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia,

karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta

dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan

tersangka pelaku tindak pidana tersebut. Disamping itu penyidikan suatu

tindak pidana juga akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan

Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya,

sehingga proses penyidikan ini memerlukan perhatian khusus.

Berdasarkan pra riset penulis di Polsek Bangko Pusako didapat data

sebagai berikut:

No. Tahun Jumlah Kasus


1

Dari data tersebut didapat gambaran bahwa kasus penipuan jual beli

tanah tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan diperkirakan akan

terus meningkat di masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik

untuk mengkaji lebih dalam tentang masalah ini untuk diteliti yang

7
dituangkan dalam bentuk proposal skripsi dengan judul: “Penyidikan

Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Tanah/Lahan Di Wilayah Hukum

Kepolisian Sektor Bangko Pusako.”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penyidikan tindak pidana penipuan jual beli tanah/lahan di

wilayah hukum kepolisian sektor Bangko Pusako?

2. Apa sajakah hambatan penyidikan tindak pidana penipuan jual beli

tanah/lahan di wilayah hukum kepolisian sektor Bangko Pusako?

3. Bagaimanakah upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan

penyidikan tindak pidana penipuan jual beli tanah/lahan di wilayah hukum

kepolisian sektor Bangko Pusako?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a) Untuk mengetahui penyidikan tindak pidana penipuan jual beli

tanah/lahan di wilayah hukum kepolisian sektor Bangko Pusako.

b) Untuk mengetahui hambatan penyidikan tindak pidana penipuan jual

beli tanah/lahan di wilayah hukum kepolisian sektor Bangko Pusako.

c) Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan

penyidikan tindak pidana penipuan jual beli tanah/lahan di wilayah

hukum kepolisian sektor Bangko Pusako.

2. Kegunaan Penelitian

8
a) Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memenuhi syarat

kelulusan untuk memperoleh derajat akademik sarjana hukum pada

Program Ilmu Hukum Universitas Riau.

b) Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

khasanah keilmuan atau literatur hukum dan bermanfaat sebagai titik

tolak dalam penelitian lebih lanjut tentang tindak pidana penipuan jual

beli tanah/lahan.

c) Penelitian ini juga diharapkan sebagai bahan masukan bagi penegak

hukum dan instansi pemerintah terkait maupun masyarakat dalam kasus

penipuan jual beli tanah/lahan.

D. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Tujuan daripada penegakan hukum yakni untuk mengatur

masyarakat agar damai dan adil dengan mengadakan keseimbangan antar

kepentingan yang dilindungi, sehingga tiap-tiap anggota masyarakat

memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi haknya.16

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah

yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.17

16
RE. Baringbing, Catur Wangsa Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian
Informasi, Jakarta, 2001, hlm. 54.
17
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja
Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 5.

9
Manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai

pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang

buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud dalam

pasangan, misalnya pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman,

pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi,

pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya.

Di dalam penegakan hukum pasangan nilai tersebut perlu

diserasikan, sebab nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan

sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan.18

Menyerasikan pasangan nilai tersebut dibutuhkan faktor-faktor yang

mendukung pelaksanaan keadilan agar mendapatkan perhatian secara

proporsional yang seimbang dalam penanganannya, meskipun dalam

prakteknya tidak selalu mudah untuk dilakukan. Berdasarkan hal tersebut

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa masalah penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.

Faktor-faktor pendukung pelaksanaan keadilan tersebut adalah sebagai

berikut:19

a) Faktor hukumnya sendiri;

b) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menetapkan hukum;

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

18
Ibid, hlm. 6.
19
Ibid.

10
d) Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan; dan

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi

dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektifitas

penegakan hukum.

Penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Kadir Husin,

adalah suatu sistem pengendalian kejahatan yang dilakukan oleh lembaga

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan atau

lebih dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP).20

Mengenai tugas polisi dalam penegakan hukum, Barda Nawawi Arif

menegaskan bahwa pada intinya ada dua tugas polisi dibidang penegakan

hukum, yaitu penegakan hukum di peradilan (dengan sarana “penal” yang

lebih menitik beratkan pada sifat represif) dan penegakan hukum dengan

sarana “non-penal” yang lebih menitik beratkan pada sifat Preventif.21

Secara Preventif yakni mencegah terjadinya kejahatan atau pelanggaran

dengan menghapus faktor kesempatan, sehubungan dengan hal ini terdapat

anggapan bahwa kejahatan atau pelanggaran akan terjadi jika faktor niat

bertemu dengan faktor kesempatan. Sedangkan tindakan secara represif

adalah tindakan untuk menindak suatu kejahatan atau pelanggaran yang

merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum. Tindakan

20
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 244.
21
Kunarto, Perilaku Organisasi Polisi, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm. 111.

11
yang dimaksud adalah tindakan yang diambil oleh petugas apabila

menemukan tindak pidana yang merupakan gangguan bagi keamanan dan

ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).22

Barda Nawawi Arif mengatakan di dalam perlindungan masyarakat

sekurang-kurangnya ada 4 (empat) aspek yang harus diperhatikan dalam

penegakan hukum pidana, yaitu:23

a) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial

yang merugikan dan membahayakan masyarakat, bertolak pada aspek

ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk

menanggulangi kejahatan.

b) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya

seseorang. Berdasarkan aspek ini maka penegakan hukum bertujuan

untuk memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan

mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan

menjadi masyarakat yang baik dan berguna.

c) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi

atau reaksi dari penegak hukum maupun warga masyarakat pada

umumnya. Oleh karena itu, berdasarkan aspek ini maka tujuan dari

penegakan hukum adalah mencegah terjadinya perlakuan dan tindakan

sewenang-wenang di luar hukum.

22
Ibid, hlm. 112.
23
Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 13.

12
d) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau

keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai

akibat adanya kejahatan. Berdasarkan aspek ini maka penegakan hukum

pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan dari tindak

pidana, dan dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa

damai dalam masyarakat.

Keempat aspek sasaran perlindungan kepada masyarakat tersebut

sepantasnya mendapatkan perhatian oleh Kepolisian Republik Indonesia

dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat penegak

hukum.

2. Teori Tindak Pidana

Tindak Pidana dalam bahasa Belanda adalah Straafbaarfeit, dimana

terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu Straafbaar dan feit. Perkataan

feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedangkan

straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga straafbaarfeit berarti sebagian

dari kenyataan yang dapat dihukum.24

Mengenai rumusan tindak pidana atau straafbaarfeit, ada dua

pandangan berbeda yaitu pandangan dualisme dan pandangan monoisme.

Pandangan dualisme yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan

dengan orang yang melakukan sedangkan pandangan monoisme adalah

24
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 181.

13
pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai

perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya.25

a) Pandangan Dualisme

Pompe merumuskan bahwa suatu tindak pidana atau

straafbaarfeit itu sebenarnya tidak lain daripada suatu tindakan yang

menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai

perbuatan yang dapat dihukum.26 Pompe berpendapat bahwa

dipidananya seseorang tidak cukup apabila seseorang tersebut

melakukan perbuatan yang melawan hukum, namun perlu adanya

syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut mempunyai

kesalahan.27 Vos merumuskan bahwa straafbaarfeit adalah suatu

kelakuan manusia yang diancam dengan pidana oleh peraturan

perundang-undangan.

Sedangkan menurut R. Tresa menyatakan bahwa peristiwa

pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang

bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-

undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

penghukuman. R. Tresa menyatakan bahwa syarat dari perbuatan

pidana yaitu: 28

1) Harus ada suatu perbuatan manusia;

25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008, hlm. 72.
26
Ibid
27
Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 6.
28
Ibid, hlm. 72.

14
2) Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di

dalam ketentuan hukum;

3) Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu

orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;

4) Perbuatan itu berlawanan dengan hukum;

5) Terhadap perbuatan tersebut harus tersedia ancaman hukumannya

dalam undang-undang.

b) Pandangan Monoisme

Menurut J.E Jonkers, tindak pidana adalah perbuatan yang

melawan hukum atau wederrechtttelijk yang berhubungan dengan

kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.29

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana itu adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana.30

Simons merumuskan straafbaarfeit adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang

dinyatakan sebagai dapat dihukum. Jadi, sifat melawan hukum timbul

dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.31

Suatu perbuatan dikategorikan sebagai suatu tindak pidana

adalah apabila perbuatan tersebut dilarang oleh aturan pidana dan

29
Ibid, hlm. 75
30
Ibid.
31
Ibid.

15
kepada pelakunya diancam dengan sanksi pidana sedangkan melawan

hukum dan merugikan masyarakat menunjukkan sifat perbuatan

tersebut. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dan

merugikan masyarakat belum tentu merupakan suatu tindak pidana

mungkin saja merupakan suatu perbuatan yang berada dalam lapangan

hukum perdata. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dan

merugikan masyarakat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila

ada larangan oleh aturan pidana yang dilanggar dan pelakunya

diancam dengan ketentuan pidana serta pelaku dapat

dipertanggungjawabkan.

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku yang

melakukan tindak pidana, sesuai dengan Pasal 10 KUHP terdiri dari:32

a) Pidana Pokok, terdiri dari:

1. Pidana mati

2. Pidana penjara

3. Pidana kurungan

4. Pidana denda.

b) Pidana Tambahan, terdiri dari:

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan atau penyitaan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.

32
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

16
Dari jenis-jenis ancaman pidana yang dijatuhkan, maka tidak

tertutup kemungkinan adanya ancaman pidana lain yang dijatuhkan

oleh hakim terhadap terdakwa yang melanggar aturan hukum pidana,

jenis lain dari ancaman pidana itu berada di dalam peraturan

perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP.

Pidana merupakan derita, nestapa, siksaan, selain itu pidana

adalah sanksi yang hanya dalam hukum pidana.33 Teori-teori hukum

pidana berhubungan erat dengan pengertian subjectief strafrecht

sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan

pidana, terhadap pengertian objectief strafrecht sebagai peraturan

hukum positif yang merupakan hukum pidana.34 Maka dalam proses

pemidanaan harus jelas subjek dan objek pidananya agar tercapainya

unsur mutlak pemidanaan. Secara umum tujuan pemidanaan

mempunyai tujuan ganda, yaitu:35

a) Tujuan Perlindungan masyarakat, untuk merehabilitasi dan mere-

sosialisasikan si terpidana, mengembalikan keseimbangan yang

terganggu akibat tindak pidana (reaksi adat) sehingga konflik yang

ada dapat selesai; dan

b) Tujuan yang bersifat spiritual Pancasila yaitu bahwa pemidanaan

bukan dimaksudkan untuk menderitakan dan dilarang untuk

merendahkan martabat manusia.

33
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung:
2011, hlm. 139.
34
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung:
2009, hlm. 22.
35
Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 141.

17
Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan

pokok, yaitu sebagai golongan teori pembalasan, golongan teori

tujuan, dan kemudian ditambah dengan golongan teori

gabungan.36Teori pembalasan (vergelding) atau sering dikenal dengan

sebutan teori absolut (mutlak), menurut teori ini setiap kejahatan harus

diikuti dengan pidana–tidak boleh tidak–tanpa tawar-menawar.

Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak

dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dijatuhkannya

pidana. Tidak dipedulikan, apakah dengan demikian masyarakat

mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat

ke masa depan.37

Teori pembalasan (vergelding) membenarkan pemidanaan

karena seseorang telah melakukan tindak pidana. Penganjur teori ini

antara lain Immanuel Kant yang mengatakan fiat justitia ruat coelom

(walaupun besok dunia akan kiamat, namun penjahat terakhir harus

menjalankan pidananya). Kant mendasarkan teorinya berdasarkan

moral/etika. Penganjur lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa

hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah

merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena itu,

menurutnya penjahat harus dimusnahkan.38

36
Ibid.
37
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm. 23.
38
Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 141-142.

18
Teori absolut atau teori pembalasan ini terbagi dalam dua

macam, yaitu:39

a) Teori pembalasan yang objektif, yang berorientasi pada pemenuhan

kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam

hal ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas denan pidana

yang merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang

dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.

b) Teori pembalasan subjektif, yang berorientasi pada penjahatnya.

Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus

mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang

ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi

pidana penjara yang ringan.

Teori selanjutnya ialah teori tujuan, teori ini mendasarkan

pandangan kepada maksud dari pemidanaan, yaitu untuk perlindungan

masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Artinya,

pertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Penganjur

teori ini antara lain Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan

hanya dengan dengan mengadakan ancaman pidana saja tidak akan

memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana kepada si

pejabat.40

Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti

dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu

39
Ibid.
40
Ibid.

19
kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu

pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri, tidaklah saja

dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan. Tujuan

pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar dikemudian hari

kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).41

Mengenai tujuan-tujuan itu terdapat tiga teori, yaitu:42

a) Untuk menakuti, teori dari Anselm von Reuerbach, hukuman itu

harus diberikan sedemikian rupa/cara, sehingga orang takut untuk

melakukan kejahatan. Akibat dari teori itu ialah hukuman-hukuman

harus diberikan seberat-beratnyadan kadang-kadang merupakan

siksaan.

b) Untuk memperbaiki, hukuman dijatuhkan dengan tujuan untuk

memperbaiki si terhukum sehingga di kemudian hari ia menjadi

orang yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar

pula peraturan hukum (speciale prevensi/pencegahan khusus).

c) Untuk melindungi, tujuan hukum ialah melindungi masyarakat

terhadap perbuatan-perbuatan jahat. Dengan diasingkannya si

penjahat itu untuk sementara, masyarakat dilindungi dari

perbuatan-perbuatan jahat orang itu (generale prevensi/pencegahan

umum).

Kemudian timbul golongan ketiga yang mendasarkan

pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan tujuan, yang

41
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm. 25
42
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung: 1985, hlm. 154

20
disebut sebagai teori gabungan (verenigings theorien). Penganutnya

antara lain Beling, Binding dan Merkel sebagai eksponen-eksponen

penting dari teori ini.43 Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa

pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang

akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat memberi kepuasan

bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun kepada masyarakat.44

Teori terakhir yang merupakan gabungan dari teori-teori di atas

adalah teori pembinaan. Teori pembinaan ini lebih mengutamakan

perhatiannya kepada si pelaku tindak pidana, bukan pada tindak

pidana yang telah dilakukan. Pidana ini didasarkan pada berat dan

ringannya tindak pidana yang dilakukan, melainkan harus didasarkan

pada keperluan yang dibutuhkan untuk memperbaiki si pelaku tindak

pidana.

Menurut teori ini, tujuan pidana untuk merubah tingkah laku

dan kepribadian si pelaku tindak pidana agar ia meninggalkan

kebiasaan jelek yang bertentangaan dengan norma yang berlaku.

Dengan kata lain adalah untuk memperbaiki pelaku tindak pidana.

Teori inilah yang dianut rancangan Kitab Undang-undang Hukum

Pidan(KUHP).45

E. Kerangka Konseptual

43
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm. 27.
44
Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 143-144.
45
Ibid. hlm. 145.

21
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.46

Kerangka konseptual ini diperlukan untuk menghindari kesimpangsiuran

dalam penafsiran mengenai konsep dalam penulisan skripsi agar dapat

memperoleh persamaan pengertian atau defenisi dari konsep-konsep yang

menjadi pembahasan, yaitu:

1. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.47

2. Penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari

pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang

terbagi menjadi Pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu,

serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang.48

3. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum merupakan

perbuatan yang dilarang yang mana di sertai sanksi berupa pidana tertentu

bagi siapa yang melanggar aturan tersebut.49

4. Penipuan adalah barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri

sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama

palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian

46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1990, hlm. 132.
47
Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
48
Ibid., pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 jo. pasal 10
49
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.5.

22
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu

kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan

piutang.50

5. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain

untuk membayar harga yang dijanjikan.51

6. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya

untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat.52

7. Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Bangko Pusako adalah wilayah kerja

atau wewenang kepolisian Negara Republik Indonesia yang meliputi

wilayah Kecamatan Bangko Pusako dan Sekitarnya.

F. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis yaitu penelitian

yang hendak melihat kesatuan antara hukum dan masyarakat dengan

adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein.53 Penelitian hukum

maksudnya suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi.54 Penelitian ini juga bersifat deskriptif yaitu penulis mencoba

50
Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
51
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
52
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Meneteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
53
Nico Ngani, Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, Pusaka Yustisia, Yogyakarta,
2012, hlm 82.
54
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 35.

23
menggambarkan hukum sebagai suatu kontrol sosial yang berkaitan

dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial, dengan suatu

dasar pijakan bahwa kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-

perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam perilaku-

perilaku tersebut.55

2) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Kepolisian Sektor

Bangko Pusako, lokasi ini dipilih mengingat daerah ini merupakan salah

satu daerah yang memiliki potensi cukup tinggi terjadinya tindak pidana

penipuan jual beli tanah/lahan. Hal ini dikarenakan masih cukup luasnya

lahan yang belum di kelola, dan jumlah perpindahan penduduk kedalam

Kecamatan Bangko Pusako setiap tahunnya terus meningkat sehingga

menambah daya dorong untuk bertambahnya populasi penduduk yang

mengakibatkan meningkatnya kebutuhan terhadap tanah/lahan sebagai

tempat tinggal maupun sebagai mata pencaharian.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri

yang sama. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau

mati), kejadian, kasus-kasus, waktu, atau tempat dengan sifat atau ciri

55
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Pustaka, Jakarta: 2003,
hlm. 76.

24
yang sama.56 Dari definisi diatas penulis mengambil populasi dalam

penelitian ini antara lain:

1. Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Bangko Pusako;

2. Penyidik Pembantu Kepolisian Sektor Bangko Pusako;

3. Pelaku Tindak Pidana Penipuan jual beli tanah/lahan.

b. Sampel

Untuk mempermudah penulis dalam melakukan penelitian maka

penulis menentukan sampel, di mana sampel merupakan himpunan

atau sebagian populasi yang dijadikan objek penelitian yang dianggap

dapat mewakili keseluruhan populasi.57 Dalam menentukan sampel

penulis menggunakan teknik sensus dan purpossive sampling. Metode

sensus yaitu menentukan sampel berdasarkan jumlah populasi yang ada.

Sedangkan purpossive sampling yaitu pengambilan sampel bardasarkan

kriteria yang diteliti. Tidak semua populasi akan dijadikan sampel.

Kriteria yang dimaksud adalah populasi dan sampel yang berkaitan

dengan tindak pidana penipuan jual beli tanah/lahan. Untuk lebih

jelasnya mengenai populasi dan sampel dapat kita lihat tabel berikut:

Tabel 1.1
Jumlah Populasi dan Sample
No Responden Populasi Sample Persentase (%)
Kanit Reskrim Polsek
1 1 1 100%
Bangko Pusako
Penyidik Pembantu Polsek
2 6 4 67%
Bangko Pusako

56
Ibid, hlm. 118.
57
Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, PT Persada Raja Grafindo, Jakarta, 1996,
hlm.121.

25
Pelaku Tindak Pidana
3 2 2 100%
Penipuan
Jumlah 9 7 -
Sumber : Kepolisian Sektor Bangko Pusako, Bulan Mei Tahun 2014

4. Sumber Data

Dalam penelitian hukum sosiologis, yang dibedakan menjadi 3

(tiga) macam yaitu : 58

a. Data Primer

Data primer adalah data yang penulis dapatkan atau peroleh

secara langsung melalui responden di lapangan mengenai hal-hal yang

bersangkutan dengan masalah yang diteliti.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari berbagai

studi kepustakaan serta peraturan Perundang-Undangan, buku-buku

literatur serta pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian ini, yang terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang di

peroleh dari :

a) Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP)

2) Bahan Hukum Sekunder

58
Amirudin Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hlm.32.

26
Yaitu buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang

akan penulis teliti.

3) Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks

komulatif dan lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam skripsi ini

menggunakan langkah-langkah, yaitu:

a) Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh

keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. 59 Adapun

wawancara yang dilakukan ditujukan langsung kepada Kepala Unit

Kepolisian Sektor Bangko Pusako, Penyidik Pembantu Kepolisian

Sektor Bangko Pusako dan pelaku tindak pidana penipuan.

b) Kuesioner merupakan alat riset atau survei yang terdiri atas

serangkaian pertanyaan tertulis, bertujuan mendapatkan tanggapan

dari responden terpilih melalui daftar pertanyaan.

c) Kajian kepustakaan yaitu penulis mengambil kutipan dari buku

bacaan, literatur, atau buku pendukung yang memiliki kaitan dengan

permasalahan yang akan diteliti.

6. Analisa Data

59
Burhan Ashshafa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.95

27
Berdasarkan dengan rumusan permasalahan dan pembahasan atas

permasalahan yang dipergunakan maka teknik analisis data penulis

lakukan dengan metode kualitatif, yaitu menguraikan data yang diperoleh

dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, dan efektif sehingga dapat

memberikan penjelasan atas rumusan permasalahan yang penulis angkat.

Sedangkan metode berpikir yang penulis gunakan dalam menarik

kesimpulan adalah metode deduktif. Metode induktif ialah cara berpikir

yang menarik suatu kesimpulan dari suatu pernyataan atau dalil yang

bersifat khusus menjadi suatu pernyataan yang bersifat umum.60

G. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian memuat rencana penelitian. Dengan ini diharapkan

tergambar jadwal penelitian yang akan dilaksanakan.Penelitian ini memakan

waktu 6 bulan. Penelitian ini dimulai bulan Maret 2014 dan selesai bulan

Agustus 2014. Rencana penelitian digambarkan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 1.2.
Jadwal Penelitian

Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan


Uraian Kegiatan
Maret April Mei Juni Juli Agustus

Penulisan Proposal √ √ √

Seminar Proposal √

Perbaikan Proposal √

Pengumpulan Data √

60
Ibid, hlm 100.

28
Pengelolaan Data √

Seminar Skripsi √

Perbaikan Skripsi √

Penyerahan Skripsi √

29
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ashshafa, Burhan, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Barda Nawawi, Arif, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan


Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Baringbing, RE, 2001, Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian


Reformasi, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2008, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja


Grafindo Persada, Jakarta

Effendi, Erdianto, 2011, Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, Refika


Aditama, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 2000, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Hartati, Evi, 2008, Tindak Pidana Korupsi edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta.

Ishaq , 2006, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Kunarto , 1997, Perilaku Organisasi Polisi, Cipta Manunggal, Jakarta.

Mahmud Marzuki, Peter, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Ngani, Nico, 2012, Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, Penerbit


Pusaka Yustisia, Yogyakarta.

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama,


Bandung.

Soesilo, R, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Dei Pasal, Politeia, Bogor.

Soekanto, Soejono, 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung.

30
Sunggono, Bambang, 2003, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Pustaka, Jakarta.

1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Persada Raja


Grafindo, Jakarta.

Zainal Askin, Amirudin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

B. Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5067

Undang-Undang Meneteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang


Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059

C. Website:

http://www.dkn.go.id/site/126-jumlah-pulau-di Indonesia diakses, tanggal 15


juni 2014

http://www.republika.co.id/bkkbn-jumlah penduduk-indonesia-sangat-tinggi
diakses, tanggal 15 juni 2014

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=14&wilayah=Riau diakses, tanggal


15 juni 2014

http://saifudiendjsh.blogspot.com/pengertian-tindak-pidana-penipuan.html
diakses, tanggal 17 juni 2014.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4df06353199b8/apakah-kasus-
wanprestasi-bisa-dilaporkan-jadi-penipuan diakses, tanggal 18 Juni 2014

31

Anda mungkin juga menyukai