Anda di halaman 1dari 33

PENUNTUN

KULIAH
ETIKA PROFESI
MEDIS
Dr. Danny Wiradharma, SH., MS
Penerbit Universitas Trisakti

(keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. jadi profesi bukanlah pekerjaan atau mats
pencaharian biasa, tetapi pekerjaan yang berdasarkan keahlian. Istilah ini secara
rinci akan dibahas kembali pads Bab mengenai Profesi Medis. Adapun mengenai
i s t i l a h m e d i s d a l am K B B a d a l a h m e n ge n a i o b a t d a n penggunaannya
dalam bidang kedokteran. Dengan Profesi Medis, yang dimaksud adalah profesi
yang berkaitan dengan b i d a n g k e d o k t er a n , baik k e d o kt e r a n umum,
m a u p u n kedokteran gigi. Dokter (physician) dan dokter gigi (dentist) adal ah
tenaga medis yang menurut hukum kedokteran b e r b e d a d e n ga n t e n a ga
k e s e h a t a n l a i nn y a d a l a m h a l kewenangannya untuk melakukan suatau tindakan
medik.
Sistematika penulisan berikutnya dimulai dengan Norma-norma Sosial
yaitu Hukum, Etiket, Etika dan Agama, yang disertai suatu bagan
perbandingan keempat norma tersebut. Bab berikutnya adalah Pengantar Etika,
yang dimulai dengan pembagian atau sistematikanya; diteruskan dengan Tema-terra
Umum, dan Teori-teori Etika, serta Norma Moral yang bersifat absolut, universal
dan obyektif, serta mengenai norma dasar terpenting yaitu martabat manusia.
Bab yang selanjutnya adalah Profesi Medis yang menguraikan tentang Sumpah
Dokter, Sejarah Kedokteran, Prinsip-prinsip Moral Dasar, dan Prinsip-prinsip
Etika Medis, Pengertian dan Ciriciri Proffesi, serta kriteria Profesi medis dan Kode
Etik Profesi dengan lafal sumpah tenaga medis Berikutnya diuraikan
Pengantar Bioetika, tentang pengertiannya, sebab-sebab munculnya dan 8
terra-terra bioetika. Bab terakhir adalah mengenai Pengambilan Keputusan Etik,
dengan ciri-ciri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta metodenva.
B A B I I
NORMA-NORMA SOSIAL

Di alam kita membedakan 3 jenis makhluk hidup yaitu manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Manusia berbeda dengan hewan. Aristoteles mengatakan bahwa
manusia itu Adalah "Zoos Politicos", artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada
dasarnya ingin selalu berkumpul dengan sesamanya. Manusia adalah makhluk sosial
yang hidup hersama dan berkelompok-kelompok. Kelompok-kelompok iiianusia
yang berada di wilayah tertentu, dinamakan iiiasyarakat. Manusia hidup
bermasyarakat untuk memenuhi kobutuhannya. Sebagai makhluk pribadi, pada dasarnya
manusia bebas berbuat menurut kehendaknya. Akan tetapi m-bagai makhluk sosial
tidak dapat bebas berbuat menurut kehendaknya. Ada ketentuan-ketentuan yang
mengatur sikap (indak setiap anggota masyarakat, sebab apabila tidak dernikian, maka
akan terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut. Ketentuan-ketentuan yang
mengatur sikap tindak manusia, yang menjadi pedoman berperilaku agar t I . 1,j adi
keseimbangan kepentingan seluruh anggota masyarakat Ivrsebut, disebut kaidah sosial atau
norma-norma sosial atau kaidah kehidupan.
Ada 4 norma sosial yang dapat dibedakan yaitu :
1. Norma Hukum
2. Norma Etiket
3. Norma Etika
4. Norma Agama

HUKUM
Norma-norma sosial umumnya dibedakan menjadi norma hukum dan
norma non hukum atas dasar bahwa norma hukum dibuat secara resmi oleh
negara, sehingga dapat dipaksakan berlakunya. Oleh karena itu pada
umumnya norma hukum lebih memberikan kepastian dan perlindungan kepada
masyarakat.
Hukum merupakan suatu sistem yang tersusun atas sejumlah unsur
yang membentuk suatu kesatuan yang utuh. Ada 8 prinsip hukum di dalarn suatu
sistem hukum, yaitu :
1. suatu sistem hukum harus mengandung peraturanperaturan, bukan
hanya keputusan ad hoc.
2. peraturan tersebut dirumuskan dengan susunan kata yang mudah dimengerti.
3. antara masing-masing peraturan tidak boleh sating bertentangan.
4. suatu peraturan tidak boleh mengandung ketentuan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan.
5. peraturan tersebut harus diumumkan.
6. peraturan tersebut tidak boleh berlaku surut.
7. h a r u s s e s u a i a n t a r a y a n g d i u n d a n g k a n d e n g a n pelaksanaannya.
8. tidak boleh Bering berubah, agar masyarakat tidak kehilangan
orientasi.
Pengertian Norma Hukum perlu dibedakan den gan Azas Hukum. Azas
Hukum merupakan dasar-dasar umum yang mengandung nilai-nilal etis yang
terdapat dalam peraturan hukum / kaidah hukum / norma hukum konkrit. Jadi Azas
I hukum lebih bersifat abstrak sebagai suatu ide atau konsep, dan tidak mengandung
sanksi. Norma Hukum merupakan aturan rill, sebagai penjabaran dari suatu konsep,
dan mengandung sanksi. Oleh karma itu dapat dikatakan bahwa azas hukum .1
dalah jiwa dari norma hukum. Pada azasnya undang-undang tidak berlaku surut, dan
peraturan hukumnya tercantum dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yaitu " hada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali atas kekuatan
undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan". Azas hukum lain
mengatakan bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan buruk yang merugikan
orang lain harus mengganti kerugian. Norma hukumnya tercantum dalam pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, di mana disebutkan bahwa barang siapa
yang melakukan perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, wajib mengganti kerugian. Azas-azas hukum lain misalnya :
 Azas pradu ga tidak bersalah (presumption ofinnocence), di mana seseorang
dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang mengatakan bahwa
is bersalah clan keputusan ters'ebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
 Azas pasta sunt servanda, yaitu bahwa perjanjian yang suclah disepakati
bersama berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang bersangkutan.
ETIKET
Etiket sebagai suatu norma yang terutama mengatur Aspek kehidupan antar
pribadi - seperti halnya hukum , perlu

dibedakan dengan etika karena banyak kemiripannya dari segi penulisan hurufnya, dan
fungsinya yang mengatur perilaku manusia secara normatif.
Dasar dari etiket adalah kepantasan, kebiasaan atau kepatutan yang berlaku dalam
pergaulan di masyarakat, yang ditujukan kepada sikap lahir saja, sehingga tujuannya
bukan manusia sebagai pribadi melainkan manusia sebagai makhluk sosial. Etika tidak
tergantung pada ada tidaknya orang lain, karena menyangkut terutama segi batin
manusia sebagai makhluk pribadi.
Etiket atau norma kesopanan, tata krama atau adat hanya berlaku menurut kebiasaan
saja. Untuk mengetahui apakah perilaku itu suatu etiket ataukah norma moral, dapat kita
perhatikan bagaimana reaksi kita terhadap seorang asing yang melanggar norma tersebut.
Apabila orang asing makan dengan menggunakan tangan, padahal menurut kita
seharusnya ia menggunakan sendok-garpu, ia tidak kita anggap berkelakuan buruk. Hal
makan tersebut bukan masalah moral atau etika, melainkan masalah sopan-santun.
Sebaliknya apabila orang asing membohongi kita, kita akan menilai dia buruk, karena ini
adalah persoalan etika. Dengan demikiai etiket dapat dikatakan bersifat relatif, yang
dianggap tidak biasa dalam suatu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam
kebudayaan lain. Akan tetapi etika jauh bersifat absolut, seperti berbohong merupakan
perbuatan yang dianggap buruk dalam kebudayaan manapun. Sesungguhnya etiket
menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, sedangkan etika tidak terbatas pada
cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika memberi norma tentang perbuatan itu
sendiri, menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleti dilakukan atau tidak.

ETIKA
Etika sebagai suatu norma sosial yang terutama mengatur aspek kehidupan
pribadi seperti halnya agama, inerupakan salah satu cabang filsafat. Filsafat dapat
dikatakan sebagai produk akal budi manusia yang paling tua dalam seiarah manusia.
Manusia adalah makhluk yang bertanya. Manusia tidak man menerima begitu saja
hal-hal yang berkaitan dengan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Apabila sesuatu itu
tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan rnerubahnya. Kalau itu ternyata tidak mungkin
maka ia akan merubah dirinya. Dalam hal ini ia menyesuaikan diri. Proses perubahan dan
penyesuaian diri menghasilkan peradaban.
Pada umumnya pertanyaan awal untuk mengetahui rasa ingin tabu manusia adalah, "
Apa ? ". Jawabannya adalah sebuah nama. Setelah manusia mengetahui tentang sesuatu,
ia akan bertanya lagi, "Mengapa begitu ? ". Untuk itu diperlukan suatu gagasan.
Sebuah nama belum menjelaskan apa-apa. Jawaban untuk pertanyaan "
Mengapa ? ", memerlukan upaya lain dari manusia. Apabila filsafat berusaha menjawab
pertanyaan "Apa hakekat sesuatu?. ", maka i1mu berusaha menjawab pertanyaan "
Mengapa hal itu begitu ? ". Dalam hal ini dengan akalnya manusia mencari - bukan
menciptakan - hukum-hukum alam. Akan tetapi manusia umurnnya menyadari bahwa
akalnya tidak selalu berhasil i i i enyingkapkan suatu rahasia alam semesta. Ilmu
mempunyai keterbatasan. Pada saat manusia sampai pada batas kemampuan
rasionalnya, ia terbuka untuk hal-hal yang sut)ra-raslonal, yang transenden, yang
melampaui kenyataanKvIlyataan lahiriah yang dapat ditangkap oleh kelima inderanya.
Manusia membutuhkan sesuatu yang lain, yaitu Agama.
Kembali kita kepada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang bertanya.
Pertanyaan pertamanya adalah "Apa?". Kemudian ia bertanya lagi " Mengapa ? ".
Setelah manusia tabu apa dan mengapanya, ia masih bertanya lagi, "Bagaimana
seharusnya? ". Pertanyaan inilah yang sebenarnya merupakan pertanyaan pokok dalam
buku ini yang akan kita pelajari lebih jauh lagi.
sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, etika mencari
penyelesaian sedalam-dalamnya. Etika tidak menyuruh orang harus begini atau harus
begitu, juga tidak melarang orang untuk ini atau untuk itu. Agar lebih mengerti apa yang
disebut etika, kita harus membedakannya dengan ajaran moral..
Ajaran moral berisi pandangan-pandangan tentang nilainilai dan norma-norma moral
yang terdapat di dalam suatu masyarakat, Keseluruhan nilai-nilai dan norma-norma
Berta sikap-sikap moral seseorang atau suatu masyarakat disebut moralitas. Etika
sebagai filsafat tentang ajaran moral, tidak mengajarkan bagaimana kita harus hidup,
atauapa yang harus dilakukan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari, akan tetapi
etika mengajarkan mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau berusaha
untuk mengerti, atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu. jadi
etika tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan apa yang boleh atau apa yang
tidak boleh kita lakukan. Kewenangan semacam itu dianggap dimiliki oleh mereka yang
memberikan ajaran moral.
Berbagai moralitas yang terdapat di dalam suatu masyarakat, dapat berasal dari
satu atau beberapa dari tiga cumber - yaitu adat-istiadat atau tradisi, agama, dan
pandangan-pandangan yang berbeda-beda tentang nilai-nilai dan norma-norma moral
dalam suatu masyarakat - dapat inembuat sebagian anggota masyarakat menjadi bingung
dan rnemerlukan suatu orientasi untuk memilih moralitas mana yang akan
digunakannya. Dalam hal ini etika merupakan sarana untuk menimbulkan suatu
keterampilan intelektual dalam berargumentasi secara kritis, metodis dan sistematis. Jadi
etika merupakan refleksi kritis, metodis dan sistematis tnengenai perilaku manusia yang
berkaitan dengan norma. Karena refleksi tersebut dijalankan dengan kritis, metodis dan
~,istematis, pembahasan itu dapat disebut sebagai ilmu. Seorang Ilili etika memiliki
keahlian teoritis yang dapat dipelajari, t. 1 11pa memperhatikan kebutuhan moral dari
mereka yang mau mempelajari etika, sedangkan ahli moral bagaikan seorang y,tiru atau
pandita yang memberikan wejangan-wejangan bagi iiwreka yang mengalami masalah
kehidupan. Apabila ajaran i i i0ral langsung bersifat formatif bagi seseorang, maka ajaran
flika hanya menyampaikan suatu kecakapan teoritis. Nhhasiswa yang
memperoleh nilai istimewa dalam mata kuliah etika kedokteran, belum tentu
dalam melakukan t tiidakan medic akan berlaku paling etis. Meskipun demikian,
pciigetahuan tentang etika merupakan unsur penting agar wworang dapat mencapai
kematangan etis. Perasaan spontan ~.'Jja rupanya tidaklah cukup, harus pula disertai
pengertian. t tituk memperoleh suatu sikap etis yang tepat, mempelajari 1,11ka dapat
memberikan suatu sumbangan yang penting, 4\1111'lupun tidak menjamin terbentuknya
perilaku etis yang tepat.
Oleh karena itu, yang perlu diberikan di perguruan tinggi bukanlah pelajaran moral,
melainkan pelajaran etika3 . Franz Magnis-Suseno berpendapat bahwa pelajaran moral
tidak perlu diberikan di perguruan tinggi atas dasar bahwa : tujuan ajaran moral adalah
pembentukan sikap moral, dan sikap itu tidak dapat dibentuk melalui pelajaran di lembaga
pendidikan, sebab pembentukan sikap-sikap moral adalah kejadian dialogis dalam
kebebasan; di camping itu pelajaran moral di tingkat perguruan tinggi akan
menimbulkan rasa wegah pada mahasiswa, sebab pengajarnya harus orang yang lebih
maju dalam apa yang diajarkan daripada orang yang menerima ajarannya itu; juga
dengan sendirinya, pelajaran moral hanya akan membuat mahasiswa menjadi sinis.

AGAM A
Agama sebagai norma social yang terakhir, tidak akan dibahas disini. Hal itu
dipelajari dalam Teologi. Dan yang paling penting ajaran agama harus dipraktekkan.
Orang yang percaya, menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya.
Agamalah nampaknya yang paling tepat untuk memberikan orientasi moral. Tetapi
agama memerlukan keterampilan etika agar dapat memberikan orientasi dan bukan sekadar
indoktrinasi (= cara mengajar di mans orang disuruh, menelan saja apa yang diajarkan
tanpa boleh berpikir sendiri). Ada 4 alasan menurut F. Magnis- Suseno dkk ( 1991 ),
yang menyebabkan mengapa agama-agama memerlukan etika, yaitu :
1. kalangan agamapun mengharapkan agar ajaran agamanya rasional, tidak pugs
hanya mendengar
bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi juga ingin mengerti mengapa
Tuhan memerintahkan itu.
2. ada ajaran-ajaran moral agama yang nampaknya s a l i n g b e r t e n t a n g a n
d a n i t u m e m e r l u k a n keterampilan etika untuk menginterpretasikannya.
3. etika dapat membantu memecahkan masalahmasalah moral yang barn
seperti bayi tabung, yang sama sekali tidak disinggung dalam ajaran agama.
4. setiap agama mendasarkan diri pada ajaran yang terdapat dalam kitab sucinya
musing-musing. Etika semata-mata berdasarkan pertimbangan nalar yang
terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia, sehingga
memungkinkan adanya suatu dialog moral antar agama dan pandangan-
pandangan dunia

j';TIKA & HUKUM


Akhirnya, sesuai dengan salah satu tujuan penulisan huku ini, perlu kita tinjau
hubungan antara Etika dan Hukum. Kodua norma ini mempunyai kaftan yang erat dan
saling melciigkapi dalam arti saling menunjang tercapainya tujuan musing-musing. Hati
nurani yang menghendaki agar manusia. "Vialu bersikap tindak yang baik akan membuat
pergaulan pribadi-pribadi dalam suatu masyarakat menjadi lebih baik J)Lllil, sehingga
terwujud masyarakat yang tertib dan damai ,wsuai tujuan norma hukum. Akan tetapi
apabila seorang pri hadi ii-iclakukan perbuatan buruk yang melanggar hukum, j.t ikmi
mendapat sanksi yang tegas, misalnya hukuman penjara. Apabila selama clan setelah
menjalani hukuman ia menyadari kesalahannya ia tidak akan pernah berbuat buruk lagi,
dalam arti sikap batin atau pribadi manusia itu akan berangsur-angsur menjadi baik j uga.
Dengan demikian norma etika akan terealisir.
Kalau diperhatikan maka hampir semua norma hukum berasal atau berlandaskan
norma-norma etika. Jadi secara konsep atau teoritis terutama norma hukum pidana
seluruhnya timbul dari norma etika. Disamping itu dalam praktek atau pelaksanaannya
norma etika pun seharusnya melandasi norma hukum. Hukum yang dilaksanakan secara
imoral lebih buruk dari pada tidak ada hukum sama sekali. Norma hukum sesungguhnya
tidak ada artinya tanpa etika. Ada teori-teori etika mengenai bagaimana suatu
hukum legal dapat dibenarkan, yaitu retributivisme, yang mengajarkan bahwa
suatu hukuman dibenarkan karena merupakan retribusi (= pembayaran sebagai balasan
atau pelunasan ) terhadap pelanggaran atau kerugian yang sudah terjadi pada orang lain;
utilitarianisme, yang meletakkan clasar pembenaran hukuman pada manfaat atau akibat-
akibat baik yang dapat dihasilkan oleh suatu hukuman; retributivisme teleologic, yang
mencari jalan tengah yang merupakan kombinasi dari kedua teori sebelumnya.
BAB III
PENGANTAR ETIKA

SISTEMATIKA ETIKA
Ada berbagai arti dari etika seperti telah dibahas .sebelumnya, berikut ini yang akan
ditelusuri lebih lanjut adalah pengertian etika sebagai ilmu yang membahas tentang i
noralitas. Jadi etika akan dipelajari dalam arti ilmiah. Ada tiga pendekatan yang umum
dilakukan, yaitu etika deskriptif, etika normatif dan meta-etika. Diantaranya, etika
normatif sebagai bagian yang dianggap terpenting di mans diskusi mengenai iiiasalah-
masalah moral sering dilakukan, akan dibahas lebih panjang lebar.
Etika deskriptif mempelajari moralitas * pada individu- iiidividu tertentu, dalam
kebudayaan tertentu, pada suatu periode tertentu, tanpa mengemukakan suatu penilaian
moral, dari norms-norms dan konsep-konsep etis. Saat ini etika deskriptif dijalankan
oleh ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain.
Meta-etika merupakan aliran dalam filsafat moral yang sepertinva bergerak pada tahap
yang lebih tinggi daripada membahas masalah-masalah etis, yaitu pada tahap "bahasa
vtis" atau bahasa yang digunakan di bidang moral. Di sini tidak diselidiki baik buruknya
perbuatan-perbuatan manusia, melainkan mengarah kepada bahasa moral atau
ungkapan- ungkapan tentang baik dan buruk, misalnya spa yang dimaksudkan bila suatu
perbuatan disebut baik atau buruk; gan demikian meta-etika justru menjauhi aktualitas di
bidang moral.
Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala-gejala, melainkan apa yang
sebenarnya harus merupakan tindakan seseorang. Dapat dikatakan bahwa etika normatif
bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan dengan
cara rasional dan dapat digunakan secara praktis. Di sini norma-norma dinilai dan sikap
manusia ditentukan. Ahli-ahli etika akan melibatkan diri dengan mengemukakan
penilaian tentang perilaku manusia. Meskipun selalu idealistic, moralitas dibentuk
berdasarkan kenyataan. Penilaian moral tidak hanya dibuat berdasarkan norma-norma
yang diuraikan dibelakang meja, karena beretika dengan baik berarti dekat dengan
kenyataan zaman dan kebudayaan kita. Kenyataan tersebut harus diperiksa dalam segala
keadaannya, harus diajukan sebanyak mungkin pertanyaan agar kenyataan tersebut
dapat menampakkan dirinya setuntas mungkin. Dalam menghadapi permasalahan etis
menyangkut euthanasia misalnya, kita seharusnya tidak menilai kualitas moral dari suatu
tindakan tanpa mengunjungi rum ah saki t di mana pasi en di raw at . Ba gai m an a
penderitaannya, sudah sampai stadium mana penyakit tersebut dialami, bagaimana
reaksi atau tanggapan sanak keluarganya, bagaimana keadaan sosial ekonomi dari mereka
yang terbebani oleh keadaan pasien tersebut, apa arti penderitaan tersebut bagi pasien,
dan sebagainya.
Selanjutnya etika normatif dapat dibagi dalam etika umum dan etika khusus. Etika
umum membahas terra-terra umum seperti kebebasan dan tanggung jawab, hati nurani, hak-
kewajiban; beberapa keutamaan seperti kelujuran; dan prinsipprinsip moral dasar yaitu
berbuat baik, keadilan dan hormat terhadap diri sendiri. Etika khusi4s menerapkan
prinsip-prinsip dasar tersebut pada masing-masing bidang kehidupan nanusia.
Apabila etika umum disebut sebagai etika teoritis, inaka etika khusus disebut juga etika
terapan. Jadi etika dapat diberi batasan sebagai cabang filsafat yang mengenakan refleksi
dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai moral atau menerjemahkan
nilai-nilai itu ke dalam norma-norma (etika umum) dan menerapkannya pada situasi
kehidupan konkrit ( etika terapan ).
Etika terapan ada yang membaginya menjadi etika individual dan etika sosial, di
mana etika individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sedangkan
etika sosial membahas kewajiban manusia sebagai anggota suatu inasyarakat. Antara
keduanya sebenarnya berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan secara tajam, karena
kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat memang berkaitan.
Selanjutnya 4 etika terapan dapat dibedakan menurut dua wilayah besar yang diselidiki, yaitu
berkaitan dengan suatu profesi, atau suatu masalah. Etika terapan yang membahas
profesi misalnya etika kedokteran,.etika politik, etika bisnis dan sebagainya. Masalah-
masalah yang dibahas oleh etika terapan dapat disebut : etika lingkungan hidup, etika
tnengenai diskriminasi dalam berbagai bentuk, dan lain-lain. Pernbagian lain dari etika
terapan adalah membedakan antara makro etika dan mikro etika. Makro etika membahas
masalahinasalah moral pada skala besar yang menyangkut suatu bangsa atau seluruh
umat manusia, misalnya lingkungan hidup. Mikro etika membicarakan pertanyaan-
pertanyaan etis di mana individu terlibat, seperti kewajiban dokter kepada pasiennya,
atau kewajiban pengacara kepada kliennya.
Sesungguhnya ada satu lagi pembagian etika, yang diajukan oleh J.
Verkuyl (1956), di mana dibedakan antara Etika Teologis dan Etika Falsafi; juga
dinyatakan bahwa di dunia Timur, Etika Teologis lebih tua daripada Etika
Falsafi, sedangkan di dunia Barat Etika Falsafi lebih tua daripada Etika Teologi.
Verkuyl menjelaskan ini dalam bukunya Etika Kristen bagian umum yang pertama
terbit 1956 dan cetakan ke 14-nya terbit tahun 1997. Dikatakan bahwa sumber yang
mutlak dari pengetahuan tentang Etika Teologi (Kristen) hanyalah satu, yaitu
Alkitab. Adapun antara Etika Falsafi yang formal dan Etika Teologi terdapat
perbedaan. Diumpamakan sebagai perbedaan antara sebuah gelas kosong dan
gelas yang berisi air. jika ada orang yang haws, kita dapat menunjukkan
kepadanya suatu sumber air sambil memberikan gelas yang kosong, agar is
dapat,menampung airriya, untuk kemudian meminumnya. Akan tetapi alangkah lebih
baik lagi bila gelas kosong itu kita isi dengan air sumber tersebut, dan kita berikan
kepada orang yang haul itu.
Nampaknya yang dimaksud Verkuyl dengan Etika Falsafi yang formal
adalah Etika falsafi yang terbatas pada uraian mengenai pengertian-pengertian
pokok etika seperti terra-terra umum dan prinsip-prinsip moral dasar saja. Tetapi
apabila Etika Falsafi itu juga mencoba menjawab mengenai p e r m a s a l a h a n b a i k -
b u r u k d a n t u j u a n h i d u p , t a n p a mengindahkan Allah dan firman-Nya, maka
akan timbul suatu ketegangan yang luar biasa.
Etika Teologi dari agama-agama lainpun mungkin pada prinsipnya sependapat
dengan Verkuyl, namun hal itu di luar konteks dari buku ini yang ruang
lingkupnya terbatas pada pengetahuan filsafat sehingga tidak akan dibahas di sim.
'retapi mengenai pernyataan bahwa di dunia Timur Etika Teologi lebih dahulu dari Etika
Falsafi (= Filsafat Moral ), hal ini dapat kita mengerti karena agama-agama yang
berkembang di dunia Timur seperti agama Hindu, Buddhisme, Taoisme dan
Confucianisme, mencakup sekaligus sebagai agama dan " filsafat ". Memang ada dua
pengertian baku yang umum dikenal tentang filsafat. Pertama, filsafat adalah kebijaksanaan
hidup atau suatu pedoman hidup, yang diperoleh dari perenungan dan pergulatan
mengenai kenyataan hidup yang menuntut manusia untuk bersikap tindak sesuai
pandangan hidup tersebut. Kedua, filsafat dipahami sebagai suatu sistem pemikiran
ilmiah, yaitu filsafat sistematis. Dalam hal ini filsafat merupakan sebuah ilmu, yaitu
pengetahuan atau pendekatan i?-ietodIs, sistematis dan koheren tentang seluruh
kenyataan. Ilmu pengetahuan (= science) adalah pengetahuan metodis, sistematis
dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari seluruh kenyataan.
Sedikit berbeda dengan Verkuyl, Eka Darmaputra rupanya berpendapat bahwa Etika
Teologi seperti Etika Kristen misalnya, memang oleh orang Kristen, tetapi bukan hanya untuk
orang Kristen saja. prinsip " kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri "
dikatakan sebagai prinsip di dalam Etika Kristen. Akan tetapi itu menjadi prinsip di
dalam Etika Kristen bukan hanya karena dikutip dari Alkitab, melainkan karena
merupakan prinsip yang dapat diterima secara universal, sebagai prinsip yang pada
hakekatnya dapat secara rasional diterima oleh semua orang. Hal tersebut berlaku untuk
etikaetika teologis lainnya. Etika Kristen dapat saja belajar bahkan menerima kebenaran-
kebenaran di dalam Etika Islam-5 . Bila hal ini terjadi, itu karena secara intrinsik
mengandung kebenaran yang universal, yang bukan semata karena terdapat di dalam Al
Quran atau karena kebetulan cocok dengan yang tercantum di dalam Alkitab.

TEMA-TEMA UMUM

1. KEBEBASAN
Moralitas sebagai suatu keseluruhan nilai-nilai dan norma-norma moral individu
maupun masyarakat, hanya mungkin karena manusia bebas. Oleh karena itu etika umum
dapat dimulai dengan pembahasan mengenai kebebasan, yang merupakan dasar
moralitas' . Kita semua mengalami kebebasan, karena kita manusia. Kebebasan
adalah salah sate hal yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang tidak
menentukan sendiri sikap tindaknya, akan tetapi dikendalikan oleh dorongan-
dorongan naluri dari dalam, dan rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Manusia
akan menentukan sendiri sikap tindaknya sebagai reaksi terhadap rangsangan dari luar
maupun dorongan nalurinya, ia dapat menentukan dirinya. Apabila lapar, binatang akan
langsung memakan makanan yang pertama ia jumpai; sedangkan meskipun lapar,
manusia tidak akan begitu saja melahap makanan yang ada dihadapannya; misalnya
karena sedang berpuasa. Dalam menentukan sikap tersebut, manusia
mengalami kebebasannya, kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Jadi
kebebasan merupakan tanda martabat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya secara
alamiah terikat kepada kekuatan-kekuatan alamiah, melainkan karena akal budinya ia
dapat mengatasi keterbatasan alamiah.
Martabat manusia dapat dikatakan merupakan norma dasar terpenting, karena
manusia adalah satu-satunya inakhluk yang merupakan tujuan pada dirinya.
Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman, merumuskan kewajiban untuk inenghormati
martabat manusia sebagai berikut : "Hendaklah tnemperlakukan manusia selalu jugs
sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana atau sesuatu yang
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu belaka". Jadi martabat manusia
mengandung pengertian bahwa manusia harus dihormati sebagai manusia.
Seseorang seyogyanya dihormati bukan karena kedudukannya dalam masyarakat,
at au keka ya ann ya , m el ai nkan sem at a - m at s karena martabatnya sebagai
manusia.
Kebebasan mempunyai banyak arti. K. Bertens ( 1993 ) membedakan antara
kebebasan sosial politik dan kebebasan individual berdasarkan siapa yang menjadi
subyek, rakyat atau manusia perorangan. Kemudian dijelaskan pula berbagai arti
kebebasan? , seperti kesewenang-wenangan, kebebasan fisik, kebebasan psikologis,
kebebasan moral, kebebasan yuridis dan , k e b e b a s a n e k s i s t e n s i a l . B a r a n g k a l i
u n t u k l e b i h iiienyederhanakan pembahasan sehingga mempermudah pengertian,
akan ditinjau pembagian kebebasan sosial dan kebebasan eksistensial berdasarkan
pemahaman secara positif Mau secara negatif dalam arti logika, bukan positif - negatif
Wba gai penilaian, menurut F. Magnis-Suseno ( 1989 ).
p
emahaman arti kebebasan sebagai suatu yang positif, Iwrarti kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya .,wiidiri. Ditekankan di sini, " bebas untuk
.................................................................................. , yang mi-t1yangkut sikap tindak
yang akan dilakukan. Ini disebut f4ebagai kebebasan eksistensia18 . Dari pemahaman
secara w-gatif, kebebasan menunjukkan tidak adanya pembatasan oleh orang lain atau
masyarakat, jadi maksudnya, " bebas dari ................ menyangkut hubungan dengan
orang lain atau masyarakat, clan disebut sebagai kebebasan sosial,
Jadi kebebasan manusia mempunyai dua segi, yaitu kemampuan untuk
menentukan dirinya sendiri, dan ia tidak d i b a t a s i o l e h m a n u s i a l a i n a t a u
m a s ya r a k a t d a l a m kemungkinannya untuk menentukan dirinya tersebut. Kedua segi
kebebasan ini saling berkaitan sehingga sulit dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Dalam
menentukan sikapnya sendiri, manusia mengalami kebebasan; bukan kebebasan dari
sesuatu, melainkan bebas untuk melakukan suatu tindakan. Kemampuan
manusia untuk menentukan tindakannya sendiri ini yang disebut sebagai kebebasan
eksistensial, yaitu kebebasan menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas
pada satu aspek saja. Jadi sikap tinuak yang dilakukan oleh manusia merupakan kegiatan
yang disengaja, yang mempunyai motif-motif. Motif di sini adalah alasan yang diterima
manusia untuk menentukan dirinya. Oleh karena itu pengertian yang paling mendalam
dari kebebasan yang dirasakan seseorang adalah manusia merupakan makhluk yang
menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak ditentukan begitu saja oleh faktor-faktor dari
luar, maupun dorongandorongan naluri dari dalam. Oleh karena itu kebebasan adalah tanda
dan ungkapan martabat manusia. Seseorang akan merasa terhina apabila sesuatu
dipaksakan kepaclanya baik dengan ancaman maupun bujukan.
Bahwa kebebasan manusia itu tidak hanya bergantung kepada dirinya sendiri, barn
disadari apabila ada orang lain yang akan membatasinya. Kebebasan di mana
kemungkinan seseorang untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain
disebut sebagai kebebasan sosial. Paling seclikit ada tiga cara orang lain membatasi
kemungkinan seseorang untuk bersikap-tindak, yaitu melalui paksaan fisik, tekanan
psikologis dan melalui larangan dan kewajiban.
Kebebasan fisik, diartikan seseorang dapat bergerak ke inana saja tanpa hambatan,
seperti penahanan, pemborgolan atau penyiksaan. Kebebasan psikologis dimaksudkan
sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan mengembangkan hidupnya berkaitan
dengan kehendak bebasnya, meskipun ia dihadapkan pada berbagai pilihan yang dapat
diambilnya. Sehubungan dengan kebebasan psikologis, ada yang disebut kebebasan
moral. Apabila kebebasan psikologis dapat dibatasi melalui manipulasi informasi yang
diperoleh, atau lewat ancaman, bujukan, juga karena obat-obat psikofarmaka, maka
kebebasan moral tidak mungkin ada tanpa adanya kebebasan psikologis tersebut.
Sedangkan adanya kebebasan psikologis belum tentu disertai adanya kebebasan moral,
meskipun dalam keadaan normal, kebebasan psikologis biasanya disertai kebebasan
moral. Suatu contoh, bila seseorang diancam akan dibunuh apabila tidak menyetujui
suatu pernyataan yang sebenarnya tidak sesuai dengan hati nuraninyd, dalam hal ini ia
mempunyai alternatif untuk memilih. Kalau ia berkehenclak untuk tetap hidup ia akan
memberikan persetujuannya, dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan dengan bebas,
dalam arti kebebasan psikologis, tetapi tidak dengan sukarela; kalau tidak menyetujui
pernyataan tersebut, yang dirasanya bertentangan dengan suara hatinya maka ia harus coati.
Jadi dalam contoh ini i tidak ada kebebasan moral.
Manusia adalah makhluk sosial, setiap dari kita adalah ,1119gota masyarakat. Oleh
k es ew
karena itu kebebasan manusia bukanlah enang-wenangan, melainkan ada
batasbatasnya. Batas tersebut ditemukan dalam hak setiap orang lain sesama anggota
masyarakat. Oleh karena kebutuhan seseorang dipenuhi secara terus-menerus oleh orang
lain atau oleh masyarakat itu sendiri, maka masyarakat mempunyai hak untuk membatasi
kes
ewenang-wenangan seseorang yang berada dalam kebebasannya dengan cara yang
kew
wajar yaitu menetapkan ajiban-kewajiban dan/atau larangan larangan yang
kita sebut sebagai pembatasan normatif Artinya seseorang diberitahu tentang suatu
norma atau pedoman untuk bersikap tindak dalam pergaulan di masyarakat. Cara ini
menghormati martabat manusia sebagai makhluk yang dapat menentukan sendiri sikap
tindaknya. Di sini tidak ada pembatasan fisik maupun psikis. Akan tetapi apabila seseorang
tidak mau mengindahkan norma-norma yang telah disepakati oleh masyarakat (norma-
norma etis), maka masyarakat berhak mengambil tindakan untuk menjamin norma-norma
itu tetap dihormati. Tindakan yang dilakukan adalah tindakan fisik, dalam bentuk
ket
entuan-ketentuan yang dapat dipaksakan berlakunya (norma-norma hukum), agar
tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain atau masyarakat.Tekanan
psikologis tidak dapat dibenarkan untuk digunakan sebagai cara agar orang mematuhi
norma-norma yang telah disepakati, karena manipulasi psikis secara moral buruk dan hal
itu akan merusak kepribadian seseorang dari dalam, merusak otonomi manusia.

!. TANGGUNG JAWAB
Istilah tanggung jawab dan kebebasan sating berkaitan. kpabila kita menyatakan
"manusia itu bebas ", hal ini berarti juga bahwa "manusia itu bertanggung jawab".
Oleh karena itu pembahasan mengenai tanggung jawab berurutan dengan pembahasan
mengenai kebebasan. Kebebasan yang diberikan masyarakat ( = kebebasan social ), yaitu
dengan tidak adanya paksaan fisik atau tekanan psikologis, merupakan kesempatan Vai-ig
harus diisi dengan sikap tindak yang mencerminkan ~,vbebasan eksistensial. Setiap
akibat lanjut dari sikap tindak v,mg dilakukan akan menimbulkan suatu
pertanggung jawaban yang tidak dapat diserahkan kepada orang lain.
,rnn bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan o1cf-inya. Akan tetapi untuk
bertanggung jawab tidak cukup ot'ang tersebut menjadi penyebab saja, melainkan
harus Ill(Itijadipenyebabyangbebas.jadikebebasanatautidakadanya poinbatas,
merupakan syarat mutlak untuk tanggung jawab. Apabila seseorang tidak mau
bertanggung jawab meskipun ia III(Illgetahui apa yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya - sesuatu yang mempunyai nilai, tetapi ia tidak mau iiielakukannya -
hal tersebut berarti mungkin dirasakan terlalu 4wrat, malas, tidak dapat mengatasi nafsu;
ia mengalah terhadap segala macam perasaannya, ia adalah orang yang Ivinah.
Sebaliknya , orang yang semakin bersedia untuk hertariggung jawab, akan semakin
terbuka pada tantangan tarnan dan masyarakat, semakin kuat menentukan untuk
thrhiya sendiri dengan mengalahkan hambatan-hambatan ivi-asional. Semakin
bertanggung jawab, manusia itu semakin 1whas. Jadi segi terpenting kebebasan
manusia adalah kvi ci-arahannya pada tanggung jawab.
Tanggung jawab bisa bersifat langsung, di mana, si pelaku U1111dit'i yang
bertanggung jawab atas perbuatannya; atau pada hal-hal tertentu orang bertanggungjawab
secara tidak langsung, akibat perbuatan orang lain atau akibat kejadian tertentu.
Misalnya anak yang merusakkan barang orang lain, orang tuanya yang bertanggung
jawab. Jadi dapat dilihat bahwa apabila tidak ada kebebasan, maka tidak perlu ada
tanggung jawab; atau apabila kebebasan berkurang maka tanggung jawab pun lebih
ringan, seperti halnya pada anak-anak yang berada dibawah tanggung jawab orang
tuanya.
Menentukan bertanggung jawab tidaknya seseorang tidaklah mudah. Salah satu
patokan adalah kematangan psikis. Untuk kepastian, norma hukum menetapkan umur
tertentu di mana seseorang dianggap dapat bertanggung jawab. Batas usia itupun berbeda-
beda tergantung pada bidang hukum apa atau menurut ketentuan hukum positif yang
mana.
Sebenarnya hanya orang yang bersangkutan sendiri yang dapat mengetahui apakah
dalam suatu kasas is bertanggung jawab dan sejauh mana tingkat tanggung jawab yang
harus dipikulnya. Dan yang mungkin paling sulit dipastikan adalah seseorang yang
melakukan suatu perbuatan tercela, pada kenyataannya tidak melawan dorongan pikiran
atau batinnya, atau tidak dapat melawan dorongan batinnya tersebut. Hal ini berkaitan
dengan kebebasan psikologis.
3. HATI NURANI
Pengalaman tentang hati nurani nampaknya merupakan perjumpaan paling jelas
bagi manusia dengan moralitas sebagai kenyataan. Karma itu. K. Bertens (1993)
menganggap pengalaman tersebut merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi
mengenai etika9 . Akan tetapi F. Magnis Suseno (1989) menyatakan bahwa setelah
mulai dengan pembahasan mengenai kebebasan sebagai dasar moralitas, kemudian
membahas segi terpenting kebebasan manusia yaitu keterarahannya pada tanggung
jawab, sekarang pengertian tanggung jawab diperdalam, di mana bertanggung jawab
sebagai manusia berarti bertindak sesuai dengan suara hati atau hati nurani-nya.
Hati nurani adalah penghayatan tentang baik atau buruk berkaitan dengan tingkah laku
konkri t kita, di mana hati nurani mengharuskan atau melarang kita untuk melakukan
sesuatu saat ini dan di sini.
Ada dua aspek dari hati nurani yang dapat kita. teliti. Aspek personal dan
adipersonal. seperti dapat kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama, demikian
pula tidak ada dua hati nurani manusia yang persis sama. Jadi hati nurani hersifat personal
atau selalu berkaitan dengan pribadi yang bersangkutan. Di samping itu hati nurani hanya
berbicara atas nama yang bersangkutan, hanya memberi penilaian tentang perbuatan kita
sendiri dan tidak memberikan penilaian mengenai perbuatan orang lain. Apabila kita
melihat suatu perbuatan buruk, misalnya penyiksaan sampai coati yang dilakukan
seseorang, sering kita menilai itu sebagai hal yang tidak boleh dilakukan. Penilaian itu
memang mengikuti apa yang dikatakan hati nurani kita. Akan tetapi meskipun hati kita
sakit,.sedih, dan geram, integritas pribadi kita tidak merasa (I i perkosa oleh tindakan brutal
orang lain tersebut; karma itu adalah perbuatan orang lain, bukan perbuatan sendiri.
Selain bersifat pribadi, hati nurani jugs seolah-olah melebihi pribadi kita
(adipersonal ) sepertinya merupakan ~-i.jatu instansi di atas kita. Dalam bahasa Latin
conscientia, I lc~ras al dari scire mengetahui ) dan awalan con (= turut, hersama
dengan). Jadi conscientia berarti "turut mengetahui", dan kata ini digunakan juga untuk
menunjukkan "hati nurani". Hati nurani merupakan semacam "saksi" tentang perbuatan-
perbuatan moral kita. Istilah hati nurani dalam bahasa Indonesia berarti "hati yang
diterangi" (nor = cahaya). Sinonimnya adalah suara batin, suara hati, kata hati. Kita
seakan-akan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Ada aspek transenden
yang melebihi pribadi kita.
Apakah suara hati suara Tuhan? Kalangan agama menyatakan Tuhan berbicara
melalui hati nurani. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa
orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani karena is manusia. Hati nurani
tidak langsung merupakan suara Tuhan, karena Tuhan tidak bisa keliru, sedangkan kita
sebagai manusia bisa keliru.
Ada banyak jenis hati nurani, ada yang halos dan jitu, ada pula yang longgar dan
kurang tepat, atau ada juga hati nurani yang tumpul, bahkan dikatakan ada orang yang
tidak mempunyai hati nurani. Seperti halnya akal budi, hati nuranipun harus dididik.
Tempat pendidikan moral yang paling serasi adalah secara informal yaitu dalam
keluarga. Para pendidik yaitu orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak didiknya,
karena kewajiban terhadap hukum moral mengikat semua orang. Pendidikan hati nurani
akan berjalan dengan sendirinya, apabila anak dil iputi oleh suasana yang
m en yokong di m ans m ereka m eli hat bahwa orang disekelilingnya memenuhi
k
ewajiban-kewajibannya dengan seksama dan mempraktekkan keutamaan-keutamaan
yang mereka ajarkan.

.1. HAK
Paham " hak " nampaknya lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan masalah
hukum daripada masalah etika. I I al ini dapat dilihat misalnya pada zaman Yunani kuno
tempat lisalnya filsafat barat, Plato dan Aristoteles, belum berbicara tentang hak dalam
arti yang sebenarnya. Masyarakat di sang pada waktu itu masih mengenal sistem
perbudakan yang sesungguhnya tidak dapat dibenarkan secara etis dalam kebudayaan
atau periode sejarah manapun juga. Memang hak dalam bidang etika-moral yang ada
sekarang merupakan hasil suatu proses sosial dan pistons yang panjang.
Untuk menjelaskan tentang hak, mungkin kita bisa inelihatnya dari sudut peranan
atau fungsi yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Apabila
peranan atau kegunaan diri itu ditujukan bagi dirinya sendiri, i iiilah yang disebut sebagai
hak. Disamping itu pengertian hak 11dalah suatu peranan yang boleh dilakukan dan boleh
juga tidak dilakukan. Berkaitan dengan ini, pengertian dari istilah kewajiban dapat
dijelaskan sebagai peranan yang ditujukan bagi orang lain, atau kewajiban adalah suatu
peranan yang harus dilakukan atau yang harus tidak dilakukan.
Seperti halnya kita membedakan hukum dan etika, maka Oda hak legal, yang
didasarkan atas prinsip-prinsip hukum dan berfungsi dalam sistem hukum, disamping hak
moral yang didasarkan atas prinsip-prinsip etis dan berfungsi dalam sistem moral. Kaitan
antara etika dan hukum begitu erat sehingga pandangan-pandangan etis umumnya
menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hukum. Demikian pula yang ideal adalah bahwa
hak legal pada dasarnya merupakan suatu hak moral juga.

Jenis-jenis hak yang lain, adalah hak umum dan hak khusus. Hak umum dimiliki
manusia bukan karena hubungan atau peranan tertentu, melainkan semata-mata karena is
manusia. Istilah lain untuk hak umum adalah natural right atau human right atau hak azasi
manusia. Hak khusus, timbul dalam suatu hubungan khusus antara beberapa orang atau
karena peranan tertentu yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. N4isalnya hak orang
tua : di mana orang tua mempunyai hak bahwa anaknya akan patuh kepadanya;
sebaliknya anak mempunyai hak pula untuk diberi makan, pendidikan dan kebutuhan
lainnya.
Berkaitan dengan Deklarasi Universal tentang Hak-hak A,zasi Manusia yang
diproklamasikan oleh Perserikatan 3angsa-Bangsa pada tahun 1948, dikemukakan hak
individual tan hak sosial. Hak individual dimiliki individu-individu :erhadap negara;
negara tidak boleh mengganggu individu ialam mewujudkan haknya itu. Contohnya
adalah hak nengikuti hati nurani, hak menentukan bagi dirinya sendiri the right of self
determination). Hak sosial, dimiliki manusia )ukan terhadap negara, tetapi sebagai
anggota masyarakat )ersama dengan anggota-anggota yang lain. Contohnya adalah Zak
atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan.

KEWAJIBAN
Sudah menjadi tradisi dalam etika bahwa yang liutamakan adalah
kewajiban. Kode Etik tenaga kesehatan, elalu mencantumkan kewajiban-kewajiban
kepada pasien. 4embicarakan kewajiban hampir selalu dikaitkan dengan hak. Jampaknya
setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak rang lain, dan sebaliknya, setiap hak
seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut,
rneskipun hubungan timbal balik tersebut tidak harus selalu seimbang.
Dalam Kode Etik Kedokteran & Kedokteran Gigi Indonesia, tercantum kewajiban
terhadap diri sendiri. Setiap tenaga medis harus memelihara kesehatannya agar dapat
bekerja dengan baik, disamping mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Semua
hal itu sebenarnya secara tidak langsung adalah untuk kepentingan pasien. Setiap orang
memang wajib ur i t uk m em p e rt ah an k an k e hi d up an n ya d an j u ga
mengembangkan bakatnya. Dalam hal ini, kewajiban terhadap diri sendiri tidak hanya
semata-mata dilihat sebagai kewajiban terhadap diri sendiri saja. Kewajiban tersebut tidak
terlepas dari hubungan seseorang dengan orang lain, seperti keluarga, Leman dan
lingkungan tempat tinggal atau agar supaya dapat inengobati pasien dengan sebaik-
baiknya. Disamping itu . 1 pabila dilihat dari sudut pandang religius, kewajiban terhadap
diri sendiri dimaksudkan sebagai kewajiban terhadap Tuhan.

11"ORI - TEORI ETIKA


Pendekatan terhadap berbagai masalah moral owmerlukan suatu sarana
dalam bentuk teori atau kerangka t ~t i ka. Adapun yang dimaksud dengan teori etika di sini
adalah I, roses yang ditempuh untuk membenarkan suatu keputusan ct i s tertentu, agar
keputusan-keputusan moral yang dihasilkan hersifat konsisten dan koheren. Konsistensi
dan koherensi ,,angat diperlukan untuk mencapai kepaduan intern dan integritas yang
lebih besar dalam pengambilan suatu keputusan. Sepanjang sejarah filsafat begitu banyak
dijumpai sistem-sistem etika karma adanya perbedaan yang mendasari sistem-sistem
tersebut. Jadi begitu banyak uraian sistematis yang berbeda-beda mengenai hakikat
moralitas dan peranannya dalam hidup manusia. Ada yang membagi teori dan metode
etika atas dasar alarm / kodrat manusia dan atas dasar rohani / kejiwaan, mengenai apa
yang menjadi hal terbaik bagi manusia. Penggolongan lain yang paling banyak dipakai
adalah melihat akibat dari perbuatan. Baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung
pada konsekuensinya. Untuk hal yang sama dapat juga dikatakan bahwa sistem-sistem
etika tersebut berorientasi atau terarah kepada tujuan atau bersifat teleologis. Disamping
sistem konsekuensialistis atau yang juga disebut bersifat teleologis tersebut, ada sistem
etika lain yang mengukur baik buruknya suatu perbuatan hanya berdasarkan maksud si
pelaku dalam melakukan perbuatan itu. Hal ini menunjuk kepada kewajiban dalam
menentukan apakah sesuatu bersifat etis atau tidak. Teori ini disebut sebagai deoiito
logi (dcoii, bahasa Yunani, berarti apa yang harus dilakukan, kewajiban). Sistem chka
seperti hedomsnle (lietione, bahasa Yunani berarti kesenangan), eudeiiioliisnie (
ctide)lloilia' bahasa Yunani berarti mempunyai rob pengawal/ demon yang baik, artinya
kebahagiaan) dan utilitarisme atau utilisme (it tills, bahasa Latin atau utilitarianism, bahasa
Inggris, berarti bermanfaat) dapat dikelompokkan sebagai sistem etika yang bersifat
teleologis (= terarah pada tujuan) atau yang memandang basil atau akibat
perbuatan mengenai apa yang harus dilakukan. Sistem-sistem etika itu pun dapat dikatakan
mengacu kepada kodrat manusia vaitu mencari kenikmatan. Mengenai sistem etika yang
disebut deontologi, teori ini akan menjawab mengenai pertanyaan " apa yang harus
saga lakukan ?" dengan menjelaskan kewajiban-kewajiban moral seseorang. Suatu
perbuatan bersifat etis, apabila hal itu memenuhi kewajiban atau berpegang pada
tanggung jawab si pelaku.
Sebenarnya disamping kedua kelompok sistem etika utama yang diatas, ada sistem
etika lain, yaitu etika hak dan intuisionisme. ntuisionisme. Etika hak menyelesaikan permasalahan
moral dengan menentukan terlebih dahulu hak dan tuntutan moral apa yang terlibat di
dalamnya. permasalahan tersebut dipecahkan dengan berpegang pada hirarki hak-hak.
Paham hak memang nampaknya muncul belakangan dalam sejarah pemikiran Barat sejak
zaman Yunani kuno. Dalam perdebatan moral yang berlangsung di masyarakat dewasa ini,
paham hak memegang peranan penting. Di dalam bidang kedokteran ataupun bidang
biomedis, hak pasien mulai dipertanyakan dalam hubungan dokter-pasien. perdebatan
tentang abortus umumnya mempertentangkan hak ibu hamil dan hak janin yang belum
lahir. Teori ini memang menempatkan hak individu dalam pusat perhatian, tetapi
tidak menjelaskan bagaimana konflik antara hak individu-individu harus dipecahkan.
Intuisionisme menyelesaikan permasalahan etis dengan berpegang pada intuisi,
yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara langsung apakah
sesuatu baik atau tidak. Di sini yang menjadi titik tolak adalah perasaan moral yang
urnurrmya memberikan keberanian untuk tetap berpegang pada keyakinannya sendiri.
Akan tetapi metode ini tidak memberikan cara untuk meyakinkan orang lain
mengenai kebenaran tersebut.
Berikut ini akan diuraikan dua sistem etika yang paling banyak dikenal yaitu
Utilitarianisme yang bersifat teleologic, dan Deontologi yang pertama kali
dikembangkan oleh Immanuel Kant.
Utilitarianisme
Teori ini bermula dari United Kingdom yang oleh Jeremy Bentham ( 1748-1832 )
dimaksudkan sebagai dasar etis pembaharuan hukum Inggris, terutama hukum
pidana. i kat akan bahwa t uj uan hukum adal ah m em aj ukan kepentingan
masyarakat, bukan hanya untuk memaksakan perintah-perintah Ilahi. Diusulkan
mengenai klasifikasi kejahatan adalah berdasarkan berat ringannya pelanggaran dan
diukur berdasarkan penderitaan korban dan masyarakat, di mana
dipe r timbangkan banyaknya suka dan duka yang dihasilkan. Hukum bagi
Bentham harus diberlakukan jika bisa memaksimalkan suka dan meminimalkan
duka bagii masyarakat. Kejahatan yang tidak merugikan orang lain, sebaiknya tidak
dianggap sebagai perbuatan kriminal. Sepertinya Bentham melanjutkan begitu saja
hedonisme klasik. John Stuart Mill ( 1806-1873 )" mengembangkan utilitarianisme, di
mana is berpendapat bahwa kualitas dari kesenangan atau kebahagiaan harus
dipertimbangkan juga, tidak hanya kuantitasnya saja, sebagaimana yang disebut
Bentham " kebaikan umum" atau "kebahagiaan Terbesar dalam jumlah Besar". Moralitas
utilitarian dapat dibuat kurang materialistic dengan menempatkan prioritas
kebahagiaan budaya dan spiritual di atas kesenangan fisik yang lebih kasar. Lebih baik
menjadi manusia yang tidak puas dari pada seekor babi yang puas. Disamping itu Mill
berpendapat pula bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan
sernua orang, yang terlibat dalam suatu kejadian; bukan kebahagiaan satu orang saja
yang mungkin bertindak sebagai pelaku utama. Nampaknya bagi kaum Utilitarian motif
tidak penting. Hanya hasil perbuatan yang perlu diperhitungkan. Tekanannya lebih pada
tindakan dari pada pelaku. Bentham dan Mill berpendapat bahwa motif manusia tidak
bisa dilihat atau diukur; akan tetapi konsekuensi tindakan bisa
diperhitungkan. Hal ini yang menyebabkan Utilitarianisme kadang disebut
konsekuensialisme. Jika seorang dokrer dan seorang penganggur sama-sama berada
diatas rakit yang hanya mampu memuat satu orang, si dokter "boleh"
mendorong si penganggur ke luar. Dengan menyelamatkan nyawanya sendiri berikut
keahlian medisnya, si "dokter pembunuh" itu akan menghasilkan kebahagiaan bagi lebih
banyak orang dikemudian hari dari pada si penganggur.
p
rinsip kegunaan dari Utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu perbuatan
adalah baik bila menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak
selamanya benar. Misalnya kalau satu orang dengan cars kejam disiksa oleh banyak
orang, maka kesenangan pars penyiksa apabila melebihi penderitaan korban, ini bisa
dinilai baik oleh prinsip tersebut. Juga prinsip kegunaan tersebut tidak
menjamin bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil. Misalnya dalam suatu
masyarakat sebagian terbesar hidup nakmur, dan ada sedikit minoritas yang serba
kekurangan. Menurut prinsip tersebut masyarakat tersebut sudah diatur dengan baik.
Utilitarianisme tidak dapat menjamin hak individu atau minoritas dan tidak
memenuhi prinsip keadilan.
Utilitarianisme bersifat universal, artinya mengakui adanya kewajiban terhadap
semua orang; dan utilitarianisme juga bersifat rasional karena is tidak bekerja dengan
peraturanperaturan yang tidak jelas alasannya, dan di sini tercipta suasana pertanggung
jawaban. Tuntutan bahwa seseorang harus selalu memperhatikan akibat-akibat dari
tindakannya mengungkapkan suatu prinsip moral yang sangat penting. Seseorang harus
bertanggung jawab atas akibat-akibat dari tindakan yang dilakukannya. Juga seseorang
harus bertindak sedemikian rupa sehingga akibat-akibatnya paling sesuai dengan
kepentingan, hak dan harapan sebanyak mungkin orang. Akan tetapi, utilitarianisme,
dengan antara lain melihat contoh "dokter pembunuh", kasus sadisme oleh banyak orang
terhadap satu orang, dan masyarakat yang mayoritas makmur tetapi minoritas miskii-i
seperti di atas, tidak"dapat menjamin keadilan dan hormat terhadap hak-hak azasi manusia,
sehingga dengan demikian tidak menjamin martabat manusia.
Jenny Teichman (1996) mengemukakan kekurangank e k u r a n g a n u t a m a d a r i
k o n s e k u e n s i a l i s m e d a n utilitarianismel I
1. Konsekuensialisme tidak dapat dijalankan karena akibatakibat jangka pendek tidak
dapat diduga dengan pasti, dan akibat-akibat jangka panjang tidak dapat diduga
same sekali.
2. Sesungguhnya tidak ada yang disebut "kalkulus kemanfaatan", di mana tidak
mungkin kite membanding-bandingkan kebahagiaan atau kesenangan seseorang
dengan orang lain, dan tidak mungkin pule membanding-bandingkan kebahagiaan
seseorang pada
saat ini dengan kebahagiaan yang dimungkinkan pada mesa mendatang.
3. Prinsip 'hasil yang paling baik' membuat penguasa menentukan hasil mana yang
lebih penting dari yang lain. Hal ini mengarah pertama-tama kepada pandangan yang
sekedar memberi kesenangan dari prinsip-prinsip penguasal, dan kemudian kepada
korupsi. Begitu mudahnya kaum politisi memusatkan diri untuk menolong diri
mereka sendiri dan pengikut-pengikutnya dalam memperoleh kebaikan-kebaikan
sebanyak mungkin, sementara orang lain diabaikannya.
4. Upaya untuk menjalankan konsekuensialisme akan mengorbankan hak-hak
individual, dan kaum minoritas demi kebahagiaan kaum mayoritas.
5. Apabila aturan yang tidak adil atau suatu tindak ketidakadilan individual dianggap
mungkin sekali akan memberikan hasil-hasil yang, lebih baik dari pada keadilan,
make tindakan atau peraturan itupun menjadi kewajiban moral. Konsekuensialisme
akan berakhir dengan pelecehan terhadap keadilan.
Jadi konsekuansialisme bukanlah batu karang, melainkan paya atau rawa.

Deontologi
Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf Jerman yang lahir, menetap, bekerja dan
wafat di Konigsberg kawasan Prussia Timur, beranggapan tidak ada hubungan antara
i i i oralitas dan kebahagiaan. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti
sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik.
Kehendak menjadi baik bila bertindak karena kewajibai7. Kalau perbuatan dilakukan
dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik betapapun
terpujinya motif tersebut. perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib
dilakukan. Bertindak hanya sesuai saja dengan kewajiban disebut legalitas oleh Kant.
Suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata "karena hormat untuk hukum
moral". Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban. Tindakan moral
adal ah tindakan ya ng dilaksanakan dari rasa a kan kewajiban, bukan sekedar
m e n g i k u t i d o r o n g a n h a t i , K a n t d i k e n a l s e b a g a i deontologist, orang yang
percaya dengan kewajiban. Karma moralitas melibatkan kewajiban, bukan keiinginan,
maka ciri pembeda utama suatu tindakan moral adalah motif bukan konsekuensi.
Kant juga membedakan antara tuntutan / perintah / imperatif, yang bersyarat
(imperatif hipotetis) dan yang tidak bersyarat ( imperatif kategoris ). Imperatif hipotetis
hanya berlaku atas dasar pengandaian. Perintah terhadap para atlit: "Jangan merokok !",
bersifat hipotetis yaitu hanya berlaku atas dasar pengandaian bahwa apabila atlit tersebut
ingin mencapai prestasi tinggi ia harus tidak merokok. Kewajiban moral mengandung
suatu imperatif kategoris, bersifat tanpa syarat atau absolut. Perintah, seperti "Jangan
berdusta !" berlaku begitu saja, tanpa kekecualian. Perintah itu mutlak, tidak dapat ditawar-
tawar. Imperatif kate g oris ini menjiwai semua peraturan etis.
Mengenai sikap moral, Kant membedakan antara heteronomi moral dan otonomi
moral. Kati ini berasal dari bahasa Yunani : heteros artinya lain, izornos artinya
"hukum".

Heteronomi moral adalah sikap di mana seseorang memenuhi kewajibannya bukan karena
ia sadar bahwa kewajiban itu pintas dipenuhi, melainkan karena ia tertekan, takut
disalahkan, takut berdosa dan sebagainya, sehingga tidak berani mengambil sikap
sendiri. Kewajiban itu dilakukan karena pihak lain, bukan ditentukan olehnya sendiri.
Hal ini merendahkan manusia, tidak bebas, buta terhadap nilai-nilai dan tanggung jawab
sebenamya. Sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonom (autos, Yunani, artinya
sendiri). Otonomi moral berarti bahwa manusia menaati kewajibannya karena ia sendiri
sadar, tact pada dirinya sendiri. Inti sikap moral otonom atau penghayatan moral yang
sebenarnya ialah bahwa seseorang melakukan kewajibannya bukan karena dipaksa dari luar,
melainkan karena menyadarinya sebagai sesuatu yang b e r n i l a i c l a n s e b a ga i
p e r t a n g gu n g j a w a b a n ya n g sesungguhnya.
Sistem moral Kant nampak sebagai suatu etika yang kaku dan suram. Apakah tidak
mungkin seseorang berbuat baik karena dorongan cinta atau belas kasih. Di sini Kant
menyatakan bahwa bertindak berdasar kecenderungan saja seperti itu artinya tidak bebas
dan perbuatan yang tidak bebas tidak bisa dianggap perbuatan moral. Rupanya pengertian
Kant akin kebebasan begitu sempitnya. Padahal ada suatu bentuk kebebasan
tertinggi yang disebut kebebasan eksistensial. K Bertens ( 1993) menggambarkan
kebebasan eksistensial sebagai berikut Orang yang bebas secara eksistensial
seakan-akan memiliki'dirinya sendiri. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas,
kematangan rohani; ia bebas dari segala alienasi atau keterasingan. Ia berbuat baik, bukan
karena hal itu dinantikan daripadanya (di mata orang lain ), bukan karena itu ia dapat
mengelak banyak kesusahan (teguran, denda, hukuman ), bukan karena itu
diperintahkan oleh sesuatu instansi dari luar. Ia berbuat baik karena keterlibatan
dari dalam. Ia berbuat baik karena hatinya melekat pads kebaikan dan justru karena hal
itu baik, bukan karena alasan-alasan yang letaknya di luar yang baik. Tidak mungkin ia
berbuat jahat, tetapi hal ini bukan karena paksaan atau tanda bahwa ia tidak bebas. Ia
tidak bisa berbuat jahat, karena mencapai sesuatu keterlibatan dan kesempurnaan
dengan penuh kesadaran. Kebebasan eksistensial jarang sekali direalisasikan dengan
sempurna, dan terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang dapat memberi arah
dan makna kepada kehidupan manusia.

Kewajiban atau Keutamaan ?


Setelah mempelajari sekilas sistem-sistem etika yang penting nampaknya tidak ada
yang sama sekali memuaskan, karena semuanya memiliki kelemahan-kelemahan.
Dalam melakukan suatu penilaian etis, sebenarnya ada dua jenis pendekatan yang
berbeda.
Kits bisa melihatnya dari sudut perbuatan yang dilakukan seseorang, atau melihat
secara menyeluruh kcadaan si pelaku itu sendiri. Dari sudut perbuatan, kits dapat
mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan moral yang berlaku untuk suatu
perbuatan, serta norms dan prinsip mans yang perlu diterapkan, juga urutan pentingnya
yang berlaku diantaranya. Pertanyaan pokok di sini adalah : "Saya harus melakukan
spa?", yang merupakan inti dari etika kewajiban. Apabila fokusnya adalah si pelaku
atau manusianya, dipelajari sifat watak yang dimiliki manusia. Pertanyaan pokoknya
adalah : " Saya harus menjadi orang yang bagaimana ? ", yang merupakan etika
keutamaan. Kedua pendekatan etis ini saling melengkapi sate sama lain. Moralitas
selalu berkaitan dengan prinsip serta aturan, dan serentak juga dengan kualitas manusia
itu sendiri, dengan sifat-sifat wataknya.
Pads awal sejarah filsafat di Yunani, filsuf-filsuf besar seperti Socrates, Plato dan
Aristoteles sebenarnya telah meletakkan dasar bagi etika keutamaan. Keutamaan (=
virtue, Inggris, atau virtus, Latin sebagai lawan dari vice, Inggris atau vitium, Latin atau
keburukan ), adalah disposisi watak yang telah diperoleh seseorang, sehingga
memungkinkannya untuk bersikap tindak baik secara moral. Disposisi artinya suatu
kecenderungan tetap, yang tidak berubah-ubah. Keutamaan ini berkaitan dengan
moral, bukan dengan sifat-sifat fisik atau psikis; juga berkaitan dengan kehendak, yang
cenderung menuju ke arah tertentu. Keutamaan, diperoleh tidak sejak lahir, melainkan
melalui suatu latihan selama suatu proses pendidikan yang cukup panjang.
Banyak pandangan yang menyebutkan sifat watak yang dimiliki manusia, tetapi
adakah suatu keutamaan pokok ? Ada pandangan yang menyebutkan dua keutamaan
pokok yaitu kebaikan hati dan keadilan. Ada lagi pandangan yang telah berakar sejak
Plato dan Aristoteles yang menyebutkan empat keutamaan pokok yaitu : kebijaksanaan,
ketangguhan atau keberanian, pengendalian diri atau keugaharian, dan keadilan. Thomas
Aquinas ( 1225-1274 ) menambahkan lagi tiga keutamaan yang disebut keutamaan
teologis, yaitu : iman, pengharapan dan kasih.
F. Magnis-Suseno (1989) memilih lima keutamaan yang mendasari suatu
kepribadian moral yang kuat, yaitu kejujuran, kesediaan untuk bertanggung jawab,
kemandirian moral, keberanian moral dan kerendahan hati. Kejujuran merupakan
langkah awal bagi siapa saja yang akan berusaha menjadi kuat secara moral, karena tanpa
kejujuran, keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilainya. Misalriya bersikap
baik kepada orang lain tanpa disertai kejujuran ,adalah kemunafikan dan Bering
beracun. Kejujuran mengandung dua arti, pertama artinya terbuka, mengatakan
apa adanya, tidak menutupnutupi, muncul tanpa topeng, tetapi sebagai diri
sendiri. Kedua, bersikap wajar, bertindak sesuai dengan keyakinan atau hati nurani dan
tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan. Syarat untuk bersikap jujur terhadap orang lain
adalah bersikap jujur terhadap diri sendiri dahulu. Orang yang tidak jujur adalah orang
yang selalu berada dalam pelarian, lari terhadap orang lain maupun lari dari dirinya
sendiri. Untuk itu kita harus memiliki keberanian untuk berhenti melarikan diri
dan melepas topeng-topeng untuk menjadi diri kita sendiri, otentik, ash.
Kesediaan untuk bertanggung jawab merupakan operasionalisasi dari
kejujuran. Hal ini berarti bahwa kita harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan,
dengan sebaik mungkin; hal ini juga mengatasi segala etika peraturan yaitu etika
yang melihat hakikat moralitas dalam ketaatan terhadap sejumlah peraturan yang
tidak dapat mempertanggung jawabkan mengapa baik buruknya manusia diukur
pada peraturan-peraturan itu; hal itupun secara principal membuat wawasan orang
yang bersedia untuk bertanggung jawab adalah tidak terbatas.
Kemandirian moral berarti tidak ikut-ikutan begitu saja dengan berbagai
pandangan moral yang ada dilingkungannya, tapi membentuk penilaian dan
pendirian sendiri Berta bertindak sesuai dengan itu. Apabila kemandirian moral
terutama merupakan keutamaan intelektual atau kognitif, make keberanian moral
merupakan tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai
kewajiban dengan mengikuti hati nurani, meskipun tidak sejalan dengan pendapat
mayoritas dalam lingkungan. Akhirnya, kerendahan hati, yang sesungguhnya
merupakan prasyarat bagi kemurnian dari keberanian moral, adalah kekuatan batin
untuk melihat diri sendiri sesuai dengan kenyataannya. Kerendahan hati tidak berarti
merendahkan diri, melainkan melihat diri sendiri apa adanya, otentik, ash.

Etika tanggung jawab


Sampai seat ini kita telah berbicara terutama mengenai dua cara berpikir etis, yaitu
cara berpikir teleologis dan cara berpikir deontologis. Cara berpikir teleologis
melahirkan etika tujuan dan akibat. Tindakan itu baik apabila tujuannya baik, juga
akibatnya baik. Ukuran obyektif yang dipakai untuk menilai bahwa tindakan itu baik
atau jahat, menurut J.S Mill, filsuf Inggris penerus faham utilitarianisme, adalah "the
greatest good for the greatest number. Tindakan adalah baik bile bertujuan dan
berakibat menimbulkan kebaikan yang terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Akan
tetapi seperti telah disinggung sebelumnya banyak kelemahannya. Secara etis kita tetap
harus menyatakan bahwa bukan hanya tujuan dan akibat -yang penting, tetapi cara
pun penting. Tidak boleh kita menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan.
Cara berpikir deontologis mendasarkan diri pada prinsip atau hukum yang
dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apa pun. Etika ini berbicara secara togas
mengenai apa Yang benar dan apa yang salah, sehingga kita tidak perlu raguragu.
Immanuel Kant memberikan dua ukuran obyektif untuk menjelaskan bahwa suatu
tindakan itu benar atau salah. Pertama adalah universalitas, artinya apa yang kita
lakukan adalah benar apabila di manapun dan kapanpun, apa yang dilakukan itu
adalah yang seharusnya dilakukan oleh siapapun. Kedua, apa yang benar adalah
apabila kita memperlakukan seseorang, baik itu orang lain maupun diri kita sendiri, di
dalam setiap hal, sebagai tujuan dan bukan sekedar sebagai sarana. Jadi kita harus
memperlakukan seseorang sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Akan tetapi kehidupan
manusia begitu kompleks dan selalu berubah, sehingga sangat sulit sekah mendapatkan
aturan atau hukum-yang jelas bagi setiap kemungkinan. Merinci hokum sedemikan rupa
sehingga diperoleh suatu daftar yang panjang tentang apa yang boleh din apa yang
dilarang nampaknya tidak mungkin dikerjakan dengan lengkap dan sempurna. Daftar
yang demikian inenimbulkan legalisms yang beku dan kaku.
Kita melihat, etika teleologis maupun etika deontologis tidak begitu
memperhitungkan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang seharusnya dipertimbangkan
pula dalam' mengambil keputusan etis. Mill berpendapat bahwa kebaikall torbesar bagi
sebanyak mungkin orang tetap berlaku dalaiii situasi dan kondisi apapun. Demikian pula
Kant menyatakan bahwa yang benar adalah yang sesuai dengan prbisipatau hUkL1111 Yang
bersifat universal, berlaku di manapun dan kapanpun.
Sebenarnya ada satu cara berpikir lain yang memperhatikan situasi dan kondisi secara
kontekstual. Disini yang terpenting sebelum bertindak, bukan apa yang secara
unisversal benar, atau secara universal baik, tetapi yang secara kontekstual paling
bertatiggung jawab. Apabila pada suatu ketika beberapa orang teroris menyandera
pesawat terbang Yang berpenumpang ratusan orang. Apa yang harus dilakukan?
Secara deontologis, bila disusun rencana membunuh para teroris itu, salah; karena
secara prinsip membunuh tidak diperbolehkan. Menempuh risiko untuk menyelamatkan
penumpang dengan menyerang para teroris, secara teleologis juga jahat; karena dapat
berakibat matinya banyak penumpang pesawat itu. Apakah yang paling tepat, tindakan
yang paling bertanggung jawab untuk dilakukan dalam keadaan khusus tersebut. Di sini
konteks situasi dan kondisi tertentu harus diperhitungkan secara seksama untuk
mengambil keputusan.
Sekarang kita dapat mengetahui bahwa tindakan etis vang dapat dipertanggung
jawabkan adalah harus sekaligus baik, benar dan tepat. Hal ini memang sangat sulit dan
sering t1dak mungkin. Akan tetapi kita tetap harus mengambil keputusan. Oleh karena
itu kita harus sungguh-sungguh untuk hertisaha sedapat mungkin dengan rendah hati dan
dengan negala kemampuan yang kita miliki untuk mengambil k.putusaii yang
paling baik, paling benar dan paling tepat, fiwskipun tidak sempurna.

NOR MA MORAL
Setclah mempelajari teori-teori moral, kita kembali pada jwdiiaii untuk bersikap
tindak di dalam pergaulan dengan 41) -il IV, hAin, tetapi juga forhadap d i ri sendiri, yaitu
norma moral. 11"I it, tit ini kilo Aam ivit-bbiAt bahwa nortna moral itu absolut,
Univers al dan obyektif
Ada sarjana yang mengatakan bahwa moralitas sama saja dengan adat kebiasaan
dan akibatnya mudah bisa berubah; ini yang disebut relativisme moral. Hal itu tidak
benar, karena mutu etis dari setiap masyarakat tidak sama, ada yang tinggi ada yang
rendah. Di samping itu pule dilihat dari sudut pandang sejarah, nampaknya pada
umumnya ada perubahan ke arah kemajuan dibidang moral, sepertinya mutu etis
semakin baik.
Pada orang Eskimo pernah kita, baca adanya kebiasaan membunuh orang tua jika
berada dalam keadaan lemah atau sakit. Di sini kita harus membedakan antara norma
moral dasar dan norma moral konkrit. Bagi orang Eskimo, perbuatan tersebut merupakan
norma moral konkrit, dan motif membunuh orang tua justru untuk berbuat baik, agar
tidak mendapat nasib lebih buruk lagi. Karena itu dibalik norma konL'it itu ada norma
dasar yaitu berbuat baik kepada sesame. Norma dasar itu akan diterima oleh semua
orang, sedangkan norma konkrit tersebut akan ditolak oleh orang modern. Sejauh norma
dasar itu dilihat dengan lebih jelas dan serentak juga keadaan beru bah, misalnya
kontak dengan ilmu kedokteran, maka kebiasaan yang diclasarkan norma konkrit itu
akan ditinggalkan. Jadi norma moral adalah absolut, ticlak relatif.
Kalau norma moral absolut, maka norma itu juga harus universal, selalu berlaku
kapanpun clan di manapun. Tidak mungkin norma moral yang berlaku di sate tempat,
tapi tidak berlaku di tempat yang lain. Norma hukum bisa berbeda, tergantung undang-
undang dari negara masing-masing. Ada negara yang menghukum orang yang
mencoba membunuh diri, ada yang tidak, karena berbeda-beda undang-undangnya.
Tetapi norma kejujuran tentu akan berlaku atau diakui oleh siapapun, di manapun, dan
kapanpun. Memang ada pemikiran yang menolak norma universal, yaitu etika situasi,
yang nenyatakan bahwa ticlak mungkin ada norma-norma moral yang berlaku umum,
sebab setiap situasi adalah unik, berbeda dan tidak ada dua situasi yang persis sama.
Dalam hal ini ada unsur kebenarannya, tetapi bentuk ekstrim dari etika situasi tidak bisa
dipertahankan. Karena kita akan langsung setuju bahwa perbuatan moral tertentu tidak
tergantung situasi. Mi sal n ya pe rkosaan, t i dak pern ah dap at di t eri m a,
bagaimanapun situasinya.
Norma moral adalah obyektif, tidak subyektif. Kita yakin bahwa norma moral
mewajibkan kita secara obyektif. Kita sendiri tidak menciptakan norma itu. Norma tidak
tergantung pada selera subyektif kita.
Sekarang bagaimana dapat kita bedakan norma moral sungguhan dari norma moral
semu, dan kita pastikan bahwa norma moral itu adalah benar. Suatu norma harus
konsisten. Konsistensi adalah tuntutan logika. Akan tetapi konsistensi saja t i cl ak
cukup. Norm a m or al adal ah bena r j i k a bi sa d i g e n e r a l i s a s i k a n d a n
t i d a k b e n a r j i k a t i d a k b i s a digeneralisasikan. Menggenerali sasi norm a
berarti memperlihatkan bahwa norma itu berlaku untuk semua orang. Generalisasi
norma menjadi dasar bagi apa yang dalam etika dikenal sebagai the golden rule ("aturan
emas " ) yaitu : " Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin
diperlakukan ", atau dalam bentuk lain, " Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang
Anda sendiri tidak ingin hal itu dilakukan terhadap diri Anda". Aturan ini digunakan
dalam pasal 16 KODEKI 1991: " Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana is sendiri ingin diperlakukan", dan pasal 13 KODEKGI 1992: "Setiap
dokter gigi Indonesia harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana is sendiri
ingin diperlakukan ".
Telah banyak kita lihat norma-norma moral, yang tentu tidak semua sama
pentingnya. Pada umumnya diakui bahwa norma dasar terpenting adalah martabat
manusia, dan kita harus menghormatinya. Kewajiban untuk menghormati martabat
manusia, oleh Kant dirumuskan sebagai suatu perintah : "Hendaklah memperlakukan
manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka ".
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya. Hewan kita
gunakan untuk tujuan-tujuan kita, tetapi manusia adalah tujuan sendiri yang tidak boleh
dikalahkan pada tujuan lain, karena manusia adalah satusatunya makhluk bebas dan
otonom yang sanggup mengambil keputusannya sendiri. Manusia adalah " persona ",
yang memiliki harkat intrinsik dan karena itu harus dihormati sebagai tujuan pada
dirinya.
Apabila kita memakai jasa orang lain, artinya kita menggunakan orang itu
sebagai "sarana". Akan tetapi disamping menggunakan jasanya, kita juga
menghormatinya sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak memakainya sebagai
sarana belaka.
Martabat manusia mengandung pengertian bahwa manusia itu harus dihormati
sebagai manusia. Kita menghormati seseorang tidak karena status sosial ekonominya
atau keturunannya, melainkan semata-mata karena martabatnya sebagai manusia.
Martabat manusia sebagai norma dasar moralitas tidak saja harus diterapkan terhadap
orang-orang di sekitar kita, tetapi juga terhadap diri kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai