Anda di halaman 1dari 7

“ANALISA MENGENAI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA

DENGAN PAPUA NUGINI”

OLEH :
FAJRIAN ILHAM FARIDHO
A-2
27.0420

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


BAB I
PENDAHULUAN
Kawasan perbatasan suatu negara memiliki peran penting dalam penentuan batas wilayah
kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah.
Pembangunan wilayah perbatasan pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional. Kawasan perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan
pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan yang
mempunyaidampak penting bagi kedaulatan negara, menjadi faktor pendorong bagi peningkatan
kesejahteraansosial ekonomi masyarakat sekitarnya, memiliki keterkaitan yang saling
mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan
wilayah maupun antar negara, serta mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan
keamanan, baik skala regional maupun nasional.
Masalah perbatasan wilayah Indonesia bukan lagi menjadi hal baru saat ini. Sejak
Indonesia menjadi negara yang berdaulat, perbatasan sudah menjadi masalah yang bahkan belum
menemukan titik terang sampai saat ini. Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya
menyangkut batas fisik yang telah disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di
daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah perbatasan.
Salah satu negara yang punya arti lebih, dalam hubungannya dengan pengelolaan wilayah
perbatasan, yaitu yang berbatasan langsung dengan Indonesia, ialah Papua Nugini. Wilayah
Perbatasan yang terletak di Provinsi Papua atau di provinsi paling timur di Indonesia ini sangat
jarang atau kurang terekspos untuk dijadikan pembahasan. Selain karena faktor letak yang jauh
dan terbatasnya transportasi, perkembangannya juga tidak sedinamis dengan wilayah lain di
Papua.
Selain itu rawannya kondisi keamanan disana, membuat jarangnya ada penelitian untuk
membahas tentang wilayah perbatasan antara IndonesiaPapua Nugini khususnya fenomena lintas
batas yang terjadi disana. Dalam periode Perang Dunia II atau Perang Pasifik, yang kemudian
dilanjutkan dalam Perang Dingin, wilayah Papua dan Papua Nugini menjadi salah satu hot spot
wilayah perebutan wilayah di Asia Pasifik sebagai batu pijakan (stepping stone) untuk dapat
menguasai pusat kekuasaan di Jepang dan negara Asia Tenggara dan Pasifik seperti Indonesia,
Malaysia, Singapura dan Philipina. Sementara di masa sekarang, Wilayah Papua yang terletak di
persimpangan kawasan pasifik, tetap menjadikan sesuatu yang signifikan, termasuk negaranegara
adidaya. Belum terciptanya kesejahteraan dan perekonomian di sepanjang daerah perbatasan
Indonesia-Papua Nugini membuat kawasan itu patut mendapat perhatian khusus dan besar untuk
saat ini dan di masa yang akan datang. Sebab dengan kondisi demikian dapat muncul lagi lebih
banyak ancaman keamananyang lebih memotivasi munculnya gerakan pemisahan diri
(seccesionist) yang sangat dapat berimplikasi terhadap eksistensi kesatuan Negara Republik
Indonesia (NKRI) yang belum kokoh dan tuntas nation building-nya. Ditambah dengan minimnya
kemampuan aparat keamanan yang ada di perbatasan dalam mengawasi dan menjaga wilayah
perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini, dapat diperkirakan ancaman keamanan akan lebih
besar bagi Pemerintahan sekarang dan di masa yang akan datang.
BAB II
LATAR BELAKANG MASALAH
Sebelum mengalami pemekaran kabupaten, kawasan perbatasan di Papua terletak di 4
(empat) kabupaten yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, dan
Kabupaten Merauke. Setelah adanya pemekaran wilayah kabupaten, maka kawasan perbatasan di
Papua terletak di 5 (lima) wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Keerom,
Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke, serta 23 (dua
puluh tiga) wilayah kecamatan (distrik). Dari kelima kabupaten tersebut, Kabupaten Keerom,
Pegunungan Bintang dan Boven Digoel merupakan kabupaten baru hasil pemekaran.

Garis perbatasan darat antara Indonesia dan PAPUA NUGINI di Papua memanjang sekitar
760 kilometer dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara sungai Bensbach, Merauke di
sebelah Selatan. Garis batas ini ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan
Inggris pada pada tanggal 16 Mei 1895.

Jumlah pilar batas di kawasan perbatasan Papua hingga saat ini masih sangat terbatas, yaitu
hanya 52 buah. Jumlah pilar batas ini tentu sangat tidak memadai untuk suatu kawasan perbatasan
yang sering dijadikan tempat persembunyian dan penyeberangan secara gelap oleh kelompok
separatis kedua negara. Kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidaktahuan masyarakat di sekitar
perbatasan terhadap garis batas yang memisahkan kedua negara, bahkan diantara penduduk
tersebut banyak yang belum memiliki tanda pengenal atau identitas diri seperti kartu tanda
penduduk atau tanda pengenal lainnya.

Pintu atau pos perbatasan di kawasan perbatasan Papua terdapat di Distrik Muara Tami
Kota Jayapura dan di Distrik Sota Kabupaten Merauke. Kondisi pintu perbatasan di Kota Jayapura
masih belum dimanfaatkan secara optimal sebagaimana pintu perbatasan di Sanggau dan
Nunukan, karena fasilitas CIQS-nya belum lengkap tersedia. Pada umumnya aktifitas pelintas
batas masih berupa pelintas batas tradisional seperti yang dilakukan oleh kerabat dekat atau
saudara dari Papua ke PAPUA NUGINI dan sebaliknya, sedangkan kegiatan ekonomi seperti
perdagangan komoditas antara kedua negara melalui pintu batas di Jayapura masih sangat terbatas
pada perdagangan barang-barang kebutuhan sehari-hari dan alat-alat rumah tangga yang tersedia
di Jayapura. Kegiatan pelintas batas di pintu perbatasan di Marauke relatif lebih terbatas dibanding
dengan Jayapura, dengan kegiatan utama arus lintas batas masyarakat kedua negara dalam rangka
kunjungan keluarga dan perdagangan tradisional. Kegiatan perdagangan yang relatif lebih besar
justru terjadi dipintu-pintu masuk tidak resmi yang menghubungkan masyarakat kedua negara
secara ilegal tanpa adanya pos lintas batas atau pos keamanan resmi.

Kawasan perbatasan Papua memiliki sumberdaya alam yang sangat besar berupa hutan,
baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional yang ada di sepanjang perbatasan.
Kondisi hutan yang terbentang di sepanjang perbatasan tersebut hampir seluruhnya masih belum
tersentuh atau dieksploitasi kecuali di beberapa lokasi yang telah dikembangkan sebagai hutan
konversi. Selain sumberdaya hutan, kawasan ini juga memiliki potensi sumberdaya air yang cukup
besar dari sungai-sungai yang mengalir di sepanjang perbatasan. Demikian pula kandungan
mineral dan logam yang berada di dalam tanah yang belum dikembangkan seperti tembaga, emas,
dan jenis logam lainnya yang bernilai ekonomi cukup tinggi.

Secara fisik kondisi kawasan perbatasan di Papua bergunung dan berbukit yang sulit
ditembus dengan sarana perhubungan biasa atau kendaraan roda empat. Sarana perhubungan yang
memungkinkan untuk mencapai kawasan perbatasan adalah pesawat terbang perintis dan pesawat
helikopter yang sewaktu-waktu digunakan oleh pejabat dan aparat pemerintah pusat dan daerah
untuk mengunjungi kawasan tersebut.

Sebagaimana di daerah lainnya kondisi masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan


Papua sebagian besar masih miskin, tingkat kesejahteraan rendah, tertinggal serta kurang
mendapat perhatian dari aparat pemerintah daerah maupun pusat. Kondisi masyarakat Papua di
sepanjang perbatasan yang miskin, tertinggal dan terisolir ini tidak jauh berbeda dan relatif setara
dengan masyarakat di PAPUA NUGINI. Melalui bantuan sosial yang banyak dilakukan oleh para
misionaris yang beroperasi dalam rangka pelayanan kerohanian menggunakan pesawat milik
gereja, banyak masyarakat yang tertolong dan dibantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-
harinya. Fasilitas perhubungan milik misionaris ini bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat daerah
dalam melakukan kunjungan kerjanya di kawasan perbatasan.
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENYELESAIAN BATAS NEGARA INDONESIA
DENGAN NEGARA PAPUA NUGINI
Untuk mengelola kawasan perbatasan, Pemerintah telah membentuk Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) pada tanggal 28 Januari 2010 melalui Peraturan Presiden (Perpres)
No. 12 Tahun 2010, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
No. 31 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja BNPP. Ini merupakan tindak lanjut dari
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang mengamanatkan bahwa
untuk mengelola batas wilayah negara dan mengelola kawasan perbatasan pada tingkat pusat dan
daerah, pemerintah nasional dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola Nasional dan
Badan Pengelola Daerah.
Selain itu untuk menyelesaikan permasalahan residual, termasuk dalam penetapan batas
darat dengan PAPUA NUGINI, pemerintah RI melaksanakan diplomasi perbatasan dengan
membentuk sebuah komisi bernama Joint Ministerial Commission (JMC). Kelahiran JMC tersebut
didasari dengan disepakatinya nota kesepahaman pertama oleh pemerintah RI dan pemerintah
PAPUA NUGINI, yaitu Memorandum of Understanding between the Government of the Republic
of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of East Timor on the Establishment
of A Joint Commission for Bilateral Cooperation. Nota kesepahaman tersebut ditandatangani oleh
Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri PAPUA NUGINI Jose Ramos
Horta pada 2 Juli 2002 di Jakarta, Indonesia. Selain karena ingin menyelesaikan masalah-masalah
residual yang terjadi di antara keduanya, latar belakang dicapainya nota kesepahaman tersebut
adalah kedua negara samasama berkeinginan untuk mempererat hubungan baik antarnegara serta
untuk meningkatkan kerjasama yang efektif dan saling menguntungkan. Pada artikel I nota
kesepahaman tersebut, kedua negara sepakat untuk membentuk sebuah komisi bersama pada level
kementerian. Komisi tersebut lah yang kemudian disebut dengan Joint Ministerial Commision
(JMC).
Terdapat lima belas institusi pemerintahan pada level kementerian yang berperan sebagai
aktor diplomasi perbatasan pada level JMC17, yaitu Kementerian Luar Negeri RI; Kementerian
Sosial RI; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI; Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI; Kementerian Keuangan RI; Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat RI; Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI;
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI; Kementerian Pertahanan RI; Kementerian Dalam
Negeri RI; Kementerian Perindustrian dan Perdagangan RI; Kementerian Kesehatan RI;
Kementerian Pertanian RI; Kementerian Kelautan dan Perikanan RI; Kementerian Komunikasi
dan Informatika RI.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Untuk mencapai tujuan pengelolaan kawasan perbatasan yang efektif, maka perlu adanya
koordinasi lintas kementerian, sektor dan instansi pemerintah dalam menjalankan program di
kawasan perbatasan sehingga memiliki gaung dan dampak yang terasa bagi masyarakat di
kawasan tersebut. Berbagai upaya berikut perlu dilakukan, yaitu:
1. Penguatan bidang sosial, ekonomi dan budaya.
2. Peningkatan akses ke pelayanan pemerintah dan pelayanan umum serta keamanan pada
umumnya di daerah perbatasan.
3. Interkoneksi dan operabilitas lintas institusi pemerintah supaya program pemerintah yang ada
cepat terasa dampak dan manfaatnya.
4. Penguatan kapasitas sumber daya manusia di perbatasan.
5. Penyusunan pola pengelolaan batas dan perbatasan darat.
6. Penyusunan pola pengelolaan batas maritim.
7. Pengawasan lingkungan dan optimalisasi sumber daya alam guna menjamin pertumbuhan
ekonomi daerah yang berkelanjutan.
Sukses tidaknya suatu kebijakan pengembangan masyarakat tergantung dari kecermatan
dan ketepatan skenario perencanaan. Dalam skenario itu sebaiknya terdapat butir-butir kegiatan
yang akan diimplementasikan ke dalam tata laksana pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat. Oleh karena itu, penyusunan skenario harus berangkat dari akar permasalahan yang
mendasar di tempat yang akan dikembangkan. Sementara itu, program strategis untuk
mendorong percepatan pembangunan di kawasan perbatasan, antara lain:
1. Merealisasikan program-program pembangunan wilayah perbatasan yang telah disusun oleh
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dengan meningkatkan koordinasi teknis antar sektor;
2. Meningkatkan pengelolaan, pengawasan dan pengendalian pemungutan hasil hutan dan
sumber daya alam lainnya di wilayah perbatasan;
3. Peningkatan dan perluasan (ekstensifikasi) areal budi daya pertanian secara luas pada lahan-
lahan potensial dengan memperhatikan prinsip dan kaidah konservasi lahan dalam rangka
menunjang pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian;
4. Pembangunan prasarana transportasi wilayah jalan darat dan pelabuhan laut di pusat-pusat
pertumbuhan;
5. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan;
6. Pembangunan pusat pertanian;
7. Membangun dan meningkatkan SDM di bidang pertahanan dan keamanan;
8. Transmigrasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi wilayah yang akan
dikembangkan;

Anda mungkin juga menyukai