Anda di halaman 1dari 12

PERUBAHAN ASTIGMATISME SETELAH PENGANGKATAN

PTERYGIUM : PERBANDINGAN DARI 5 METODE YANG BERBEDA

Tujuan : untuk menyelidiki pengaruh dari jenis pembedahan pada astigmatisme


pasca operasi dalam bedah pterygium. Pengaturan dan desain : uji klinis
komparatif retrospektif. Bahan dan metode : data dari 240 mata yang
mengalami 5 jenis operasi berbeda : cangkok konjungtiva dengan benang
(CAG-s) atau lem fibrin (CAG-g), penutup memutari konjungtiva (CRF), atau
transplantasi membran amnion baik dengan benang (AMT -s) atau dengan lem
(AMT-g). Pengukuran keratometric sebelum operasi dan pasca operasi,
dievaluasi menggunakan keratorefractometer otomatis, kemudian dicatat.
Analisis statistik : perubahan keseluruhan pada BCVA dan derajat
astigmatisme dievaluasi menggunakan uji wilcoxon berperingkat. Perbedaan
nilai astigmatisme antar kelompok dihitung menggunakan analisis varian satu
arah (ANOVA). Hasil: prosedur yang paling umum dilakukan adalah CAG-s (N
= 115), diikuti oleh CAG-g (N = 53), CRF (N = 47), AMT-s (N-15), dan AMT-
g (N = 10). Setelah pembedahan, nilai astigmatisme menurun dari 3,47 ± 2,50
menjadi 1,29 ± D 1,07 D (P < 0,001 uji t berpasangan). Perubahan astigmatisme
secara signifikan berhubungan dengan ukuran sebelum operasi pterygium (p =
3.464, P = 0,005). Astigmatisme pasca operasi berhubungan dengan
astigmatisme sebelum operasi (p = 0.351, P < 0.001, spearman correlation
analysis). Perubahan nilai astigmatisme tidak berhubungan dengan metode
pembedahan (P = 0.055, ANOVA). Kesimpulan : hasil pterygium pada
astigmatisme kornea tinggi, yang mengalami penurunan pada level yang bisa
diterima setelah eksisi. Menurut penelitian kami, jenis cangkok seperti CAG,
CRF atau AMT atau penggunaan benang atau lem untuk memfiksasi cangkok
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan derajat
astigmatisme.
Kata kunci : membran amnion, astigmatisme, cangkok, fibrin perekat jaringan,
pterigium, benang

Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler berbentuk sayap dari jaringan ikat


konjungtiva di atas kornea disebabkan masalah kosmetik, penurunan ketajaman
penglihatan sekunder pada astigmatisme dan penghalang sumbu optik. Hal ini
dapat menyebabkan kornea mendatar sampai ke puncak.
Dalam pengobatan, beberapa operasi yang berbeda sedang dilakukan untuk
mengurangi tingginya kekambuhan teknik sklera polos, seperti cangkok
konjungtiva dan cangkok membran amnion. Baru – baru ini, lem fibrin
direkomendasikan untuk mengamankan cangkok.
Dalam penelitian ini, tujuan kami adalah untuk menyelidiki pengaruh dari jenis
pembedahan pada perubahan astigmatisme setelah eksisi pterigium.

Bahan dan metode


Pada penelitian retrospektif, data dari 240 mata berurutan yang menjalani eksisi
pterigium oleh dokter bedah (RAY) antara tahun 2003 dan 2008, yang difollow
up selama 3 bulan dan menurut investigasi menunjukkan tidak ada tanda – tanda
kekambuhan. Pasien dengan masalah penurunan ketajaman penglihatan, sensasi
benda asing dalam tubuh, dan hiperemis karena pterigium diputuskan untuk
dilakukan pembedahan pterigium. Riwayat trauma mata, bedah mata, dan
adanya abnormalitas kornea seperti, luka mempengaruhi nilai astigmatisme
dimasukkan dalam kriteria eksklusi.
Penerimaan tinjauan badan institusi telah diperoleh. Semua pasien
diinformasikan tentang alternatif bedah yang disediakan saat itu, dan keputusan
dibuat berdasarkan pilihan pasien bersama dengan dokter bedah. Selain itu,
pasien tidak diacak. Pasien telah menanda tangani inform konsen untuk bedah
sebelum dilakukan tindakan operasi.
Ada 127 pria dan 113 wanita dengan rata – rata berumur 57.5 ± 12.1 tahun
(interval 27 sampai 86 tahun). Semua pasien menjalani pemeriksaan mata
secara komprehensif. Pada bulan ketiga data sebelum dan sesudah operasi
dicatat koreksi terbaik dari ketajaman penglihatan (BCVA) dan nilai
keratometrik. Nilai BCVA menggunakan kartu snellen dan diubah menjadi
logaritme nilai resolusi sudut minimal (logMar).
Panjang horizontal sebelum operasi diukur dengan memfokuskan celah pada
pterigium dan menggunakan penggaris yang bergabung dengan celah pada sinar
celah dari limbus untuk mendorong tepi pterigium (Topcon SL-7F, Topcon Co,
Japan).
Nilai keratometrik diperoleh dengan menggunakan keratorefraktometer
otomatis (Topcon K2-8100PA, Tokyo, Jepang). Hanya nilai keratometrik yang
termasuk dalam penelitian hampir separuh dari pasien, kami tidak bisa
memperoleh pengukuran topografi.
Eksisi pterigium ditunjukkan setelah : lidokain HCl 40 mg/2 ml + epinefrin
0.025 mg/ml (Jetokain, Adeka, Turki) disuntikkan dibawah konjungtiva menuju
badan pterigium. Setelah menyingkirkan badan, kepala tumpul terangkat ke atas
kornea. Jaringan luka abnormal pada kornea disingkirkan. Sejumlah kecil
kapsul tenon disingkirkan dari setiap pasien. Baik tidak ada kauter atau minimal
digunakan untuk tempat tidur sklera. Setelah pelepasan pterigium, pasien
menjalani 5 jenis pembedahan berbeda : cangkok konjungtiva dengan benang
(CAG-s) atau lem fibrin (CAG-g), penutup rotasi konjungtiva (CRF), atau
transplantasi membran amnion baik dengan benang (AMT -s) atau dengan lem
(AMT-g).
Pada cangkok konjungtiva, cangkok berukuran lebih besar dengan panjang 1
mm dan lebar relatif untuk tempat tidur sklera yang dipanen dari limbus
superotemporal, dengan perawatan untuk memperoleh tenon-bebas cangkok.
Cangkok berikuntnya berpindah ke aera nasal. Pada kelompok CAG-s,
memutus benang vicryl 8-0 digunakan untuk mengikat cangkok. Pada kelompok
CAG-g, lem fibrin (Tiesseel VH, baxter AG) digunakan untuk mengikat tepi
konjungtiva dan episclera. Penggunaan metode lem telah dijelaskan
sebelumnya.
Untuk CRF, penutup tenon-bebas berasal dari bawah konjungtiva bulbar dengan
bergantung pada batas bawah hidung dari sklera polos telah disiapkan dan
diputar untuk menutupi sklera polos dengan memotong benang vicryl 8/0.
Membran amniotik telah disiapkan seperti dijelaskan sebelumnya. Untuk AMT,
membran dikeluarkan dari pengawetan ukuran sedang dan dipotong sesuai
ukuran yang diperlukan untuk menutupi area defek. Membran disebar di atas
area kosong sehingga permukaan membran basal atau epitel akan berada di
puncak dan dijahit mengelilingi konjungtiva dan episklera dengan
menggunakan potongan benang vicryl 8-0 pada kelompok AMT-s. Di sisi lain,
pada kelompok AMT-g, lem fibrin digunakan untuk mengikat membran amnion
seperti laporan awal.
Mata ditutupi alas mata setelah menggunakan salep antibiotik topikal
(tobramycin). Setelah pembedahan, antibiotik topikal (ofloxacin 0.3 %, 4 kali
sehari) dan steroid (dexamethasone 0.1 %, 4 kali sehari) diberikan dalam tetes,
dan penurunan dosis diatas 1 bulan. Jahitan dibuka saat minggu kedua.
Data dimasukkan ke perangkat lunak SPSS (Statistical Package for the Social
Sciences, version 13.0, SPPS Inc Chicago, III, USA). Perubahan keseluruhuan
pada BCVA dan derajat astigmatisme dievaluasi menggunakan uji wilcoxon
berperingkat. Perbedaan nilai astigmatisme antara kedua kelompok dihitung
menggunakan analisis satu arah dari varian (ANOVA). Perbedaan signifikan
<0.05 diterima sebagai signifikansi secara statistik.

Hasil
Prosedur paling umum ditunjukkan pada CAG-s (N = 115). Selanjutnya, jumlah
pasien pada setiap kelompok seperti berikut ini : CAG-g (N = 53), CRF (N =
47), AMT-s (N = 15), dan AMT-g (N = 10). Panjang horizontal pterigium
berubah antara 2 dan 7 mm (rata – rata ± SD 3.78 ± 1.11 mm). Ukuran
pterigium paling umum adalah 3 mm (N = 115), diikuti 4 mm (N = 58), 5 mm
(N = 30), 6 mm (N = 23), 2 mm (N = 11) dan 7 mm (N = 3).
Rata – rata nilai ligMar sebelum operasi adalah 3.47 ± 0.64 (interval 0.00 –
3.00). Setelah pembedahan, nilai logMar turun menjadi 0.12 ± 0.24 (interval
0.00 sampai 2.00). Pasca operasi turun secara signifikan (P < 0.001, uji
wilcoxon berperingkat).
Sebelum operasi, nilai rata – rata astigmatisme adalah 3.47 ± 2.50 D (interval
0.00 D – 12.50 D). Steelah pembedahan, nilai rata – rata astigmatisme turun
menjadi 1.29 ± 1.07 D (interval 0.00 D -5.50 D). Perbedaan rata – rata antara
sebelum dan pasca operasi nilai astigmatisme adalah 2.18 ± 2.34 D, dan
penurunan ini secara statistik signifikan (P < 0.001, uji T berpasangan). 162
mata (67.5 %) memiliki astigmatisme sebelum operasi ≥ 2.00 D, yang turun
menjadi 51 (21.3 %) pasca operasi.
Distribusi ukuran pterigium berdasarkan kelompok bedah ditunjukkan pada
gambar 1. Rata – rata ± SD ukuruan pterigium berdasarkan jenis pembedahan
seperti berikut ini : 3.83 ± 1.16 mm pada CAG-s, 3.72 ± 1.21 mm pada CAG-g,
3.74 ± 1.07 mmpada CRF, 3.60 ± 0.63 mm pada AMT-s dan 4.00 ± 0.81 mm
pada AMT-g dan tidak ada perbedaan antar kelompok untuk ukuran pterigium
(p > 0.05).
Perubahan nilai astigmatisme berdasarkan ukuran pterigium ditunjukkan pada
gambar 2. Perubahan astigmatisme secara signifikan berbeda berdasarkan
ukuruan sebelum operasi pterigium (P = 3,464, P = 0.005, one way ANOVA).
Uji post hoc membuktikan bahwa perbedaan ini terutama dikarenakan oleh
perbedaan antara ukuran pterigium 2 mm dan 5 mm begitu juga 6 mm (P =
0.780, P < 0.001, analisis korelasi spearman).
Astigmatisme pasca operasi berhubungan secara positif dengan astigmatisme
sebelum operasi (p = 0.351, p < 0.001, analisis korelasi spearman). Di sisi lain,
nilai astigmatisme pasca operasi berhubungan secara negatif dengan perubahan
astigmatisme (P = 0.262, P < 0.001, analisis korelasi spearman).
Perubahan nilai astigmatisme tidak berhubungan dengan metode bedah (P =
0.055, ANOVA) [gambar 3]. Jumlah pasien pada kelompok AMT sedikit.
Walaupun begitu, jika kami mengabaikan kelompok dimana membran amnion
digunakan dari perbandingan statistik, perubahan astigmatisme juga tidak
signifikan secara statistik (P = 0.240, ANOVA). Juga, hubungan antara jenis
bedah dan perubahan pada astigmatisme tidak signifikan secara statistik (P = -
0.116, P = 0.072, analisis korelasi spearman).

Gambar 1 : diagram batang sederhana menunjukkan distribusi ukuran pterigium


berdasarkan jenis pembedahan ditunjukkan (N = jumlah pasien; CAG-s =
cangkok conjunctiva dengan benang; CAG-g = cangkok conjunctiva dengan
lem fibrin, CRF = penutup memutari conjunctiva; AMT-s = transplantasi
membran amnion dengan benang, AMT-g = transplantasi membran amnion
dengan lem fibrin)
Gambar 2 : plot – whisker menunjukkan perubahan nilai astigmatisme (D :
dioptri) berdasarkan ukuran horizontal pterigium pengukuran dari limbus ke
kepala (N = jumlah pasien)

Gambar 3 : plot – whisker menunjukkan perubahan pada astigmatisme (D)


berdasarkan jenis pembedahan ditunjukkan. [N = jumlah pasien; CAG-s =
cangkok conjunctiva dengan benang; CAG-g = cangkok conjunctiva dengan
lem fibrin; CRF = penutup memutari conjunctiva; AMT-s = transplantasi
membran amnion dengan lem fibrin]
Evaluasi kedua, kami mengabaikan 56 mata dimana ukuran pterigium adalah 5
mm atau lebih besar dan ditunjukkan dengan analisis pada 184 mata. Prosedur
yang paling umum ditunjukkan pada kelompok CAG-s (N = 86). Selanjutnya,
jumlah pasien pada setiap kelompok seperti berikut ini : CAG-g (N = 42), CRF
(N = 35), AMT-s (N = 14) dan AMT-g (N = 7).
Rata – rata nilai logMar sebelum operasi adalah 0.32 ± 0.59 (interval 0.00 –
2.00). Penurunan nilai pada pasca operasi adalah signifikan (P < 0.001, uji
wilcoxon berperingkat).
Sebelum operasi, rata – rata nilai astigmatisme adalah 2.97 ± 2.28 D (interval
0.00 D -12.50 D). Setelah pembedahan, nilai astigmatisme turun menjadi 1.16 ±
0.91 D (interval 0.00 D 4.50 D). Rata – rata perbedaan antara nilai astigmatisme
sebelum dan pasca operasi adalah 1.81 ± 2.22 D, dan penurunan ini signifikan
secara statistik (P < 0.001, uji t berpasangan).
Pada kelompok ini dengan ukuran pterigium 4 mm atau kurang, perubahan
astigmatisme secara siignifikan berbeda berdasarkan ukuran pterigium sebelum
operasi (P = 3.115, P = 0.047, one way ANOVA). Uji post hoc membuktikan
perbedaan ini dikarenakan perbedaan anatara pterigium 2 mm dan 4 mm (P =
0.039, turki HSD). Ada korelasi positif anatara perubahan nilai astigmatisme
dan perubahan nilai logMar (R = 0.344, P < 0.001, analisis korelasi spearman).
Perubahan nilai astigamtisme tidak berhubungan dengan metode bedah (R =
-0.141, P = 0.056, analisis korelasi spearman). Juga, tidak ada korelasi dengan
perubahan nilai logMar dan jenis pembedahan (P = 0.042, P = 0.570, analisis
korelasi spearman).

Diskusi
Pterigium mungkin menyebabkan kornea mendatar ke apex. Astigmatisme yang
diinduksi dijelaskan oleh beberapa mekanisme : lubuk film air mata pada tepi
atas pterigium dan mekanisme penarikan dilakukan oleh pterigium pada kornea.
Laporan awal, hasil pterygium pada astigmatisme kornea tinggi, yang menurun
setelah eksisi. Berdasarkan studi saat ini, kami menemukan bahwa derajat
astigmatsime menurun secara signifikan setelah eksisi, dan penurunan ini
berhubungan dengan ukuran pterigium. Ukuran mempengaruhi perubahan
astigmatisme begitu juga dengan derajat astigmatisme pasca operasi. Kami juga
menemukan bahwa perubahan derajat astigmatisme secara positif berhubungan
dengan perubahan ketajaman penglihatan. Di sisi lain, jenis cangkok seperti
CAG, CRF, atau AMT atau penggunaan benang atau lem untuk memfiksasi
cangkok tidak mempunyai efek signifikan pada perubahan derajat astigmatisme.
Komponen refraksi didemonstrasikan untuk menstabilkan pada 1 bulan setelah
pembedahan pterigium. Bagaimanapun juga, pada studi saat ini, kami
memasukkan hasil 3 bulan pasca operasi untuk meyakinkan bahwa refraksi
stabil. Keratometri konvensional mengevaluasi kekuatan refraksi kornea dari 3
atau 4 poin data. Hence, banyak penulis menyarankan penggunaan topografi
kornea pada evaluasi perubahan astigmatisme setelah pembedahan pterigium.
Sejak saat itu studi retrospektif dan kami tidak dapat menunjukkan topografi
kornea pada semua kasus, kami telah memilih untuk hanya memasukkan nilai
keratometri.
Peningkatan ketajaman penglihatan diharapkan setelah eksisi pterigium. Ini
dilaporkan bahwa BCVA meningkat dari 0.53 sampai 0.68. Berdasarkan hal itu,
kami mengamati penurunan nilai logMar dari 0.38 sampai 0.13. Pada studi yang
sama, penurunan nilai logMar secara signifikan dari 0.41 sampai 0.24 pada 27
mata (P = 0.000).
Lin dan stern menemukan korelasi signifikan antara ukuran pterigium dan
astigmatsime kornea. Ini juga disarankan bahwa pterigium diperluas lebih dari
45 % diameter kornea result in peningkatan derajat astigmatisme. Mohammad –
salih dan asisten mempelajari perluasan pterigium, pelebaran, dan area total dan
menyelidiki hubungan mereka dengan astigmatisme kornea. Diantara 3,
extension memiliki korelasi paling signifikan dan kuat dengan astigmatisme (P
= 0.462, P < 0.001, analisa korelasi pearson). Penulis melaporkan bahwa
pterigium lebih luas dari 2.2 mm perluasan mungkin berkontribusi pada
astigmatisme kornea > 2 D. Hal ini dilaporkan bahwa astigmatisme signifikan
meningkat dengan peningkatan ukuran pterigium. Kampitak menyimpulkan
bahwa jumlah astigmatisme kornea yang diinduksi dan waktu untuk eksisi
pterigium berhubungan dengan ukuran pterigium dan melaporkan bahwa hasil
pterigium 2.25 mm pada astigmatisme 2 D dan harus dipertimbangkan
keterbatasan pembedahan. Berdasarkan hal ini, seitz dkk menyimpulkan bahwa
ukuran pterigium dari 0.25 mm meningkatkan astigmatisme sebelum operasi,
selain itu, penulis percaya bahwa pembedahan harus ditunjukkan sebelum
mencapai batas poin. Studi saat ini, kami mebandingkan ukuran pterigium
dengan perubahan pada astigmatisme dan menemukan korelasi signifikan (P <
0.001). Perbedaan utama pada perubahan astigmatisme antara ukuran 2 mm dan
5 mm dan 6 mm. Selain itu, kami setuju dengan laporan sebelumnya bahwa
lebih baik menyingkirkan pterigium saat ukuran panjang horizontal mencapai 2
mm.
Pada studi retrospektif, videokeratografi berubah pada 55 mata dievaluasi dan
ditemukan bahwa bedah pterigium secara signifikan menurunkan refraksi
astigmatisme dari 3.12 sampai 2.51 (P = 0.05). Juga, beberapa laporan
menunjukkan penurunan astigmatisme kornea. Kami juga menemukan
penurunan astigmatisme kornea dari 3.47 D sampai 1.29 D. Perbedaan rata –
rata pada perubahan astigmatisme kornea adalah 2.18 ± 2.34 D, dan penurunan
ini signifikan secara statistik (P < 0.001). Bedah pelepasan pterigium dapat
memperbaiki perubahan; bagaimanapun juga, mata dengan pterigium yang
sudah berkembang, distortion kornea tidak normal secara utuh dan perubahan
ireguler mungkin menetap jika lesi telah mencapai parasentral kornea. Beberapa
faktor lain, seperti perubahan stroma kornea dan membran bowman, disarankan
untuk menanggung perubahan refraksi menetap pada mata setelah pembedahan
pterigium.
Kami menemukan korelasi signifikan antara nilai astigamtisme sebelum dan
pasca operasi (p = 0.351, P < 0.001). Kontra dengan hasil kami, beberapa studi
menunjukkan tidak ada hubungan antara 2 parameter. Kontradiksi munkin
dihubungkan dengan sejumlah banyak pasien yang terlibat, dan ukuran
horizontal pterigium lebih luas pada studi saat ini. Sama dengan hasil kami, Wu
dkk menemukan korelasi signifikan antara perbedaan pada kekuatan refraksi
silindris sebelum dan sesudah operasi.
Sejak eksisi primer dengan teknik sklera polos memiliki tingkat kekambuhan
tinggi, saat ini banyak dokter bedah lebih memilih cangkok conjunctiva atau
transplantasi membran amnion. Juga saat ini, penggunaan lem fibrin disarankan
sebagai alternatif pengganti benang dan penggunaannya meningkat. Hasil dan
tingkat kekambuhan dari teknik pembedahan yang berbeda dipelajari pada
beberapa laporan. Bagaimana pun juga, pengaruh dari pembedahan yang
berbeda muncul pada astigmatisme. Frau dan asisten memperhatikan setelah
pembedahan, astigmatisme exceeded lebih dari 3 D pada 7 pasien dan tidak
mengubah secara dramatis pada rest 109 mata mereka dengan cangkok kornea
conjunctiva. Yilmaz dkk membandingkan perubahan astigmatisme mengikuti
perbedaan jenis pembedahan termasuk cangkok conjunctiva, cangkok limus
conjunctiva, sklera polos, dan sklera polos dengan mitomycin. Penulis
emenmukan perbedaan statistik antara kelompok untuk rata – rata topografi
astigmatisme dan astigmatisme induced-dengan pembedahan (P = 0.003 dan
0.030, secara respektif). Pada studi tersebut, perbedaan rata – rata antara sklera
polos dan tehnik cangkok dimana astigmatisme pasca operasi lebih kecil saat
terbentuk. Pada studi saat ini, kami menemukan tidak ada perbedaan pada
perubahan astigmatisme pasca operasi antara tehnik pembedahan yang berbeda.
Perbedaan utama antara 2 studi (kami dan yilmaz dkk) pengukuran
astigmatisme pada studi saat ini menggunakan keratometri. Perbedaan lainnya
pada tehnik pembedahan. Kami tidak menggunkan tehnik sklera polos. Juga,
cangkok limbus tidak masuk dalam studi. Semua 5 metode yang dilibatkan
dalam studi ini termasuk tipe cangkok atau penutup baik pengaman dengan
benang atau lem fibrin.
Kesimpulan, pterigium result in astigmatisme kornea tinggi yang meningkat
dengan dengan peningkatan panjang horizontal, dan penurunan untuk level yang
bisa diterima setelah eksisi. Kami menemukan korelasi signifikan antara nilai
astigmatisme begitu juga dengan perubahan astigmatisme dengan pembedahan.
Berdasarkan studi ini, jenis cangkok seperti CAG, CRF, atau AMT atau
penggunaan benang atau lem untuk memfiksasi cangkok tidak memiliki
pengaruh signifikan pada derajat perubahan astigmatisme. Studi prospektif lebih
lanjut dengan pengukuran topografi dan jumlah pasien yang banyak adalah
jaminan untuk mengevaluasi topik ini secara mendetail.

Anda mungkin juga menyukai