BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
menilai kinerja irigasi menggunakan konsep fuzzy, yaitu: Fuzzy AHP (menggabungkan
konsep Fuzzy dan Hirarki) dan Fuzzy MCDA mendapatkan hasil yang lebih mendekati
penilaian yang dilakukan manusia (humansitik), serta mempercepat waktu perhitungan.
Rini Wahyu Sayekti, dkk. (2012) evaluasi kinerja suatu daerah irigasi dapat
dilihat dari segi fisik dan non fisik yang terdiri dari penerapan pola tata tanam dan teknik
pemberian air. Teknik pemberian air adalah keseragaman, efisiensi pemberian air, dan
kecukupan. Mengetahui kinerja daerah irigasi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
air irigasi di daerah yang membutuhkan. Evaluasi kinerja irigasi dimaksudkan agar ada
perbaikan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hasil kinerja irigasi yang lebih baik
dan optimal. Serta menyarankan bahwa penelusuran saluran dan bangunan irigasi pada
sebuah jaringan irigasi sebaiknya rutin dilaksanakan, agar tetap bisa mengontrol secara
fisik dan mendapat manfaat terhadap existing sebuah jaringan irigasi. Februarman
(2009) mengatakan bahwa mengalirkan air dari sumbernya (intake) ke areal persawahan
diperlukan saluran irigasi. Hal yang sama disampaikan Martana (2008) dalam
penelitiannya, bahwa air irigasi tidak begitu saja dapat dialirkan ke petak-petak sawah,
melainkan harus melalui suatu sistem jaringan irigasi yang terdiri dari saluran dan
bangunan air irigasi tersebut adalah bangunan pengambilan (intake). Menurut Fanny
Dwiyulitasari Edwar, dkk. (2013) kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi dapat
mempengaruhi distribusi air ke petak-petak sawah, bila kondisi ini dibiarkan terus-
menerus akan berdampak terhadap penurunan produksi pertanian. Pengoptimalan daerah
irigasi perlu disusun skala prioritas pemeliharaan baik rutin, berkala, dan darurat,
sehingga umur manfaat dari saluran dan bangunan irigasi tercapai tanpa pemeliharaan
atau rehabilitasi secara besar-besaran.
Penelitian yang dilakukan Bolanos, M.G. et al. (2011) menilai kinerja 22
jaringan irigasi kecil dan menengah yang dikelola masyarakat di sepanjang tepi
Mauritania Sungai Senegal, Sub-Saharan Afrika menggunakan Proses Penilaian Cepat
dengan wawancara semi-terstruktur dengan perwakilan dari masing-masing jaringan
irigasi yang terdiri dari: organisasi koperasi, kepemilikan lahan, sistem irigasi dan
kelembagaan/organisasi, pola tanam dan tanah. Selain itu, untuk setiap jaringan irigasi
layanan pemberian air dilakukan pengamatan kualitatif dan komparatif selama inspeksi
7
di lapangan, kinerja stasiun pompa dievaluasi oleh seorang ahli, pengukuran debit di
hulu sistem, pencatatan waktu irigasi harian dan hasil panen dengan plot sampling. Hasil
penilaian menunjukkan kapasitas penyaluran air pada daerah irigasi tidak cukup di
sepertiga jaringan, dan ketidakcukupan dipengaruhi pemeliharaan yang buruk.
Karatas, B.S. et al. (2009) menilai kinerja sistem irigasi menggunakan teknik
penginderaan jauh pada Perkumpulan Pemakai Air (Water User’s Associations/WUAs)
di Lower Gediz Basin, Turki Barat berdasarkan lima indikator, yaitu overall consumed
ratio (ep), relative water supply (RWS), depleted fraction (DF), crop water deficit
(CWD), and relative evapotranspiration (RET). Parameter evapotranspirasi potensial
dan aktual digunakan dalam menentukan indikator diperkirakan sesuai dengan Surface
Algoritma Neraca Energy Land (SEBAL) menggunakan metode NOAA-16 gambar
satelit. Hasil nilai rata-rata musiman semua indikator kinerja menunjukkan pemberian
air irigasi kurang dari yang dibutuhkan Perkumpulan Pemakai Air. Kedekatan dengan
sumber bisa menjadi keuntungan dalam memperoleh air dan ketika air tidak mencukupi,
air tanah di daerah akar tanaman dapat digunakan, sebagai akibat dari curah hujan
dan/atau irigasi yang tidak efisien sebelumnya.
Dibeberapa negara pemerintah menyerahkan pengelolaan air irigasi ke
Perkumpulan Pemakai Air (WUAs). Kinerja pengelolaan air irigasi dinilai dengan
pendekatan terpadu. Membandingkan penilaian kinerja 4 (empat) Perkumpulan Pemakai
Air yang mengambil alih pengelolaan air irigasi di Saluran Tepi Kiri Proyek Irigasi Rani
Avanti Bai Sagar (RABSP), Jabalpur, India menggunakan 4 (empat) indikator, yaitu:
pemberian air, pemeliharaan, keuangan dan keberlanjutan. Hasil penilaian digunakan
untuk mencari pengelolaan terbaik, ide kreatif, dan prosedur operasi yang sangat efektif
berdasarkan pengalaman untuk meningkatkan kinerja pengelolaan air irigasi (Chouhan,
S.S. et al., 2015).
Mattamana, B.A. et al. (2013) menyatakan bahwa sebuah sistem dapat diterima
bila pemberi dan penerima puas. Sudut pandang dari penerima yaitu petani puas ketika
air irigasi yang tersedia dapat diandalkan dan memenuhi kebutuhan air irigasi, sedang
sudut pandang pemberi yaitu pengelola sistem irigasi puas ketika sistem mampu
menghemat dan mendistribusikan air irigasi secara merata sesuai kebutuhan. Sebagai
8
indikator menilai kinerja sistem irigasi dari sudut pandang petani terdiri dari kecukupan
kebutuhan air, kehandalan, dan kekurangan air irigasi. Ketiga indikator tersebut dapat
membantu petani untuk mengidentifikasi apakah air sampai atau tidak pada lahan
pertanian dalam jumlah yang memadai dan tepat waktu; dari sudut pandang pengelola
sistem irigasi terdiri dari efisiensi, keadilan dan pemborosan yang dapat membantu
pengelola sistem irigasi mengontrol sistem penyaluran air ekonomis. Penelitian yang
sama juga dilakukan Kuscu, H. et al. (2009) dengan indikator kinerja berdasarkan
kepuasan petani sebagai indikator kinerja sosial, sedangkan indikator kinerja fisik dan
keuangan menunjukkan kinerja pengelolaan air irigasi, dan sebagai faktor penentu
menggunakan Model Logit. Indikator-indikator tersebut dilaksanakan 2 (dua) tahap pada
jaringan irigasi Bursa-Karacabey (KIS), Turki Barat. Pada tahap pertama, kinerja
pengelolaan air irigasi dinilai menggunakan 2 (dua) indikator fisik, yaitu rasio irigasi
rata-rata dan pasokan air relatif dan 3 (tiga) indikator kinerja keuangan, yaitu kecukupan
keuangan manajemen anggaran, operasi dan pemeliharaan, dan jumlah staf per satuan
luas. Pada tahap kedua pengelolaan air irigasi diuji dan dinilai dengan Model Logit,
mengambil persepsi petani tentang kepuasan layanan irigasi, yaitu kebijakan biaya
irigasi dan pemeliharaan irigasi dan saluran drainase. Salah satu alasan kinerja sistem
irigasi tidak tercapai, karena peningkatan kinerja ditekankan pada infrastruktur fisik dan
mengabaikan dimensi sosial, maka pengelolaan irigasi partisipatif dimasukkan dalam
operasi sistem irigasi.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi cara meningkatkan
kinerja sistem irigasi. Banyak tolak ukur dan parameter yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kinerja irigasi, dalam penelitian ini akan menggunakan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 Tanggal 11 September 2007 tentang Pedoman
Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Evaluasi kinerja sistem irigasi adalah untuk
mengetahui kondisi sistem irigasi yang meliputi:
1. Kondisi keberfungsian prasarana bangunan irigasi yang meliputi kondisi:
bangunan utama, saluran pembawa, bangunan pada saluran pembawa, saluran
pembuang, jalan inspeksi, dan kantor dan gudang.
9
dan retak, serta penyadapan liar yang banyak dilakukan petani, sehingga kinerja daerah
irigasi tidak optimal.
Suroso, dkk. (2007) dalam penelitiannya mengevaluai kinerja jaringan irigasi
Banjaran di Kabupaten Banyumas untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pengelolaan air irigasi menggunakan: 1) Imbangan air (water balance) antara kebutuhan
air irigasi dan ketersediaan air yang ada, surplus atau defisit, 2) Efektifitas jaringan
irigasi adalah perbandingan antara debit rencana pemberian dengan debit kapasitas
saluran, dan 3) Efisiensi jaringan irigasi adalah perbandingan antara debit realisasi
pemberian dengan debit rencana pemberian.
Kebutuhan air irigasi dapat dipenuhi dari debit yang tersedia dan harus cukup
untuk disalurkan ke setiap saluran sampai ke petak-petak sawah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi dan pengukuran debit terhadap kebutuhan air agar penyaluran air
efektif dan efisien. Untuk meningkatkan efisiensi penyaluran air perlu peningkatan
kerjasama antara pemerintah dengan petani dalam tata cara pemakaian air yang baik
(Ahmad Ansori, dkk., 2013).
Syaifuddin, dkk. (2013) dalam penelitian kinerja distribusi air pada DI Wawotobi
menggunakan indeks keandalan yaitu perbandingan jumlah kejadian yang dapat
diandalkan dengan jumlah kejadian, dan indeks kelentingan yaitu perbandingan jumlah
kejadian yang tidak dapat diandalkan dengan jumlah kejadian dikurangi dengan indeks
keandalan dikalikan jumlah kejadian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
ketersediaan debit andalan (Q80) rerata bulanan masih memenuhi kebutuhan, yaitu
68,50 m3/detik. Kebutuhan air rerata untuk areal sawah seluas 9.448 ha sebesar 10,35
m3/detik. Kinerja distribusi air belum/kurang baik ditunjukkan nilai indeks keandalan <
0,75 dan indeks kelentingan rendah pada MT I dan MT II, juga faktor K rendah, yaitu
0,72.
Olvi Pamadya Utaya Kusuma, dkk. (2012) perhitungan perbandingan debit air
(neraca air) untuk mengecek ketersediaan air irigasi sudah cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan air irigasi yang ada di petak-petak sawah. Dalam perhitungan
neraca air, kebutuhan pengambilan yang dihasilkan untuk pola tanam yang dipakai
dibandingkan dengan debit tersedia di intake untuk tiap periode 10 harian dan luas
11
daerah irigasi yang diairi. Semakin besar perbandingan antara debit tersedia dengan
debit kebutuhan akan memberikan nilai produksi tanaman yang semakin tinggi. Hal
yang sama juga diteliti Supriyono, dkk. (2013) perhitungan perbandingan debit air
(keseimbangan debit/faktor K) untuk tiap periode 15 harian. Sistem pembagian dan
pemberian air irigasi didasarkan ketersediaan air menggunakan faktor K yaitu
perbandingan debit yang tersedia di intake dengan debit yang dibutuhkan, bila K = 1
persediaan cukup, bila K < 1 persediaan kurang (M. Nurul Huda, dkk., 2012).
Supadi (2009) dalam penelitiannya pada Saluran Induk Colo Timur yang
melintasi Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen, bahwa untuk menerapkan
sistem pemberian air irigasi secara adil dan merata pada lahan persawahan khususnya
saat musim kemarau, penanganan pemberian air irigasi pada daerah irigasi yang
melintasi beberapa kabupaten, maka daerah irigasi yang terletak di bagian hilir atau
ujung saluran (terisolir) kurang tepat apabila penentuan koefisien K disamakan dengan
bagian tengah dan hulu, karena faktor kehilangan air lebih besar. Pola pengaturan air
irigasi yang terletak pada ujung saluran (terisolir) untuk menjamin pasokan air, maka
penentuan nilai koefisien K semakin ke hilir semakin besar, karena faktor kehilangan air
di sepanjang saluran semakin ke hilir semakin besar. Pengelolaan pembagian air irigasi
tidak bisa dilaksanakan secara parsial, karena dalam satu daerah irigasi merupakan satu
kesatuan pengelolaan secara terpadu. Pemberian air irigasi yang tepat sangat ditentukan
oleh besarnya nilai koefisien K yang diterapkan, jika debit air irigasi terbatas dan nilai K
kurang dari 0,50, maka pemberian air irigasi harus dilaksanakan dengan sistem giliran.
Evaluasi kinerja irigasi dan produktivitas air melalui data satelit penginderaan
jauh dan data sekunder produksi pertanian di sistem irigasi Rechna Doab Provinsi
Punjab Pakistan, digunakan untuk merancang strategi pengelolaan air yang tepat.
Sehingga sistem irigasi dapat dikelola untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhan
dan meningkatkan produktivitas air secara berkelanjutan. Perkiraan berbasis
penginderaan jauh dari kebutuhan air dan ketersediaan air dikombinasikan dengan data
produksi pertanian sekunder dapat memberikan perkiraan yang lebih baik dari kinerja
irigasi, termasuk produktifitas air di berbagai skala pilihan alternatif. Indikator berbasis
12
Matrik penelitian yang terkait untuk mengetahui posisi penelitian disajikan dalam
Tabel 2.1.
13
2. Olvi Pamadya Studi Penentuan DI Bodor - Menganalisis - Per. Men. PU No. - Kinerja sistem
Utaya Kusuma, Skala Prioritas Kabupaten kinerja sistem 32/PRT/M/2007 irigasi baik:
dkk. Peningkatan Nganjuk irigasi untuk JI Mlilir 74,07,
(2012) Kinerja Jaringan menentuan skala JI Ngrambe Kanan
Irigasi pada Daerah prioritas 79,14,
Irigasi Bodor penanganan. JI Ngrambe Kiri
Kabupaten 76,85,
Nganjuk JI Banaran Kanan
74,51,
JI Banaran Kiri
77,42.
- Menganalisis debit - Perbandingan
tersedia di intake Debit air (Neraca - Tingkat kecukupan
untuk tiap periode Air) = air DI Bodor: JI
10 harian dengan perbandingan Mlilir 55,55%, JI
kebutuhan air jumlah periode Ngrambe Kanan
irigasi di petak tercukupi dengan 91,67%, JI
sawah. jumlah periode Ngrambe Kiri
yang diukur. 55,55%, JI Banaran
Kanan 50,00%, JI
Banaran Kiri
55,55%.
14
6. Syaifuddin, dkk. Evaluasi Kinerja DI Wawotobi - Menganalisis - Analisa debit - Ketersediaan debit
(2013) Daerah Irigasi Kabupaten ketersediaan air dan andalan dan masih memenuhi
Wawotobi Konawe Kebutuhan air kebutuhan air kebutuhan air
Kabupaten Propinsi irigasi. irigasi. irigasi.
Konawe Propinsi Sulawesi
Sulawesi Tenggara Tenggara
- Menganalisis - Indeks keandalan - Kinerja distribusi
pendistribusian air = perbandingan air: nilai indeks
untuk tiap periode jumlah kejadian keandalan < 0,75
15 harian. yang dapat belum/ kurang
diandalkan baik, dan faktor K
dengan total 0,72 rendah.
jumlah kejadian
dan faktor K.
16
8. Supadi Pengkajian Saluran Induk Menentukan besarnya Nilai koefisien K. Bagian hulu
(2009) Penanganan Colo Timur nilai koefisien K pada Menggunakan data (Sukoharjo) tidak
Pemberian Air yang daerah irigasi bagian sekunder. pernah mengalami
Irigasi di Petak melintasi hulu, tengah, dan hilir kekurangan air
Terisolir Ujung Kabupaten untuk menerapkan irigasi, bagian
Saluran Irigasi Sukoharjo, sistem pemberian air tengah
pada Musim Karanganyar irigasi secara adil (Karanganyar)
Kemarau dan Sragen dan merata pada lahan pasokan air mampu
persawahan saat memenuhi
musim kemarau. kebutuhan air dan
bagian hilir/
terisolir (Sragen)
pembagian air
dilaksanakan
dengan sistem
giliran.
17
Tabel 2.2. Penetapan Bobot Penilaian Kinerja Sistem Irigasi Tiap Aspek
ASPEK NILAI BOBOT
MAKSIMUM
JUMLAH 100
1. Aspek Kondisi Prasarana Fisik mencakup indikator: 45
1) Kondisi Bangunan Utama, 13
2) Kondisi Saluran Pembawa, 10
3) Kondisi Bangunan pada Saluran Pembawa, 9
4) Kondisi Saluran Pembuang dan Bangunan, 4
5) Kondisi Jalan Inspeksi, 4
6) Kondisi Kantor Dinas, Perumahan Dinas dan Prasarana 5
Gudang.
2. Aspek Produktifitas Tanam mencakup indikator: 15
1) Kondisi Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi (Faktor K), 9
2) Kondisi Realisasi Luas Tanam, 4
3) Kondisi Produktifitas Tanam Padi. 2
3. Aspek sarana penunjang mencakup indikator: 10
1) Kondisi Peralatan Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, 4
2) Kondisi Alat Transportasi, 2
3) Kondisi Alat-alat Kantor Pelaksana Operasi dan Pemeliharaan 2
Jaringan Irigasi,
4) Kondisi Alat Komunikasi. 2
20
Penetapan kriteria penilaian kinerja sistem irigasi dalam monitoring dan evaluasi
sebagai berikut:
1. Nilai bobot antara : 80 – 100 Kinerja Sangat Baik
2. Nilai bobot antara : 70 – 79 Kinerja Baik
3. Nilai bobot antara : 55 – 69 Kinerja Kurang dan Perlu Perhatian
4. Nilai bobot antara : < 54 Kinerja Jelek dan Perlu Perhatian
Indeks kinerja sistem irigasi dalam monitoring dan evaluasi dapat dilihat Tabel
2.3.
21
4) Kondisi rusak berat, jika nilai kondisi < 60 % dan nilai tingkat kerusakan > 40 %
dari kondisi awal bangunan/saluran, diperlukan perbaikan berat atau
penggantian.
Dapat dilihat pada Tabel 2.4.
1 Bangunan Utama
a. Pintu - Pintu air - Pintu air - Pintu air - Pintu air
- Pintu Bangunan dapat dapat dapat tidak dapat
Pengatur (CKR) dioperasi dioperasikan dioperasikan dioperasikan.
kan dan dan berfungsi tetapi kurang - Daun pintu
- Pintu berfungsi dengan baik lancar. yang
Pengambilan dengan baik secara terpasang
TOR 21 secara mekanis terdapat
(Bangunan mekanis dan/atau kebocoran
Sadap) dan/atau hidrolis. banyak
hidrolis. sekali/tidak
- Daun pintu - Daun pintu - Daun pintu berfungsi.
yang yang yang - Terdapat
terpasang terpasang terpasang penunjuk
tidak bocor. dijumpai terdapat manual
kebocoran kebocoran opersai pintu.
kecil. yang cukup - Tidak
banyak. terdapat atap
- Terdapat - Atap - Atap pelindung
atap pelindung pelindung dan
pelindung dan dan pengaman
pintu. pengaman pengaman karena sudah
pintu pintu rusak dan
sebagian ada kerusakan tidak
yang rusak. cukup berfungsi.
banyak.
25
Kondisi Bangunan
(Sumber: Pedoman Penilaian Kondisi Fisik Jaringan Irigasi Tahun 2010, Dinas
Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah)
Tabel selengkapnya disajikan dalam Lampiran B.
(2.1)
dengan:
KJ = Kondisi Jaringan(%),
Kbu = Kondisi bangunan utama(%),
Kbbs = Kondisi bangunan bagi atau sadap(%),
Ksbw = Kondisi saluran pembawa (%),
Ksbg = Kondisi saluran pembuang (%),
Kbssp = Kondisi bangunan sepanjang saluran pembuang (%).
( ) ( ) ( )( )
(2.2)
dengan:
Kbu = Kondisi bangunan utama (%),
( ) = Kondisi rata-rata bangunan utama 1(%),
( ) = Kondisi rata-rata bangunan utama 2 (%),
( )( ) = Kondisi rata-rata bangunan utama (n) (%),
n = Jumlah bangunan utama.
( ) ( ) ( )( )
(2.3)
dengan:
Kbbs = Kondisi bangunan bagi/sadap(%),
( ) = Kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap 1(%),
( ) = Kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap 2 (%),
( )( ) = Kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap (n) (%),
n = Jumlah bangunan bagi/sadap.
( ) ( ) ( )( )
(2.4)
dengan:
Ksbw = Kondisi saluran pembawa (%),
( ) = Kondisi rata-rata saluran pembawa 1(%),
( ) = Kondisi rata-rata saluran pembawa 2 (%),
( )( ) = Kondisi rata-rata saluran pembawa (n) (%),
n = Jumlah bangunan saluran pembawa.
( ) ( ) ( )( )
(2.5)
dengan:
Ksbg = Kondisi saluran pembuang (%),
( ) = Kondisi rata-rata saluran pembuang 1(%),
( ) = Kondisi rata-rata saluran pembuang 2 (%),
( )( ) = Kondisi rata-rata saluran pembuang (n) (%).
n = Jumlah saluran pembuang.
( ) ( ) ( )( )
(2.6)
dengan:
Kbbg = Kondisi bangunan pembuang (%),
( ) = Kondisi rata-rata bangunan pembuang 1(%),
( ) = Kondisi rata-rata bangunan pembuang 2 (%),
( )( ) = Kondisi rata-rata bangunan pembuang (n) (%).
n = Jumlah bangunan pembuang.
adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau
jaringan sekunder ke petak tersier melalui bangunan sadap atau bangunan bagi-sadap
yang telah ditentukan.
Evaluasi pemberian air menggunakan faktor K dengan mengukur berapa jumlah
air yang disalurkan lewat tiap pintu air di bangunan sadap dan menghitung berapa
jumlah air yang dibutuhkan di areal pertanian untuk jenis tanaman tertentu dan pada
tahap pertumbuhan tertentu.
Langkah-langkah perhitungan faktor K adalah sebagai berikut:
1. Menghitung debit aliran
Pengukuran debit secara langsung dilakukan dengan memakai bangunan ukur
yang dibuat sedemikian sehingga debit dapat langsung dibaca atau dengan
mempergunakan tabel.
Pengukuran debit secara tidak langsung dilakukan dengan mengukur kecepatan
aliran dan menentukan luas penampang basah, dengan cara sebagai berikut:
1) Mengukur kecepatan aliran dengan menggunakan alat ukur arus (current meter).
Distribusi kecepatan pada vertikal mempunyai bentuk parabolis dengan
kecepatan nol di dasar dan bertambah besar dengan jarak menuju ke permukaan. Dalam
arah lebar sungai, kecepatan aliran di kedua tebing adalah nol, dan semakin tengah
kecepatan semakin bertambah besar. Dengan memperhatikan distribusi tersebut, maka
pengukuran kecepatan harus dilakukan di beberapa vertikal dalam arah lebar sungai dan
beberapa titik pada vertikal. Semakin banyak vertikal dan titik pengukuran akan
memberikan hasil semakin baik. Dari data kecepatan di beberapa titik pada vertikal
dihitung kecepatan reratanya (Bambang Triatmodjo, 2008). Kecepatan aliran yang
diukur adalah kecepatan aliran titik dalam satu penampang tertentu.
Current Meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran air di sungai atau di
saluran. Alat ini digunakan karena memberikan ketelitian yang cukup tinggi. Alat ini
terdiri dari sensor kecepatan yang berupa baling-baling propeler, sensor optik, pengolah
data. Prinsip yang digunakan adalah hubungan antara kecepatan aliran dengan putaran
baling – baling. Untuk menghitung besarnya kecepatan aliran berdasarkan kecepatan
baling – baling digunakan rumus :
29
(2.7)
dengan:
V = kecepatan aliran (m/dtk),
n = banyaknya putaran per detik, yaitu perbandingan jumlah putaran
baling-baling current meter dengan waktu pengukuran, n = p/t,
p = jumlah putaran per siklus,
t = waktu siklus (dtk),
a dan b = tetapan/koefisien yang diperoleh dari pemeriksaan atau kecepatan
permulaaan untuk mengatasi gesekan dalam alat.
2) Luas tampang aliran atau bagian penampang basah saluran diperoleh dengan
mengukur lebar dasar saluran, elevasi permukaan air, dan kemiringan talud
saluran, dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
( ) (2.8)
dengan:
A = luas penampang basah saluran atau potongan melintang aliran
(m2),
b = lebar dasar saluran (m),
h = kedalaman aliran air (m),
m = kemiringan talud saluran (1 vertikal : m horisontal).
3) Menentukan besarnya debit aliran pada saluran dengan mengalikan antara luas
tampang aliran dan kecepatan aliran (Bambang Triatmodjo, 2008). Debit
dihitung berdasarkan hasil-hasil pengukuran dilakukan dengan cara
menggunakan persamaan sebagai berikut:
(2.9)
dengan:
Q = debit aliran (m3/dtk),
V = kecepatan rata-rata aliran (m/dtk),
A = luas penampang basah saluran (m2).
30
(2.10)
dengan:
Qbn = debit air yang dibutuhkan di petak tersier ke n (lt/dtk),
LA = luas areal tanam yang dilayani pintu sadap (ha),
α = satuan kebutuhan air sesuai jenis tanaman dan fase pertumbuhan
tanaman (lt/dtk/ha).
(2.11)
(2.12)
Menghitung kebutuhan kotor air dalam petak tersier adalah dengan cara
mengkalikan kebutuhan bersih air dipetak tersier dengan faktor tersier.
3. Menghitung faktor K
Faktor K berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
32/PRT/M/2007 menyatakan bahwa dari hasil pencatatan debit sungai pada bangunan
pengambilan terjadi kekurangan air (pada tanggal tertentu), maka pembagian dan
pemberian air irigasi perlu dikoreksi dengan menggunakan perhitungan faktor K, yaitu
nilai koreksi pemberian air berdasarkan perbandingan antara jumlah air yang tersedia
dengan jumlah air yang dibutuhkan. Persamaannya sebagai berikut:
(2.13)
dengan:
K = faktor K
Qan = debit air yang tersedia/diberikan melalui pintu sadap/debit aliran
ke n (lt/dtk),
Qbn = debit air yang dibutuhkan di petak tersier ke n (lt/dtk).
32