Anda di halaman 1dari 13

Etika Profesi dalam Perspektif Islam

Etika profesi merupakan bagian dari etika sosial yang menyangkut


bagaimana mereka harus menjalankan profesinya secara profesional agar
diterima oleh masyarakat. Dengan etika profesi diharapkan kaum
profesional dapat bekerja sebaik mungkin, serta dapat
mempertanggungjawabkan tugas yang dilakukan dari segi tuntutan
pekerjaannya. Islam – sebagai agama universal – pun menawarkan konsep
yang komprehensif tentang persoalan ini.
Bisnis atau usaha perniagaan/perdagangan atau usaha komersial merupakan
salah satu yang penting bagi kehidupan manusia, oleh karena bisnis
beroperasi dalam rangka suatu sistem ekonomi, maka sebagaian dari tugas
etika bisnis sesungguhnya ialah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
tentang sistem ekonomi yang umum dan khusus, yang pada gilirannya akan
berbicara tentang tepat atau tidaknya pemakaian bahasa moral untuk
menilai sistem tersebut. Al-Quran memberikan informasi yang cukup
banyak berkaitan dengan hal tersebut. Di antaranya QS an Nisâ/4: 29,

َ ‫اط ِل ِإالَّ أَن ت َ ُكونَ تِ َج‬


ً ‫ارة‬ ِ َ‫يَا أ َيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَأ ْ ُكلُواْ أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْالب‬
‫َّللاَ َكانَ ِب ُك ْم َر ِحي ًما‬َّ ‫س ُك ْم ِإ َّن‬ َ ُ‫اض ِمن ُك ْم َوالَ ت َ ْقتُلُواْ أَنف‬ ٍ ‫َعن ت َ َر‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dan disisi lain Rasulullah s.a.w. memunyai misi penting dalam penyempurnaan
Akhlaq, sehingga dalam berniaga/berbisnis pun ada aturan perilaku dalam
melaksanakannya., salah satunya sabda Rasulullah s.a.w:

‫ نَ َهى أ َ ْن تُتَلَقَّى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع َم َر أَ َّن َر‬ ُ ‫َع ِن اب ِْن‬
َّ ‫ان ِإ َّن النَّ ِب‬
‫ى‬ ِ ‫ َوقَا َل اآلخ ََر‬.‫ظ اب ِْن نُ َمي ٍْر‬ُ ‫ َو َهذَا لَ ْف‬. َ‫السلَ ُع َحت َّى ت َ ْبلُ َغ األ َ ْس َواق‬
ِ
.‫ نَ َهى َع ِن التَّلَ ِقى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬-
“Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w
melarang menahan barang dagangan sebelum tiba di pasaran. Ini adalah lafazh dari
Ibnu Numair. Sedangkan menurut perawi yang lain, sesungguhnya Nabi s.a.w
melarang pembelian barang dagangan sebelum dipasarkan.’ (HR Muslim, Shahîh
Muslim, V/5, hadis nomor 3894)

‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه‬


َ ِ ‫ َع ِن النَّ ِبي‬: ُ‫ي هللاُ َع ْنه‬
َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
ِ ‫هللا ب ِْن َم ْسعُو ٍد َر‬
ْ َ َّ َ ‫َو‬
ِ‫سل َم أنَّهُ نَ َهى َع ْن تَلَ ِقي البُيُوع‬
“Diriwayatkan dari Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, dia telah berkata: Dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang menahan pembelian barang
dagangan.”(HR Muslim, Shahîh Muslim, V/5, hadis nomor 3896)

Hadis di atas menerangkan bahwa menahan barang dagangan sebelum sampai


di pasar hukumnya haram, karena merugikan orang lain serta mengakibatkan
rusaknya harga pasar. Dalam pandangan moral manusia manapun pastilah tidak
membenarkan seorang mengambil milik orang lain dengan cara merampas, dalam
sebuah perusahaan seorang pejabat ataupun pekerja tidak dibenarkan memiliki
barang/uang milik perusahaan menjadi milik pribadi. Seorang pekerja yang sadar
akan etika bisnis, yang terlanjur mengambil milik perusahan , maka ia wajib
mengembalikan, kesadaran inilah yang disebut sebagai kesadaran moral, karena ia
harus mempertanggung jawabkan hal tersebut bukan hanya ia seorang karyawan
tetapi ia sadar bahwa ia juga seorang hamba Tuhan.

Seorang yang menimbun barang dagangan akan dianggap sebagai seorang


yang dzalim dengan melakukan monopoli padahal rakyat sangat sullit mencari
barang tersbut. Dari ayat dan hadits tersebut sudah cukup jelaslah bahwa dalam
Islam berbisnis adalah seuatu yang dibenarkan dan dalam mejalankannya pun
terdapat aturan berperilaku yang harus diperhatikan oleh pelaku bisnis tersebut.
Dalam mejalankan usaha tersebut pastilah dibutuhkan bekerja untuk mencapai
tujuan dari usaha/niaga/bisnis, apakah itu dengan cara pribadi, kelompok kecil
atau kelompok besar.

Etika dalam Bekerja

Dalam melakukan bisnis atau usaha tentulah seseorang perlu bekerja. Bekerja
adalah sebuah aktivitas yang menggunakan daya yang dimiliki oleh manusia yang
merupakan pemberian Allah. Secara garis besar ada empat daya pokok yang
dimiliki manusia, pertama daya fisik yang menghasilkan kegiatan gerak tubuh dan
keterampilan, kedua daya fikir yang mendorong manusia untuk melakukan telaah
atas apa yang ada dialam semesta dan menghasilkan ilmu pengetahuan, ketiga daya
Qalbu yang menjadikan manusia mampu berimajinasi, beriman, merasa serta
berhubungan dengan manusia lain dan sang Khaliq, dan keempat daya hidup yang
mengahasilkan daya juang, kemampuan menghadapi tantangan dan kesulitan.

1. Bekerja Sebagai Ibadah


Bekerja dalam pandangan Islam memilki nilai ibadah, firman allah dalam QS adz-
Dzâriyât/51: :56,

ِ ‫نس ِإالَّ ِليَ ْعبُد‬


‫ُون‬ ِ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اإل‬
“Sesungguhnya tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuaali agar beribadah
kepada-Ku”. Kata Li Ya’budun dalam surat tersbut mengandung arti dampak
atau akibat atau kesudahan, bahakan dalam melaksanakan shalat kita selalu
bersumpah dan berpasrah bahwa hidupku, matiku lilâhi rabbil ‘âlamîn.

Namun kerja yang diluar ibadah ritual bagaimana yang akan berdampak ibadah?.
Kerja bernilai ibadah apabila ia didasari keikhlasan dan menjadikan si pekerja
tidak semata-mata mengharapkan ibalan duniawi saja tetapi ia juga berharap akan
balasan yang kekal diyaumil akhirah. Dengan niatan bahwa ia bekerja untuk
mendapatkan harta yang akan ia jadikan sebagai sarana bagi dirinya untuk
menyelamatkan dirinya dan keluarganya sehingga dapat melakukan perintah allah
yang lain.
2. Bekerja sebagai sebuah Amanah
Kata amanah, aman dan iman berasal dari akar kata yang sama. Seorang disebut
beriman bila ia telah menunaikan amanat. Tidak disebut beriman orang yang tidak
menunaikan amanat. Seorang yang menunaikan amanat akan melahirkan rasa aman
bagi dirinya dan orang lain. Di dalam al Qur’an banyak ayat yang memerintahkan
agar manusia menunaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya. Di
antaranya:

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh,(QS al Ahzâb/33: 72)

Menurut Murtadha Muthahhari amanat dalam ayat ini artinya taklîf (pembebanan
hukum), tanggung jawab dan hukum. Artinya amanat manusia harus dibangun
berdasarkan tugas dan tanggung jawab. Pendapat senada dikemukakan juga oleh
Muhammad Ali as-Shabuni, amanah dalam ayat ini adalah taklif syari’at, keharusan
menta’atinya dan meninggalkan kemaksiatan . Itulah sebabnya, langit dan bumi
tidak sanggup menerimanya. Makhluk-makhluk lain selain manusia, diberi oleh Allah
instink termasuk bumi dan langit. Dengan instink ini langit dan bumi tidak dapat
menerima amanat seperti tersebut diatas. Apabila amanat itu berupa materi
mungkin ia dapat menerima, tanpa ada tanggungjawab ia hanya menerima saja.
Seperti amanat Allah kepada Matahari agar ia beredar pada porosnya, demikian
pula bumi dan bulan.

‫) َو ْالقَ َم َر‬٣٨( ‫يز ْالعَ ِل ِيم‬ِ ‫ِير ْالعَ ِز‬


ُ ‫س ت َ ْج ِري ِل ُم ْستَقَ ٍر لَّ َها ذَ ِل َك ت َ ْقد‬
ُ ‫ش ْم‬َّ ‫َوال‬
‫س يَنبَ ِغي لَ َها‬ ُ ‫ش ْم‬َّ ‫) ال ال‬٣٩( ‫ِيم‬ ِ ‫ون ْالقَد‬ِ ‫َاز َل َحتَّى َعادَ َك ْالعُ ْر ُج‬ ِ ‫قَد َّْرنَاهُ َمن‬
)٤٠(
َ‫ار َو ُك ٌّل فِي فَلَكٍ يَ ْسبَ ُحون‬ َ ‫أَن ت ُ ْد ِر َك ْالقَ َم َر َوال اللَّ ْي ُل‬
ِ ‫سابِ ُق النَّ َه‬
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang
Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.Tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-
masing beredar pada garis edarnya.” (QS Yâsîn/36: 38-40)

Dalam konteks ini, matahari, bumi dan bulan dalam menerima amanah, mau atau
tidak mau, suka atau tidak suka. Ia tidak memunyai pilihan, yang ada hanya instink
untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan.

‫عا‬
ً ‫ط ْو‬ ِ ‫ت َواأل َ ْر‬
َ ‫ض‬ َّ ‫َّللا يَ ْبغُونَ َولَهُ أ َ ْسلَ َم َمن ِفي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ َّ ‫ِين‬ ِ ‫أَفَغَي َْر د‬
َ‫َو َك ْر ًها َو ِإلَ ْي ِه يُ ْر َجعُون‬
“Dan kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan.” (QS Âli ‘Imrân/3: 83)

Berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lain, manusia diberi potensi berupa akal.
Dengan akal itu manusia sanggup dan mampu menerima amanat yang ditawarkan
kepadanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa seluruh
aktivitas manusia, baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, jinayat atau
berbagai transaksi lainnya memunyai konsekwensi hukum . Dan manusia memunyai
hak untuk memilih dan mengikuti atau tidak melaksanakan apa yang ditawarkan
kepadanya. Tetapi mengapa manusia saat menerima tawaran Allah berupa amanat
disebut sebagai dzaluman Jahula (amat zalim dan bodoh) ? Setelah manusia
menerima amanah itu, manusia memunyai tanggung jawab dan konsekuensi hukum
dari semua yang diperbuatnya. Apabila ia menunaikan amanat dengan menggunakan
akalnya, ia termasuk manusia yang cerdas, tetapi sebaliknya bila ia tidak sanggup
menggunakan akal pikirannya untuk menunaikan amanat itu, maka manusia disebut
sebagai menzalimi dirinya sendiri dan bersikap bodoh.

َ‫ص ُّم ْالبُ ْك ُم الَّذِينَ الَ يَ ْع ِقلُون‬ َّ ‫ِإ َّن ش ََّر الد ََّو‬
ِ َّ َ‫اب ِعند‬
ُّ ‫َّللا ال‬
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk disisi Allah adalah orang-
orang yang pekak dan tuli yang tidak mau menggunakan akalnya.” (QS. al-
Anfâl/8: 22)

Binatang yang paling buruk adalah manusia yang diberi akal dan hati, tetapi ia tidak
memahami, diberi telinga, tetapi tidak mendengar dan dibekali mata, namun ia
tidak sanggup melihat. Bahkan untuk mereka disediakan neraka Jahanam. Manusia
yang tidak pandai memilih kebenaran yang ada dihadapannya, dan tidak sanggup
memperjuangkan keadilan yang didengarnya dan matanya tidak dapat melihat
kebenaran yang ada disekelilingnya itulah yang disebut Zhalûman Jahûlan.

Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa siapa yang diberi kebebasan dan amanat
yang jelas kebaikannya dan ia telah merasakan nikmat dari amanat itu, lalu ia
memilih yang tidak sesuai dengan hati nurani, tempat yang layak baginya adalah
neraka Jahannam.
ٌ ُ‫نس لَ ُه ْم قُل‬
‫وب الَّ يَ ْفقَ ُهونَ بِ َها‬ ِ ‫يرا ِمنَ ْال ِج ِن َو‬
ِ ‫اإل‬ ً ِ‫َولَقَ ْد ذَ َرأْنَا ِل َج َهنَّ َم َكث‬
‫ان الَّ يَ ْس َمعُونَ ِب َها أ ُ ْولَئِ َك‬ٌ َ‫ْص ُرونَ ِب َها َولَ ُه ْم آذ‬ ِ ‫َولَ ُه ْم أ َ ْعيُ ٌن الَّ يُب‬
َ‫ض ُّل أ ُ ْولَئِ َك ُه ُم ْالغَافِلُون‬َ َ ‫َكاأل َ ْنعَ ِام بَ ْل ُه ْم أ‬
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka memunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
memunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’râf /7: 179)

Para mufassir sepakat bahwa makna amanat dalam ayat ini (QS al Ahzab/33: 72)
amanat dalam bentuk spiritual atau immateri. Yakni sebuah takl f atau
tanggungjawab yang harus dipikul oleh orang yang diberi amanat dan juga
bermakna hukum, yaitu ketentuan yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan. Dalam
kontek ini, amanat dapat disamakan dengan imarat al maknawiyah yakni mengisi
dan meningkatkan kualitas dan intensitas bekerja sebagai “sebuah gerakan” yang
terus menerus, dinamis dan inovatif

3. Bekerja Dengan Bersungguh-sungguh

ُ ‫ف ت َ ْعلَ ُمونَ َمن ت َ ُك‬


‫ون‬ ِ ‫قُ ْل يَا قَ ْو ِم ا ْع َملُواْ َعلَى َم َكانَتِ ُك ْم ِإنِي َع‬
َ َ‫ام ٌل ف‬
َ ‫س ْو‬
َّ ‫ِار ِإنَّهُ الَ يُ ْف ِل ُح‬
َ‫الظا ِل ُمون‬ ِ ‫لَهُ َعاقِبَةُ الد‬
Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya
akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita)
yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya, orang-
orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan.” (QS al-An’âm/6:
135)
Ayat diatas menunjukkan kepada kita bahwa dalam melakukan sesuatu haruslah
dengan kesungguhan dan kemampuan, hal ini berlaku bukan hanya bagi pribadi
namun juga akan berlaku juga dalam kelompok atau dengan kata lain sebuah
organisasi atau perusahaan.
Sebuah kata bijak (atsar) mengatakan:

‫ظ ٍام‬ ِ َ‫ظ ٍام يَ ْغ ِلبُهُ ْالب‬


َ ِ‫اط ُل ِبن‬ َ ِ‫ال َح ُّق ِبالَ ن‬
“kebaikan yang tidak terencana/terorganisasi /didasari oleh kemampuan akan
dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terencana/ terornaisasi dengan baik”.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

ُ‫ب ِإذَا َع ِم َل أ َ َحدُ ُك ْم َع َم ًال أ َ ْن يُتْ ِقنَه‬


ُّ ‫ار َك َوتَعَالَى يُ ِح‬
َ َ‫ِإ َّن هللاَ تَب‬
“Sesungguhnya ِِ ِِ Allah senang apabila salah seorang di antara kamu
mengerjakan suatu pekerjaan, bila dikerjakan dengan baik (jitu).”(HR al-
Baihaqi dari ‘Aisyah r.a., Syu’ab al-Îmân, VII/232, hadis nomor 4929)

4. Menghargai Waktu
Islam sangat istimewa dalam membicarakan tentang waktu, bahkan salah satu
surat dalam Al-qur’an khusus menuliskan bagaiman apabila kita tidak mengahargai
waktu, yaitu dalam surat Al-Ashr. Dalam surat ini Allah dengan jelas
memperingatkan kepada manusia (pribadi/kelompok) apabila ia tidak betul-betul
memperhatikan waktu, dengan ancaman kerugian (dalam hal ini kerugian mencakup
secara materi maupun immaterial) dan hal tersbut dapat terhindari apbila ia
mampu menjaga komitmen (âmanû) dengan konsekwen menjalankan aturan dan
kewajiban (‘amilû ash-shâlihât)

Ali bin Abi Thalib, r.a. mengatakan:

‫طعَ َك‬ َ ‫لم ْت َ ْق‬


َ َ‫ط ْعهُ ق‬ َ ‫ْف ِإ ْن‬ َّ ‫الو ْقتُ َكال‬
ِ ‫سي‬ َ
“Waktu adalah Pedang, apabila ia tidak tepat dimanfaatkan maka ia dapat
melukai/membunuh diri sendiri”
5. Kerjasama
Dalam ibadah shalat kita selalu membaca “iyyâka na’budu….” Ayat tersebut
dikemukakan secara jamak yang berati “hanya kepadaMu kami menyembah…”,
Islam begitu mengutamakan sesuatu yang dilakukan secara berjamaah. Dalam
kesehariannya rasululahpun selalu mengingatkan untuk saling bekerjasama. Pernah
pada suatu hari rasulullah dan para sahabat ingin melakukan makan bersama, salah
seorang sahabat mengatakan “ aku akan mencari kambingnya”, lalu sahabat kedua
mengatakan “saya akan menyembelihnya”, dan sahabat ketiga mengatakan “ saya
akan mengulitinya”, dan yang kempat mengatakan “saya akan memasaknya. Maka
Rasulullah s.a.w. bersabda: saya akan mengumpulkan kayu bakarnya. Dalam kisah
lain, pada saat membangun masjid nabawi para sahabat menganjurkan Rasulullah
untuk beristirahat/tidak perlu ikut turun tangan, namun rasulullah tetap ikut
dalam pembangunan masjid tersebut. Dari sini jelaslah bahwa Islam sangat
menganjurkan Budaya Bekerjasama dalam hal kebaikan.

ِ ‫اإلثْ ِم َو ْالعُ ْد َو‬


ْ‫ان َواتَّقُوا‬ ِ ‫بر َوالت َّ ْق َوى َوالَ تَعَ َاونُواْ َعلَى‬ِ ‫َوتَعَ َاونُواْ َعلَى ْال‬
‫ب‬ِ ‫شدِيدُ ْال ِعقَا‬ َّ ‫َّللاَ ِإ َّن‬
َ َ‫َّللا‬ َّ
…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS al-
Mâidah/5:2)
6. Bekerja Dengan Secara Ilmiah (Dengan Ilmu Pengetahuan)
Dalam melakukan sebuah pekerjaan seharusnyalah seseorang memiliki
pengetahuan atas apa yang akan ia kerjakan, hal ini akan berdampak pada apa yang
akan dihasilkan dari pekerjaan itu.

‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل أُولَ ِئ َك‬


َ َ‫س ْم َع َو ْالب‬
َّ ‫ْس لَ َك بِ ِه ِع ْل ٌم ِإ َّن ال‬
َ ‫ف َما لَي‬ ُ ‫َو َال ت َ ْق‬
ً ُ ‫َكانَ َع ْنهُ َم ْسئ‬
‫وال‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Isrâ/17:36)
Dalam surah yang lain allah menjanjikan bahwa orang yang memliki pengetahuan
lebih mulia beberapa derajat.
‫ح‬
ِ ‫س‬َ ‫س ُحوا يَ ْف‬ َ ‫س ُحوا فِي ْال َم َجا ِل ِس فَا ْف‬ َّ َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا قِي َل لَ ُك ْم تَف‬
َ‫َّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َوالَّذِين‬
َّ ‫ش ُزوا يَ ْرفَ ِع‬ ُ ‫ش ُزوا فَان‬ ُ ‫َّللاُ لَ ُك ْم َو ِإذَا قِي َل ان‬
َّ
ٌ ‫َّللاُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِب‬
‫ير‬ َّ ‫ت َو‬ ٍ ‫أُوتُوا ْال ِع ْل َم دَ َر َجا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-
lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujâdilah/58:11)
7. Bekerja Dengan Memiliki Keahlian
Selain Ilmu yang dimiliki kita juga harus memliki keahlian(spesialisasi) dalam
bekerja yang juga akan berdampak pada hasil yang kita dapatkan.
Rasulullah s.a.w. bersabda:

‫هللا‬ ُ ‫ضا َعت ُ َها يَا َر‬


ِ ‫سو َل‬ َ ِ‫ْف إ‬َ ‫سا َعةَ قَا َل َكي‬ َّ ‫ت األ َ َمانَةُ فَا ْنت َ ِظ ِر ال‬
ِ َ‫ضيِع‬ُ ‫إِذَا‬
َّ ‫قَا َل ِإذَا أ ُ ْسنِدَ األ َ ْم ُر ِإلَى َغي ِْر أ َ ْه ِل ِه فَا ْنت َ ِظ ِر ال‬
.َ‫سا َعة‬
“Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah
bertanya; “Bagaimana amanat itu disia-siakan wahai Rasulullah?, Beliau
menjawab,”Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak
memenuhi syarat).” (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahîh al-Bukhâriy,
VIII/129, hadis nomor 6496)
8. Pengendalian Mutu
Setelah pekerjaan dilakukan dengan amanah, berdsarakan ilmu dan keahlian maka
tugas terakhir dalam pekerjaan tersebut adalah melakukan pengendalian mutu dari
apa yang kita kerjakan.karena hal tersbut harus dipertanggung jawabkan apakah
itu kepada manusia lain atu Sang Khâliq.

َ ‫سولُهُ َو ْال ُمؤْ ِمنُونَ َو‬


‫ست ُ َردُّونَ ِإلَى‬ ُ ‫َّللاُ َع َملَ ُك ْم َو َر‬ َّ ‫سيَ َرى‬ َ َ‫َوقُ ِل ا ْع َملُوا ف‬
َ‫ش َهادَ ِة فَيُن َِبئ ُ ُك ْم ِب َما ُك ْنت ُ ْم ت َ ْع َملُون‬
َّ ‫ب َوال‬ِ ‫َعا ِل ِم ْالغَ ْي‬
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(QS:At-
Taubah/9:105)

Sumber : http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/9704/

Farmasi dalam Bingkai Islam

Perkembangan ilmu pengetahuan berjalan sangat cepat. Perkembangan ini juga


dialami oleh dunia farmasi. Sampai kurun waktu 4.500 tahun sebelum masehi, ilmu
pengobatan masih dilakukan berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun
temurun. Orang-orang zaman dahulu beranggapan bahwa penyakit timbul
disebabkan oleh roh jahat yang masuk ke dalam tubuh sehingga pengobatan
bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat tersebut dengan mantera, bunyi-bunyian
dan ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Pengetahuan mengenai pengobatan mulai
berkembang di Mesir dengan ditemukannya Papyrus Ebers sekitar 1500 tahun
sebelum masehi. Papyrus Ebers adalah catatan yang berisi lebih dari 800 formula
pengobatan. Dunia farmasi terus berkembang. Peletak dasar pengobatan pertama
adalah Galen (130-200 M). Tokoh farmasi dan kedokteran lainnya adalah
Hippocrates (460-370 SM), Dioscorides (abad 1 Masehi) dan Paracelsus. Tapi
sayangnya perkembangan ilmu pengobatan terhenti seiring kemunduran peradaban
dunia yang ditandai dengan era kegelapan (dark age). Akhirnya manusia kembali
melakukan praktik takhayul atau perdukunan yang sama sekali tidak berhubungan
dengan pengobatan.

Kebangkitan peradaban dunia ditandai dengan turunnya Al Quranul Karim kepada


Nabi Muhammad saw. Islam sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) mengatur
semua segi kehidupan manusia. Mulai dari hal kecil seperti menyingkirkan duri di
jalan hingga perkara besar seperti mengatur negara. Oleh karena itu ilmu
pengobatan juga telah diatur dalam Islam.

Metode pengobatan dalam Islam yang terkenal sampai kini adalah ath-thibb-an-
nabawy (Pengobatan cara Nabi Muhammad saw). Tabib-tabib muslim meniru
Rasulullah serta berpedoman pada Al-Quran dan hadist seperti mengatur pola
makan dan minum, air putih untuk pengobatan, madu, susu murni, kurma, biji jintan
hitam dan bahan-bahan lainnya. Seluruh tuntunan pengobatan sudah diatur dalam
Al Quran dan hadist. Semua tuntunan itu disampaikan Rasulullah saw ketika ilmu
pengetahuan pengobatan belum berkembang dengan pesat. Berikut adalah bahan-
bahan berkhasiat yang disebutkan dalam Al-Quran.

1. Kurma (Phonex dactylifera)

Rasulullah saw berbuka puasa dengan beberapa biji kurma sebelum salat.
Sekiranya tidak terdapat kurma maka Rasululah saw akan berbuka dengan
beberapa biji anggur. Sekiranya tidak ada anggur maka Baginda meminum beberapa
teguk air.(HR. Ahmad)
Buah kurma memiliki banyak khasiat antara lain sebagai sumber energi karena
kandungan karbohidratnya yang tinggi. Buah kurma kering per 100 gram
mengandung 280 kkal energi, 75 g karbohidrat, 63 g gula, 8 g serat, lemak sebesar
0,4, protein 2,5 g air 21 g, vitamin C 0,4 mg 1% (USDA Nutrient Database). Buah
ini juga dipercaya memiliki khasiat sebagai aprodisiaka, diuretik, emolient,
estrogenik, laksative, anti diare, anti demam dan lain-lain.

2. Habbatus Saudah / Biji Jintan Hitam / Black Seed (Nigella sativa)

Dari Abu Hurairah r.a ia berkata : Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kamu
menggunakan habbatusaudah karena sesunguhnya padanya terdapat penyembuhan
bagi segala penyakit kecuali kematian (HR. Abu Salamah).
Terdapat banyak penelitian dalam mencari khasiat biji jintan hitam ini. Dalam
Kitab At Tibbun Nabawi karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan bahwa
habbatussaudah dapat mengobati 50 jenis penyakit tanpa disertai efek samping.
The Journal of American Scientist melaporkan bahwa habatussaudah memiliki
khasiat untuk berbagai penyakit karena mengandung senyawa antihistamin,
antioksidan, antibiotik, antimitotik, antikanker dan bronkodilator. Dr. Micheal
Tierra penulis buku “Planetary Herbalogy” menuliskan bahwa habbatussaudah atau
black seed mengandung betasitosterol yang merupakan zat antikanker.

3. Madu

Dari perut lebah ini keluar minuman (madu)yang bermacam-macam warnanya, di


dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
berfikir. (Q.S An-Nahl : 69). Madu memiliki kandungan gizi utama berupa aneka
senyawa karbohidrat seperti fruktosa (41%), glukosa (35%), sukrosa (1,9%), dan
dekstrin (1,5%). Kadar protein dalam madu relatif kecil sekitar 2,6% akan tetapi
kandungan asam aminonya beragam, baik asam amino essensial maupun non
essensial. Kandungan vitamin yang terdapat dalam madu antara lain vitamin B1,
vitamin B2, B3, B6, dan vitamin C. Sementara mineral yang terkandung dalam madu
antara lain kalium, natrium, kalsium, magnesium, besi, tembaga, fosfor. Meskipun
jumlahnya sedikit, komposisi mineral madu merupakan sumber ideal bagi tubuh
karena perbandingan dan jumlah mineral madu mendekati komposisi yang terdapat
dalam darah manusia.
4. Zaitun (Olea eurofaea)

Makanlah minyak zaitun dan lumurlah minyaknya karena ia berasal dari pohon yang
penuh berkah (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Zaitun secara alami mengandung
beberapa senyawa tidak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen dan
squalen yang memegang peranan penting dalam kesehatan. Minyak zaitun juga
mengandung asam lemak tak jenuh, asam oleat sebesar 55-83% dari total asam
lemak dalam zaitun. Komponen yang penting dalam minyak zaitun yakni tokoferol
yang terdiri atas tokoferol a,b,c dan d. Diantara keempat jenis itu tokoferol a
yang paling tinggi sekitar 90% dari total tokoferol dalam minyak zaitun. Tokoferol
a dikenal sebagai vitamin E yang berkhasiat sebagai antioksidan alami.

Selanjutnya bagaimana penggunaan bahan-bahan haram dan najis dalam produk


farmasi? Rasulullah saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat dari bahan
yang halal dan melarang dari yang haram. Dari Abu Darda’ r.a. ia berkata:
Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat penyakit
(melainkan) dengan obatnya dan Allah ta’ala membuat obat buat setiap
penyakit.Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang
haram. Meskipun penggunaan bahan haram untuk obat hukumnya tetap haram,
namun para ulama memperbolehkan obat yang haram dalam keadaan darurat.
Standar darurat menurut Imam Nawawi dan Imam Suyuthi ialah timbulnya
kekhawatiran akan kematian jika tidak dilakukan. Bahan-bahan haram yang sering
dipakai dalam produk farmasi adalah babi dan khamr.

Babi termasuk hewan yang diharamkan dalam Al Quran baik digunakan sebagai
makanan, obat, maupun kosmetik. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi
mengandung babi antara lain kolagen, gelatin, cerebroside serta beberapa
golongan hormon seperti insulin, heparin, dan tripsin. Begitu juga dengan alkohol.
Allah melarang menkonsumsi khamr karena menghalangi dari mengingat Allah dan
salat.
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat, maka berhentilah kamu
(mengerjakan pekerjaan itu)”. (Q.S Al Maidah : 90).

Di dalam dunia medis, alkohol dikenal sebagai cairan antiseptik dan juga sebagai
pelarut bahan yang tidak larut dalam air. Sebagian ulama mengqiyaskan alkohol
dengan khamr. Tetapi dengan logika bahwa alkohol tidak selalu dihasilkan dari
produksi khamr dan tidak selalu memabukkan maka Dewan Fatwa MUI
memfatwakan bahwa alkohol boleh ada dalam produk akhir dengan kadar tidak
lebih dari 1%.

Peradaban Islam terbukti merupakan peradaban yang unggul. Islam secara rinci
telah mengatur urusan kesehatan, khususnya bidang pengobatan. Maka dari itu
sebagai calon farmasis muslim kita dibolehkan mengembangkan pengetahuan obat
selebar-lebarnya namun harus berpedoman pada perintah Allah dan tidak
melanggar larangan-larangan yang terdapat dalam Al-Quran. (Riskam)

Dikutip dari buku Etika Farmasi dalam Islam diterbitkan Graha Ilmu karangan
Hendri Wasito dan Diar Herawati.

Sumber : https://riskamsekali.wordpress.com/2012/04/22/farmasi-dalam-
bingkai-islam/

Anda mungkin juga menyukai