KULIAH
ETIKA PROFESI
MEDIS
Dr. Danny Wiradharma, SH., MS
Penerbit Universitas Trisakti
(keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. jadi profesi bukanlah pekerjaan atau mats
pencaharian biasa, tetapi pekerjaan yang berdasarkan keahlian. Istilah ini secara
rinci akan dibahas kembali pads Bab mengenai Profesi Medis. Adapun mengenai
i s t i l a h m e d i s d a l am K B B a d a l a h m e n ge n a i o b a t d a n penggunaannya
dalam bidang kedokteran. Dengan Profesi Medis, yang dimaksud adalah profesi
yang berkaitan dengan b i d a n g k e d o k t er a n , baik k e d o kt e r a n umum,
m a u p u n kedokteran gigi. Dokter (physician) dan dokter gigi (dentist) adal ah
tenaga medis yang menurut hukum kedokteran b e r b e d a d e n ga n t e n a ga
k e s e h a t a n l a i nn y a d a l a m h a l kewenangannya untuk melakukan suatau tindakan
medik.
Sistematika penulisan berikutnya dimulai dengan Norma-norma Sosial
yaitu Hukum, Etiket, Etika dan Agama, yang disertai suatu bagan
perbandingan keempat norma tersebut. Bab berikutnya adalah Pengantar Etika,
yang dimulai dengan pembagian atau sistematikanya; diteruskan dengan Tema-terra
Umum, dan Teori-teori Etika, serta Norma Moral yang bersifat absolut, universal
dan obyektif, serta mengenai norma dasar terpenting yaitu martabat manusia.
Bab yang selanjutnya adalah Profesi Medis yang menguraikan tentang Sumpah
Dokter, Sejarah Kedokteran, Prinsip-prinsip Moral Dasar, dan Prinsip-prinsip
Etika Medis, Pengertian dan Ciriciri Proffesi, serta kriteria Profesi medis dan Kode
Etik Profesi dengan lafal sumpah tenaga medis Berikutnya diuraikan
Pengantar Bioetika, tentang pengertiannya, sebab-sebab munculnya dan 8
terra-terra bioetika. Bab terakhir adalah mengenai Pengambilan Keputusan Etik,
dengan ciri-ciri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta metodenva.
B A B I I
NORMA-NORMA SOSIAL
Di alam kita membedakan 3 jenis makhluk hidup yaitu manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Manusia berbeda dengan hewan. Aristoteles mengatakan bahwa
manusia itu Adalah "Zoos Politicos", artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada
dasarnya ingin selalu berkumpul dengan sesamanya. Manusia adalah makhluk sosial
yang hidup hersama dan berkelompok-kelompok. Kelompok-kelompok iiianusia
yang berada di wilayah tertentu, dinamakan iiiasyarakat. Manusia hidup
bermasyarakat untuk memenuhi kobutuhannya. Sebagai makhluk pribadi, pada dasarnya
manusia bebas berbuat menurut kehendaknya. Akan tetapi m-bagai makhluk sosial
tidak dapat bebas berbuat menurut kehendaknya. Ada ketentuan-ketentuan yang
mengatur sikap (indak setiap anggota masyarakat, sebab apabila tidak dernikian, maka
akan terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut. Ketentuan-ketentuan yang
mengatur sikap tindak manusia, yang menjadi pedoman berperilaku agar t I . 1,j adi
keseimbangan kepentingan seluruh anggota masyarakat Ivrsebut, disebut kaidah sosial atau
norma-norma sosial atau kaidah kehidupan.
Ada 4 norma sosial yang dapat dibedakan yaitu :
1. Norma Hukum
2. Norma Etiket
3. Norma Etika
4. Norma Agama
HUKUM
Norma-norma sosial umumnya dibedakan menjadi norma hukum dan
norma non hukum atas dasar bahwa norma hukum dibuat secara resmi oleh
negara, sehingga dapat dipaksakan berlakunya. Oleh karena itu pada
umumnya norma hukum lebih memberikan kepastian dan perlindungan kepada
masyarakat.
Hukum merupakan suatu sistem yang tersusun atas sejumlah unsur
yang membentuk suatu kesatuan yang utuh. Ada 8 prinsip hukum di dalarn suatu
sistem hukum, yaitu :
1. suatu sistem hukum harus mengandung peraturanperaturan, bukan
hanya keputusan ad hoc.
2. peraturan tersebut dirumuskan dengan susunan kata yang mudah dimengerti.
3. antara masing-masing peraturan tidak boleh sating bertentangan.
4. suatu peraturan tidak boleh mengandung ketentuan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan.
5. peraturan tersebut harus diumumkan.
6. peraturan tersebut tidak boleh berlaku surut.
7. h a r u s s e s u a i a n t a r a y a n g d i u n d a n g k a n d e n g a n pelaksanaannya.
8. tidak boleh Bering berubah, agar masyarakat tidak kehilangan
orientasi.
Pengertian Norma Hukum perlu dibedakan den gan Azas Hukum. Azas
Hukum merupakan dasar-dasar umum yang mengandung nilai-nilal etis yang
terdapat dalam peraturan hukum / kaidah hukum / norma hukum konkrit. Jadi Azas
I hukum lebih bersifat abstrak sebagai suatu ide atau konsep, dan tidak mengandung
sanksi. Norma Hukum merupakan aturan rill, sebagai penjabaran dari suatu konsep,
dan mengandung sanksi. Oleh karma itu dapat dikatakan bahwa azas hukum .1
dalah jiwa dari norma hukum. Pada azasnya undang-undang tidak berlaku surut, dan
peraturan hukumnya tercantum dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yaitu " hada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali atas kekuatan
undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan". Azas hukum lain
mengatakan bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan buruk yang merugikan
orang lain harus mengganti kerugian. Norma hukumnya tercantum dalam pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, di mana disebutkan bahwa barang siapa
yang melakukan perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, wajib mengganti kerugian. Azas-azas hukum lain misalnya :
Azas pradu ga tidak bersalah (presumption ofinnocence), di mana seseorang
dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang mengatakan bahwa
is bersalah clan keputusan ters'ebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Azas pasta sunt servanda, yaitu bahwa perjanjian yang suclah disepakati
bersama berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang bersangkutan.
ETIKET
Etiket sebagai suatu norma yang terutama mengatur Aspek kehidupan antar
pribadi - seperti halnya hukum , perlu
dibedakan dengan etika karena banyak kemiripannya dari segi penulisan hurufnya, dan
fungsinya yang mengatur perilaku manusia secara normatif.
Dasar dari etiket adalah kepantasan, kebiasaan atau kepatutan yang berlaku dalam
pergaulan di masyarakat, yang ditujukan kepada sikap lahir saja, sehingga tujuannya
bukan manusia sebagai pribadi melainkan manusia sebagai makhluk sosial. Etika tidak
tergantung pada ada tidaknya orang lain, karena menyangkut terutama segi batin
manusia sebagai makhluk pribadi.
Etiket atau norma kesopanan, tata krama atau adat hanya berlaku menurut kebiasaan
saja. Untuk mengetahui apakah perilaku itu suatu etiket ataukah norma moral, dapat kita
perhatikan bagaimana reaksi kita terhadap seorang asing yang melanggar norma tersebut.
Apabila orang asing makan dengan menggunakan tangan, padahal menurut kita
seharusnya ia menggunakan sendok-garpu, ia tidak kita anggap berkelakuan buruk. Hal
makan tersebut bukan masalah moral atau etika, melainkan masalah sopan-santun.
Sebaliknya apabila orang asing membohongi kita, kita akan menilai dia buruk, karena ini
adalah persoalan etika. Dengan demikiai etiket dapat dikatakan bersifat relatif, yang
dianggap tidak biasa dalam suatu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam
kebudayaan lain. Akan tetapi etika jauh bersifat absolut, seperti berbohong merupakan
perbuatan yang dianggap buruk dalam kebudayaan manapun. Sesungguhnya etiket
menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, sedangkan etika tidak terbatas pada
cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika memberi norma tentang perbuatan itu
sendiri, menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleti dilakukan atau tidak.
ETIKA
Etika sebagai suatu norma sosial yang terutama mengatur aspek kehidupan
pribadi seperti halnya agama, inerupakan salah satu cabang filsafat. Filsafat dapat
dikatakan sebagai produk akal budi manusia yang paling tua dalam seiarah manusia.
Manusia adalah makhluk yang bertanya. Manusia tidak man menerima begitu saja
hal-hal yang berkaitan dengan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Apabila sesuatu itu
tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan rnerubahnya. Kalau itu ternyata tidak mungkin
maka ia akan merubah dirinya. Dalam hal ini ia menyesuaikan diri. Proses perubahan dan
penyesuaian diri menghasilkan peradaban.
Pada umumnya pertanyaan awal untuk mengetahui rasa ingin tabu manusia adalah, "
Apa ? ". Jawabannya adalah sebuah nama. Setelah manusia mengetahui tentang sesuatu,
ia akan bertanya lagi, "Mengapa begitu ? ". Untuk itu diperlukan suatu gagasan.
Sebuah nama belum menjelaskan apa-apa. Jawaban untuk pertanyaan "
Mengapa ? ", memerlukan upaya lain dari manusia. Apabila filsafat berusaha menjawab
pertanyaan "Apa hakekat sesuatu?. ", maka i1mu berusaha menjawab pertanyaan "
Mengapa hal itu begitu ? ". Dalam hal ini dengan akalnya manusia mencari - bukan
menciptakan - hukum-hukum alam. Akan tetapi manusia umurnnya menyadari bahwa
akalnya tidak selalu berhasil i i i enyingkapkan suatu rahasia alam semesta. Ilmu
mempunyai keterbatasan. Pada saat manusia sampai pada batas kemampuan
rasionalnya, ia terbuka untuk hal-hal yang sut)ra-raslonal, yang transenden, yang
melampaui kenyataanKvIlyataan lahiriah yang dapat ditangkap oleh kelima inderanya.
Manusia membutuhkan sesuatu yang lain, yaitu Agama.
Kembali kita kepada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang bertanya.
Pertanyaan pertamanya adalah "Apa?". Kemudian ia bertanya lagi " Mengapa ? ".
Setelah manusia tabu apa dan mengapanya, ia masih bertanya lagi, "Bagaimana
seharusnya? ". Pertanyaan inilah yang sebenarnya merupakan pertanyaan pokok dalam
buku ini yang akan kita pelajari lebih jauh lagi.
sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, etika mencari
penyelesaian sedalam-dalamnya. Etika tidak menyuruh orang harus begini atau harus
begitu, juga tidak melarang orang untuk ini atau untuk itu. Agar lebih mengerti apa yang
disebut etika, kita harus membedakannya dengan ajaran moral..
Ajaran moral berisi pandangan-pandangan tentang nilainilai dan norma-norma moral
yang terdapat di dalam suatu masyarakat, Keseluruhan nilai-nilai dan norma-norma
Berta sikap-sikap moral seseorang atau suatu masyarakat disebut moralitas. Etika
sebagai filsafat tentang ajaran moral, tidak mengajarkan bagaimana kita harus hidup,
atauapa yang harus dilakukan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari, akan tetapi
etika mengajarkan mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau berusaha
untuk mengerti, atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu. jadi
etika tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan apa yang boleh atau apa yang
tidak boleh kita lakukan. Kewenangan semacam itu dianggap dimiliki oleh mereka yang
memberikan ajaran moral.
Berbagai moralitas yang terdapat di dalam suatu masyarakat, dapat berasal dari
satu atau beberapa dari tiga cumber - yaitu adat-istiadat atau tradisi, agama, dan
pandangan-pandangan yang berbeda-beda tentang nilai-nilai dan norma-norma moral
dalam suatu masyarakat - dapat inembuat sebagian anggota masyarakat menjadi bingung
dan rnemerlukan suatu orientasi untuk memilih moralitas mana yang akan
digunakannya. Dalam hal ini etika merupakan sarana untuk menimbulkan suatu
keterampilan intelektual dalam berargumentasi secara kritis, metodis dan sistematis. Jadi
etika merupakan refleksi kritis, metodis dan sistematis tnengenai perilaku manusia yang
berkaitan dengan norma. Karena refleksi tersebut dijalankan dengan kritis, metodis dan
~,istematis, pembahasan itu dapat disebut sebagai ilmu. Seorang Ilili etika memiliki
keahlian teoritis yang dapat dipelajari, t. 1 11pa memperhatikan kebutuhan moral dari
mereka yang mau mempelajari etika, sedangkan ahli moral bagaikan seorang y,tiru atau
pandita yang memberikan wejangan-wejangan bagi iiwreka yang mengalami masalah
kehidupan. Apabila ajaran i i i0ral langsung bersifat formatif bagi seseorang, maka ajaran
flika hanya menyampaikan suatu kecakapan teoritis. Nhhasiswa yang
memperoleh nilai istimewa dalam mata kuliah etika kedokteran, belum tentu
dalam melakukan t tiidakan medic akan berlaku paling etis. Meskipun demikian,
pciigetahuan tentang etika merupakan unsur penting agar wworang dapat mencapai
kematangan etis. Perasaan spontan ~.'Jja rupanya tidaklah cukup, harus pula disertai
pengertian. t tituk memperoleh suatu sikap etis yang tepat, mempelajari 1,11ka dapat
memberikan suatu sumbangan yang penting, 4\1111'lupun tidak menjamin terbentuknya
perilaku etis yang tepat.
Oleh karena itu, yang perlu diberikan di perguruan tinggi bukanlah pelajaran moral,
melainkan pelajaran etika3 . Franz Magnis-Suseno berpendapat bahwa pelajaran moral
tidak perlu diberikan di perguruan tinggi atas dasar bahwa : tujuan ajaran moral adalah
pembentukan sikap moral, dan sikap itu tidak dapat dibentuk melalui pelajaran di lembaga
pendidikan, sebab pembentukan sikap-sikap moral adalah kejadian dialogis dalam
kebebasan; di camping itu pelajaran moral di tingkat perguruan tinggi akan
menimbulkan rasa wegah pada mahasiswa, sebab pengajarnya harus orang yang lebih
maju dalam apa yang diajarkan daripada orang yang menerima ajarannya itu; juga
dengan sendirinya, pelajaran moral hanya akan membuat mahasiswa menjadi sinis.
AGAM A
Agama sebagai norma social yang terakhir, tidak akan dibahas disini. Hal itu
dipelajari dalam Teologi. Dan yang paling penting ajaran agama harus dipraktekkan.
Orang yang percaya, menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya.
Agamalah nampaknya yang paling tepat untuk memberikan orientasi moral. Tetapi
agama memerlukan keterampilan etika agar dapat memberikan orientasi dan bukan sekadar
indoktrinasi (= cara mengajar di mans orang disuruh, menelan saja apa yang diajarkan
tanpa boleh berpikir sendiri). Ada 4 alasan menurut F. Magnis- Suseno dkk ( 1991 ),
yang menyebabkan mengapa agama-agama memerlukan etika, yaitu :
1. kalangan agamapun mengharapkan agar ajaran agamanya rasional, tidak pugs
hanya mendengar
bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi juga ingin mengerti mengapa
Tuhan memerintahkan itu.
2. ada ajaran-ajaran moral agama yang nampaknya s a l i n g b e r t e n t a n g a n
d a n i t u m e m e r l u k a n keterampilan etika untuk menginterpretasikannya.
3. etika dapat membantu memecahkan masalahmasalah moral yang barn
seperti bayi tabung, yang sama sekali tidak disinggung dalam ajaran agama.
4. setiap agama mendasarkan diri pada ajaran yang terdapat dalam kitab sucinya
musing-musing. Etika semata-mata berdasarkan pertimbangan nalar yang
terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia, sehingga
memungkinkan adanya suatu dialog moral antar agama dan pandangan-
pandangan dunia
SISTEMATIKA ETIKA
Ada berbagai arti dari etika seperti telah dibahas .sebelumnya, berikut ini yang akan
ditelusuri lebih lanjut adalah pengertian etika sebagai ilmu yang membahas tentang i
noralitas. Jadi etika akan dipelajari dalam arti ilmiah. Ada tiga pendekatan yang umum
dilakukan, yaitu etika deskriptif, etika normatif dan meta-etika. Diantaranya, etika
normatif sebagai bagian yang dianggap terpenting di mans diskusi mengenai iiiasalah-
masalah moral sering dilakukan, akan dibahas lebih panjang lebar.
Etika deskriptif mempelajari moralitas * pada individu- iiidividu tertentu, dalam
kebudayaan tertentu, pada suatu periode tertentu, tanpa mengemukakan suatu penilaian
moral, dari norms-norms dan konsep-konsep etis. Saat ini etika deskriptif dijalankan
oleh ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain.
Meta-etika merupakan aliran dalam filsafat moral yang sepertinva bergerak pada tahap
yang lebih tinggi daripada membahas masalah-masalah etis, yaitu pada tahap "bahasa
vtis" atau bahasa yang digunakan di bidang moral. Di sini tidak diselidiki baik buruknya
perbuatan-perbuatan manusia, melainkan mengarah kepada bahasa moral atau
ungkapan- ungkapan tentang baik dan buruk, misalnya spa yang dimaksudkan bila suatu
perbuatan disebut baik atau buruk; gan demikian meta-etika justru menjauhi aktualitas di
bidang moral.
Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala-gejala, melainkan apa yang
sebenarnya harus merupakan tindakan seseorang. Dapat dikatakan bahwa etika normatif
bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan dengan
cara rasional dan dapat digunakan secara praktis. Di sini norma-norma dinilai dan sikap
manusia ditentukan. Ahli-ahli etika akan melibatkan diri dengan mengemukakan
penilaian tentang perilaku manusia. Meskipun selalu idealistic, moralitas dibentuk
berdasarkan kenyataan. Penilaian moral tidak hanya dibuat berdasarkan norma-norma
yang diuraikan dibelakang meja, karena beretika dengan baik berarti dekat dengan
kenyataan zaman dan kebudayaan kita. Kenyataan tersebut harus diperiksa dalam segala
keadaannya, harus diajukan sebanyak mungkin pertanyaan agar kenyataan tersebut
dapat menampakkan dirinya setuntas mungkin. Dalam menghadapi permasalahan etis
menyangkut euthanasia misalnya, kita seharusnya tidak menilai kualitas moral dari suatu
tindakan tanpa mengunjungi rum ah saki t di mana pasi en di raw at . Ba gai m an a
penderitaannya, sudah sampai stadium mana penyakit tersebut dialami, bagaimana
reaksi atau tanggapan sanak keluarganya, bagaimana keadaan sosial ekonomi dari mereka
yang terbebani oleh keadaan pasien tersebut, apa arti penderitaan tersebut bagi pasien,
dan sebagainya.
Selanjutnya etika normatif dapat dibagi dalam etika umum dan etika khusus. Etika
umum membahas terra-terra umum seperti kebebasan dan tanggung jawab, hati nurani, hak-
kewajiban; beberapa keutamaan seperti kelujuran; dan prinsipprinsip moral dasar yaitu
berbuat baik, keadilan dan hormat terhadap diri sendiri. Etika khusi4s menerapkan
prinsip-prinsip dasar tersebut pada masing-masing bidang kehidupan nanusia.
Apabila etika umum disebut sebagai etika teoritis, inaka etika khusus disebut juga etika
terapan. Jadi etika dapat diberi batasan sebagai cabang filsafat yang mengenakan refleksi
dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai moral atau menerjemahkan
nilai-nilai itu ke dalam norma-norma (etika umum) dan menerapkannya pada situasi
kehidupan konkrit ( etika terapan ).
Etika terapan ada yang membaginya menjadi etika individual dan etika sosial, di
mana etika individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sedangkan
etika sosial membahas kewajiban manusia sebagai anggota suatu inasyarakat. Antara
keduanya sebenarnya berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan secara tajam, karena
kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat memang berkaitan.
Selanjutnya 4 etika terapan dapat dibedakan menurut dua wilayah besar yang diselidiki, yaitu
berkaitan dengan suatu profesi, atau suatu masalah. Etika terapan yang membahas
profesi misalnya etika kedokteran,.etika politik, etika bisnis dan sebagainya. Masalah-
masalah yang dibahas oleh etika terapan dapat disebut : etika lingkungan hidup, etika
tnengenai diskriminasi dalam berbagai bentuk, dan lain-lain. Pernbagian lain dari etika
terapan adalah membedakan antara makro etika dan mikro etika. Makro etika membahas
masalahinasalah moral pada skala besar yang menyangkut suatu bangsa atau seluruh
umat manusia, misalnya lingkungan hidup. Mikro etika membicarakan pertanyaan-
pertanyaan etis di mana individu terlibat, seperti kewajiban dokter kepada pasiennya,
atau kewajiban pengacara kepada kliennya.
Sesungguhnya ada satu lagi pembagian etika, yang diajukan oleh J.
Verkuyl (1956), di mana dibedakan antara Etika Teologis dan Etika Falsafi; juga
dinyatakan bahwa di dunia Timur, Etika Teologis lebih tua daripada Etika
Falsafi, sedangkan di dunia Barat Etika Falsafi lebih tua daripada Etika Teologi.
Verkuyl menjelaskan ini dalam bukunya Etika Kristen bagian umum yang pertama
terbit 1956 dan cetakan ke 14-nya terbit tahun 1997. Dikatakan bahwa sumber yang
mutlak dari pengetahuan tentang Etika Teologi (Kristen) hanyalah satu, yaitu
Alkitab. Adapun antara Etika Falsafi yang formal dan Etika Teologi terdapat
perbedaan. Diumpamakan sebagai perbedaan antara sebuah gelas kosong dan
gelas yang berisi air. jika ada orang yang haws, kita dapat menunjukkan
kepadanya suatu sumber air sambil memberikan gelas yang kosong, agar is
dapat,menampung airriya, untuk kemudian meminumnya. Akan tetapi alangkah lebih
baik lagi bila gelas kosong itu kita isi dengan air sumber tersebut, dan kita berikan
kepada orang yang haul itu.
Nampaknya yang dimaksud Verkuyl dengan Etika Falsafi yang formal
adalah Etika falsafi yang terbatas pada uraian mengenai pengertian-pengertian
pokok etika seperti terra-terra umum dan prinsip-prinsip moral dasar saja. Tetapi
apabila Etika Falsafi itu juga mencoba menjawab mengenai p e r m a s a l a h a n b a i k -
b u r u k d a n t u j u a n h i d u p , t a n p a mengindahkan Allah dan firman-Nya, maka
akan timbul suatu ketegangan yang luar biasa.
Etika Teologi dari agama-agama lainpun mungkin pada prinsipnya sependapat
dengan Verkuyl, namun hal itu di luar konteks dari buku ini yang ruang
lingkupnya terbatas pada pengetahuan filsafat sehingga tidak akan dibahas di sim.
'retapi mengenai pernyataan bahwa di dunia Timur Etika Teologi lebih dahulu dari Etika
Falsafi (= Filsafat Moral ), hal ini dapat kita mengerti karena agama-agama yang
berkembang di dunia Timur seperti agama Hindu, Buddhisme, Taoisme dan
Confucianisme, mencakup sekaligus sebagai agama dan " filsafat ". Memang ada dua
pengertian baku yang umum dikenal tentang filsafat. Pertama, filsafat adalah kebijaksanaan
hidup atau suatu pedoman hidup, yang diperoleh dari perenungan dan pergulatan
mengenai kenyataan hidup yang menuntut manusia untuk bersikap tindak sesuai
pandangan hidup tersebut. Kedua, filsafat dipahami sebagai suatu sistem pemikiran
ilmiah, yaitu filsafat sistematis. Dalam hal ini filsafat merupakan sebuah ilmu, yaitu
pengetahuan atau pendekatan i?-ietodIs, sistematis dan koheren tentang seluruh
kenyataan. Ilmu pengetahuan (= science) adalah pengetahuan metodis, sistematis
dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari seluruh kenyataan.
Sedikit berbeda dengan Verkuyl, Eka Darmaputra rupanya berpendapat bahwa Etika
Teologi seperti Etika Kristen misalnya, memang oleh orang Kristen, tetapi bukan hanya untuk
orang Kristen saja. prinsip " kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri "
dikatakan sebagai prinsip di dalam Etika Kristen. Akan tetapi itu menjadi prinsip di
dalam Etika Kristen bukan hanya karena dikutip dari Alkitab, melainkan karena
merupakan prinsip yang dapat diterima secara universal, sebagai prinsip yang pada
hakekatnya dapat secara rasional diterima oleh semua orang. Hal tersebut berlaku untuk
etikaetika teologis lainnya. Etika Kristen dapat saja belajar bahkan menerima kebenaran-
kebenaran di dalam Etika Islam-5 . Bila hal ini terjadi, itu karena secara intrinsik
mengandung kebenaran yang universal, yang bukan semata karena terdapat di dalam Al
Quran atau karena kebetulan cocok dengan yang tercantum di dalam Alkitab.
TEMA-TEMA UMUM
1. KEBEBASAN
Moralitas sebagai suatu keseluruhan nilai-nilai dan norma-norma moral individu
maupun masyarakat, hanya mungkin karena manusia bebas. Oleh karena itu etika umum
dapat dimulai dengan pembahasan mengenai kebebasan, yang merupakan dasar
moralitas' . Kita semua mengalami kebebasan, karena kita manusia. Kebebasan
adalah salah sate hal yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang tidak
menentukan sendiri sikap tindaknya, akan tetapi dikendalikan oleh dorongan-
dorongan naluri dari dalam, dan rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Manusia
akan menentukan sendiri sikap tindaknya sebagai reaksi terhadap rangsangan dari luar
maupun dorongan nalurinya, ia dapat menentukan dirinya. Apabila lapar, binatang akan
langsung memakan makanan yang pertama ia jumpai; sedangkan meskipun lapar,
manusia tidak akan begitu saja melahap makanan yang ada dihadapannya; misalnya
karena sedang berpuasa. Dalam menentukan sikap tersebut, manusia
mengalami kebebasannya, kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Jadi
kebebasan merupakan tanda martabat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya secara
alamiah terikat kepada kekuatan-kekuatan alamiah, melainkan karena akal budinya ia
dapat mengatasi keterbatasan alamiah.
Martabat manusia dapat dikatakan merupakan norma dasar terpenting, karena
manusia adalah satu-satunya inakhluk yang merupakan tujuan pada dirinya.
Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman, merumuskan kewajiban untuk inenghormati
martabat manusia sebagai berikut : "Hendaklah tnemperlakukan manusia selalu jugs
sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana atau sesuatu yang
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu belaka". Jadi martabat manusia
mengandung pengertian bahwa manusia harus dihormati sebagai manusia.
Seseorang seyogyanya dihormati bukan karena kedudukannya dalam masyarakat,
at au keka ya ann ya , m el ai nkan sem at a - m at s karena martabatnya sebagai
manusia.
Kebebasan mempunyai banyak arti. K. Bertens ( 1993 ) membedakan antara
kebebasan sosial politik dan kebebasan individual berdasarkan siapa yang menjadi
subyek, rakyat atau manusia perorangan. Kemudian dijelaskan pula berbagai arti
kebebasan? , seperti kesewenang-wenangan, kebebasan fisik, kebebasan psikologis,
kebebasan moral, kebebasan yuridis dan , k e b e b a s a n e k s i s t e n s i a l . B a r a n g k a l i
u n t u k l e b i h iiienyederhanakan pembahasan sehingga mempermudah pengertian,
akan ditinjau pembagian kebebasan sosial dan kebebasan eksistensial berdasarkan
pemahaman secara positif Mau secara negatif dalam arti logika, bukan positif - negatif
Wba gai penilaian, menurut F. Magnis-Suseno ( 1989 ).
p
emahaman arti kebebasan sebagai suatu yang positif, Iwrarti kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya .,wiidiri. Ditekankan di sini, " bebas untuk
.................................................................................. , yang mi-t1yangkut sikap tindak
yang akan dilakukan. Ini disebut f4ebagai kebebasan eksistensia18 . Dari pemahaman
secara w-gatif, kebebasan menunjukkan tidak adanya pembatasan oleh orang lain atau
masyarakat, jadi maksudnya, " bebas dari ................ menyangkut hubungan dengan
orang lain atau masyarakat, clan disebut sebagai kebebasan sosial,
Jadi kebebasan manusia mempunyai dua segi, yaitu kemampuan untuk
menentukan dirinya sendiri, dan ia tidak d i b a t a s i o l e h m a n u s i a l a i n a t a u
m a s ya r a k a t d a l a m kemungkinannya untuk menentukan dirinya tersebut. Kedua segi
kebebasan ini saling berkaitan sehingga sulit dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Dalam
menentukan sikapnya sendiri, manusia mengalami kebebasan; bukan kebebasan dari
sesuatu, melainkan bebas untuk melakukan suatu tindakan. Kemampuan
manusia untuk menentukan tindakannya sendiri ini yang disebut sebagai kebebasan
eksistensial, yaitu kebebasan menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas
pada satu aspek saja. Jadi sikap tinuak yang dilakukan oleh manusia merupakan kegiatan
yang disengaja, yang mempunyai motif-motif. Motif di sini adalah alasan yang diterima
manusia untuk menentukan dirinya. Oleh karena itu pengertian yang paling mendalam
dari kebebasan yang dirasakan seseorang adalah manusia merupakan makhluk yang
menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak ditentukan begitu saja oleh faktor-faktor dari
luar, maupun dorongandorongan naluri dari dalam. Oleh karena itu kebebasan adalah tanda
dan ungkapan martabat manusia. Seseorang akan merasa terhina apabila sesuatu
dipaksakan kepaclanya baik dengan ancaman maupun bujukan.
Bahwa kebebasan manusia itu tidak hanya bergantung kepada dirinya sendiri, barn
disadari apabila ada orang lain yang akan membatasinya. Kebebasan di mana
kemungkinan seseorang untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain
disebut sebagai kebebasan sosial. Paling seclikit ada tiga cara orang lain membatasi
kemungkinan seseorang untuk bersikap-tindak, yaitu melalui paksaan fisik, tekanan
psikologis dan melalui larangan dan kewajiban.
Kebebasan fisik, diartikan seseorang dapat bergerak ke inana saja tanpa hambatan,
seperti penahanan, pemborgolan atau penyiksaan. Kebebasan psikologis dimaksudkan
sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan mengembangkan hidupnya berkaitan
dengan kehendak bebasnya, meskipun ia dihadapkan pada berbagai pilihan yang dapat
diambilnya. Sehubungan dengan kebebasan psikologis, ada yang disebut kebebasan
moral. Apabila kebebasan psikologis dapat dibatasi melalui manipulasi informasi yang
diperoleh, atau lewat ancaman, bujukan, juga karena obat-obat psikofarmaka, maka
kebebasan moral tidak mungkin ada tanpa adanya kebebasan psikologis tersebut.
Sedangkan adanya kebebasan psikologis belum tentu disertai adanya kebebasan moral,
meskipun dalam keadaan normal, kebebasan psikologis biasanya disertai kebebasan
moral. Suatu contoh, bila seseorang diancam akan dibunuh apabila tidak menyetujui
suatu pernyataan yang sebenarnya tidak sesuai dengan hati nuraninyd, dalam hal ini ia
mempunyai alternatif untuk memilih. Kalau ia berkehenclak untuk tetap hidup ia akan
memberikan persetujuannya, dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan dengan bebas,
dalam arti kebebasan psikologis, tetapi tidak dengan sukarela; kalau tidak menyetujui
pernyataan tersebut, yang dirasanya bertentangan dengan suara hatinya maka ia harus coati.
Jadi dalam contoh ini i tidak ada kebebasan moral.
Manusia adalah makhluk sosial, setiap dari kita adalah ,1119gota masyarakat. Oleh
k es ew
karena itu kebebasan manusia bukanlah enang-wenangan, melainkan ada
batasbatasnya. Batas tersebut ditemukan dalam hak setiap orang lain sesama anggota
masyarakat. Oleh karena kebutuhan seseorang dipenuhi secara terus-menerus oleh orang
lain atau oleh masyarakat itu sendiri, maka masyarakat mempunyai hak untuk membatasi
kes
ewenang-wenangan seseorang yang berada dalam kebebasannya dengan cara yang
kew
wajar yaitu menetapkan ajiban-kewajiban dan/atau larangan larangan yang
kita sebut sebagai pembatasan normatif Artinya seseorang diberitahu tentang suatu
norma atau pedoman untuk bersikap tindak dalam pergaulan di masyarakat. Cara ini
menghormati martabat manusia sebagai makhluk yang dapat menentukan sendiri sikap
tindaknya. Di sini tidak ada pembatasan fisik maupun psikis. Akan tetapi apabila seseorang
tidak mau mengindahkan norma-norma yang telah disepakati oleh masyarakat (norma-
norma etis), maka masyarakat berhak mengambil tindakan untuk menjamin norma-norma
itu tetap dihormati. Tindakan yang dilakukan adalah tindakan fisik, dalam bentuk
ket
entuan-ketentuan yang dapat dipaksakan berlakunya (norma-norma hukum), agar
tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain atau masyarakat.Tekanan
psikologis tidak dapat dibenarkan untuk digunakan sebagai cara agar orang mematuhi
norma-norma yang telah disepakati, karena manipulasi psikis secara moral buruk dan hal
itu akan merusak kepribadian seseorang dari dalam, merusak otonomi manusia.
!. TANGGUNG JAWAB
Istilah tanggung jawab dan kebebasan sating berkaitan. kpabila kita menyatakan
"manusia itu bebas ", hal ini berarti juga bahwa "manusia itu bertanggung jawab".
Oleh karena itu pembahasan mengenai tanggung jawab berurutan dengan pembahasan
mengenai kebebasan. Kebebasan yang diberikan masyarakat ( = kebebasan social ), yaitu
dengan tidak adanya paksaan fisik atau tekanan psikologis, merupakan kesempatan Vai-ig
harus diisi dengan sikap tindak yang mencerminkan ~,vbebasan eksistensial. Setiap
akibat lanjut dari sikap tindak v,mg dilakukan akan menimbulkan suatu
pertanggung jawaban yang tidak dapat diserahkan kepada orang lain.
,rnn bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan o1cf-inya. Akan tetapi untuk
bertanggung jawab tidak cukup ot'ang tersebut menjadi penyebab saja, melainkan
harus Ill(Itijadipenyebabyangbebas.jadikebebasanatautidakadanya poinbatas,
merupakan syarat mutlak untuk tanggung jawab. Apabila seseorang tidak mau
bertanggung jawab meskipun ia III(Illgetahui apa yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya - sesuatu yang mempunyai nilai, tetapi ia tidak mau iiielakukannya -
hal tersebut berarti mungkin dirasakan terlalu 4wrat, malas, tidak dapat mengatasi nafsu;
ia mengalah terhadap segala macam perasaannya, ia adalah orang yang Ivinah.
Sebaliknya , orang yang semakin bersedia untuk hertariggung jawab, akan semakin
terbuka pada tantangan tarnan dan masyarakat, semakin kuat menentukan untuk
thrhiya sendiri dengan mengalahkan hambatan-hambatan ivi-asional. Semakin
bertanggung jawab, manusia itu semakin 1whas. Jadi segi terpenting kebebasan
manusia adalah kvi ci-arahannya pada tanggung jawab.
Tanggung jawab bisa bersifat langsung, di mana, si pelaku U1111dit'i yang
bertanggung jawab atas perbuatannya; atau pada hal-hal tertentu orang bertanggungjawab
secara tidak langsung, akibat perbuatan orang lain atau akibat kejadian tertentu.
Misalnya anak yang merusakkan barang orang lain, orang tuanya yang bertanggung
jawab. Jadi dapat dilihat bahwa apabila tidak ada kebebasan, maka tidak perlu ada
tanggung jawab; atau apabila kebebasan berkurang maka tanggung jawab pun lebih
ringan, seperti halnya pada anak-anak yang berada dibawah tanggung jawab orang
tuanya.
Menentukan bertanggung jawab tidaknya seseorang tidaklah mudah. Salah satu
patokan adalah kematangan psikis. Untuk kepastian, norma hukum menetapkan umur
tertentu di mana seseorang dianggap dapat bertanggung jawab. Batas usia itupun berbeda-
beda tergantung pada bidang hukum apa atau menurut ketentuan hukum positif yang
mana.
Sebenarnya hanya orang yang bersangkutan sendiri yang dapat mengetahui apakah
dalam suatu kasas is bertanggung jawab dan sejauh mana tingkat tanggung jawab yang
harus dipikulnya. Dan yang mungkin paling sulit dipastikan adalah seseorang yang
melakukan suatu perbuatan tercela, pada kenyataannya tidak melawan dorongan pikiran
atau batinnya, atau tidak dapat melawan dorongan batinnya tersebut. Hal ini berkaitan
dengan kebebasan psikologis.
3. HATI NURANI
Pengalaman tentang hati nurani nampaknya merupakan perjumpaan paling jelas
bagi manusia dengan moralitas sebagai kenyataan. Karma itu. K. Bertens (1993)
menganggap pengalaman tersebut merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi
mengenai etika9 . Akan tetapi F. Magnis Suseno (1989) menyatakan bahwa setelah
mulai dengan pembahasan mengenai kebebasan sebagai dasar moralitas, kemudian
membahas segi terpenting kebebasan manusia yaitu keterarahannya pada tanggung
jawab, sekarang pengertian tanggung jawab diperdalam, di mana bertanggung jawab
sebagai manusia berarti bertindak sesuai dengan suara hati atau hati nurani-nya.
Hati nurani adalah penghayatan tentang baik atau buruk berkaitan dengan tingkah laku
konkri t kita, di mana hati nurani mengharuskan atau melarang kita untuk melakukan
sesuatu saat ini dan di sini.
Ada dua aspek dari hati nurani yang dapat kita. teliti. Aspek personal dan
adipersonal. seperti dapat kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama, demikian
pula tidak ada dua hati nurani manusia yang persis sama. Jadi hati nurani hersifat personal
atau selalu berkaitan dengan pribadi yang bersangkutan. Di samping itu hati nurani hanya
berbicara atas nama yang bersangkutan, hanya memberi penilaian tentang perbuatan kita
sendiri dan tidak memberikan penilaian mengenai perbuatan orang lain. Apabila kita
melihat suatu perbuatan buruk, misalnya penyiksaan sampai coati yang dilakukan
seseorang, sering kita menilai itu sebagai hal yang tidak boleh dilakukan. Penilaian itu
memang mengikuti apa yang dikatakan hati nurani kita. Akan tetapi meskipun hati kita
sakit,.sedih, dan geram, integritas pribadi kita tidak merasa (I i perkosa oleh tindakan brutal
orang lain tersebut; karma itu adalah perbuatan orang lain, bukan perbuatan sendiri.
Selain bersifat pribadi, hati nurani jugs seolah-olah melebihi pribadi kita
(adipersonal ) sepertinya merupakan ~-i.jatu instansi di atas kita. Dalam bahasa Latin
conscientia, I lc~ras al dari scire mengetahui ) dan awalan con (= turut, hersama
dengan). Jadi conscientia berarti "turut mengetahui", dan kata ini digunakan juga untuk
menunjukkan "hati nurani". Hati nurani merupakan semacam "saksi" tentang perbuatan-
perbuatan moral kita. Istilah hati nurani dalam bahasa Indonesia berarti "hati yang
diterangi" (nor = cahaya). Sinonimnya adalah suara batin, suara hati, kata hati. Kita
seakan-akan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Ada aspek transenden
yang melebihi pribadi kita.
Apakah suara hati suara Tuhan? Kalangan agama menyatakan Tuhan berbicara
melalui hati nurani. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa
orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani karena is manusia. Hati nurani
tidak langsung merupakan suara Tuhan, karena Tuhan tidak bisa keliru, sedangkan kita
sebagai manusia bisa keliru.
Ada banyak jenis hati nurani, ada yang halos dan jitu, ada pula yang longgar dan
kurang tepat, atau ada juga hati nurani yang tumpul, bahkan dikatakan ada orang yang
tidak mempunyai hati nurani. Seperti halnya akal budi, hati nuranipun harus dididik.
Tempat pendidikan moral yang paling serasi adalah secara informal yaitu dalam
keluarga. Para pendidik yaitu orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak didiknya,
karena kewajiban terhadap hukum moral mengikat semua orang. Pendidikan hati nurani
akan berjalan dengan sendirinya, apabila anak dil iputi oleh suasana yang
m en yokong di m ans m ereka m eli hat bahwa orang disekelilingnya memenuhi
k
ewajiban-kewajibannya dengan seksama dan mempraktekkan keutamaan-keutamaan
yang mereka ajarkan.
.1. HAK
Paham " hak " nampaknya lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan masalah
hukum daripada masalah etika. I I al ini dapat dilihat misalnya pada zaman Yunani kuno
tempat lisalnya filsafat barat, Plato dan Aristoteles, belum berbicara tentang hak dalam
arti yang sebenarnya. Masyarakat di sang pada waktu itu masih mengenal sistem
perbudakan yang sesungguhnya tidak dapat dibenarkan secara etis dalam kebudayaan
atau periode sejarah manapun juga. Memang hak dalam bidang etika-moral yang ada
sekarang merupakan hasil suatu proses sosial dan pistons yang panjang.
Untuk menjelaskan tentang hak, mungkin kita bisa inelihatnya dari sudut peranan
atau fungsi yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Apabila
peranan atau kegunaan diri itu ditujukan bagi dirinya sendiri, i iiilah yang disebut sebagai
hak. Disamping itu pengertian hak 11dalah suatu peranan yang boleh dilakukan dan boleh
juga tidak dilakukan. Berkaitan dengan ini, pengertian dari istilah kewajiban dapat
dijelaskan sebagai peranan yang ditujukan bagi orang lain, atau kewajiban adalah suatu
peranan yang harus dilakukan atau yang harus tidak dilakukan.
Seperti halnya kita membedakan hukum dan etika, maka Oda hak legal, yang
didasarkan atas prinsip-prinsip hukum dan berfungsi dalam sistem hukum, disamping hak
moral yang didasarkan atas prinsip-prinsip etis dan berfungsi dalam sistem moral. Kaitan
antara etika dan hukum begitu erat sehingga pandangan-pandangan etis umumnya
menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hukum. Demikian pula yang ideal adalah bahwa
hak legal pada dasarnya merupakan suatu hak moral juga.
Jenis-jenis hak yang lain, adalah hak umum dan hak khusus. Hak umum dimiliki
manusia bukan karena hubungan atau peranan tertentu, melainkan semata-mata karena is
manusia. Istilah lain untuk hak umum adalah natural right atau human right atau hak azasi
manusia. Hak khusus, timbul dalam suatu hubungan khusus antara beberapa orang atau
karena peranan tertentu yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. N4isalnya hak orang
tua : di mana orang tua mempunyai hak bahwa anaknya akan patuh kepadanya;
sebaliknya anak mempunyai hak pula untuk diberi makan, pendidikan dan kebutuhan
lainnya.
Berkaitan dengan Deklarasi Universal tentang Hak-hak A,zasi Manusia yang
diproklamasikan oleh Perserikatan 3angsa-Bangsa pada tahun 1948, dikemukakan hak
individual tan hak sosial. Hak individual dimiliki individu-individu :erhadap negara;
negara tidak boleh mengganggu individu ialam mewujudkan haknya itu. Contohnya
adalah hak nengikuti hati nurani, hak menentukan bagi dirinya sendiri the right of self
determination). Hak sosial, dimiliki manusia )ukan terhadap negara, tetapi sebagai
anggota masyarakat )ersama dengan anggota-anggota yang lain. Contohnya adalah Zak
atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan.
KEWAJIBAN
Sudah menjadi tradisi dalam etika bahwa yang liutamakan adalah
kewajiban. Kode Etik tenaga kesehatan, elalu mencantumkan kewajiban-kewajiban
kepada pasien. 4embicarakan kewajiban hampir selalu dikaitkan dengan hak. Jampaknya
setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak rang lain, dan sebaliknya, setiap hak
seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut,
rneskipun hubungan timbal balik tersebut tidak harus selalu seimbang.
Dalam Kode Etik Kedokteran & Kedokteran Gigi Indonesia, tercantum kewajiban
terhadap diri sendiri. Setiap tenaga medis harus memelihara kesehatannya agar dapat
bekerja dengan baik, disamping mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Semua
hal itu sebenarnya secara tidak langsung adalah untuk kepentingan pasien. Setiap orang
memang wajib ur i t uk m em p e rt ah an k an k e hi d up an n ya d an j u ga
mengembangkan bakatnya. Dalam hal ini, kewajiban terhadap diri sendiri tidak hanya
semata-mata dilihat sebagai kewajiban terhadap diri sendiri saja. Kewajiban tersebut tidak
terlepas dari hubungan seseorang dengan orang lain, seperti keluarga, Leman dan
lingkungan tempat tinggal atau agar supaya dapat inengobati pasien dengan sebaik-
baiknya. Disamping itu . 1 pabila dilihat dari sudut pandang religius, kewajiban terhadap
diri sendiri dimaksudkan sebagai kewajiban terhadap Tuhan.
Deontologi
Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf Jerman yang lahir, menetap, bekerja dan
wafat di Konigsberg kawasan Prussia Timur, beranggapan tidak ada hubungan antara
i i i oralitas dan kebahagiaan. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti
sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik.
Kehendak menjadi baik bila bertindak karena kewajibai7. Kalau perbuatan dilakukan
dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik betapapun
terpujinya motif tersebut. perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib
dilakukan. Bertindak hanya sesuai saja dengan kewajiban disebut legalitas oleh Kant.
Suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata "karena hormat untuk hukum
moral". Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban. Tindakan moral
adal ah tindakan ya ng dilaksanakan dari rasa a kan kewajiban, bukan sekedar
m e n g i k u t i d o r o n g a n h a t i , K a n t d i k e n a l s e b a g a i deontologist, orang yang
percaya dengan kewajiban. Karma moralitas melibatkan kewajiban, bukan keiinginan,
maka ciri pembeda utama suatu tindakan moral adalah motif bukan konsekuensi.
Kant juga membedakan antara tuntutan / perintah / imperatif, yang bersyarat
(imperatif hipotetis) dan yang tidak bersyarat ( imperatif kategoris ). Imperatif hipotetis
hanya berlaku atas dasar pengandaian. Perintah terhadap para atlit: "Jangan merokok !",
bersifat hipotetis yaitu hanya berlaku atas dasar pengandaian bahwa apabila atlit tersebut
ingin mencapai prestasi tinggi ia harus tidak merokok. Kewajiban moral mengandung
suatu imperatif kategoris, bersifat tanpa syarat atau absolut. Perintah, seperti "Jangan
berdusta !" berlaku begitu saja, tanpa kekecualian. Perintah itu mutlak, tidak dapat ditawar-
tawar. Imperatif kate g oris ini menjiwai semua peraturan etis.
Mengenai sikap moral, Kant membedakan antara heteronomi moral dan otonomi
moral. Kati ini berasal dari bahasa Yunani : heteros artinya lain, izornos artinya
"hukum".
Heteronomi moral adalah sikap di mana seseorang memenuhi kewajibannya bukan karena
ia sadar bahwa kewajiban itu pintas dipenuhi, melainkan karena ia tertekan, takut
disalahkan, takut berdosa dan sebagainya, sehingga tidak berani mengambil sikap
sendiri. Kewajiban itu dilakukan karena pihak lain, bukan ditentukan olehnya sendiri.
Hal ini merendahkan manusia, tidak bebas, buta terhadap nilai-nilai dan tanggung jawab
sebenamya. Sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonom (autos, Yunani, artinya
sendiri). Otonomi moral berarti bahwa manusia menaati kewajibannya karena ia sendiri
sadar, tact pada dirinya sendiri. Inti sikap moral otonom atau penghayatan moral yang
sebenarnya ialah bahwa seseorang melakukan kewajibannya bukan karena dipaksa dari luar,
melainkan karena menyadarinya sebagai sesuatu yang b e r n i l a i c l a n s e b a ga i
p e r t a n g gu n g j a w a b a n ya n g sesungguhnya.
Sistem moral Kant nampak sebagai suatu etika yang kaku dan suram. Apakah tidak
mungkin seseorang berbuat baik karena dorongan cinta atau belas kasih. Di sini Kant
menyatakan bahwa bertindak berdasar kecenderungan saja seperti itu artinya tidak bebas
dan perbuatan yang tidak bebas tidak bisa dianggap perbuatan moral. Rupanya pengertian
Kant akin kebebasan begitu sempitnya. Padahal ada suatu bentuk kebebasan
tertinggi yang disebut kebebasan eksistensial. K Bertens ( 1993) menggambarkan
kebebasan eksistensial sebagai berikut Orang yang bebas secara eksistensial
seakan-akan memiliki'dirinya sendiri. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas,
kematangan rohani; ia bebas dari segala alienasi atau keterasingan. Ia berbuat baik, bukan
karena hal itu dinantikan daripadanya (di mata orang lain ), bukan karena itu ia dapat
mengelak banyak kesusahan (teguran, denda, hukuman ), bukan karena itu
diperintahkan oleh sesuatu instansi dari luar. Ia berbuat baik karena keterlibatan
dari dalam. Ia berbuat baik karena hatinya melekat pads kebaikan dan justru karena hal
itu baik, bukan karena alasan-alasan yang letaknya di luar yang baik. Tidak mungkin ia
berbuat jahat, tetapi hal ini bukan karena paksaan atau tanda bahwa ia tidak bebas. Ia
tidak bisa berbuat jahat, karena mencapai sesuatu keterlibatan dan kesempurnaan
dengan penuh kesadaran. Kebebasan eksistensial jarang sekali direalisasikan dengan
sempurna, dan terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang dapat memberi arah
dan makna kepada kehidupan manusia.
NOR MA MORAL
Setclah mempelajari teori-teori moral, kita kembali pada jwdiiaii untuk bersikap
tindak di dalam pergaulan dengan 41) -il IV, hAin, tetapi juga forhadap d i ri sendiri, yaitu
norma moral. 11"I it, tit ini kilo Aam ivit-bbiAt bahwa nortna moral itu absolut,
Univers al dan obyektif
Ada sarjana yang mengatakan bahwa moralitas sama saja dengan adat kebiasaan
dan akibatnya mudah bisa berubah; ini yang disebut relativisme moral. Hal itu tidak
benar, karena mutu etis dari setiap masyarakat tidak sama, ada yang tinggi ada yang
rendah. Di samping itu pule dilihat dari sudut pandang sejarah, nampaknya pada
umumnya ada perubahan ke arah kemajuan dibidang moral, sepertinya mutu etis
semakin baik.
Pada orang Eskimo pernah kita, baca adanya kebiasaan membunuh orang tua jika
berada dalam keadaan lemah atau sakit. Di sini kita harus membedakan antara norma
moral dasar dan norma moral konkrit. Bagi orang Eskimo, perbuatan tersebut merupakan
norma moral konkrit, dan motif membunuh orang tua justru untuk berbuat baik, agar
tidak mendapat nasib lebih buruk lagi. Karena itu dibalik norma konL'it itu ada norma
dasar yaitu berbuat baik kepada sesame. Norma dasar itu akan diterima oleh semua
orang, sedangkan norma konkrit tersebut akan ditolak oleh orang modern. Sejauh norma
dasar itu dilihat dengan lebih jelas dan serentak juga keadaan beru bah, misalnya
kontak dengan ilmu kedokteran, maka kebiasaan yang diclasarkan norma konkrit itu
akan ditinggalkan. Jadi norma moral adalah absolut, ticlak relatif.
Kalau norma moral absolut, maka norma itu juga harus universal, selalu berlaku
kapanpun clan di manapun. Tidak mungkin norma moral yang berlaku di sate tempat,
tapi tidak berlaku di tempat yang lain. Norma hukum bisa berbeda, tergantung undang-
undang dari negara masing-masing. Ada negara yang menghukum orang yang
mencoba membunuh diri, ada yang tidak, karena berbeda-beda undang-undangnya.
Tetapi norma kejujuran tentu akan berlaku atau diakui oleh siapapun, di manapun, dan
kapanpun. Memang ada pemikiran yang menolak norma universal, yaitu etika situasi,
yang nenyatakan bahwa ticlak mungkin ada norma-norma moral yang berlaku umum,
sebab setiap situasi adalah unik, berbeda dan tidak ada dua situasi yang persis sama.
Dalam hal ini ada unsur kebenarannya, tetapi bentuk ekstrim dari etika situasi tidak bisa
dipertahankan. Karena kita akan langsung setuju bahwa perbuatan moral tertentu tidak
tergantung situasi. Mi sal n ya pe rkosaan, t i dak pern ah dap at di t eri m a,
bagaimanapun situasinya.
Norma moral adalah obyektif, tidak subyektif. Kita yakin bahwa norma moral
mewajibkan kita secara obyektif. Kita sendiri tidak menciptakan norma itu. Norma tidak
tergantung pada selera subyektif kita.
Sekarang bagaimana dapat kita bedakan norma moral sungguhan dari norma moral
semu, dan kita pastikan bahwa norma moral itu adalah benar. Suatu norma harus
konsisten. Konsistensi adalah tuntutan logika. Akan tetapi konsistensi saja t i cl ak
cukup. Norm a m or al adal ah bena r j i k a bi sa d i g e n e r a l i s a s i k a n d a n
t i d a k b e n a r j i k a t i d a k b i s a digeneralisasikan. Menggenerali sasi norm a
berarti memperlihatkan bahwa norma itu berlaku untuk semua orang. Generalisasi
norma menjadi dasar bagi apa yang dalam etika dikenal sebagai the golden rule ("aturan
emas " ) yaitu : " Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin
diperlakukan ", atau dalam bentuk lain, " Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang
Anda sendiri tidak ingin hal itu dilakukan terhadap diri Anda". Aturan ini digunakan
dalam pasal 16 KODEKI 1991: " Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana is sendiri ingin diperlakukan", dan pasal 13 KODEKGI 1992: "Setiap
dokter gigi Indonesia harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana is sendiri
ingin diperlakukan ".
Telah banyak kita lihat norma-norma moral, yang tentu tidak semua sama
pentingnya. Pada umumnya diakui bahwa norma dasar terpenting adalah martabat
manusia, dan kita harus menghormatinya. Kewajiban untuk menghormati martabat
manusia, oleh Kant dirumuskan sebagai suatu perintah : "Hendaklah memperlakukan
manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka ".
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya. Hewan kita
gunakan untuk tujuan-tujuan kita, tetapi manusia adalah tujuan sendiri yang tidak boleh
dikalahkan pada tujuan lain, karena manusia adalah satusatunya makhluk bebas dan
otonom yang sanggup mengambil keputusannya sendiri. Manusia adalah " persona ",
yang memiliki harkat intrinsik dan karena itu harus dihormati sebagai tujuan pada
dirinya.
Apabila kita memakai jasa orang lain, artinya kita menggunakan orang itu
sebagai "sarana". Akan tetapi disamping menggunakan jasanya, kita juga
menghormatinya sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak memakainya sebagai
sarana belaka.
Martabat manusia mengandung pengertian bahwa manusia itu harus dihormati
sebagai manusia. Kita menghormati seseorang tidak karena status sosial ekonominya
atau keturunannya, melainkan semata-mata karena martabatnya sebagai manusia.
Martabat manusia sebagai norma dasar moralitas tidak saja harus diterapkan terhadap
orang-orang di sekitar kita, tetapi juga terhadap diri kita sendiri.