Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Budaya Organisasi

2.1.1 Pengertian Budaya Organisasi

Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut

para ahli:

1) Menurut Schein (2009:27), budaya organisasi adalah pola asumsi

bersama yang dipelajari oleh suatu kelompok dalam memecahkan

masalah melalui adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah

bekerja cukup baik untuk dipertimbangkan kebenarannya, oleh karena

itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar

untuk melihat, berpikir, dan merasakan kaitannya dengan masalah-

masalah yang ada.

2) Menurut Munandar (2006:262), budaya organisasi terdiri dari asumsi-

asumsi dasar yang dipelajari baik sebagai hasil memecahkan masalah

yang timbul dalam proses penyesuaian dengan lingkungannya, maupun

sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dari dalam organisasi.

3) Menurut Robbins (2003:525), budaya organisasi “A system of shared

meaning held by members that distinguishes the organization from

other organization”. Budaya organisasi merupakan suatu sistem dari

makna atau arti bersama yang dianut para anggotanya yang

membedakan organisasi dari organisasi lainnya.

9
10

4) Menurut Umar (2010:207), Budaya organisasi adalah suatu sistem

nilai dan keyakinan bersama yang diambil dari pola kebiasaan dan

falsafah dasar pendirinya yang kemudian berinteraksi menjadi norma-

norma, dimana norma tersebut dipakai sebagai pedoman cara berpikir

dan bertindak dalam upaya mencapai tujuan bersama.

5) Menurut Kotler (2005:77), budaya organisasi adalah pengalaman,

cerita, keyakinan, dan norma bersama yang menjadi ciri organisasi.

Namun, bila memasuki perusahaan apa saja, hal pertama yang anda

hadapi adalah budaya cara mereka berpakaian, cara mereka

berinteraksi satu sama lain, dan juga cara mereka menyambut

pelanggan.

Dengan mendasarkan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam perusahaan yang

hakikatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan

memotivasi setiap individu yang ada didalamnya. Menurut Schein (2009:28), hal

yang dapat kita sadari bahwa budaya itu bersifat stabil dan sulit untuk berubah

karena budaya mencerminkan akumulasi pembelajaran dari sebuah kelompok

(cara mereka berpikir, merasakan, dan meyakinkan dunia bahwa budaya dapat

menciptakan kesuksesan suatu organisasi). Selanjutnya Schein (2009)

mengungkapkan bahwa kita akan mulai menyadari bahwa tidak ada budaya yang

benar atau salah, tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk, kecuali dalam

hubungannya bagaimana cara suatu organisasi bertindak dan lingkungan apa yang

mendukung jalannya suatu operasi organisasi. Dengan demikian, setiap individu


11

yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja

yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan

yang diharapkan.

2.1.2 Dimensi Budaya Organisasi

Jika suatu organisasi menerapkan budaya kuat maka itu akan mendorong

terjadinya peningkatan keefektifan pada organisasi tersebut, menurut Robbins

(2003:527), budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut

dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama-sama secara luas.

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai karateristik yang merupakan nilai

inti dari organisasi yang dapat membantu terciptanya budaya yang kuat. Dimana

karateristik tersebutlah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi

lainnya. Menurut Robbins, dalam Umar (2010:208), untuk menilai kualitas

budaya suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama, yaitu sebagai

berikut:

1) Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan

independensi yang dipunyai individu.

2) Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauh mana para pegawai

dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil

resiko

3) Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas

sasaran dan harapan mengenai organisasi.


12

4) Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi

didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

5) Dukungan manajemen, yaitu tingkat sejauh mana para manajer

memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap

bawahan mereka.

6) Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang

digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.

7) Indentitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota teridentifikasi

dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan

kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional.

8) Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan

gaji, promosi) didasarkan atas criteria prestasi pegawai sebagai

kebalikan dari senioritas, pilih kasih, dan sebagainya.

9) Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para pegawai

diberikan kebebasan untuk mengemukakan masalah yang ada dan

memberikan kritik secara terbuka.

10) Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi

organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.

Menjelaskan salah satu faktor dari dimensi diatas yaitu integrasi, Menurut

Schein (2009:27), budaya organisasi adalah pola asumsi bersama yang dipelajari

oleh suatu kelompok dalam memecahkan masalah melalui adaptasi eksternal dan

integrasi internal. Integrasi internal meliputi visi, misi, teknologi, dan struktur

organisasi. Dimana dalam hal ini para karyawan mengembangkan identitas


13

kolektif dan tahu bagaimana bekerja sama secara efektif. Inilah budaya yang

menuntun hubungan kerja sehari-hari dan menentukan bagaimana karyawan

didorong untuk bekerja dengan cara yang terstruktur dalam hal penyampaian

informasi dari bawahan ke atasan, maupun dari atasan ke bawahan.

Dalam hal ini penulis hanya menggunakan 6 karateristik yang akan

dijadikan indikator yaitu, toleransi terhadap tindakan beresiko, arah, integrasi,

dukungan manajemen, toleransi terhadap konflik, dan pola-pola komunikasi.

Dimana keenam indikator ini digunakan karena menyesuaikan dengan keadaan

organisasi yang akan diteliti.

2.2 Motivasi Kerja

2.2.1 Pengertian Motivasi

Motivasi itu sendiri didefinisikan oleh para ahli sebagai berikut:

1) Menurut Robbins (2003:156), motivasi adalah proses yang

menjelaskan intensitas, arah, dan usaha terus menerus seorang individu

untuk mencapai tujuannya.

2) Menurut Mathis dan Jackson (2006:114), motivasi adalah keinginan

dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak.

3) Menurut Koesmono (2005) dalam jurnal Manajemen dan

Kewirausahaan, motivasi adalah suatu perilaku yang dilakukan

seseorang atas dorongan dalam tujuan untuk memenuhi kebutuhannya,

untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan

yang mengarah kepada tindakannya.


14

2.2.2 Pengertian Motivasi Kerja

Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian motivasi kerja menurut para

ahli:

1) Menurut George dan Jones (2005:175), motivasi kerja adalah suatu

kebutuhan psikologis didalam diri seseorang yang menentukan arah

perilaku seseorang didalam organisasi yang menyebabkan pergerakan,

arahan, usaha, dan kegigihan dalam menghadapi rintangan untuk

mencapai suatu tujuan.

2) Menurut Munandar (2006:323), motivasi kerja adalah suatu proses

dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan

serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu.

Tujuan yang jika berhasil dicapai, akan memuaskan atau memenuhi

kebutuhan-kebutuhan tersebut.

3) Menurut Robbins (2003:208), motivasi kerja adalah kesediaan untuk

mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang

dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa

kebutuhan individual.

4) Menurut Wagner dan Hollenbeck (2009:81), seseorang yang

termotivasi untuk bekerja akan terus ingin belajar mengetahui hal-hal

baru untuk meningkatkan performa kerjanya.

Dari kumpulan definisi diatas mengenai motivasi, maka dapat disimpulkan

bahwa motivasi merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong,


15

merangsang, atau menggerakkan seseorang untuk melakukan seuatu kegiatan

untuk mencapai tujuan.

2.2.3 Teori – Teori Motivasi

1. Teori Kebutuhan Hierarki (Maslow Theory)

Menurut Abraham Maslow, dalam Munandar (2006:326),

mengemukakan bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar

yang berkesinambung. Jika satu kebutuhan dipenuhi, langsung kebutuhan

tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Tingkat kebutuhan tersebut

ditunjukkan dalam 5 tingkatan, dimulai dari kebutuhan biologis dasar

sampai motif psikologis yang lebih kompleks, yang hanya akan penting

setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling

tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat

berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting.

Dimana Teori tersebut ditunjukkan pada gambar berikut:

Sumber: wikipedia.com
Gambar 2.3 Teori Hirarki Maslow
16

Kebutuhan manusia dibagi menjadi lima tingkatan hirarki piramid, yaitu:

1) Physiological (kebutuhan psikologikal), yaitu kebutuhan yang

timbul berdasarkan kondisi psikologikal badan kita, seperti

kebutuhan untuk makanan dan minuman, kebutuhan udara segar.

2) Safety (kebutuhan rasa aman), yaitu kebutuhan keamanan jiwa,

raga, dan harta benda milik. Jika dikaitkan dengan kerja maka

kebutuhan akan keamanan sewaktu bekerja, perasaan aman yang

menyangkut masa depan karyawan.

3) Social needs (kebutuhan sosial), yaitu kebutuhan untuk memiliki

keluarga dan sanak saudara, rasa dihormati, status sosial, harga diri,

dan kebutuhan pendidikan agama.

4) Self esteem (kebutuhan harga diri), yaitu keinginan untuk dipuji dan

keinginan untuk diakui prestasi kerjanya. Keinginan untuk didengar

dan dihargai pandangannya.

5) Self actualization (kebutuhan aktualisasi diri), yaitu kebutuhan

untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif,

kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh.

2. Teori Dua Faktor Frederick Herzberg

Menurut Herzberg, dalam Munandar (2006:331) mengasumsikan

bahwa, sekelompok faktor, motivator, menyebabkan tingkat kepuasan dan

motivasi kerja yang tinggi, akan tetapi, faktor-faktor hygiene dapat


17

menimbulkan ketidakpuasan kerja. Teori ini meneliti tentang dua kondisi

yang mempengaruhi seseorang dalam pekerjaannya, yaitu:

1) Kondisi pertama adalah faktor Motivation yang berkaitan dengan

isi pekerjaan, yang memiliki faktor intrinsik dari pekerjaan

tersebut. Dimana sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang

termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan

pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status

ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobinya,

antara lain:

a) Keberhasilan pekerjaan (Achievement): besar kecilnya

kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi.

b) Pengakuan (Recognition): Besar kecilnya pengakuan yang

diberikan kepada tenaga kerja atas kinerjanya.

c) Pekerjaan itu sendiri (the work it self): berhubungan dengan

bagaimana kondisi pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya

tantangan yang dirasakan oleh karyawan dari pekerjaannya.

d) Tanggung jawab (Responsibility): besar kecilnya tanggung

jawab yang dirasakan dan diberikan kepada seorang karyawan.

e) Pengembangan (Advancement): berhubungan dengan keinginan

yang ingin dicapai untuk kedepannya.

2) Kondisi kedua adalah Hygiene. Faktor-faktor Hygiene yang justru

menimbulkan rasa tidak puas kepada para pekerja dimana elemen

elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut


18

menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti

status ataupun kompensasi, berkaitan dengan konteks pekerjaan,

berupa faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, yaitu:

a) Kebijakan dan administrasi perusahaan (Company policy and

administration), derajat kesesuaian yang dirasakan karyawan

dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam

organisasi.

b) Kualitas Supervisi (Quality supervisor), derajat kewajaran

penyelesaian yang dirasakan dan diterima oleh karyawan.

c) Hubungan antar pribadi (Interpersonal relation), derajat

kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan karyawan

lain.

d) Kondisi kerja (Working condition), derajat kesesuaian kondisi

kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya.

e) Gaji (Wages or salaries), derajat kewajaran dari gaji yang

diterima sebagai imbalan kinerjanya

Definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa orang bisa saja terdorong

oleh motivasi ekstrinsik atau motivasi intrinsik. Tetapi jika seorang

karyawan lebih terdorong oleh motivasi ekstrinsik, perusahaan harus bisa

membuat hubungan yang jelas antara apa yang perusahaan ingin karyawan

lakukan dengan reward atau penghargaan yang ingin didapatkan oleh

karyawan.
19

Teori Herzberg memprediksi, bahwa manajer dapat memotivasi

individu dengan “memasukkan” motivator-motivatornya kedalam

pekerjaan individu, yaitu proses yang dinamakan perkayaan pekerjaan (job

enrichment).

3. Teori X dan Y dari McGregor

Menurut Douglas McGregor, dalam Robbins (2003:210),

mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia

yang pada dasarnya negatif, disebut Teori X atau pada dasarnya manusia

itu positif, disebut Teori Y. Dan dalam tingkat dimana sifat manusia itu

tetap atau dapat diubah. McGregor juga mengungkapkan bahwa asumsi

tersebut menentukan strategi manajerial yang nantinya akan digunakan

oleh manajer.

Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah:

1) Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa

mungkin, berusaha untuk menghindarinya.

2) Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa,

dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai

tujuan-tujuan.

3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah

formal bila mungkin.

4) Sebagian karyawan menempatkan kemanan diatas semua faktor

lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.


20

Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat-sifat

manusia dalam Teori X, McGregor menyebutkan empat asumsi positif

yang disebutnya sebagai Teori Y:

1) Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan,

seperti halnya istirahat atau bermain.

2) Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi unutk

mencapai berbagai tujuan.

3) Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari, dan

bertanggung jawab.

4) Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang

diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang

menduduki posisi manajemen.

Jika seorang manajer tidak mempercayai karyawannya, manajer akan

menggunakan jam kerja, memonitor karyawan berkali-kali, dan di sisi lain

manajer akan mengkomunikasikan kurangnya kepercayaan tersebut.

Karena perlakuan tersebut akhirnya karyawan akan menjadi lebih pasif,

mendapatkan respon seperti itu, manajer semakin yakin dengan asumsi

buruknya terhadap karyawan.

Di sisi lain jika manajer percaya dengan apa yang dikerjakan

karyawan, dan percaya bahwa karyawan akan menghubungkan tujuan

mereka sendiri untuk orang-orang yang ada di organisasi dan akan

mendelegasikan lebih banyak, manajer akan berfungsi sebagai guru dan

pelatih, dan membantu karyawan mengembangkan insentif dan


21

mengkontorol dimana manajer dapat memonitor secara langsung. Manajer

dengan Teori Y akan lebih efektif, karena ia bisa membawa lebih banyak

motivasi dan kreativitas pada karyawan.

2.2.4 Hubungan Motivasi Dengan Kinerja

Menurut Munandar (2006:324), Kinerja (Performances) adalah hasil dari

interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (Abilities), dan peluang

(opportunities).

1) Bila motivasi kerja rendah, maka kinerjanya akan rendah pula

meskipun kemampuannya ada dan baik, serta peluangnya pun tersedia.

2) Sebaliknya, jika motivasi kerjanya tinggi, namun peluang untuk

menggunakan kemampuan-kemampuannya tidak ada atau tidak

diberikan, kinerjanya juga akan rendah.

3) Jika motivasi kerjanya tinggi, peluang ada, namun karena keahliannya

tidak pernah ditingkatkan lagi, kinerjanya juga tidak akan tinggi.

2.2.5 Indikasi Rendahnya Motivasi Kerja

Indikasi turunnya motivasi kerja penting diketahui oleh setiap perusahaan,

karena dengan pengetahuan tentang indikasi ini akan dapat diketahui sebab

turunnya motivasi kerja. Dengan demikian perusahaan dapat mengambil tindakan-

tindakan pencegahan atau pemecahan masalah sedini mungkin. Indikasi-indikasi

turunnya motivasi kerja antara lain sebagai berikut:


22

1) Turunnya produktivitas kerja

Turunnya produktivitas kerja ini dapat diukur atau dibandingkan

dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat

terjadi karena permasalahan, penundaan pekerjaan dan sebagainya.

Untuk dapat mengetahui tinggi atau rendahnya produktivitas kerja,

maka perusahaan harus membuat standar kerja.

2) Tingkat absensi yang tinggi

Pada umumnya apabila semangat kerja turun, maka karyawan akan

malas untuk datang bekerja. Untuk melihat apakah naiknya tingkat

absensi tersebut merupakan indikasi turunnya semangat kerja, maka

perusahaan tidak boleh melihat tingkat absensi ini secara perorangan

tetapi harus melihat secara merata.

3) Tingkat perpindahan karyawan yang tinggi

Apabila dalam perusahaan terjadi tingkat keluar masuknya karyawan

naik daripada sebelumnya, maka hal ini merupakan indikasi turunnya

semangat kerja. Keluar masuknya karyawan yang meningkat tersebut

terutama disebabkan ketidaksenangan karyawan untuk bekerja pada

perusahaan tersebut, sehingga karyawan berusaha mencari pekerjaan

lain yang dianggap lebih sesuai. Tingkat keluar masuknya karyawan

yang tinggi selain dapat menurunkan produktivitas kerja, juga dapat

menggangu kelangsungan jalannya perusahaan.


23

4) Kegelisahan dimana-mana

Kegelisahan akan terjadi apabila semangat kerja menurun. Seorang

pemimpin harus dapat mengetahui adanya kegelisahan-kegelisahan

yang timbul. Kegelisahan-kegelisahan itu dapat terwujud dalam

bentuk ketidaktenangan kerja, keluh kesah serta hal-hal lain.

2.3 Kepuasan Kerja Karyawan

2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja

1) Menurut Robbins (2003:78), kepuasan kerja adalah sikap umum

terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan antara

jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka

yakini seharusnya mereka terima.

2) Menurut Mathis dan Jackson (2006:121), kepuasan kerja adalah

keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi

pengalaman kerja seseorang.

3) Menurut Luthans (2006:243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi

karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal

yang dinilai penting.

4) Menurut Wagner dan Hollenbeck (2009:106), kepuasan kerja (Job

Satisfaction) memiliki 3 komponen, yaitu:

a) Value: Dimana seseorang secara sengaja atau tidak sengaja,

menginginkan untuk memperoleh nilai atau manfaat dari pekerjaan

itu sendiri.
24

b) Importance of Value: Manusia dibedakan tidak hanya dari nilai-

nilai yang ia yakini, tapi juga dari beban atau usaha yang diberikan

untuk memenuhi nilai-nilai tersebut. Perbedaan inilah yang

mempengaruhi tingkat dari kepuasan seseorang.

c) Perception: Kepuasan mencerminkan persepsi kita terhadap situasi

saat ini dan nilai-nilai yang kita yakini.

Dari kumpulan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja

karyawan merupakan hasil keadaan emosional yang dirasakan seorang karyawan

atas apa yang dilakukan terhadap pekerjaan mereka.

2.3.2 Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja menurut Wibowo (2012:502), mencoba

mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap

pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang

proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Di antara teori kepuasan kerja

adalah Two-Factor Theory dan Value Theory:

1) Two – Factor Theory

Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang

menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction

(ketidakpuasan) merupakan bagian dari kelompok variabel yang

berbeda, yaitu motivation dan hygiene factors.

Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di

sekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, kemanan, kualitas


25

pengawasan, dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan

pekerjaan itu sendiri. Karena faktor ini mencegah reaksi negatif,

dinamakan sebagai hygiene atau maintenance factors.

Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan

pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat

pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan

untuk pengembangan diri dan pengakuan. Karena faktor ini berkaitan

dengan tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan motivators.

2) Value Theory

Menurut konsep teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan

dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan.

Semakin banyak orang menerima hasil, akan semakin puas. Semakin

sedikit mereka menerima hasil, akan kurang puas. Value theory

memfokuskan pada hasil manapun yang menilai orang tanpa

memperhatikan siapa mereka. Kunci menuju kepuasan dalam

pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki

dan diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah

kepuasan seseorang.

2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Beberapa faktor penentu kepuasan kerja menurut Luthans (2005:212),

adalah sebagai berikut:


26

1) The work it self (Pekerjaan itu Sendiri)

Pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama dari kepuasan kerja.

Ada beberapa unsur yang paling penting dari kepuasan kerja yang

menyimpulkan bahwa pekerjaan yang menarik dan menantang, serta

perkembangan karir merupakan hal penting untuk setiap karyawan.

Menurut Munandar (2006:357), Berdasarkan survey diagnostik

pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan

kaitannya dengan kepuasan kerja, yaitu:

a) Keragaman keterampilan. Banyak ragam keterampilan yang

diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam

keterampilan yang digunakan, makin kurang membosankan

pekerjaan.

b) Jati diri tugas (task identity). Sejauh mana tugas merupakan suatu

kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai

bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak

merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa

tidak puas.

c) Tugas yang penting (task significance). Rasa pentingnya tugas bagi

seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh karyawan,

maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja.

d) Otonomi. Pekerjaan memberikan kebebasan, ketidakgantungan dan

peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan

kepuasan kerja.
27

e) Adanya timbal balik (feedback) pada pekerjaaan membantu

meningkatkan tingkat kepuasan kerja.

2) Pay (Gaji)

Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang

diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga

kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Yang penting ialah sejauh mana

gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji di persepsikan sebagai adil

didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu,

dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu,

maka akan ada kepuasan kerja.

3) Promotion Opportunity (Kesempatan Promosi)

Kesempatan untuk dipromosikan nampaknya memiliki dampak dalam

kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena promosi mengambil

beberapa bentuk yang berbeda dan memiliki keanekaragaman dari

yang menyertai kompensasi. Contohnya, apabila seorang karyawan

naik jabatan, gaji karyawan tersebut juga naik sesuai dengan

jabatannya dan kepuasan kerja karyawan tersebut juga meningkat.

Menurut Hasibuan (2005:108), mengemukakan promosi berasaskan

keadilan terhadap penilaian kejujuran, kemampuan dan kecakapan

karyawan. Penilaian harus jujur dan objektif, tidak pilih kasih.

Karyawan yang mempunyai peringkat terbaik hendaknya mendapatkan

kesempatan pertama untuk dipromosikan tanpa melihat suku,

golongan, dan keturunannya.


28

4) Supervisor (Atasan)

Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan

fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional

mencerminkan sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk

memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawan,

misalnya dengan memberikan pekerjaan yang menantang. Hubungan

keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antarpribadi yang

mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.

5) Co-Worker (Rekan Kerja)

Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan

sepihak, yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para

pekerja timbul karena mereka, dalam jumlah tertentu, berada dalam

satu ruangan, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, dalam artian

kebutuhan sosialnya terpenuhi. Rekan kerja memberikan sumber-

sumber semangat, kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan

individu. Kelompok kerja yang baik dapat membuat pekerjaan menjadi

menyenangkan.

6) Working Condition (Kondisi Kerja)

Keadaan atau suasana di tempat kerja merupakan faktor lain yang

mempengaruhi kepuasan kerja. Bila kondisi kerjanya baik, bersih,

atraktif, dan nyaman, maka karyawan akan merasa mudah dalam

menjalankan pekerjaannya. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-

kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja.


29

2.3.4 Dampak Ketidakpuasan Kerja

Robbins (2003:82), mengemukakan bahwa ada konsekuensi ketika

karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan

tidak menyukai pekerjaan mereka. Gambar dibawah ini menunjukan empat

respons yang berbeda dari satu sama lain bersama dengan dua dimensi:

Sumber: Robbins (2003:82)

Gambar 2.4 Respon-Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja

Respons-respon tersebut didefinisikan seperti berikut:

1) Keluar (Exit): Perilaku ketidakpuasan yang ditujukan untuk

meninggalkan organisasi termasuk mencari posisi baru dan

mengundurkan diri.

2) Aspirasi (Voice): Secara aktif dan konstruksif berusaha memperbaiki

kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah

dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.

3) Kesetiaan (Loyalty): Secara pasif tetapi optimis menunggu

membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan

dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan

manajemennya untuk “melakukan hal yang benar”.


30

4) Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih

buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-

menerus, kurangnya usaha, dan meningkatnya angka kesalahan.

2.4 Kinerja karyawan

2.4.1 Pengertian Kinerja

Kinerja karyawan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai berikut:

1) Menurut Mathis dan Jackson (2006:378), mengemukakan bahwa

kinerja karyawan adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh

karyawan.

2) Menurut Susilaningsih (2008), dalam Jurnal Excellent, kinerja adalah

pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output

kuantitaif maupun kualitatif, kreativitas, fleksibilitas, dapat diandalkan,

atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi.

3) Menurut Kreitner dan Kinicki (2008:36), kinerja adalah nilai dari

sekelompok perilaku karyawan yang berkontribusi, baik positif atau

negatif, terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja tidak berdiri

sendiri tapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan dipengaruhi oleh

keterampilan,kemampuan dan sifat – sifat individu. Dengan kata lain kinerja

ditentukan oleh kemampuan, keinginan dan lingkungan. Oleh karena itu agar

mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang


31

tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui pekerjaannya serta dapat ditingkatkan

apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan.

2.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja yang dicapai karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting

dalam menjamin kelangsungan hidup organisasi. Dalam mencapai kinerja yang

tinggi beberapa faktor yang mempengaruhi, menjadi pemicu apakah kinerja

pegawai tinggi atau rendah. Menurut Mangkunegara (2006:16) Faktor yang

mempengaruhi pencapaian kinerja yang baik faktor individu dan faktor

lingkungan kerja organisasi, yaitu:

1) Faktor Individu

Secara psikologis, individu yang normal yang memiliki integritas

yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah).

Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik,

maka inidividu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik.

Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia

untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara

optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari

dalam mencapai tujuan organisasi. Dimana jika diuraikan, faktor

individu dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

a) Pengetahuan (Knowledge)

Yaitu kemampuan yang dimilki karyawan yang lebih berorientasi

pada intelegensi dan daya pikir serta penguasaan ilmu yang luas
32

yang dimiliki karyawan.Pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi

oleh tingkat pendidikan, media dan informasi yang diterima.

b) Keterampilan (Skill)

Kemampuan dan penguasaan teknis operasional dibidang tertentu

yang dimiliki karyawan. Seperti keterampilan konseptual

(Conseptual Skill), keterampilan manusia (Human Skill), dan

keterampilan teknik (Technical Skill)

c) Faktor motivasi (Motivation)

Motivasi diartikan sebagai suatu sikap pimpinan dan karyawan

terhadap situasi kerja dilingkungan perusahaannya. Mereka yang

bersikap positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukan

motivasi kerja yang tinggi, sebaliknya jika mereka bersifat negatif

terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja yang

rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain

hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pemimpin,

pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.

2) Faktor Lingkungan Organisasi

Faktor lingkungan organisasi yang mempengaruhi prestasi kerja

individu yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas

yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja

efektif, hubungan kerja harmonis, 42 iklim kerja respek dan dinamis,

peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.


33

2.4.3 Elemen-Elemen Untuk Mengukur Kinerja Karyawan

Menurut Mathis dan Jackson (2006:378), kinerja pada dasarnya adalah apa

yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang

umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut:

1) Kuantitas dari hasil

Jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif

melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan

kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.

2) Kualitas dari hasil

Mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif

keluaran mencerminkan pengukuran “tingkat kepuasan”, yaitu

seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.

3) Ketepatan waktu dari hasil

Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal.

Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai

konsekuensi biaya besar dan kerugian.

4) Kehadiran atau absensi

Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah

perusahaan dalam mengetahui tingkat partisipasi karyawan pada

perusahaan.
34

5) Kemampuan bekerja sama

Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga

dapat meningkatkan rasa kerja sama antar karyawan.

2.4.4 Penilaian Kinerja

Menurut Mathis dan Jackson (2006:377), penilaian kinerja adalah proses

mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika

dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian mengkomunikasikan

informasi tersebut kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan

karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian

hasil.

Penilaian kinerja digunakan secara luas untuk mengelola upah dan gaji,

memberikan umpan balik kinerja, dan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan

karyawan secara individual. Penilaian kinerja yang dilakukan dengan buruk akan

membawa hasil yang mengecewakan untuk semua pihak yang terkait. Tetapi

tanpa penilaian kinerja formal akan membatasi pilihan pemberi kerja yang

berkaitan dengan pendisiplinan dan pemecatan. Penilaian kinerja dapat menjawab

pertanyaan mengenai apakah pemberi kerja telah bertindak adil atau bagaimana

pemberi kerja mengetahui bahwa kinerja karyawan tersebut tidak memenuhi

standar.

Perusahaan biasanya menggunakan penilaian kinerja dalam dua peran

yang memiliki potensi konflik, yaitu:


35

1) Penggunaan administratif, untuk mengukur kinerja dalam memberikan

imbalan kerja atau keputusan administratif lainnya mengenai

karyawan. Promosi atau pemecatan dapat tergantung pada peran ini,

dimana sering kali menciptakan tekanan bagi para manajer untuk

melakukan penilaian.

2) Penggunaan pengembangan individu, dalam hal ini manajer berperan

lebih sebgai seorang penasihat dibandingkan seorang hakim, yang akan

mengubah atmosfer hubungan. Peran ini menekankan dalam

mengidentifikasikan potensi dan merencanakan kesempatan

pertumbuhan dan arah karyawan.

2.5 Peneliti Terdahulu

2.5.1 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Brahmasari dan Suprayetno

(2008) yang berjudul “Pengaruh Motivasi kerja, Kepemimpinan dan Budaya

Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja karyawan Serta Dampaknya pada Kinerja

Perusahaan”, dalam jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, dimana didapat

kesimpulan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepuasan kerja karyawan, hasil penelitian ini mengemukakan bahwa budaya

organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja yang ditunjukan oleh koefisien

jalur = 2.078 dan p (0.000) ≤ α (0.05) artinya budaya organisasi secara positif dan

searah berpengaruh terhadap kepuasan kerja, artinya budaya organisasi

merupakan suatu konsep yang dapat dijadikan sarana untuk mengukur kesesuaian
36

dari tujuan organisasi, strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan,

karena tanpa ukuran yang valid dan reliable dari aspek kritis budaya organisasi

maka pernyataan tentang dampak budaya pada kepuasan kerja karyawan akan

terus berdasarkan spekulasi.

2.5.2 Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mamik, Siti Surasri, dan Sunarti

(2008) yang berjudul “Pengaruh kedisiplinan, Motivasi Kerja, dan Komitmen

Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan”, dalam jurnal Administrasi,

dimana didapat kesimpulan bahwa hasil analisis regresi linier berganda maupun

uji hipotesis (uji F dan uji t) pada penelitian ini menunjukkan bahwa baik secara

simultan maupun parsial, variabel kedisiplinan, motivasi kerja dan komitmen

organisasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Kontribusi

variabel bebas secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap perubahan

kepuasan kerja karyawan sebesar 51,8% sedangkan sisanya sebesar 48,2%

dipengaruhi variabel lain di luar variabel bebas yang diteliti.

Hasil perhitungan regresi linier berganda menunjukkan nilai koefisien

regresi variabel motivasi kerja (X₂) adalah sebesar 0,351 artinya jika motivasi

kerja berubah 1 satuan, maka kepuasan kerja karyawan akan berubah sebesar

0,351 dengan asumsi variabel bebas yang lain tetap. Tanda koefisien regresi X₂

yang positif menandakan hubungan yang searah, artinya jika variabel motivasi

kerja meningkat ke arah yang lebih positif 1 tingkatan maka kepuasan kerja

karyawan pada industri kertas di Jawa Timur juga akan meningkat sebesar 0,351.
37

2.5.3 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sartika, Swasto, dan Susilo (2008),

yang berjudul “Pengaruh Budaya Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja

Karyawan Dinas Pekerjaan Umun di Sumatera Selatan”, dimana berdasarkan

analisis statistik inferensial memakai analisis jalur dan anlisis regresi linear

berganda yang distandarisasi hipotesis kedua yang menyatakan ada pengaruh yang

signifikan antara variabel budaya organisasi terhadap variabel kinerja karyawan,

terbukti dan hipotesis diterima. Hal tersebut ditunjukkan dengan pengaruh

variabel budaya terhadap variabel kinerja karyawan senilai 0,324. Budaya yang

telah ada pada organisasi pemerintah dapat dikatakan sudah baik, tetapi hal

tersebut perlu ditingkatkan, mengingat budaya yang ada dapat memberikan

dampak yang sangat positif terhadap kinerja karyawan.

2.5.4 Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susilaningsih (2008) yang berjudul,

“Pengaruh Kepemimpinan, Disiplin, Motivasi, Pengawasan, dan Lingkungan

Kerja Terhadap Kinerja Pegawai”, dimana didapat kesimpulan bahwa variabel

motivasi kerja secara parsial/individual berpengaruh signifikan terhadap kinerja

pegawai, hal ini dapat ditunjukkan melalui hasil pengujian nilai t hitung = 4,138 >

t tabel = 2.000, dan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,025. Artinya Ho ditolak.
38

2.5.5 Pengaruh Kepuasan Kerja Karyawan Terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kesuma (2007), dengan judul, “

Pengaruh Lingkungan Kerja, Motivasi dan Budaya Organisasi Terhadap

Kepuasan Serta Dampaknya Terhadap Kinerja Pegawai”, dimana didapat

kesimpulan dari hasil pengujian pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap

kinerja pegawai sebesar -16,5% menandakan pengaruh langsung yang negatif.

Dari hasil hipotesis menjelaskan bahwa Standarized regression weight antara

kepuasan kerja dengan kinerja pegawai adalah -0,198 dengan nilai probabilitas

sebesar 0,248. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh tersebut tidak

signifikan. Hasil ini tidak memberikan dukungan atas hipotesis “terdapat

pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai”. Artinya kepuasan kerja tidak

mempengaruhi kinerja pegawai.

2.5.6 Pengaruh Budaya Organisasi, Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja

Karyawan Secara Simultan Terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih, Sumarni, dan

Ratnawati (2009) dengan judul “Pengaruh Budaya organisasi, Kepuasan kerja,

dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Tenaga Kerja,

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jambi”, pada jurnal Manajemen Bisnis dan

Publik. Hasil penelitian dalam pengaruhnya secara simultan menunjukkan F

hitung sebesar 25,647 dan F tabel sebesar 2,8663 dengan tingkat kepercayaan

95%. Jadi F hitung lebih besar dari F tabel yang artinya bahwa secara bersama-

sama variabel bebas yang terdiri dari variabel budaya organisasi, kepuasan kerja,
39

dan motivasi berpengaruh signifikan terhadap variabel kinerja. Dengan demikian

apabila budaya organisasi lebih diperbaiki, kepuasan kerja dan motivasi

ditingkatkan secara bersama-sama maka akan berdampak pada peningkatan

kinerja karyawan begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian dapat diketahui nilai

koefisien determinasi (Adjusted R.Square) yaitu 0,6812 atau 68,12%. Artinya

bahwa kinerja pegawai dipengaruhi sebesar 68,12% oleh budaya organisasi,

kepuasan kerja, dan motivasi.


40

2.6 Kerangka Pemikiran

PT.ASURANSI ASTRA BUANA

Budaya Organisasi (X₁) Motivasi Kerja (X₂)

• Toleransi terhadap • Faktor Motivasi


tindakan yang beresiko
• Faktor Hygiene
• Arah
• Integrasi
• Dukungan Manajemen
• Toleransi terhadap
konflik
• Pola-pola komunikasi

Kepuasan Kerja Karyawan (Y)

• Pekerjaan itu sendiri


• Gaji
• Kesempatan promosi
• Atasan
• Rekan Kerja
• Kondisi kerja

Kinerja Karyawan (Z)

• Kuantitas dari hasil


• Kualitas dari hasil
• Ketepatan waktu
• Kemampuan bekerja sama
• Kehadiran atau absensi

Sumber: Penulis, 2012


Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran
41

2.7 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2008:93), hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang

diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-

fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.

Ho : tidak ada pengaruh antar variabel

Ha : ada pengaruh antar variabel

Berdasarkan dari permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian serta tinjauan

pustaka, maka kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

• Untuk T – 1

1. Hipotesis 1

Ho : Variabel budaya organisasi dan motivasi kerja tidak memiliki

kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel

kepuasan kerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi dan motivasi kerja memiliki

kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap variabel

kepuasan kerja karyawan.

2. Hipotesis 2

Ho : Variabel budaya organisasi tidak berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan.


42

3. Hipotesis 3

Ho : Variabel motivasi kerja tidak berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kepuasan kerja.

Ha : Variabel motivasi kerja berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kepuasan kerja.

• Untuk T – 2

4. Hipotesis 4

Ho : Variabel budaya organisasi, motivasi kerja dan kepuasan kerja

karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara

simultan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi, motivasi kerja dan kepuasan kerja

karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan

terhadap variabel kinerja karyawan.

5. Hipotesis 5

Ho : Variabel budaya organisasi tidak berkontribusi secara parsial

dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha : Variabel budaya organisasi berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

6. Hipotesis 6

Ho : Variabel motivasi kerja tidak berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha : Variabel motivasi kerja berkontribusi secara parsial dan

signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.


43

7. Hipotesis 7

Ho : Variabel kepuasan kerja karyawan tidak berkontribusi secara

parsial dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha : Variabel kepuasan kerja karyawan berkontribusi secara parsial

dan signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

Anda mungkin juga menyukai