Anda di halaman 1dari 24

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Patient Safety


2.1.1.Pengertian

Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem

dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut

meliputi : assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang

berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi

dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang

seharusnya dilakukan.( Depkes,2008)

Menurut The National Patient Safety (2003), keselamatan pasien

adalah proses yang dijalankan oleh organisasi yang bertujuan membuat

layanan kepada pasien menjadi lebih aman. Proses tersebut mencakup

pengkajian risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan

analisa insiden, dan kemampuan belajar dari suatu kejadian,

menindaklanjuti suatu kejadian, dan menerapkan solusi untuk

meminimalkan risiko berulangnya kejadian serupa.

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah

sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko,
12

identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko

pasien,pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan

tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya

risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan

akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil. (KemMenkes , 2011 ).

2.1.2 Tujuan patien safety


Menurut Komite Keselamat Pasien Rumah Sakit ( KPRS ), tujuan

keselamatan pasien di rumah sakit adalah

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS


2. Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya KTD di RS
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan KTD ( Depkes, 2006 )


2.1.3 Langkah keselamatan Pasien
Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPRS ), tujuh program

keselamatan pasien di rumah sakit antara lain :


1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan

kepemimpinan dan budaya kerja yang terbuka serta adil.


2. Pimpin dan dukungan staf.
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan system pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara – cara

komunikasi yang terbuka dengan pasien.


6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi system keselamatan pasien.
2.1.4 Sasaran keselamatan Pasien

Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan

disemua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
13

Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life Saving Patient Safety

Solutions dari WHO patient safety ( 2007 ) yang digunakan juga oleh Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI) (Menkes, 2011 )

yaitu :
1) Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
2) Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang efektif
3) Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat Yang perlu diwaspadai
( High Alert )
4) Sasaran IV : Kepastian Tepat Lokasi, Tepat prosedur, Tepat pasien
Operasi
5) Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi terkait Pelayanan Kesehatan
6) Sasaran VI : Pengurangan Risiko Jatuh.

2.1.5 Standar Pasien Safety

Standar I. Hak pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi

tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya

Kejadian Tak Diharapkan(KTD).

Kriteria:

a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.

b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana

pelayanan.

c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan

secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana

dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk

kemungkinan terjadinya KTD.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.


14

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan

tanggung pasien dalam asuhan pasien.

Kriteria:

Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan

dengan keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses

pelayanan. Karena itu di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme

mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab

pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut di harapkan

pasien dan keluarga dapat :

a. Memberi informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.

b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.

c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.

d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.

e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.

f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.

Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin

koordinasi ntar tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria:
15

a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien

masuk, pemeriksaan, diagnosis perencanaan pelayanan, tindakan

pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

b. Terdapat koordinasi pelayanan yang di sesuaikan dengan kebutuhan

pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga

pada seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat

berjalan baik dan lancar.

c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi

untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan,

pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer

dan tindak lanjut lainnya.

d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan

sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman

dan efektif.

Standar IV.

Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang

ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,

menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk

meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria:

a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perencanaan yang baik,

mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien
16

petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang

sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai

dengan ”7 langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”

b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja antara lain

yang terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, menejemen resiko,

utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.

c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan

semua KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses

kasus resiko tinggi.

d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil

analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan, agar

kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

Standar V.

Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan

pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”7 langkah

menuju keselamatan pasien rumah sakit”

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi

risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi

KTD/KNC
17

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar

unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang

keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,

mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan

keselamatan pasien.

e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam

meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien

Kriteria:

a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.

b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan

program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis kejadian yang

memerlukan perhatian, mulai dari KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near

miss) sampai dengan KTD/Kejadian Tak Diharapkan (Adverse event)

c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari

rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan

pasien.

d. Tersedia prosedur ”cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan

kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain

dan penyampaian informasi yang benar dan jalas untuk keperluan analisis.

f. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan

insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang


18

analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan

pasien mulai di laksanakan.

g. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan

proaktif untuk memperkecil resiko, termasuk mekanisme untuk

mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian.

h. Terdapat kolaburasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan

antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan

antar disiplin.

i. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang di butuhkan dalam

kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan

Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya

tersebut.

Standar VI.

Mendidik staf tentang keselamatan pasien.

a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk

setiap jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien

secara jelas.

b. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta

mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.

Kriteria:
19

a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan

orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien

sesuai dangan tugasnya masing- masing.

b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien

dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas

tentang pelaporan insiden.

c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama

kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaburatif

dalam rangka melayani pasien.

Standar VII.

Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

a. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi

keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan

eksternal

b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria:

a. Perlu di sediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses

manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal- hal

terkait dengan keselamatan pasien.

b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk

merevisi manajemen informasi yang ada.


20

2.2. Insiden Keselamatan Pasien


2.2.1 Pengertian

Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden

adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang

mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah

pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera,

Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera. (

Permenkes Nomor 1691, Tahun 2011).

2.2.1. Jenis – jenis Insiden Keselamat Pasien


Berdasarkan Permenkes N0. 1691 tahun 2011 tentang Keselamatn Pasien

Rumah Sakit mencakup :


1) Kejadian tidak diharapkan ( KDT )
Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pada

pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil

tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit

dasarnya atau kondisi pasien


2) Kejadian Tidak Cedera ( KTC )
Suatu insiden yang sudah terpapar kepasien, tetapi tidak menyebabkan

cedera
3) Kejadian Nyaris Cedera ( KNC )
4) Kejadian nyaris cedera adalah terjadinya insiden yang belum sempat

terpapar kepasien.
5) Kejadian Potensial Cedera
Kondisi yang sangat potensial untuk terjadinya cedera, tetapi belum

terjadinya insiden.
6) Kejadian Sentinel
21

adalah suatu KDT yang menyebabkan kematian atau cedera yang

serius. ( Kemenkes, 2011 )

2.3. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap keselamatan pasien


Faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya keselamatan pasien adalah :

faktor eksternal / luar rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen, faktor

lingkungan kerja, faktor tim, faktor petugas dan kinerja, faktor pasien dan faktor

komunikasi (Depkes,2008 ).
Henriksen,et. Al (2008) mengemukakan bahwa faktor yang berkontribusi

terhadap insiden keselamatan pasien adalah faktor manusia yang meliputi

interaksi yang kurang, kesalahan dalam memngambil keputusan klinis, salah

persepsi, pengetahuan manusia, keterbatasan mengoperasional alat dan mesin,

system, tugas dan pekerjaan


Menurut Agency for Helthcare research and Quality/AHRQ ( 2003 ) faktor

yang dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien adalah komunikasi, arus

informasi yang tidak adek kuat, masalah SDM, hal – hal lain yang berhubungan

dengan pasien, transfer pengetahuan di rumah sakit, alur kerja, kegagal tehnis,

kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat. WHO menyatakan ada empat yang

sangat berhubungan dengan insiden keselamatan pasien adalah faktor organisasi,

faktor sifat dari pekerjaan, faktor lingkungan dan faktor individu


2.3.1 Karakteristik individu
Faktor – faktor yang berkontribusi pada insiden keselamatan

pasien terlihat bahwa karakteristik individu merupakan faktor yang berada

pada barisan terdepan yang memiliki dampak secara langsung pada mutu

pelayanan dan meskipun mutu tersebut masih kemungkinan


22

dipertimbangkan untuk dapat diterima atau masih di bawah standar baku.

Karakteristik individu termasuk diantaranya adalah kualitas yang dibawa

individu tersebut kedalam pekerjaan seperti pengetahuan, tingkat

ketrampilan, pengalaman, kecedarsanan, kemampuan mendeteksi,

pendidikan dan pelatihan dan bahkan sikap seperti kedewasaan, kelelahan

dan motivasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Astrianty(menunjukkan responden

dengan komunikasi kurang efektif (80%), persepsi kurang terhadap SOP

(57%), kerjasama tim kurang (40%), persepsi kurang terhadap supervisior

(75%), gangguan tinggi selama bekerja (47%), pengetahuan kurang (100%),

stres kerja tinggi (100%), kelelahan kerja tinggi (54%), dan usia ≤25 tahun

(38%) pernah melakukan kesalahan yang menyebabkan Insiden Keselamatn

Pasien. Bedasar pendapat Robbins et al. menyatakan bahwa staf dengan

usia muda umumnya memiliki keunggulan dalam fisik yang lebih kuat,

dinamis, dan kreatif namun memiliki kekurangan 8 karena cepat bosan,

kurang tanggung jawab, dan turn over tinggi. Staf dengan usia lebih tua

kondisi fisiknya kurang tetapi bekerja lebih ulet, tanggung jawab besar, dan

turn over rendah.


Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Zulkifli B.(2014)

tentang hubungan pengetahuan dan Motivasi Perawat dengan pelaksanaan

Identifikasi Patient Safety di Instalasi Rawat Darurat RSUD PROF DR. H.

ALOEI SABOE KOTA GORONTALO didapatkan ada hubungan antara

pengetahuan dan motivasi perawat dengan pelaksanaan identifikasi patient


23

safety di ruang Instalasi Rawat Darurat RSUD Prof DR. H. Aloei Saboe Kota

Gorontalo. Dengan nilai pengetahuan p value = 0,001 dan nilai Odds Ratio =

44,0 dan nilai motivasi p value = 0,000 dan nilai Odds Ratio = 176,0.
2.3.2 Faktor Organisasi, Lingkungan Sosia dan Lingkungan Fisik
Lingkungan organisasi merupakan lingkungan manusia di dalam organisasi

melakukan pekerjaan mereka. Pengertian ini dapat mengacu lingkungan

suatu departemen, unit perusahaan yang penting seperti pabrik, cabang

atau suatu organisasi secara keseluruhan. Iklim lingkungan organisasi adalah

konsep system yang dramatis ( Darvis, 1996 ).


Lingkungan pekerjaan yakni lingkungan organisasi rumah sakit dapat

menentukan kualitas dan keamanan pelayanan perawat kepada pasien.

Sebagai jumlah tenaga terbesar dalam ketenagaan, kesehatan, perawat

mengaplikasikan pengetahuan ketrampilan dan pengalaman untuk

memberikan variasi dan perubahan kebutuhan pasien.


Peran perawat dalam keselamatan pasien yaitu memelihara keselamatan

pasien melalui transformasi lingkungan keperawatan yang lebih mendukung

keselamatan pasien dan peran perawat dalam keselamatan pasien melalui

penerapan standar keperawatan (IOM,2000)


Yang terkait dengan faktor lingkungan fisik meliputi pencahayaan,

suara, temperatur atau suhu ruangan tata ruang, ventilasi, pengelolaan

gedung rumah sakit harus benar – benar memikirkan keselamatan baik bagi

pasien maupun keselamatan lingkungan seperti yang sudah diatur di dalam

Permenkes nomor 1204/SK/X/2004 tentang Persyaratan kesehatan

lingkungan Rumah sakit.


24

Keuntungan dari lingkungan fisik kerja yang sengaja dirancang

untuk sifat dasar pekerjaaan yang dilakukan telah dipahami dengan baik

pada industri lain yang beresiko tinggi selama bertahun – tahun. Baru –

baru ini profesi pelayanan kesehatan telah mulai mengapresiasikan

hubungan antara lingkungan fisik dan petugas seperti efesiensi,

pengurangan kesalahan dan kepuasan kerja.


2.3.3 Faktor Interaksi antar Sistem dan Manusia
Ynag termasuk dalam faktor ini meliputi perlengkapan dan atau

peralatan medis, lokasi atau peralatan alat – alat, pengontrolan alat,

pengontrolan perangkat lunak, penguasaan kertas kerja, penguasaan

teknologi informasi. Kesalahan sangat jarang disebabkan oleh faktor

kesalahan manusia secara individual, namun lebih banyak disebabkan

karena kesalaham system di rumah sakit yang menyebabkan rantai dalam

system terputus ( Walshe Boaden, 2006).


Interaksi sistem dan manusia menunjuk pada tata dimana dua

sistem berinteraksi atau berkomunikasi dalam ruang lingkup sistem.

Perawat menggunakan perangkat medis dan peralatan secara intensif dan

dengan demikian memiliki banyak pengalaman. Tetapi seringkali terdapat

kesesuaian yang kurang antara desain kontrol dan tampilan dengan

kemampuan serta pengetahuan dari pengguna atau perawat itu sendiri


Selain itu faktor yang berkontributor menyebabkan insiden

keselamatan pasien salah satunya adalah komunikasi yaitu komunikasi

verbal dan tertulis dalam hal ini komunikasi antar perawat, perawat dengan

dokter, perawat dengan pasien dan perawat dengan profesi lainnya. Sesuai
25

standar keselamatan pasien rumah sakit yang terdiri dari tujuh standar

yang salah satunya adalah komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk

mencapai keselamatan pasien. Rumah sakit apabila tidak memperdulikan

dan tidak menerapkan keselamatan pasien akan mengakibatkan dampak

menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang

ada dan berakibat penurunan mutu pelayanan rumah sakit. (Cahyono,

2008)`
Agency for Healthcare Research and Quality/AHRQ203

mengungkapakn masalah komunikasi seperti kagagalan komunikasi verbal

dan non verbal, mis komunikasi antar staf, antar shif, komunikasi yang tidak

terdokumentasi dengan baik merupakan hal yang dapat menumbulkan

kesalahan. Penelitian yang dilakukan oleh Manojlovin (2007) mengatakan

bahwa buruknya komunikasi antara dokter dan perawat merupakan salah

satu penyebab insiden atau kejadian yang tidak diharapkan yang dialmi

pasien yang berdapak buruk pada kematian pasien.


Menurut Suarli (2010) pada saat timbang terima diperlukan suatu

komunikasi yang jelas tentang kebutuhan klien terhadap apa yang sudah

dan belum diintervensi serta respon pasien yang terjadi. Perawat

melakukan timbang terrima bersama dengan perawat lainnya dengan cara

berkeliling kesetiap pasien dan menyampaikan kondisi pasien secara akurat

di dekat pasien sehingga kesinambungan asuhan keperawatan dapat

berjalan dengan sempurna. Serah terima termasuk memindahkan tanggung

jawab dari satu orang atau tim petugas ke orang atau tim petugas lain. Pada
26

saat serah terima ada kesempatan bertanya termasuk verifikasi informasi

yang diterima.

Berdasarkan Penelitian Siti Nur Qomariah (2015) tentang

“Hubungan Faktor Komunikasi dengan Insiden Keselamatan Pasien di

Rumah Sakit Muhammadiyah Gresik” dimana ada hubungan komunikasi

perawat dan Pasien dengan Insiden Keselamatan Pasien (ρ = 0,000).

2.3.4 Faktor Kepemimpinan (Manajemen)


Faktor ini terdiri dari budaya keselamatan pasien,kemudahan akses

personal, pengembangan karyawan. kemampuan kepemimpinan, kebijakan

pimpinan dalam hal SDM, financial, peralatan dan teknologi. membangun

budaya kesadaran akan nilai keselamatan pasien, menciptakan

kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil merupakan langkah

pertama dalam menetapkan keselamat pasien di ruamah sakit

( Depkes,2008 ).
Kondisi yang tidak terencana dengan baik, kurang tepatnya

keputusan atau tidak mengambil suatu tindakan berkaitan dengan

manajemen dan siapapun yang berada pada jajaran pengembil keputusan

adalah periode laten karena semua itu terjadi sejak sangat lama, jauh dari

tindakan pada akhir lancip.

Menurut Depkes (2008) faktor manajemen terdiri dari struktur

organisasi, budaya safety, kepemimpinan, staffing, dan seterusnya. Sutarto

(2001) mendefinisikan kepemimpinan sebagai rangkaian kegiatan penataan

berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi


27

tertentu agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

Menurut Lensufiie (2010) ada enam ciri khusus kepemimpinan,

yaitu sebagai berikut :

1. Bersedia mengambil resiko;

2. Selalu menginginkan pembaruan;

3. Bersedia mengurus atau mengatur;

4. Punya harapan yang tinggi;

5. Menjaga sikap positif;

6. Selalu berada dimuka.

2.3.5 Lingkungan eksternal


Yang termasuk lingkungan eksternal adalah pengetahuan dasar,

demografi, teknologi terbaru, kebijakan pemerintah, tekanan ekonomi.

tekanan eksternal dapat memberikan dampak terhadap usaha

meningkatkan keselamatan pasien.Tekanan eksternal dapat beru dan

keselamatan pasie tuntutan hukuman, tuntutan masyarakat terhadap

mutu.
2.3.6 Pengetahuan

Definisi pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil

tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimiliki yaitu: mata,
28

hidung, telinga dan sebagainya . Kemampuan pengetahuan (knowledge)

merupakan hasil dari tahu melalui enginderaan terhadap suatu obyek

tertentu dan sangat penting terhadap terbentuknya tindakan seseorang.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melali pancaindra manusia, yakni penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2007).

Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan

melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecap.

Pengetahuan akan memberikan penguatan terhadap individu dalam

setiap mengambil keputusan dan dalam berperilaku (Setiawati, 2008).

Menurut teori Green dalam Notoadmojo (2010) menganalisis

perilaku manusia dari tingkat kesehatan dimana kesehatan seseorang

atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku

(Behavior Causes) dan faktor diluar perilaku (Non Behavior Causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor,

yaitu faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors) yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai. Kemudian

faktor-faktor pendukung (Enabling Factors) yang terwujud dalam


29

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

saran-sarana kesehatan misalnya; dan faktor-faktor pendorong

(reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas

kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan, (Notoadmodjo, 2007). Yaitu :

1) Tahu (know).

Tahu diartikan sebagai mengingat materi yang telah

dipelajari sebelumnya, termasuk kedalam tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima.

2) Memahami (Comprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan

dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi (Application).

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari atau situasi atau kondisi riil

(sebenarnya), aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau


30

penggunaan hukum – hukum, rumus metode, prinsip dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4) Analisis (Analysis).

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek kedalam komponen – komponen tetapi masih

dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada

kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (Syntesis).

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu

bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis itu

suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi

– formulasi yang ada.

6) Evaluasi (Evaluation).

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

jurtifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (overt behavior). Dari pengalaman prilaku didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan.Sebelum orang mengadopsi prilaku baru di dalam

diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu:


31

1) Awareness(kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).


2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.

Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.


3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden

sudah lebih baik lagi.


4) Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus


5) Adoption, di mana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Berdasarkan hasil Penelitian Ariani (2008) tentang “Analisis

Pengetahuan dan Motivasi Perawat yang Mempengaruhi Sikap

Mendukung Penerapan Program Patient Safety Di Instalasi Intensif RSUD

Dr. Moewardi Surakarta” didapatakan pengetahuan perawat pelaksana

tentang konsep patient safety baik (76,3%), ada hubungan antara

pengetahuan perawat dengan sikap mendukung penerapan program

patient safety di Instalasi Perawatan Intensif RSUD Dr. Moewardi

Surakarta (x 2 : 76,00 p = 0,000. Sri (2013) berpendapat tingkat

pengetahuan perawat juga dipengaruhi oleh pengalaman bekerja dan

pelatihan dan lama kerja.Tanpa pelatihan yang terorganisir maka

pengetahuan yang ada tidak dapat dimanfaatkan, sebab mungkin jadi

insiden yang dilakukan oleh petugas kesehatan yang memiliki

pengetahuan baik bisa saja disebabkan karena kurangnya pelatihan


32

ataupun masa kerja yang singkat sehingga belum mampu untuk

menerapkan pengetahuan yang ada.

2.4 Manajemen Keperawatan


Manajemen keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui

anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan perawatan,

pengobatan dan bantuan terhadap para pasien. Sementara tugas manajer

keperawatan adalah merencanakan, mengorganisir, memimpin serta

mengontrol keuangan, material dan sumber daya manusia yang ada untuk

memberikan perawatan seefektif mungkin bagi setiap pasien dan

keluarganya.
2.4.1 Pengertian Perawat
Perawat adalah orang yang memberikan pelayanan / asuhan

keperawatan berdasarkan data hasil pengkajian sampai pada evaluasi hasil

baik medic maupun biopsikososial spiritual ( Ali,H-Z-2002 ).


Menurut Kepmenkes RI Nomor 1239 tahun 2001 tentang registrasi

dan praktik perawat, perawat adalah seseorang yang lulus pendidikan

perawat baik didalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.


2.4.2 Peran Perawat
a. Sebagai Pemberi asuhan Keperawatan ( Care Giver )
b. Sebagai pembela untuk melindungi klien ( Client advocator )
c. Sebagai pemberi bimbingan / konseling (counselor )
d. Sebagai pendidikan klien ( Educator )
e. Sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama

dengan tenaga kesehatan lainnya ( collaborator)


33

f. Sebagai coordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi

klien
g. Sebagai pembaharu yang selalu dituntut untuk mengadakan perubahan

– perubahan ( Change agent )


h. Sebagai sumber informasi yang membantu memecahkan masalah klien

(Consultan).
2.5 Kerangka Teoritis
Merujuk pada model system Henriskey, Kaye, Morisseau ( 1993)

dalam Henriksen,Kern,et.al (2008) , Depkes (2008) bahwa elemen - elemen

yang terkait pada kejadian insiden keselamatan pasien faktor karakteristik

individu, faktor lingkungan fisik, organisasi dan sosial , interaksi sistem

manusia , manajemen,faktor lingkungan eksternal dan faktor pasien.

Depkes (2008)
 faktor eksternal / luar rumah sakit
 faktor organisasi dan manajemen
 faktor lingkungan kerja K
 faktor tim, faktor petugas dan
Henriksen,et. kinerja
Al (2008) E
 faktor
faktor pasien dan faktor komunikasi S
manusia yang meliputi interaksi yang
E
kurang,
L
 kesalahan dalam mengambil keputusan klinis A
 salah persepsi M
Menurut Agency for Helthcare research and
 pengetahuan manusia
Quality/AHRQ ( 2003 ) A
 keterbatasan mengoperasional alat dan mesin,
faktor organisasi T
system,sifat
 faktor tugas dan
dari pekerjaan
pekerjaan Gambar 2.1 A
N
 faktor lingkungan dan faktor individu
Kerangka Teori Penelitian

2.6 Penelitian Terkait sebelum P


A
2.6.1 Dede Sri Mulyana (2013), Analisis Penyebab Keselamatan Pasien Oleh
S
I
Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit “ X” Jakarta, Hasil penelitian
E
N
menunjukkan karakteristik individu yang terdiri dari usia, masa kerja dan

kompetensi menunjukkan adanya hubungan yang siqnifikan terhadap


34

kejadian IKP dengan nilai P value masing – masing 0.0028,0.010, 0.028 dan

0,012. Dengan variable yang paling berpengaruh adalah terhadap kejadian

IKP adalah karateristik individu.

2.6.2 Tri Puji Astuti (2013), Analisis penerapan Manajemen Pasien Safety Dalam

Rangka peningkatan Mutu Pelayanan Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Surakarta, 2013. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penerapan

manajemen pasien safety sudah terlaksana dengan baik, meliputi tujuh

langkah penerapan manajemen pasien safety yang sudah terlaksana

dengan kekurangan belum adanya pertemuan rutin membahas pasien

safety, belum adanya timbal balik dari KKPRS, peran PMKP secara

independen dalam menjalankan tugasnya.

Anda mungkin juga menyukai