Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

KRISIS HIPERTENSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalankan Kepaniteraan Klinik


Senior Bagian Ilmu Penyakit Jantung Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Oleh
AGUSTI TRI HIDAYATI (71170891114)
FIRDA ANGGRAINI LUBIS (71170891158)
LEO SUGANDA (71170891170)

Dokter Pembimbing
dr. Agustina, Sp.JP

BAGIAN ILMU PENYAKIT JANTUNG


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU
2019
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i

BAB I LAPORAN KASUS ................................................................................. 1


1.1 Identitas Pasien............................................................................................. 1
1.2 Anamnesa ..................................................................................................... 1
1.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 3
1.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 5
1.5 Diagnosa Banding ........................................................................................ 7
1.6 Diagnosa....................................................................................................... 7
1.7 Penatalaksanaan ........................................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10


2.1 Fibrilasi Atrium ............................................................................................ 10
2.1.1 Definisi ............................................................................................ 10
2.1.2 Epidemiologi .................................................................................... 10
2.1.3 Patofisiologi ..................................................................................... 11
2.1.4 Klasifikasi ........................................................................................ 13
2.1.5 Tanda dan Gejala.............................................................................. 15
2.1.6 Diagnosis .......................................................................................... 16
2.1.7 Evaluasi Klinis ................................................................................. 20
2.1.8 Penatalaksanaan ............................................................................... 21

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 25


DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. I

Umur : 51 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : BTN Sukamaju Indah

Suku : Jawa

Tanggal Masuk : 24 Juni 2019

Pukul : 00.10 WIB

1.2 ANAMNESA

Keluhan utama : Sakit kepala

Telaah :

Pasien datang ke IGD RS Putri Hijau dengan keluhan nyeri kepala.


Keluhan dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit, nyeri hilang timbul
dan semakin terasa saat ditekan pada bagian dada kiri os. Keluhan disertai dengan
jantung sering berdebar- debar. Keluhan nyeri dada dirasakan OS tidak menjalar
dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Pasien juga mengeluhkan batuk (+) tidak
disertai dahak dan memberat pada malam hari, hal ini sudah dirasakan pasien
kurang lebih selama 2 minggu. Keringat malam (-), demam (-), pusing (+), mual
(-), muntah (-), BAK dan BAB dalam batas normal.

1
Riwayat Penyakit Terdahulu : Hipertensi (+)

Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi (Ibu)

Riwayat Pemakaian obat : -

Riwayat Sosial dan Kebiasaan : -

ANAMNESA ORGAN

Jantung Tidak Ada Kelainan Tulang Tidak Ada Kelainan

Sirkulasi Ada Kelainan Otot Tidak Ada Kelainan

Saluran Pernafasan Tidak Ada Kelainan Darah Tidak Ada Kelainan

Ginjal dan Saluran Kencing Tidak Ada Kelainan Endokrin Tidak Ada Kelainan

Saluran Cerna Tidak Ada Kelainan Genetalia Tidak Ada Kelainan

Hati dan Saluran Empedu Tidak Ada Kelainan Panca indra Tidak Ada Kelainan

Sendi Tidak Ada Kelainan Psikis Tidak Ada Kelainan

KEADAAN UMUM

STATUS PRESENT KEADAAN PENYAKIT

KU : Tampak Sakit sedang Anemia : Tidak Ada

Sensorium : Compos mentis Edema : Tidak Ada

Tekanan Darah : 210/180 mmHg Ikterus : Tidak ada

Temperature : 36,7 ℃ Eritema : Tidak ada

Pernafasan : 24 x/menit Sianosis : Tidak ada

Nadi : 74 x/menit, irreguler Turgor : Normal

Berat Badan : 68 kg Dispneu : Tidak ada

2
Tinggi Badan : 160 cm Sikap tidur paksa : Tidak ada

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


KEPALA LEHER
Inspeksi Inspeksi
Rambut : Hitam, Distribusi merata Struma : Tidak ada kelainan
Wajah : Tidak ada kelainan Kelenjar Limfe : Tidak ada kelainan
Alis mata : Tidak ada kelainan Posisi trakea : Midline
Bulu mata : Tidak ada kelainan
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-)
Bibir : Sianosis (-)
Lidah : Tidak ada kelainan

THORAX
THORAX DEPAN THORAX BELAKANG
Inspeksi Inspeksi
Paru Paru
- Bentuk : Simetris - Bentuk : Simetris
- Otot bantu nafas : Tidak Ada - Otot bantu nafas : Tidak Ada
- Venektasi : Tidak ditemukan - Venektasi : Tidak ditemukan
Jantung
- Ictus cordis : Terlihat
Palpasi Palpasi
Paru Paru
- Fremitus taktil : Kanan = Kiri - Fremitus taktil : Kanan = Kiri
Jantung
- Ictus cordis : Teraba

Perkusi
Perkusi
Paru : Lapangan paru kanan sonor,
Paru
lapangan paru kiri sonor
Atas : sonor memendek (-/-)
- Batas Relatif : ICS V linea
Tengah : sonor memendek (-/-)
midclavicula dextra
Bawah : sonor memendek (-/-)
- Batas Absolut : ICS VI linea

3
midclavicula dextra
Jantung : Redup
- Batas jantung atas : ICS II linea
parasternalis sinistra
- Batas jantung kiri : ICS V linea
axilaris anterior sinistra
- Batas jantung kanan : ICS V linea
midclavicula dextra
Auskultasi
Auskultasi
Paru
Paru
- Suara pernafasan : Vesikuler (+/+)
- Suara pernafasan: Vesikuler (+/+)
- Suara tambahan :
- Suara tambahan :
Atas : Rhonki basah kasar (-/-)
Atas : Rhonki Basah Kasar (-/-)
Tengah : Rhonki basah (-/-)
Tengah : Rhonki basah (-/-)
Bawah : Rhonki basah (-/-)
Bawah : Rhonki basah (-/-)
Jantung
- Bunyi Jantung : BJ I > BJ II
- Bunyi Tambahan : Tidak
Ditemukan

ABDOMEN GENITALIA
Inspeksi
Simetris (+), Distensi (-), venektasi (-),
Ascites (-)
Palpasi
Distensi (-), Nyeri tekan (-) Tidak dilakukan pemeriksaan
- Hepar : Tidak teraba
- Lien : Tidak teraba
- Ginjal : Tidak teraba

Perkusi : Tympani (+)


Auskultasi : Peristaltik Usus (+) normal

4
EKSTREMITAS
Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
- Bengkak : Tidak ada - Bengkak : Tidak ada
- Merah : Tidak ada - Merah : Tidak ada
- Pucat : Tidak ada - Pucat : Tidak ada
- Clubbing finger : Tidak ada - Clubbing finger : Tidak ada
- Tremor : Tidak ada - Tremor : Tidak ada

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM TANGGAL 24 JUNI 2019


Jenis Pemeriksaan Hasil/Satuan Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 15,43 gr/dL 12-14 gr/Dl
Hematokrit 42,3 % 37-43 %
Leukosit 7.750 5-10.103/µL
Limfosit 18.44 15.20-43.30%
Monosit 3.99 5.50-13.70%
Neutrophil 76.93 43.50-73.50%
Eosinophil 0.46 0.80-8.10%
Basophil 0.18 0.20-1.50%
Thrombosit 257.600 150-450.103
Blood Group O -
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 127 < 200 mg/dl
Elektrolit
Natrium 147 135-145 mMol/L
Kalium 3,1 3,5-5,5 mMol/L
Chlorida 105 96-106 mMol/L

5
Foto Thorax PA

COR : - Jantung membesar >50%


- Sinuses dan diafragma normal
Pulmo : Hilli normal
Corakan bronkhovascular dalam batas normal., Tidak tampak infiltrate.
Kesan: Cardiomegali dan Pulmo saat ini tidak tampak kelainan

EKG

6
- Gel P tidak jelas
- Laju jantung irreguler
- Gel QRS melebar
- Tanda infark lama

Kesan : Atrial Fibrilasi NVR + Omy anteroseptal

1.5 DIAGNOSA BANDING


1. Atrial Fibrilasi
2. HHD
3. PJK

1.6 DIAGNOSA
AF NVR + HHD

1.7 PENATALAKSAAN
Non Farmakologis :
- Bed rest

Farmakologis :
- RL 10 gtt/menit
- NR 2 x 35 mg
- CPG 1 x 75 mg
- Simarc 1 x 25 mg
- Concor 1 x 2,5 mg
- Canderin 1 x 8 mg

Follow Up harian

Tanggal S O A P

01/07/ - Nyeri dada - TD: 140/100 mmHg AF Interfensi


2018 NVR dilanjutkan
- Lemas (-) - P : 80 x/i
+
- Istirahat
- RR: 20 x/i HHD

7
- Temp: 36 °C +
Thorax PJK Farmakologis
I :Simetris kanan & kiri - RL 0,9 % 10
gtt/i
P : Fremitus taktil
- anterior : SF kanan = - NR 2 x 35 mg
kiri - Concor 1 x 35
- posterior : SF kanan = mg
kiri
- CPG 1 x 75 mg
P : Sonor memendek (+/+)
- Canderin 1 x 8
A : Anterior : Ves (+/+), mg
Rhonki basah (-/-) - Simarc 1x 2 mg
Posterior : Ves (+/+)
Rhonki basah (-/-)
02/07/ - Nyeri dada - TD: 110/80 mmHg AF Non
2018 sudah NVR Farmakologis
- P : 80 x/i
berkurang +
- istirahat
- RR: 22 x/i HHD
Farmakologis
- Temp: 36,5°C +
- NR 2 x 35 mg
Thorax PJK
I : Simetris kanan & kiri - Concor 1 x 35

P : Fremitus taktil mg

- anterior : SF kanan - CPG 1 x 75 mg


= kiri - Canderin 1 x 8
- posterior : SF kanan = mg
kiri
- Simarc 1x 2 mg
P : Sonor memendek (+/+)
A : Anterior : Ves (+/+),
rhonki basah (-/-)
Posterior : Ves (+/+),
rhonki basah (-/-)
03/07/ - Nyeri dada sudah - TD: 110/70 mmHg AF Interfensi
2018 berkurang NVR dilanjutkan
- P : 80 x/i
+
- Istirahat
- RR: 20 x/i HHD
- Temp: 36 °C +
Farmakologis

8
Thorax PJK - NR 2 x 35 mg
I :Simetris kanan & kiri - Concor 1 x 35
P : Fremitus taktil mg
- anterior : SF kanan = - CPG 1 x 75 mg
kiri
- Cand erin 1 x 8
- posterior : SF kanan =
kiri mg
P : Sonor memendek (+/+) - Simarc 1x 2 mg

A : Anterior : Ves (+/+),


Rhonki basah (-/-)
Posterior : Ves (+/+)
Rhonki basah (-/-)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FIBRILASI ATRIUM


2.1.1 DEFINISI
Fibrilasi Atrium adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi
atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus
menerus ke nodus AV.3 Fibrilasi atrium berupa takiaritmia supraventrikular yang

9
khas, dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan
fungsi mekanis atrium.1 Fibrilasi Atrium dapat terjadi secara episodic maupun
permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol.3
Fibrilasi atrium terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak
terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi
yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul
di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart
rate yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat.
Ketika ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak bekerja sama sebagaimana mestinya.3

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang. Sementara itu data dari studi observasional
(MONICA multinational MONItoring of trend and determinant in
Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta menemukan angka
kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2. Selain itu,
karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia
yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-
2050), maka angka kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan. Dalam
skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di Rumah Sakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian
FA pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun
2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).1
Pasien dengan FA memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko
gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa FA. Fibrilasi atrium juga
berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal
jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit
jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis
maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Sekitar 20% populasi pasien FA

10
mengalami penyakit jantung koroner meskipun keterkaitan antara FA itu sendiri
dengan perfusi koroner masih belum jelas.1

2.1.3 PATOFISIOLOGI
Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA
Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu remodelling yang
perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses remodelling
yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis
di atrium. Proses remodelling atrium menyebabkan gangguan elektris antara
serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus
faktor yang melanggengkan terjadinya FA. Setelah munculnya FA, perubahan
sifat elektrofisiologis atrium, fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi
pada rentang waktu dan dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda.
Gangguan fungsi kontraksi atrium terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya
FA. Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk
kalsium, hambatan pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika
miofibril

Mekanisme Elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu
(trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat
dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme
reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat (gambar 1).
Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi masih dapat konversi secara
spontan, mekanisme utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu
(trigger) FA, sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi secara spontan
biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan. Meskipun
demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan.

Mekanisme Fokal

11
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-
daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari vena kava
superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis (3,7%),
sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum interatrium.
Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered
activity dan reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai
dan melanggengkan takiaritmia atrium. Pada pasien dengan FA paroksismal,
intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan
(umumnya berada pada atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan
menghasilkan pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya terjadi
konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA persisten,
daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium,
sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan konversi ke irama sinus.

Mekanisme Reentri Mikro (Multiple Wavelet Hypothesis)


Dalam mekanisme reentri mikro, FA dilanggengkan oleh adanya konduksi
beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar melalui otot-otot
atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama kali dikemukakan oleh Moe
yang menyatakan bahwa FA dilanggengkan oleh banyaknya wavelet yang tersebar
secara acak dan saling bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau
terbagi menjadi banyak wavelet lain yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh
karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang, sedangkan yang
lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi
pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet mandiri untuk melanggengkan FA.

12
Gambar 1. Mekanisme elektrofisiologis FA. A. Mekanisme fokal: fokus/pemicu
(tanda bintang) sering ditemukan di vena pulmoner. B. Mekanisme reentri mikro:
banyak wavelet independen yang secara kontinu menyebar melalui otot-otot atrium
dengan cara yang kacau. AKi: atrium kiri, AKa: atrium kanan, VP: vena pulmoner, VKI:
vena kava inferior, VKS: vena kava superior

2.1.4 KLASIFIKASI
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:

Gambar 2. Klasifikasi FA menurut waktu presentasinya. Fibrilasi atrium


dapat mengalami progresivitas dari paroksismal menjadi persisten,
persisten lama atau permanen. Seluruh tipe FA tersebut dapat merupakan
presentasi awal atas dasar riwayat sebelumnya.
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan
oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan
menurut ciri-ciri dari pasien:
 FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas
anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60
tahun.
 FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.

13
 FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu
FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA
valvular.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat
dibedakan menjadi [gambar 4 (A, B, C)] :
1. FA dengan respon ventrikel cepat (RVR): Laju ventrikel >100x/menit
2. FA dengan respon ventrikel normal (NVR): Laju ventrikel 60-
100x/menit
3. FA dengan respon ventrikel lambat (SVR): Laju ventrikel <60x/menit

14
B

Gambar 4. Rekaman EKG FA. A. FA dengan respon ventrikel normal, B. FA


dengan respon ventrikel cepat, C. FA dengan respon ventrikel lambat.

2.1.5 TANDA DAN GEJALA


Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang
khas dan spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari atrial
fibrilasi adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan
ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga memberikan
gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan,
seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Akan tetapi,
lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak menimbulkan gejala-gejala
tersebut.

2.1.6 DIAGNOSIS
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal
yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada
panduan ini, rekomendasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan tingkat
kelengkapan pusat kesehatan terkait. (lihat Gambar 5 dan 6).

15
16
1. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50%
episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala
ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
 Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan
genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
 Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
 Presinkop atau sinkop
 Kelemahan umum, pusing

17
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway),
pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk
mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan
informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan
menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
• D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
• Fungsi tiroid (tirotoksikosis)

18
• Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
• Uji toksikologi atau level etanol

4. Elektrokardiogram (EKG)
Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi
gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi
amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya
disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa
sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.
Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
• Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi
160-170x/menit.
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah
siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Blok berkas cabang
• Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS
dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.

5. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang dapat
ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular
paru (misalnya emboli paru, pneumonia).

19
6. Uji latih atau uji berjalan enam-menit
Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan
6-menit). Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat
antiaritmia kelas 1C dan dapat digunakan juga untuk mereproduksi FA yang
dicetuskan oleh aktivitas fisik.

7. Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging


(MRI)
Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin diperlukan
untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti CT scan atau MRI
seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila direncanakan ablasi
FA. Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta anatomis dari atrium
kiri dan VP.

8. Monitor Holter atau event recording


Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan
diagnosis FA paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada
EKG. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat
dalam kendali laju atau kendali irama.

9. Studi Elektrofisiologi
Studi elektrofisiologi dapat membantu mengidentifikasi mekanisme takikardia
QRS lebar, aritmia predisposisi, atau penentuan situs ablasi kuratif.

2.1.7 EVALUASI KLINIS


Baru-baru ini dikenalkan skor simptom yang disebut skor EHRA
(European Heart Rhythm Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang
dapat digunakan untuk menilai perkembangan gejala selama penanganan FA.
Skor EHRA ini adalah alat klinis sederhana yang dapat digunakan untuk
menilai perkembangan gejala selama penanganan fibrilasi atrium. Skor klinis

20
ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar disebabkan oleh
fibrilasi atrium, skor diharapkan dapat berkurang seiring dengan konversi ke
irama sinus atau dengan kendali laju yang efektif.

Tabel Klasifikasi Simtom terkait FA (Skor EHRA)

2.1.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi fibrilasi atrium yaitu: antitrombotik untuk pencegahan
stroke, pengendalian laju jantung, pengendalian ritme jantung, dan terapi
tambahan (upstream therapy).
1. Anti-trombotik

Anti-trombotik direkomendasikan untuk pasien fibrilasi atrium dengan


riwayat stroke, transient ischemic attack (TIA), atau skor CHA2DS2-VASc
(Tabel 3) lebih dari 2.
Pilihan obat anti-trombotik yang dapat digunakan adalah warfarin dengan
target INR 2.0 – 3.0, dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban. Pasien yang
mendapat warfarin harus memeriksakan INR setiap minggu pada awal
pengobatan dan disarankan memeriksa INR setiap bulan jika target INR telah
tercapai dan stabil.
Dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban dapat diberikan apabila target INR
tidak tercapai dengan warfarin, namun sebelumnya diperlukan pemeriksaan
fungsi ginjal dan berkala. Dabigatran dan rivaroxaban tidak direkomendasikan
pada pasien fibrilasi atrium dengan penyerta gagal ginjal kronis tahap akhir

21
atau dalam terapi dialisis karena belum ada penelitiannya; warfarin
merupakan anti-trombotik pilihan utama untuk pasien kelompok tersebut.
Dabigatran dan rivaroxaban dapat diberikan pada penderita gagal ginjal kronis,
namun dengan dosis dimodifikasi.

Diagram pemilihan terapi antikoagulan AKB, AVK

2. Pengendalian Laju Jantung

Pengendalian laju jantung menggunakan obat golongan beta bloker atau


penghambat kanal kalsium golongan non-dihydropyridine direkomendasikan
untuk pasien fibrilasi atrium jenis paroksismal, persisten, ataupun permanen.
Beta bloker atau penghambat kanal kalsium dapat diberikan secara intravena
pada keadaan akut tanpa disertai pre-eksitasi.

22
Kendali laju dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien usia tua
dan keluhan minimal (skor EHRA 1). Kendali irama direkomendasikan pada
pasien yang masih simptomatik (skor EHRA ≥2) meskipun telah dilakukan
kendali laju optimal. Kendali laju sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kendali
laju longgar dan kendali laju ketat. Pada permulaan kendali laju longgar
dapat dipilih dengan target laju jantung <110 kali per menit saat istirahat. Apabila
tetap didapatkan gejala, kendali laju ketat dapat dilakukan dengan target laju
jantung < 80 kali per menit saat istirahat. Penyekat beta direkomendasikan
sebagai terapi pilihan pertama pada pasien fibrilasi atrium dengan gagal
jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark
miokard. Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk
kendali laju. Fibrilasi atrium dengan respons irama ventrikel yang lambat,
biasanya membaik dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila
dengan atropin masih simptomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau
pemasangan pacu jantung sementara.

3. Pengendalian Irama Jantung

Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi gejala.


Pengendalian irama jantung dipilih pada pasien yang masih bergejala
meskipun pengendalian laju jantung telah optimal. Pengubahan irama fibrilasi
atrium ke irama sinus (kardioversi) menggunakan obat paling efektif
dilakukan dalam 7 hari setelah terjadi fibrilasi atrium. Kardioversi
farmakologis kurang efektif pada penderita fibrilasi atrium persisten.
Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi
risiko tromboemboli, memperbaiki hemodinamik, serta mencegah remodelling
atrium yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan menyebabkan
kardiomiopati atrium. Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal
jantung akibat fibrilasi atrium untuk memperbaiki keluhan, pasien muda
yang simptomatik, atau fibrilasi atrium sekunder akibat kelainan yang telah
dikoreksi (iskemia, hipertiroid). Kondisi klinis yang dapat mempengaruhi
tingginya rekurensi antara lain ukuran atrium kiri >50 mm, durasi >6 bulan,

23
gagal jantung dengan NYHA >II, gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri
(ejection fraction(EF) <40%, dan riwayat kardioversi sebelumnya (1-2 kali
dalam 2 tahun sebelumnya).

4. Terapi Tambahan (Upstream Therapy)

Terapi tambahan pada fibrilasi atrium adalah upaya mencegah atau


menghambat remodelling miokard akibat hipertensi, gagal jantung, atau
inflamasi. Beberapa terapi yang termasuk dalam golongan ini adalah
penghambat enzim konversi angiotensin (EKA), penyekat reseptor
angiotensin, dan omega 3. Penghambat EKA dan penyekat reseptor
angiotensin menghambat efek aritmogenik angiotensin II, termasuk mencegah
fibrosis atrium dan hipertrofi, stres oksidatif, serta inflamasi. Penggunaannya
sebagai pencegahan primer terutama pada pasien dengan hipertensi, gagal
jantung, dan faktor risiko jantung koroner lain. Penghambat EKA dan penyekat
reseptor angiotensin sebaiknya digunakan pada pasien fibrilasi atrium yang
baru terjadi, pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dan
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri.

24
BAB III
KESIMPULAN

Atrial Fibrilation adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan


aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Tanda yang khas pada Fibrilasi Atrium adalah denyut nadi yang
irreguler dan cepat. Adapun gejala yang timbul dapat berhubungan dengan organ
yang mengalami gangguan, seperti pada jantung, paru maupun kelenjar thyroid.
Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram
(EKG), dengan ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang
digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan
durasinya. Evaluasi klinis FA saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan skor
EHRA. Prinsip penatalaksanaan Fibrilasi Atrium adalah antitrombotik,
pengendalian ritme jantung, pengendalian laju dan terapi tambahan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKI. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Jakarta: Centra


Communication. http://www.inaheart.org/upload/file/FA_Final_Launch.pdf
(diakses tanggal 3 Juli 2018)
2. Effendi. 2017. Tatalaksana Fibrilasi Atrium.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_249Tatalaksana%20Fibrilasi%20A
trium.pdf (diakses tanggal 4 Juli 2018)
3. Damayanti, 2014. Hubungan antara Hipertensi dan Hipertrofi Ventrikel
Kiri pada Pasien Lansia dengan Atrial Fibrilasi.
http://eprints.undip.ac.id/44522/3/BAB_II.pdf

26

Anda mungkin juga menyukai