Terjemahan Astigmatisme
Terjemahan Astigmatisme
Hasil
Prosedur paling umum ditunjukkan pada CAG-s (N = 115). Selanjutnya, jumlah
pasien pada setiap kelompok seperti berikut ini : CAG-g (N = 53), CRF (N =
47), AMT-s (N = 15), dan AMT-g (N = 10). Panjang horizontal pterigium
berubah antara 2 dan 7 mm (rata – rata ± SD 3.78 ± 1.11 mm). Ukuran
pterigium paling umum adalah 3 mm (N = 115), diikuti 4 mm (N = 58), 5 mm
(N = 30), 6 mm (N = 23), 2 mm (N = 11) dan 7 mm (N = 3).
Rata – rata nilai ligMar sebelum operasi adalah 3.47 ± 0.64 (interval 0.00 –
3.00). Setelah pembedahan, nilai logMar turun menjadi 0.12 ± 0.24 (interval
0.00 sampai 2.00). Pasca operasi turun secara signifikan (P < 0.001, uji
wilcoxon berperingkat).
Sebelum operasi, nilai rata – rata astigmatisme adalah 3.47 ± 2.50 D (interval
0.00 D – 12.50 D). Steelah pembedahan, nilai rata – rata astigmatisme turun
menjadi 1.29 ± 1.07 D (interval 0.00 D -5.50 D). Perbedaan rata – rata antara
sebelum dan pasca operasi nilai astigmatisme adalah 2.18 ± 2.34 D, dan
penurunan ini secara statistik signifikan (P < 0.001, uji T berpasangan). 162
mata (67.5 %) memiliki astigmatisme sebelum operasi ≥ 2.00 D, yang turun
menjadi 51 (21.3 %) pasca operasi.
Distribusi ukuran pterigium berdasarkan kelompok bedah ditunjukkan pada
gambar 1. Rata – rata ± SD ukuruan pterigium berdasarkan jenis pembedahan
seperti berikut ini : 3.83 ± 1.16 mm pada CAG-s, 3.72 ± 1.21 mm pada CAG-g,
3.74 ± 1.07 mmpada CRF, 3.60 ± 0.63 mm pada AMT-s dan 4.00 ± 0.81 mm
pada AMT-g dan tidak ada perbedaan antar kelompok untuk ukuran pterigium
(p > 0.05).
Perubahan nilai astigmatisme berdasarkan ukuran pterigium ditunjukkan pada
gambar 2. Perubahan astigmatisme secara signifikan berbeda berdasarkan
ukuruan sebelum operasi pterigium (P = 3,464, P = 0.005, one way ANOVA).
Uji post hoc membuktikan bahwa perbedaan ini terutama dikarenakan oleh
perbedaan antara ukuran pterigium 2 mm dan 5 mm begitu juga 6 mm (P =
0.780, P < 0.001, analisis korelasi spearman).
Astigmatisme pasca operasi berhubungan secara positif dengan astigmatisme
sebelum operasi (p = 0.351, p < 0.001, analisis korelasi spearman). Di sisi lain,
nilai astigmatisme pasca operasi berhubungan secara negatif dengan perubahan
astigmatisme (P = 0.262, P < 0.001, analisis korelasi spearman).
Perubahan nilai astigmatisme tidak berhubungan dengan metode bedah (P =
0.055, ANOVA) [gambar 3]. Jumlah pasien pada kelompok AMT sedikit.
Walaupun begitu, jika kami mengabaikan kelompok dimana membran amnion
digunakan dari perbandingan statistik, perubahan astigmatisme juga tidak
signifikan secara statistik (P = 0.240, ANOVA). Juga, hubungan antara jenis
bedah dan perubahan pada astigmatisme tidak signifikan secara statistik (P = -
0.116, P = 0.072, analisis korelasi spearman).
Diskusi
Pterigium mungkin menyebabkan kornea mendatar ke apex. Astigmatisme yang
diinduksi dijelaskan oleh beberapa mekanisme : lubuk film air mata pada tepi
atas pterigium dan mekanisme penarikan dilakukan oleh pterigium pada kornea.
Laporan awal, hasil pterygium pada astigmatisme kornea tinggi, yang menurun
setelah eksisi. Berdasarkan studi saat ini, kami menemukan bahwa derajat
astigmatsime menurun secara signifikan setelah eksisi, dan penurunan ini
berhubungan dengan ukuran pterigium. Ukuran mempengaruhi perubahan
astigmatisme begitu juga dengan derajat astigmatisme pasca operasi. Kami juga
menemukan bahwa perubahan derajat astigmatisme secara positif berhubungan
dengan perubahan ketajaman penglihatan. Di sisi lain, jenis cangkok seperti
CAG, CRF, atau AMT atau penggunaan benang atau lem untuk memfiksasi
cangkok tidak mempunyai efek signifikan pada perubahan derajat astigmatisme.
Komponen refraksi didemonstrasikan untuk menstabilkan pada 1 bulan setelah
pembedahan pterigium. Bagaimanapun juga, pada studi saat ini, kami
memasukkan hasil 3 bulan pasca operasi untuk meyakinkan bahwa refraksi
stabil. Keratometri konvensional mengevaluasi kekuatan refraksi kornea dari 3
atau 4 poin data. Hence, banyak penulis menyarankan penggunaan topografi
kornea pada evaluasi perubahan astigmatisme setelah pembedahan pterigium.
Sejak saat itu studi retrospektif dan kami tidak dapat menunjukkan topografi
kornea pada semua kasus, kami telah memilih untuk hanya memasukkan nilai
keratometri.
Peningkatan ketajaman penglihatan diharapkan setelah eksisi pterigium. Ini
dilaporkan bahwa BCVA meningkat dari 0.53 sampai 0.68. Berdasarkan hal itu,
kami mengamati penurunan nilai logMar dari 0.38 sampai 0.13. Pada studi yang
sama, penurunan nilai logMar secara signifikan dari 0.41 sampai 0.24 pada 27
mata (P = 0.000).
Lin dan stern menemukan korelasi signifikan antara ukuran pterigium dan
astigmatsime kornea. Ini juga disarankan bahwa pterigium diperluas lebih dari
45 % diameter kornea result in peningkatan derajat astigmatisme. Mohammad –
salih dan asisten mempelajari perluasan pterigium, pelebaran, dan area total dan
menyelidiki hubungan mereka dengan astigmatisme kornea. Diantara 3,
extension memiliki korelasi paling signifikan dan kuat dengan astigmatisme (P
= 0.462, P < 0.001, analisa korelasi pearson). Penulis melaporkan bahwa
pterigium lebih luas dari 2.2 mm perluasan mungkin berkontribusi pada
astigmatisme kornea > 2 D. Hal ini dilaporkan bahwa astigmatisme signifikan
meningkat dengan peningkatan ukuran pterigium. Kampitak menyimpulkan
bahwa jumlah astigmatisme kornea yang diinduksi dan waktu untuk eksisi
pterigium berhubungan dengan ukuran pterigium dan melaporkan bahwa hasil
pterigium 2.25 mm pada astigmatisme 2 D dan harus dipertimbangkan
keterbatasan pembedahan. Berdasarkan hal ini, seitz dkk menyimpulkan bahwa
ukuran pterigium dari 0.25 mm meningkatkan astigmatisme sebelum operasi,
selain itu, penulis percaya bahwa pembedahan harus ditunjukkan sebelum
mencapai batas poin. Studi saat ini, kami mebandingkan ukuran pterigium
dengan perubahan pada astigmatisme dan menemukan korelasi signifikan (P <
0.001). Perbedaan utama pada perubahan astigmatisme antara ukuran 2 mm dan
5 mm dan 6 mm. Selain itu, kami setuju dengan laporan sebelumnya bahwa
lebih baik menyingkirkan pterigium saat ukuran panjang horizontal mencapai 2
mm.
Pada studi retrospektif, videokeratografi berubah pada 55 mata dievaluasi dan
ditemukan bahwa bedah pterigium secara signifikan menurunkan refraksi
astigmatisme dari 3.12 sampai 2.51 (P = 0.05). Juga, beberapa laporan
menunjukkan penurunan astigmatisme kornea. Kami juga menemukan
penurunan astigmatisme kornea dari 3.47 D sampai 1.29 D. Perbedaan rata –
rata pada perubahan astigmatisme kornea adalah 2.18 ± 2.34 D, dan penurunan
ini signifikan secara statistik (P < 0.001). Bedah pelepasan pterigium dapat
memperbaiki perubahan; bagaimanapun juga, mata dengan pterigium yang
sudah berkembang, distortion kornea tidak normal secara utuh dan perubahan
ireguler mungkin menetap jika lesi telah mencapai parasentral kornea. Beberapa
faktor lain, seperti perubahan stroma kornea dan membran bowman, disarankan
untuk menanggung perubahan refraksi menetap pada mata setelah pembedahan
pterigium.
Kami menemukan korelasi signifikan antara nilai astigamtisme sebelum dan
pasca operasi (p = 0.351, P < 0.001). Kontra dengan hasil kami, beberapa studi
menunjukkan tidak ada hubungan antara 2 parameter. Kontradiksi munkin
dihubungkan dengan sejumlah banyak pasien yang terlibat, dan ukuran
horizontal pterigium lebih luas pada studi saat ini. Sama dengan hasil kami, Wu
dkk menemukan korelasi signifikan antara perbedaan pada kekuatan refraksi
silindris sebelum dan sesudah operasi.
Sejak eksisi primer dengan teknik sklera polos memiliki tingkat kekambuhan
tinggi, saat ini banyak dokter bedah lebih memilih cangkok conjunctiva atau
transplantasi membran amnion. Juga saat ini, penggunaan lem fibrin disarankan
sebagai alternatif pengganti benang dan penggunaannya meningkat. Hasil dan
tingkat kekambuhan dari teknik pembedahan yang berbeda dipelajari pada
beberapa laporan. Bagaimana pun juga, pengaruh dari pembedahan yang
berbeda muncul pada astigmatisme. Frau dan asisten memperhatikan setelah
pembedahan, astigmatisme exceeded lebih dari 3 D pada 7 pasien dan tidak
mengubah secara dramatis pada rest 109 mata mereka dengan cangkok kornea
conjunctiva. Yilmaz dkk membandingkan perubahan astigmatisme mengikuti
perbedaan jenis pembedahan termasuk cangkok conjunctiva, cangkok limus
conjunctiva, sklera polos, dan sklera polos dengan mitomycin. Penulis
emenmukan perbedaan statistik antara kelompok untuk rata – rata topografi
astigmatisme dan astigmatisme induced-dengan pembedahan (P = 0.003 dan
0.030, secara respektif). Pada studi tersebut, perbedaan rata – rata antara sklera
polos dan tehnik cangkok dimana astigmatisme pasca operasi lebih kecil saat
terbentuk. Pada studi saat ini, kami menemukan tidak ada perbedaan pada
perubahan astigmatisme pasca operasi antara tehnik pembedahan yang berbeda.
Perbedaan utama antara 2 studi (kami dan yilmaz dkk) pengukuran
astigmatisme pada studi saat ini menggunakan keratometri. Perbedaan lainnya
pada tehnik pembedahan. Kami tidak menggunkan tehnik sklera polos. Juga,
cangkok limbus tidak masuk dalam studi. Semua 5 metode yang dilibatkan
dalam studi ini termasuk tipe cangkok atau penutup baik pengaman dengan
benang atau lem fibrin.
Kesimpulan, pterigium result in astigmatisme kornea tinggi yang meningkat
dengan dengan peningkatan panjang horizontal, dan penurunan untuk level yang
bisa diterima setelah eksisi. Kami menemukan korelasi signifikan antara nilai
astigmatisme begitu juga dengan perubahan astigmatisme dengan pembedahan.
Berdasarkan studi ini, jenis cangkok seperti CAG, CRF, atau AMT atau
penggunaan benang atau lem untuk memfiksasi cangkok tidak memiliki
pengaruh signifikan pada derajat perubahan astigmatisme. Studi prospektif lebih
lanjut dengan pengukuran topografi dan jumlah pasien yang banyak adalah
jaminan untuk mengevaluasi topik ini secara mendetail.