Dan disisi lain Rasulullah s.a.w. memunyai misi penting dalam penyempurnaan
Akhlaq, sehingga dalam berniaga/berbisnis pun ada aturan perilaku dalam
melaksanakannya., salah satunya sabda Rasulullah s.a.w:
نَ َهى أ َ ْن تُتَلَقَّى-صلى هللا عليه وسلم- َّللا ِ َّ سو َل ُ ع َم َر أَ َّن َر ُ َع ِن اب ِْن
َّ ان ِإ َّن النَّ ِب
ى ِ َوقَا َل اآلخ ََر.ظ اب ِْن نُ َمي ٍْرُ َو َهذَا لَ ْف. َالسلَ ُع َحت َّى ت َ ْبلُ َغ األ َ ْس َواق
ِ
. نَ َهى َع ِن التَّلَ ِقى-صلى هللا عليه وسلم-
“Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w
melarang menahan barang dagangan sebelum tiba di pasaran. Ini adalah lafazh dari
Ibnu Numair. Sedangkan menurut perawi yang lain, sesungguhnya Nabi s.a.w
melarang pembelian barang dagangan sebelum dipasarkan.’ (HR Muslim, Shahîh
Muslim, V/5, hadis nomor 3894)
Dalam melakukan bisnis atau usaha tentulah seseorang perlu bekerja. Bekerja
adalah sebuah aktivitas yang menggunakan daya yang dimiliki oleh manusia yang
merupakan pemberian Allah. Secara garis besar ada empat daya pokok yang
dimiliki manusia, pertama daya fisik yang menghasilkan kegiatan gerak tubuh dan
keterampilan, kedua daya fikir yang mendorong manusia untuk melakukan telaah
atas apa yang ada dialam semesta dan menghasilkan ilmu pengetahuan, ketiga daya
Qalbu yang menjadikan manusia mampu berimajinasi, beriman, merasa serta
berhubungan dengan manusia lain dan sang Khaliq, dan keempat daya hidup yang
mengahasilkan daya juang, kemampuan menghadapi tantangan dan kesulitan.
Namun kerja yang diluar ibadah ritual bagaimana yang akan berdampak ibadah?.
Kerja bernilai ibadah apabila ia didasari keikhlasan dan menjadikan si pekerja
tidak semata-mata mengharapkan ibalan duniawi saja tetapi ia juga berharap akan
balasan yang kekal diyaumil akhirah. Dengan niatan bahwa ia bekerja untuk
mendapatkan harta yang akan ia jadikan sebagai sarana bagi dirinya untuk
menyelamatkan dirinya dan keluarganya sehingga dapat melakukan perintah allah
yang lain.
2. Bekerja sebagai sebuah Amanah
Kata amanah, aman dan iman berasal dari akar kata yang sama. Seorang disebut
beriman bila ia telah menunaikan amanat. Tidak disebut beriman orang yang tidak
menunaikan amanat. Seorang yang menunaikan amanat akan melahirkan rasa aman
bagi dirinya dan orang lain. Di dalam al Qur’an banyak ayat yang memerintahkan
agar manusia menunaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya. Di
antaranya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh,(QS al Ahzâb/33: 72)
Menurut Murtadha Muthahhari amanat dalam ayat ini artinya taklîf (pembebanan
hukum), tanggung jawab dan hukum. Artinya amanat manusia harus dibangun
berdasarkan tugas dan tanggung jawab. Pendapat senada dikemukakan juga oleh
Muhammad Ali as-Shabuni, amanah dalam ayat ini adalah taklif syari’at, keharusan
menta’atinya dan meninggalkan kemaksiatan . Itulah sebabnya, langit dan bumi
tidak sanggup menerimanya. Makhluk-makhluk lain selain manusia, diberi oleh Allah
instink termasuk bumi dan langit. Dengan instink ini langit dan bumi tidak dapat
menerima amanat seperti tersebut diatas. Apabila amanat itu berupa materi
mungkin ia dapat menerima, tanpa ada tanggungjawab ia hanya menerima saja.
Seperti amanat Allah kepada Matahari agar ia beredar pada porosnya, demikian
pula bumi dan bulan.
Dalam konteks ini, matahari, bumi dan bulan dalam menerima amanah, mau atau
tidak mau, suka atau tidak suka. Ia tidak memunyai pilihan, yang ada hanya instink
untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
عا
ً ط ْو ِ ت َواأل َ ْر
َ ض َّ َّللا يَ ْبغُونَ َولَهُ أ َ ْسلَ َم َمن ِفي ال
ِ س َم َاوا ِ َّ ِين ِ أَفَغَي َْر د
ََو َك ْر ًها َو ِإلَ ْي ِه يُ ْر َجعُون
“Dan kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan.” (QS Âli ‘Imrân/3: 83)
Berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lain, manusia diberi potensi berupa akal.
Dengan akal itu manusia sanggup dan mampu menerima amanat yang ditawarkan
kepadanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa seluruh
aktivitas manusia, baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, jinayat atau
berbagai transaksi lainnya memunyai konsekwensi hukum . Dan manusia memunyai
hak untuk memilih dan mengikuti atau tidak melaksanakan apa yang ditawarkan
kepadanya. Tetapi mengapa manusia saat menerima tawaran Allah berupa amanat
disebut sebagai dzaluman Jahula (amat zalim dan bodoh) ? Setelah manusia
menerima amanah itu, manusia memunyai tanggung jawab dan konsekuensi hukum
dari semua yang diperbuatnya. Apabila ia menunaikan amanat dengan menggunakan
akalnya, ia termasuk manusia yang cerdas, tetapi sebaliknya bila ia tidak sanggup
menggunakan akal pikirannya untuk menunaikan amanat itu, maka manusia disebut
sebagai menzalimi dirinya sendiri dan bersikap bodoh.
َص ُّم ْالبُ ْك ُم الَّذِينَ الَ يَ ْع ِقلُون َّ ِإ َّن ش ََّر الد ََّو
ِ َّ َاب ِعند
ُّ َّللا ال
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk disisi Allah adalah orang-
orang yang pekak dan tuli yang tidak mau menggunakan akalnya.” (QS. al-
Anfâl/8: 22)
Binatang yang paling buruk adalah manusia yang diberi akal dan hati, tetapi ia tidak
memahami, diberi telinga, tetapi tidak mendengar dan dibekali mata, namun ia
tidak sanggup melihat. Bahkan untuk mereka disediakan neraka Jahanam. Manusia
yang tidak pandai memilih kebenaran yang ada dihadapannya, dan tidak sanggup
memperjuangkan keadilan yang didengarnya dan matanya tidak dapat melihat
kebenaran yang ada disekelilingnya itulah yang disebut Zhalûman Jahûlan.
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa siapa yang diberi kebebasan dan amanat
yang jelas kebaikannya dan ia telah merasakan nikmat dari amanat itu, lalu ia
memilih yang tidak sesuai dengan hati nurani, tempat yang layak baginya adalah
neraka Jahannam.
ٌ ُنس لَ ُه ْم قُل
وب الَّ يَ ْفقَ ُهونَ بِ َها ِ يرا ِمنَ ْال ِج ِن َو
ِ اإل ً َِولَقَ ْد ذَ َرأْنَا ِل َج َهنَّ َم َكث
ان الَّ يَ ْس َمعُونَ ِب َها أ ُ ْولَئِ َكٌ َْص ُرونَ ِب َها َولَ ُه ْم آذ ِ َولَ ُه ْم أ َ ْعيُ ٌن الَّ يُب
َض ُّل أ ُ ْولَئِ َك ُه ُم ْالغَافِلُونَ َ َكاأل َ ْنعَ ِام بَ ْل ُه ْم أ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka memunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
memunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’râf /7: 179)
Para mufassir sepakat bahwa makna amanat dalam ayat ini (QS al Ahzab/33: 72)
amanat dalam bentuk spiritual atau immateri. Yakni sebuah takl f atau
tanggungjawab yang harus dipikul oleh orang yang diberi amanat dan juga
bermakna hukum, yaitu ketentuan yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan. Dalam
kontek ini, amanat dapat disamakan dengan imarat al maknawiyah yakni mengisi
dan meningkatkan kualitas dan intensitas bekerja sebagai “sebuah gerakan” yang
terus menerus, dinamis dan inovatif
4. Menghargai Waktu
Islam sangat istimewa dalam membicarakan tentang waktu, bahkan salah satu
surat dalam Al-qur’an khusus menuliskan bagaiman apabila kita tidak mengahargai
waktu, yaitu dalam surat Al-Ashr. Dalam surat ini Allah dengan jelas
memperingatkan kepada manusia (pribadi/kelompok) apabila ia tidak betul-betul
memperhatikan waktu, dengan ancaman kerugian (dalam hal ini kerugian mencakup
secara materi maupun immaterial) dan hal tersbut dapat terhindari apbila ia
mampu menjaga komitmen (âmanû) dengan konsekwen menjalankan aturan dan
kewajiban (‘amilû ash-shâlihât)
Sumber : http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/9704/
Metode pengobatan dalam Islam yang terkenal sampai kini adalah ath-thibb-an-
nabawy (Pengobatan cara Nabi Muhammad saw). Tabib-tabib muslim meniru
Rasulullah serta berpedoman pada Al-Quran dan hadist seperti mengatur pola
makan dan minum, air putih untuk pengobatan, madu, susu murni, kurma, biji jintan
hitam dan bahan-bahan lainnya. Seluruh tuntunan pengobatan sudah diatur dalam
Al Quran dan hadist. Semua tuntunan itu disampaikan Rasulullah saw ketika ilmu
pengetahuan pengobatan belum berkembang dengan pesat. Berikut adalah bahan-
bahan berkhasiat yang disebutkan dalam Al-Quran.
Rasulullah saw berbuka puasa dengan beberapa biji kurma sebelum salat.
Sekiranya tidak terdapat kurma maka Rasululah saw akan berbuka dengan
beberapa biji anggur. Sekiranya tidak ada anggur maka Baginda meminum beberapa
teguk air.(HR. Ahmad)
Buah kurma memiliki banyak khasiat antara lain sebagai sumber energi karena
kandungan karbohidratnya yang tinggi. Buah kurma kering per 100 gram
mengandung 280 kkal energi, 75 g karbohidrat, 63 g gula, 8 g serat, lemak sebesar
0,4, protein 2,5 g air 21 g, vitamin C 0,4 mg 1% (USDA Nutrient Database). Buah
ini juga dipercaya memiliki khasiat sebagai aprodisiaka, diuretik, emolient,
estrogenik, laksative, anti diare, anti demam dan lain-lain.
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata : Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kamu
menggunakan habbatusaudah karena sesunguhnya padanya terdapat penyembuhan
bagi segala penyakit kecuali kematian (HR. Abu Salamah).
Terdapat banyak penelitian dalam mencari khasiat biji jintan hitam ini. Dalam
Kitab At Tibbun Nabawi karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan bahwa
habbatussaudah dapat mengobati 50 jenis penyakit tanpa disertai efek samping.
The Journal of American Scientist melaporkan bahwa habatussaudah memiliki
khasiat untuk berbagai penyakit karena mengandung senyawa antihistamin,
antioksidan, antibiotik, antimitotik, antikanker dan bronkodilator. Dr. Micheal
Tierra penulis buku “Planetary Herbalogy” menuliskan bahwa habbatussaudah atau
black seed mengandung betasitosterol yang merupakan zat antikanker.
3. Madu
Makanlah minyak zaitun dan lumurlah minyaknya karena ia berasal dari pohon yang
penuh berkah (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Zaitun secara alami mengandung
beberapa senyawa tidak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen dan
squalen yang memegang peranan penting dalam kesehatan. Minyak zaitun juga
mengandung asam lemak tak jenuh, asam oleat sebesar 55-83% dari total asam
lemak dalam zaitun. Komponen yang penting dalam minyak zaitun yakni tokoferol
yang terdiri atas tokoferol a,b,c dan d. Diantara keempat jenis itu tokoferol a
yang paling tinggi sekitar 90% dari total tokoferol dalam minyak zaitun. Tokoferol
a dikenal sebagai vitamin E yang berkhasiat sebagai antioksidan alami.
Babi termasuk hewan yang diharamkan dalam Al Quran baik digunakan sebagai
makanan, obat, maupun kosmetik. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi
mengandung babi antara lain kolagen, gelatin, cerebroside serta beberapa
golongan hormon seperti insulin, heparin, dan tripsin. Begitu juga dengan alkohol.
Allah melarang menkonsumsi khamr karena menghalangi dari mengingat Allah dan
salat.
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat, maka berhentilah kamu
(mengerjakan pekerjaan itu)”. (Q.S Al Maidah : 90).
Di dalam dunia medis, alkohol dikenal sebagai cairan antiseptik dan juga sebagai
pelarut bahan yang tidak larut dalam air. Sebagian ulama mengqiyaskan alkohol
dengan khamr. Tetapi dengan logika bahwa alkohol tidak selalu dihasilkan dari
produksi khamr dan tidak selalu memabukkan maka Dewan Fatwa MUI
memfatwakan bahwa alkohol boleh ada dalam produk akhir dengan kadar tidak
lebih dari 1%.
Peradaban Islam terbukti merupakan peradaban yang unggul. Islam secara rinci
telah mengatur urusan kesehatan, khususnya bidang pengobatan. Maka dari itu
sebagai calon farmasis muslim kita dibolehkan mengembangkan pengetahuan obat
selebar-lebarnya namun harus berpedoman pada perintah Allah dan tidak
melanggar larangan-larangan yang terdapat dalam Al-Quran. (Riskam)
Dikutip dari buku Etika Farmasi dalam Islam diterbitkan Graha Ilmu karangan
Hendri Wasito dan Diar Herawati.
Sumber : https://riskamsekali.wordpress.com/2012/04/22/farmasi-dalam-
bingkai-islam/